Thursday 19 February 2015

Rokok dan Promblem Ilmu Pengetahuan (Theori Roland Barthes)

Tobacco: The Global Threat yang ditulis oleh John Crofton dan David Simpson memperkirakan bahwa pada tahun 2030 tembakau akan menjadi pembunuh utama manusia. Sekitar 50% dari perokok aktif dan passif akan akan terbunuh oleh tembakau(Kompasiana,30/04/2010).

Bahaya rokok memang menghawatirkan. Sejumlah penelitian yang dilakukan oleh ahli kesehatan menyebutkan bahwa rokok mempunyai sejumlah zat yang  amat berbahaya yaitu, pertama, Tar. Tar dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada paru-paru dan kangker. Kedua, Nikotin. Ia akan menimbulkan kecanduan yang memicu peningkatan konsumsi. Ketiga, Karbon Monoksida; gas yang berbahaya yang dapat menurunkan kadar oksigen dalam tubuh. Peningkatan inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya penyakit jantung. Keempat, Bahan kimia yang berbahaya yang dapat menyebabkan penyakit kangker.

Bahaya yang ditimbulkan oleh rokok menarik perharhatian pemerintah di seluruh dunia termasuk pemerintah di Indonesia. Pemerintah terus menerus melakukan upaya untuk meminimalisir jumlah perokok ditanah air. Salah satunya yang paling masyhur adalah melalui peringatan yang tertera pada bungkus rokok: Merokok dapat merugikan kesehatan, meneyabkan impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Dengan upaya tersebut, pemerintah berharap kepada masyarakat agar, untuk tidak berkata meninggalkan, berhati hati terhadap rokok. Efek terburuk dari mengkonsumsi rokok adalah dapat menyebabkan Kematian.
Salah satu opini tentang rokok yang ditulis oleh Limantina Sihalohi (Kompasiana, 30/04/2010) menarik untuk dicermati. Dalam tulisannya itu ia menyatakan bahwa setiap 6 detik, 1 orang mati karena rokok. Jika dikalkulasi, maka dalam sehari 240 orang mati karena rokok. Data ilmiah di British Me­dical Journal menyebutkan, akan ada 40 juta pen­de­rita TBC yang meninggal aki­bat ro­kok pada 2050. Menurut Dr Er­win Peetosutan Sp, spesialis paru dari Rumah sakit MMC, rokok dapat mengurangi daya tahan tubuh bagi penderita TBC. Merokok dapat meneyabkan paru tidak bagus dan tidak berfungsi dengan baik.

Perokok Aktif dan Pasif
Besamaan dengan hal tersebut, ada satu “anggapan” bahwa perokok pasif 3 kali lebih berbahaya dari perokok aktif. Perokok aktif adalah orang yang mengisap batang rokok. Sementara perokok pasif adalah orang yang tidak merokok secara langsung tapi juga menghirup asap rokok. Ketika ada orang yang tidak merokok namun berada didekat orang merokok, itulah yang dimaksud dengan perokok pasif. Salah satu alasan yang mendasari anggapan ini adalah bahwa dalam perokok pasif tar,  dikotin dan karbon monoksida akan terkonsentrasi tiga kali lipat dibandingkan dengan perokok aktif. Disadari atau tidak, pernyataan ini sudah masyhur dilakangan masyrakat kita, di tanah air. Bahkan sudah menjadi semacam keyakinan karena dipublikasikan oleh orang yang sudah berkompeten yakni para ahli dan peneliti.

Meskipun berdasarkan satu penelitian, disini, penulis berani menyebut hal tersebut hanya sebagai sebuah “anggapan”. Karena, penulis melihat, hal ini belum sepenuhnya menjadi sebuah kesepakatan. Misalnya, Dr Handrawan pernah mengatakan bahwa perokok aktif dan perokok pasif memiliki resiko yang sama besar. (Okezone, 26/04/2012). Pernyataan itu menggerakkan penulis untuk menelusuri lebih mendalam mengenai justifikasi itu.

