Tobacco: The
Global Threat yang ditulis oleh John Crofton dan David Simpson memperkirakan bahwa
pada tahun 2030 tembakau akan menjadi pembunuh utama manusia. Sekitar 50% dari
perokok aktif dan passif akan akan terbunuh oleh tembakau(Kompasiana,30/04/2010).
Bahaya yang
ditimbulkan oleh rokok menarik perharhatian pemerintah di seluruh dunia
termasuk pemerintah di Indonesia. Pemerintah terus menerus melakukan upaya
untuk meminimalisir jumlah perokok ditanah air. Salah satunya yang paling
masyhur adalah melalui peringatan yang tertera pada bungkus rokok: Merokok
dapat merugikan kesehatan, meneyabkan impotensi, gangguan kehamilan dan janin.
Dengan upaya tersebut, pemerintah berharap kepada masyarakat agar, untuk tidak
berkata meninggalkan, berhati hati terhadap rokok. Efek terburuk dari mengkonsumsi
rokok adalah dapat menyebabkan Kematian.
Salah satu
opini tentang rokok yang ditulis oleh Limantina Sihalohi (Kompasiana,
30/04/2010) menarik untuk dicermati. Dalam tulisannya itu ia menyatakan bahwa
setiap 6 detik, 1 orang mati karena rokok. Jika dikalkulasi, maka dalam sehari
240 orang mati karena rokok. Data ilmiah di British Medical
Journal menyebutkan, akan ada 40 juta penderita TBC yang meninggal akibat rokok
pada 2050. Menurut Dr Erwin Peetosutan Sp, spesialis paru dari Rumah sakit MMC,
rokok dapat mengurangi daya tahan tubuh bagi penderita TBC. Merokok dapat
meneyabkan paru tidak bagus dan tidak berfungsi dengan baik.
Perokok
Aktif dan Pasif
Besamaan
dengan hal tersebut, ada satu “anggapan” bahwa perokok pasif 3 kali lebih
berbahaya dari perokok aktif. Perokok aktif adalah orang yang mengisap batang
rokok. Sementara perokok pasif adalah orang yang tidak merokok secara langsung
tapi juga menghirup asap rokok. Ketika ada orang yang tidak merokok namun
berada didekat orang merokok, itulah yang dimaksud dengan perokok pasif. Salah
satu alasan yang mendasari anggapan ini adalah bahwa dalam perokok pasif
tar, dikotin dan karbon monoksida akan
terkonsentrasi tiga kali lipat dibandingkan dengan perokok aktif. Disadari atau
tidak, pernyataan ini sudah masyhur dilakangan masyrakat kita, di tanah air.
Bahkan sudah menjadi semacam keyakinan karena dipublikasikan oleh orang yang
sudah berkompeten yakni para ahli dan peneliti.
Meskipun
berdasarkan satu penelitian, disini, penulis berani menyebut hal tersebut hanya
sebagai sebuah “anggapan”. Karena, penulis melihat, hal ini belum sepenuhnya
menjadi sebuah kesepakatan. Misalnya, Dr Handrawan pernah mengatakan bahwa
perokok aktif dan perokok pasif memiliki resiko yang sama besar. (Okezone,
26/04/2012). Pernyataan itu menggerakkan penulis untuk menelusuri lebih
mendalam mengenai justifikasi itu.
Karena, jika
dinalar, akal sehat penulis tidak akan menerima anggapan tersebut. Pasalnya, bagi
penulis, perokok aktif lebih banyak mendapat asupan asap rokok. Disamping ia
menghirup asap langsung dari batang rokok, perokok aktif juga mendapat asupan
asap rokok berupa karbon monoksida seperti yang hanya dihirup perokok pasif. Dari
sini, dapat dipahami bahwa bahaya antara perokok pasif dan aktif adalah 1:2.
Jika demikian, bagaimana mungkin bahaya perokok pasif lebih parah dari pada
perokok aktif? Pernyataan perlu kita temukan jawabannya.
Dari sini, penulis sedikit curiga bahwa
ada “tangan liar” dengan misi tertentu atau kepentingan pribadi. Kepentingan
yang sama sekali tidak memihak pada perbaikan masyarakat secara umum.
Sebaliknya, hal tersebut dilansir untuk menguntukkan pihak tertentu.
Jika demikian hal ini sangat berbahaya
bagi masyarakat dan orisinilitas ilmu pengetahuan itu sendiri. Objektifitas
pengetahuan terabaikan karena kepentingan pemilik modal. Masyarakat sengaja
digerakan pada satu dimensi tertentu yang sebenarnya berbahaya bagi dirinya.
Lebih jauh, Jurgen Habermas telah
mengamati fenomena ini. Habermas sebagai penentang terhadap aliran positivistik
melihat bahwa ilmu pengetahuan sudah tidak memiliki peran kritis dalam
menentukan pentingnya tujuan yang sedang diupayakan. Dengan demikian ilmu
pengetahuan menyumbang rasionalitas teknis yang memungkinkan kapitalisme
mengembangkan bentuk komoditas yang semakin beragam dan kompek. Singkatnya,
pemahamn teknis terhadap ilmu itu adalah bersifat positivistik yang akhirnya
menjadi idiologis. Hasilnya adalah bahwa ilmu dan rasionalitas yang ada dalam
era kapitalis diselewengkan untuk melawan manusia, bukan dimanfaatkan untuk
kemanusiaan.[1] Dalam kontek ini masyarakat kita
diarahkan untuk mengamini bahwa perokok aktif utama dari perokok pasif. Hal
berimplikasi pada suatu realitas dimana masyarakat secara serentak memilih
menjadi perokok aktif dari pada perokok pasif. Menginagat bahaya yang
ditimbulkan lebih sedikit dari pada perokok pasif. Dengan demikian, keuntungan yang
besar akan didapat “tangan liar”, yang menurt marx disebut dengan golongan
kapitalis atau pemilik modal. Sementara masyarakat akan berada dalam
“keterpurukan” yang mendalam berbagai aspek. Pernyataan habermas dan kritiknya
terhadap ilmu pengetahuan adalah, bahwa suatu ilmu pengetahuan bisa dikatakan sebagai sesuatu yang
obyektif jika tidak berpihak pada kepentingan pribadi, ideology agama,
penilaian moral dan masih banyak yang lainnya, yang kesemuanya dapat
mempengaruhi kenetralan.
