Oleh: Miftahul Arifin
NIM: 104111029
A.
Pendahuluan
Secara sederhana Neo Modernisme dapat diartikan dengan dengan “paham
modernisme baru”. Neo-modernisme digunakan untuk memberi identitas baru pada
kecendrungan pemikiran islam yang muncul sejak beberapa dekade terakhir sebagai
sintesis antara pola pemikiran tradisionalime dan modernisme.[1]
Neo-modernisme merupakan tipologi pemikiran islam yang memiliki asumsi dasar
bahwa islam harus
dilibatkan dalam pergulatan modernisme.[2]
Tetapi, dengan catatan, tanpa harus meninggalkan tradisi lama yang sudah mapan.
Dengan cara, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru
yang lebih baik[3].
Sebagaimana anggapan paham neo-modernis, paham tradisionalis cenderung
terlalu menyatu dengan budaya lokal, bertahan pada produk masa lampau dan
sangat selektif dengan gagasan baru. Hal Inilah yang kemudian menyebabkan
kecilnya kontribusi paham tradisionali khususnya dalam bidang pemikiran
keagamaan.
Dari sini lah kemudian lahirlah paham modernisme. Modernisme merupakan
gerakan pembaharuan yang berusaha melawan kemapan paham tradisional. Ciri
penting dari paham modernisme adalah usaha pemurnian agama islam dengan
memberantas segala yang berbau khurofat dan bid’ah. Paham modern juga ingin
melepaskan diri dari ikatan madzhab dan membuka kembali pintu ijtihad.[4]
kalangan modern memandang, hal ini
merupakan alternative untuk mengentaskan masyarakat dari kebodohan. Maka tak
heran jika bidang garapan yang digalakkan oleh paham ini tidak lepas dari
kelembagaan, pendidikan dan keorganisasian.
Namun demikian, apa yang dirancang oleh paham modern ini tidak cukup mampu
dan kuat untuk mengatasi problem-problem yang muncul kemudian. Banyak kritik
bermunculan. Salah satunya, ia dianggap sebagai paham hanya terbelenggu oleh
rutinitas mengolah lembaga-lembaga pembaharuan sehingga kehilangan kesegaran
orientasi yang dimiliki.
Menurut Nor Cholish Madjid, slogan paham modernisme, yaitu kembali pada Al
Quran dan penentangan terhadap tradisi memiliki efek penolakan atas warisan
khazanah islam klasik. Sehingga, lanjut madjid, hal ini lah yang mengakibatkan
modernisme kekeringan intelektual.[5]
Atas dasar inilah Neo-modernisme muncul untuk menjembatani kedua paham
tersebut. Paham modernisme berpandangan bahwa paham tradisional dan modern
sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena itu. Neo-modernisme
berusaha menggabungan keduanya. Apa yang baik pada tradisional harus tetap
dipegang. Sebaliknya, apa yang baik pada paham modernis dapat dijadikan
pijakan.
Modernisme bukan sesuatu yang harus ditolak. Tetapi, dengan modernisme
juga, bukan berarti alam pemikiran tradisional harus dikesampingkan. Bahkan,
dalam beberapa hal dua pemikiran ini saling seiring dan sejalan.[6]
Dalam Makalah ini penulis hanya akan membatasi pembahan penulis kedalam
tiga pokok pembahasan yakni, Munculnya gerakan Neo-modernisme Islam di Indonesia,
tokoh neo modernism islam di Indonesia dan Wacana-wacana yang diusung oleh
penganut paham neo-modernisme di Indonesia.
B.
Munculnya
Gerakan Neo-modernisme Di Indonesia
Makmun Mukmir dalam bukunya Tafsir
Neo-Modernis menyebutkan bahwa gerakan neo-modernisme muncul sebagai wujud
respon terhadap proses transformasi sosial yang mengalami stagnasi, terutama di
picu oleh tiga hal pokok yaitu :
1.
Lambatnya proses transformasi
sosial keagamaan yang di capai oleh organisasi pembaharu tradisionalis dan
modernis seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai arus Islam di
Indonesia.
2.