Karena, jika dinalar, akal sehat penulis tidak akan menerima anggapan tersebut. Pasalnya, bagi penulis, perokok aktif lebih banyak mendapat asupan asap rokok. Disamping ia menghirup asap langsung dari batang rokok, perokok aktif juga mendapat asupan asap rokok berupa karbon monoksida seperti yang hanya dihirup perokok pasif. Dari sini, dapat dipahami bahwa bahaya antara perokok pasif dan aktif adalah 1:2. Jika demikian, bagaimana mungkin bahaya perokok pasif lebih parah dari pada perokok aktif? Pernyataan perlu kita temukan jawabannya.

Dari sini, penulis sedikit curiga bahwa ada “tangan liar” dengan misi tertentu atau kepentingan pribadi. Kepentingan yang sama sekali tidak memihak pada perbaikan masyarakat secara umum. Sebaliknya, hal tersebut dilansir untuk menguntukkan pihak tertentu.

Jika demikian hal ini sangat berbahaya bagi masyarakat dan orisinilitas ilmu pengetahuan itu sendiri. Objektifitas pengetahuan terabaikan karena kepentingan pemilik modal. Masyarakat sengaja digerakan pada satu dimensi tertentu yang sebenarnya berbahaya bagi dirinya.

Lebih jauh, Jurgen Habermas telah mengamati fenomena ini. Habermas sebagai penentang terhadap aliran positivistik melihat bahwa ilmu pengetahuan sudah tidak memiliki peran kritis dalam menentukan pentingnya tujuan yang sedang diupayakan. Dengan demikian ilmu pengetahuan menyumbang rasionalitas teknis yang memungkinkan kapitalisme mengembangkan bentuk komoditas yang semakin beragam dan kompek. Singkatnya, pemahamn teknis terhadap ilmu itu adalah bersifat positivistik yang akhirnya menjadi idiologis. Hasilnya adalah bahwa ilmu dan rasionalitas yang ada dalam era kapitalis diselewengkan untuk melawan manusia, bukan dimanfaatkan untuk kemanusiaan.[1] Dalam kontek ini masyarakat kita diarahkan untuk mengamini bahwa perokok aktif utama dari perokok pasif. Hal berimplikasi pada suatu realitas dimana masyarakat secara serentak memilih menjadi perokok aktif dari pada perokok pasif. Menginagat bahaya yang ditimbulkan lebih sedikit dari pada perokok pasif. Dengan demikian, keuntungan yang besar akan didapat “tangan liar”, yang menurt marx disebut dengan golongan kapitalis atau pemilik modal. Sementara masyarakat akan berada dalam “keterpurukan” yang mendalam berbagai aspek. Pernyataan habermas dan kritiknya terhadap ilmu pengetahuan adalah, bahwa suatu ilmu pengetahuan bisa dikatakan sebagai sesuatu yang obyektif jika tidak berpihak pada kepentingan pribadi, ideology agama, penilaian moral dan masih banyak yang lainnya, yang kesemuanya dapat mempengaruhi kenetralan.

Masyarakat Kritis
Untuk melawan kenyataan ini, Habermas menawarkan satu teori kritis untuk mengubahnya menjadi satu bentuk kegiatan emansipatoris yang mengupayakan perbaikan politik dan sosial. Disini, habermas yang merujuk pada merujuk pada hegel lebih melihat pada satu pekerjaan sebagai kritik yang secara khusus diarahkan kepada akal budi instrumental yang menumpulkan.[2] Masyarakat harus bebas dari belenggu yang mengebiri kehidupan sosialnya.

Melaui teori tentang bahasa, komunikasi dan evaluasi masyarakat, habermas memberi landasan  suatu kerangka normatif demi direalisasikannya minat emansipatoris.  Habermas juga meyakini bahwa bahwa kapitalisme mendorong adanya suatu masyarakat yang berkelas dan mencengkram kehidupan individu. Tetapi habermas lebih meyakini bahwa tidak menyamakan “system yang mengatur dirinya sendiri yang tujuannya menyingkirkan kesadaran anggota masyarakat” dengan dunia kesadaran aksi komunikatif itu lebih penting. Jelasnya, disini, tugas kita adalah membentuk suatu teori yang memungkinkan adanya kejelasan universal.[3] Suatu teori tidak didominasi oleh kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Melaikan untuk kepentingan bersama demi perbaikan kehidupan masyarakat.