Masyarakat Kritis
Untuk melawan kenyataan ini, Habermas menawarkan
satu teori kritis untuk mengubahnya menjadi satu bentuk kegiatan emansipatoris
yang mengupayakan perbaikan politik dan sosial. Disini, habermas yang merujuk
pada merujuk pada hegel lebih melihat pada satu pekerjaan sebagai kritik yang
secara khusus diarahkan kepada akal budi instrumental yang menumpulkan.[2] Masyarakat harus bebas dari belenggu
yang mengebiri kehidupan sosialnya.
Melaui teori tentang bahasa, komunikasi
dan evaluasi masyarakat, habermas memberi landasan suatu kerangka normatif demi
direalisasikannya minat emansipatoris. Habermas
juga meyakini bahwa bahwa kapitalisme mendorong adanya suatu masyarakat yang
berkelas dan mencengkram kehidupan individu. Tetapi habermas lebih meyakini
bahwa tidak menyamakan “system yang mengatur dirinya sendiri yang tujuannya
menyingkirkan kesadaran anggota masyarakat” dengan dunia kesadaran aksi
komunikatif itu lebih penting. Jelasnya, disini, tugas kita adalah membentuk
suatu teori yang memungkinkan adanya kejelasan universal.[3] Suatu teori tidak didominasi oleh
kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Melaikan untuk kepentingan bersama
demi perbaikan kehidupan masyarakat.
Bagi Habermas, kehidupan adalah
cakrawala kesadaran yang didalamnya terdapat lingkungan public dan individu.
Ini adalah lingkungan pembentukan identitas dan aksi komunikatif. Pada yang
terakhir ini habermas memaksudkannya sebagai aksi yang “mengandalkan proses
koopreatif dimana para peserta serentak mengaitkan diri dengan suatu dengan
suatu yang ada pada sasaran, yang sosial, dan duni subjektif, meskipun dalam
satu ujaran mereka hanya secara sitematis menekankan satu segi dari ketiga
komponen di atas.”. Habermas memandang, komunikasi adalah aspek terpenting dari
semua kegiatan dalam kehidupan para individu bisa mendapatkan pengakuan atas
keabsahan semua ujaran mereka, dan struktur semua kehidupan bisa diubah. Hal
ini dianggap akan bereaksi balik kesistem sosial yang lebih besar, dan dari
sisni menumpuk pertumbuhan rasionalitas instrumental.[4]
Permainan Bahasa
Bahasa
menjadi suatu alat komunikasi yang penting dalam kehidupan masyarakat. Bahasa
dapat menggerakkan satu sistem sosial kepada sistem sisial yang lain. Karenanya,
memahami logika bahasa memang sangat penting agar pemahaman tidak melenceng
dari maksud yang hendak disampaikan melaui bahasa itu. Namun demikian,
kadangkala bahasa juga dapat penipu sipenerima. Baik karena karena kurangnya
pemahaman terhadap bahasa tersebut, ataupun karena bahasa itu yang sengaja
dibuat untuk menipu. Artinya, dengan bahasa itu, kadangkala masyarakat sering
terjebak dalam ketidaksadaran.
Dalam
simeotika, bahasa adalah tanda. Setiap tanda memiliki makna baik denotasi
(makna yang sesungguhnya) maupun makna konotasi (makna tersirat). Barthes dalam
bukunya Mythology menjelaskan bahwa signifikasi tanda dalam simiotika
terdiri atas relasi antara tanda dan maknanya. Barthes kemudian membagi makna
konotasi menjadi dua yakni sistem konotasi sendiri dan metabahasa.[5]
Dari sini penulis dapat menyimpulkan
bahwa perokok pasif lebih berbahaya dari perokok aktif tak lebih hanya
permainan bahasa belaka. dengan kata lain, sebagaimana yang telah penulis
paparkan diatas, disini masyarakat diarahkan untuk mengamini bahwa perokok aktif
lebih baik dari perokok pasif yang berimplikasi pada suatu realitas dimana
masyarakat secara serentak memilih menjadi perokok aktif dari pada perokok
pasif. Mengingat, bahaya yang ditimbulkan lebih sedikit dari pada perokok
pasif.
Sejarah pun
belum pernah mencatat, bahwa penderita TBC, Kangker dan penyakit yang lain yang
disebabkan oleh rokok lebih besar dari kalangan perokok pasif dari pada perokok
aktif. Justru kebanyakan mereka adalah perokok aktif. Seperti juga dilansir dari www.tobaccoatlas.org, tembakau telah membunuh 50 juta orang
dalam 10 tahun terakhir, dan rokok bertanggung jawab atas lebih dari 15 persen
dari semua kematian laki-laki dan 7 persen kematian perempuan (Kompas.com,
23/03/2012). Data ini sedikit bisa
dijadikan bukti bahwa perokok aktif lebih berbahaya dari pada perokok
pasif. Pasalnya, harus diakui bahwa pemakainan rokok saat ini lebih didominasi
oleh kaum lelaki.
No comments:
Post a Comment