Menguatnya gerakan idealisme Islam
yang memiliki cita cita menjadikan Islam sebagai dasar Negara Republik
Indonesia, bahkan dalam bentuk yang lebih ekstrim mereka mencita citakan
berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
3.
Adanya pola perubahan pembangunan
di dalam negeri Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan bersama dengan
tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, geografis dan sebagainya.[7]
C.
Tokoh Neo-modernisme
Istilah Neo-modernisme diperkenalkan oleh oleh Fazlurrahman, seorang tokoh
gerakan pembaharuan islam asal Pakistan. Konsep neo-modernisme Fazlurrahman
berusaha memahami pemikiran pemikiran islam dan barat secara padu. Karena, bagi
Rahman, islam menyimpan nilai-nilai moernitas jika dipahami secara utuh dan
menyeluruh. Bukan secara parsial yang justru akan melahirkan sikap eksklusif,
jumud, dan intoleran terhadap agama lain.[8]
Selanjutnya, Fazlurrahman membagi dialektika perkebangan pembaharuan islam
kedalam empat model gerakan. Pertama, revivalis modernis, yang muncul pada abad
ke-18 dan 19, modernism klasik yang muncul pada pertengahan abad 19 dan 20,
revivalisme pasca modernis atau neo-fundamentalis dan neo-modernisme itu
sendiri. neo modernism Fazlurrhman memiliki karakter utama pengembangan suatu
metodologi sistematis dengan melakukan rekonstuksi islam secara total dan
tuntas pada akar-akar spiritualnya dan dapat menjawab kebutuhan islam modern
secara cerdas dan bertanggung jawab.[9]
Gagasan neo-modernisme Fazlurrahman di atas kemudian menginspirasi tokoh
tokoh pembaharus islam di Indonesia, baik secara langsung atau tidak langsung.
Pengaruh secara langsung ialah adanya hubungan secara langsung dengan tokoh
pembaharu tersebut. Pengaruh secra tidak
langsung ialah dapat melalui buku, majalah, surat kabar atau yang lainnya.
Adapun tokoh noe-modernisme yang ada di Indonesia ialah Harun Nasution, Mukti
Ali, Norcholis Madjid, munawir Syadzali, Dawa Raharjo, Djohan Efendi,
Kuntowijoyo dan Abdurrahman Wahid.
Ahmad Amir Aziz Dalam Bukunya Neo-Modernisme Islam di Indonesia mengatakan,
bahwa pemikir-pemikir di atas telah mendapat banyak simpati dari seluruh
lapisan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya buku-buku mereka yang
laku di pasaran. Ide-ide mereka pun, meskipun sering kontroversial, sepat
sekali menjadi wacana publik yang mampu menggairahkan semangat intelektualisme.[10]
Menurut Bachtiar, kemunculan neo-modernisme sangat menarik mengingat
tokoh-tokohnya telah bersentuhan dan mengalami sosialisasi dengan pemikiran
tradisional dan modern sekaligus. Nor Cholis Madjid dan Abdurrahman Wahid,
misalnya.
Di satu pihak, Norcholis Madjid mengalami pendidikan pesantren. Di lain
pihak, pada masa remaja, ia disekolahkan kepesantren gontor, sebuah pesantren
modern. Bahkan ketika ia menjadi mahasiswa, ia menjadi anggota Himpunan
Mahasiswa Islam, sebuah organisasi indenpenden tetapi relative berafiliasi pada
pemikiran modernis.[11]
Demikian pula, Abdurrahman Wahid.
D.
Wacana
Neo-modernisme
Dalam kontek pemikiran sosial-politik, sebagaimana dikatakan Fachri Ali
Bachtiar Efendy,[12]
sikap pemikir noe-modernis yang akomodatif terhadap pemikiran modernis dan
tradisionalis berpengaruh terhadap cara pandang kaum modernis dalam melihat
hubungan islam dan Negara. Hal ini dapat dilihat dari prodak prodak
pemikirannya yang mereka usung. Adurrahman Wahid dan Nor Cholis Madjid adalah
contohnya.
Adapun tema-tema yang menjadi concern cendikiawan neo-modernisme
berkaitan dengan kekuasaan, pluralism agama, islam dan demokrasi dan islam dan
universalime.
1.
Islam dan Politik
“Islam Yes, partai Islam No” demikian salah satu ungkapan Norcholis Madjid.
Menurutnya, bahwa tidak ada Negara islam. Dalam kaitan islam dan politik,
pemikiran neo-modernisme hendak mendamaikan atau menempatkan hubungan harmonis
antara cita-cita islam dan Negara.[13]
Pembaharuan Norcholis Madjid merupakan penjelasan lebih halus dari konsep
kesesuaian islam dan modernisasi sosio-politik Indonesia kontemporer.[14]
Dalam hal ini Madjib merujuk pada pada konstutusi Madinah sebagai contoh dasar
keislaman, dimana, ia merupakan dokumen politik pertama dalam sejarah islam
yang diperlukan oleh masyarakat madinah pada waktu itu.[15]
Sementara Abdurrahman Wahid mengatakan:
“Tanpa pancasila Negara
akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas yang akan ada selamanya. Ia
adalah gagasan tentang Negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan”.
Dari perkataan tersebut, Wahid hendak menempatkan islam tidak secara
formal. Tetapi, nilai-nilai islam lah yang harus dipegang sebagai fondasi moral
umat islam dalam masyarat majemuk seperti Indonesia.
2.
Islam dan Demokrasi
Neo-modernisme menganggap bahwa tak ada pertentangan antara islam dan demokrasi.
Tetapi, mencari kaitan antara keduanya tidak terlalu mudah. Sebab, kalau kita
ingat, sejumlah idiologi pernah menyatakn kritik terhadap agama. Misal, hanya
dipandang tak lebih sebagai keluh masyarakat tertindas. Sisi positif agama
hanya sebagai penenang sementara. Sementara bagi masyarat yang mapan, agama
hanya dijadikan legitimasi kekuasaan.[16]
Di sisi lain, sebagaimana pandangan ulama dan penguasa politik, bahwa dalam
islam tak ada tempat untuk demokrasi. Alasan mereka adalah bahwa demokrasi
adalah kekuasaan di tangan rakyat. Sementara dalam doktrin islam kekuasaan
mutlak berpusat pada kekuasaan tuhan.[17]
Oleh karena itu, Islam dan demokrasi, bagi kalangan neo-modernis,
ditafsirkan sebagai sesuatu yang sesuai, tidak ada benturan- dalam arti
asalnya. Nor Cholis Madjid berpendapat, salah satu nilai demokrasi adalah
egaliter: persamaan. Prinsip egaliter ini adalah prinsip yang terdapat dalam
islam. Egalitarianisme dalam islam di sini, ialah adanya kesamaan, keadilan,
eksistensi dan demokrasi, prinsip-prinsip musyawarah, perwakilan dan
partisipasi, termasuk keadilan hukum yang telah diteapkan sejak zaman Nabi.[18]
Analisis Norcholis Madjid yang banyak berdasarkan kepada ayat-ayat al Qur’an,
seperti tentang tanggung jawab, musyawarah, keadilan dan lainnnya sampai kepada
sebuah kesimpulan bahwa islam sepanjang ajaran agamanya, tidak menghendaki
sesuatu kecuali demi kebaikan bersama.[19]
Sementara Abdurrahman Wahid lebih menekankan pada hubungan fungsional dan
simbiotik. Menurutnya, islam adalah
seluruh keimanan umat islam, sementara pancasila harus mewadahi seluruh
aspek agama di Indonesia.[20]
Menurutnya, nilai demokrasi itu ada yang bersifat pokok dan yang bersifat
lanjutan. Adapun nilai pokok itu adalah kebebasan, keadilan dan musyawarah.
Kebebsan yang dimaksud adalah kebebasan individu dilam kuasa Negara atau hak
individu dan hak kolektif dalam masyarakat. Keadilan memiliki arti bahwa
terbukanya peluang bagi warga Negara untuk melakukan apa yang diinginkan.
Sementara musyawarah berarti bentuk atau cara pemeliharaan kebebasan dan dan
memperjuangkan keadilan itu lewat jalur permusyawaratan.[21]
Untuk mencapai keadilan bagi seluruh warga Negara tidak hanya ditentukan
sepihak dari pihak pengelola Negara tetapi harus melaui musyawarah dengan
masyarakat yang ada. Pemilihan umum merupakan representasi dari sistem
musyarawah itu sendiri.
3.
Pluralisme Agama dan
Toleransi
Sebagaimana telah diketahui, islam telah merambah keberbagai penjuru.
Penyebarnya agama islam tak pelak mempertemukan agama Ibrahim ini dengan
agama-agama yang lain. Di Indonesia, agama islam juga tampil ditengah-tengah
banyak agama seperti Kristen, katolik, hindu, budha dan yang lainnya.
Pesoalan yang sering kali muncul adalah adanya truth claim terhadap
kebenaran masing-masing agama yang menyebabkan terjadinya permusuhan antar
agama.
Ada empat pemahaman mengenai pluralisme agama jika dihubungkan dengan
kebenaran agama yang menimbulkan klaim kebenaran: pertama, tidak setiap agama
memiliki kebenaran karena kebenaran mutlak hanya pada satu agama. Kedua,
kebenaran ada pada setiap agama, tapi kebenaran mutlak hanya ada pada satu
agama. Ketiga, kebenaran itu ada pada semua agama secara menyeluruh. Keempat,
sekalipun kebenaran ada pada masing-masing agama tetapi, pada akhirnya akan
menuju pada kebenaran tunggal. Sementara
dari ke empat pemaham di atas yang berkembang di tengah masyrakat adalah pemahaman
yang lebih superior-inferior tentang kebenaran agama sehingga truth claim
tidak bisa dihindarkan.[22]
Dari sini neo-modernisme islam memiliki pandangan bahwa klaim kebenaran
hanyalah sebuah ajaran teologi yang perlu mendapat interpretasi ulang. Tidak
ada kebenaran mutlak, sebab kebenaran tunggal hanya ada pada tuhan. Hal ini
didasarkan pada pandangan islam bahwa islam merupakan agama universal dan
fitrah yang memuliakan manusia.[23]
Pandangan Madjid terhadap pluralisme dan toleransi di dasarkan pada
kebenaran ajaran kitab suci dan pengalam tradisi klasik islam, dimana, ada ada
kaum menoritas dan mereka bebas dalam melakukan ibadah bebas memeluk agamanya.
Selain itu, islam merupakan agama universal, tidak hanya untuk satu
golongan. Hal ini, menurut Madjid dapat dilihat dari kata islam itu sendiri,
yaitu sikap tulus dan pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga, Islam bukan
lah agama yang berdiri sendiri. Melainkan, ia tampil dalam rangkain agama-agama
islam lainnya yang telah berdiri terlebih dahulu.[24]
Sementara Wahid hendak menempatkan islam dalam substansi ajarannya, bukan
pada hal yang sifatnya setting sosial. karena itu wahid menyatakan bahwa
universalime islam didasarkan pada adanya lima jaminan. Pertama, keselamatan
warga negara dari tindakan badani di luar hukum. Kedua, keselamatan
keyakinan agama masing masing. Ketiga, keselamatan keturunan. Ke empat,
keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum. Kelima,
keselamatan profesi (wahid via Anwar, 1995: 233)
4.
Islam dan Universalisme
Menurut neo-modernisme islam, islam dan universalime sangat terkait. Islam
tidak menafikan universalime, tetapi tidak juga menolak lokalisme. Keduannya
seharusnya menjadi pemahaman islam yang bercorak universal, modern, dan lokal.[25]
Pangan Norcholis madjid mengenai hal ini dimulai dari pengertian tentang
islam sendiri. bahwa islam yang berarti
pasrah itu tidak hanya di ajarkan kepada hambanya. Melaikan pada hambanya yang
berkaitan dengan dunia manusia. Ia harus tumbuh dari dalam bukan paksaan. Keagamaan
yang di dasarkan pada paksaan akan kehilangan dimensinya yang paling mendasar
yaitu keikhlasan.[26]
Sementara Wahid mengatakan, universalime islam di dasarkan pada paham
kebenaran universal, di mana ajaran islam tidak kemudian mendorongnya untuk
memonopoli dan mendominasi. Istilah pribumisasi islam yang dilontarkan oleh
wahid adalah istilah yang penting dalam rangka menghadirkan universalitas islam
dalam di tengah lokalitas. Lokalitas dalam pandannya tidak sama dengan marjinalisasi
atau pembongkaran terhadap substasi islam. Perubahan salam dengan selamat pagi,
misalnya. Disini wahid hendak menempatkan universalime islam dari segi
substansi bukan pada formalitasnya.[27]
E.
Penutup:
Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan di atas dapat disimpulkan kedalam beberapa hal
sebagai berikut:
1. Munculnya Paham Neo-modernisme dilatar belakangi oleh kegelisahan para
pemikir islam yang tidak puas dengan pemikiran tradisional dan pemikiran yang
diusung oleh pemikir modern.
2. Di Indonesia, kemunculan neo-modernisme secara khusus dilator belakangi
oleh tiga hal; pertama ketidak puasan terhadap produk pemikiran muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama’ (NU). Kedua, menguatnya gerakan idealisme islam untuk
mendirikan Negara islam. Ketiga, adanya pola pembangunan yang mengutamakan
kepentingan bersama tanpa membedakan suku, ras dan agama.
3. Lahirnya tokoh tokoh neo-modernisme di Indonesia tidak secara mandiri,
melainkan mereka terinspirasi dari tokoh timur tengan seperti Fazlurrahman.
4. Dari kesimpulan yang kedua di atas, maka tidak heran jika wacana-wacana
yang diusung oleh neo-modernisme syarat dengan pemaduan antara islam dengan
wacana-wacana modern di Indonesia seperti politik, pluralisme, demokrasi,
toleransi dan universalime.
Demikian makalah yang singkat ini semoga dapat bermanfaat. Besar harapan
penulis untuk dikritik dan diberi masukan sebagai pertimbangan perbaikan untuk
penulisan selanjutnya.
Daftar Bacaan
Aziz, Ahmad
Amir, Neo Modernisme Islam di Indonesia, (Rineka Cipta: Jakarta, 1999)
Efendy, Fachri Ali Bachtiar, Merambah Jalan Baru Islam, (Mizan:
Bandung, 1986)
Mu’min Ma’mun,
Tafsir Neo-modernis, (Idea Press: Yogyakarta, 2010)
Qodir Zuli, Pembaharuan
Pemikiran Islam, Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, (Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 2006)
Rizem's
Archives’ blog, Neomodernisme Menuju
Islam Modernis.htm
[1] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di
Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal. 15
[2] Zuli Qodir, Pembaharuan
Pemikiran Islam, Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), hal. 66
[3] Zuli Qodir, Ibid, hal. 66
[4] Ahmad Amir Aziz, hal, 4
[5] Ahmad Amir Aziz, hal. 7
[6] Zuli Qodir, hal. 67
[7] Ma’mun Mu’min, Tafsir Neo-modernis, (Jogjakarta:
Idea Press, 2010), Hal. 6
[8] Rizem's Archives’ blog, Neomodernisme Menuju Islam Modernis.htm,
mengutip Abdul A’la Al-Maududi dalam bukunya “Dari Neomodernisme ke Islam
Liberal, Jejak Fazlur Rahman Dalam Wacana Islam di Indonesia”.
[9] Ahmad Amir Aziz, hal. 16
[10] Ibid hal. 8
[11] Ahmad Amir Aziz, hal. 176
[12] Fachri Ali Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung:
Bandung, 1986), hal. 177
[13] Zuli Qodir, hal. 74
[14] Ibid, hal 74
[15] Fachri Ali Bachtiar Effendi, hal. 181
[16] Ahmad Amir Aziz, hal. 63-64
[17] Ibid, hal 64
[18] Zuli Qodir, hal. 84
[19] Ahmad Amir Aziz, hal. 67
[20] Zuli Qodir, hal. 85
[21] Ahmad Amir Aziz, hal. 65-66
[22] Zuli Qodir, Ibid, hal 91.
[23] Ibid
[24] Ahmad Amir Aziz, hal. 51
[25] Zuli Qodir, hal. 96
[26] Ibid, hal 97
[27] Ibid, hal. 99
No comments:
Post a Comment