Bagi Habermas, kehidupan adalah cakrawala kesadaran yang didalamnya terdapat lingkungan public dan individu. Ini adalah lingkungan pembentukan identitas dan aksi komunikatif. Pada yang terakhir ini habermas memaksudkannya sebagai aksi yang “mengandalkan proses koopreatif dimana para peserta serentak mengaitkan diri dengan suatu dengan suatu yang ada pada sasaran, yang sosial, dan duni subjektif, meskipun dalam satu ujaran mereka hanya secara sitematis menekankan satu segi dari ketiga komponen di atas.”. Habermas memandang, komunikasi adalah aspek terpenting dari semua kegiatan dalam kehidupan para individu bisa mendapatkan pengakuan atas keabsahan semua ujaran mereka, dan struktur semua kehidupan bisa diubah. Hal ini dianggap akan bereaksi balik kesistem sosial yang lebih besar, dan dari sisni menumpuk pertumbuhan rasionalitas instrumental.[4]

Permainan Bahasa
Bahasa menjadi suatu alat komunikasi yang penting dalam kehidupan masyarakat. Bahasa dapat menggerakkan satu sistem sosial kepada sistem sisial yang lain. Karenanya, memahami logika bahasa memang sangat penting agar pemahaman tidak melenceng dari maksud yang hendak disampaikan melaui bahasa itu. Namun demikian, kadangkala bahasa juga dapat penipu sipenerima. Baik karena karena kurangnya pemahaman terhadap bahasa tersebut, ataupun karena bahasa itu yang sengaja dibuat untuk menipu. Artinya, dengan bahasa itu, kadangkala masyarakat sering terjebak dalam ketidaksadaran.

Dalam simeotika, bahasa adalah tanda. Setiap tanda memiliki makna baik denotasi (makna yang sesungguhnya) maupun makna konotasi (makna tersirat). Barthes dalam bukunya Mythology menjelaskan bahwa signifikasi tanda dalam simiotika terdiri atas relasi antara tanda dan maknanya. Barthes kemudian membagi makna konotasi menjadi dua yakni sistem konotasi sendiri dan metabahasa.[5]

Dari sini penulis dapat menyimpulkan bahwa perokok pasif lebih berbahaya dari perokok aktif tak lebih hanya permainan bahasa belaka. dengan kata lain, sebagaimana yang telah penulis paparkan diatas, disini masyarakat diarahkan untuk mengamini bahwa perokok aktif lebih baik dari perokok pasif yang berimplikasi pada suatu realitas dimana masyarakat secara serentak memilih menjadi perokok aktif dari pada perokok pasif. Mengingat, bahaya yang ditimbulkan lebih sedikit dari pada perokok pasif.

Sejarah pun belum pernah mencatat, bahwa penderita TBC, Kangker dan penyakit yang lain yang disebabkan oleh rokok lebih besar dari kalangan perokok pasif dari pada perokok aktif. Justru kebanyakan mereka adalah perokok aktif.  Seperti juga dilansir dari www.tobaccoatlas.org, tembakau telah membunuh 50 juta orang dalam 10 tahun terakhir, dan rokok bertanggung jawab atas lebih dari 15 persen dari semua kematian laki-laki dan 7 persen kematian perempuan (Kompas.com, 23/03/2012). Data ini sedikit bisa  dijadikan bukti bahwa perokok aktif lebih berbahaya dari pada perokok pasif. Pasalnya, harus diakui bahwa pemakainan rokok saat ini lebih didominasi oleh kaum lelaki.



[1] John Lechte, Lima Puluh Filosof Kontemporer, (Pustaka filsafat: Yogyakarta, 2001), hal. 285
[2] Ibid
[3] Ibid. hal. 286
[4] Ibid, hal. 286
[5] Ibid. Diambil dari Roland Barthes, Mitologi, (Jogjakarta: Kreasi wacana, 2009) hlm. 158-162

No comments: