Saturday 20 April 2013

Neo-Modernisme Islam Indonesia


Oleh: Miftahul Arifin
NIM: 104111029

A.         Pendahuluan
Secara sederhana Neo Modernisme dapat diartikan dengan dengan “paham modernisme baru”. Neo-modernisme digunakan untuk memberi identitas baru pada kecendrungan pemikiran islam yang muncul sejak beberapa dekade terakhir sebagai sintesis antara pola pemikiran tradisionalime dan modernisme.[1] Neo-modernisme merupakan tipologi pemikiran islam yang memiliki asumsi dasar bahwa islam harus
dilibatkan dalam pergulatan modernisme.[2] Tetapi, dengan catatan, tanpa harus meninggalkan tradisi lama yang sudah mapan. Dengan cara, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru yang lebih baik[3].
Sebagaimana anggapan paham neo-modernis, paham tradisionalis cenderung terlalu menyatu dengan budaya lokal, bertahan pada produk masa lampau dan sangat selektif dengan gagasan baru. Hal Inilah yang kemudian menyebabkan kecilnya kontribusi paham tradisionali khususnya dalam bidang pemikiran keagamaan.
Dari sini lah kemudian lahirlah paham modernisme. Modernisme merupakan gerakan pembaharuan yang berusaha melawan kemapan paham tradisional. Ciri penting dari paham modernisme adalah usaha pemurnian agama islam dengan memberantas segala yang berbau khurofat dan bid’ah. Paham modern juga ingin melepaskan diri dari ikatan madzhab dan membuka kembali pintu ijtihad.[4] kalangan modern memandang,  hal ini merupakan alternative untuk mengentaskan masyarakat dari kebodohan. Maka tak heran jika bidang garapan yang digalakkan oleh paham ini tidak lepas dari kelembagaan, pendidikan dan keorganisasian.
Namun demikian, apa yang dirancang oleh paham modern ini tidak cukup mampu dan kuat untuk mengatasi problem-problem yang muncul kemudian. Banyak kritik bermunculan. Salah satunya, ia dianggap sebagai paham hanya terbelenggu oleh rutinitas mengolah lembaga-lembaga pembaharuan sehingga kehilangan kesegaran orientasi yang dimiliki.
Menurut Nor Cholish Madjid, slogan paham modernisme, yaitu kembali pada Al Quran dan penentangan terhadap tradisi memiliki efek penolakan atas warisan khazanah islam klasik. Sehingga, lanjut madjid, hal ini lah yang mengakibatkan modernisme kekeringan intelektual.[5]
Atas dasar inilah Neo-modernisme muncul untuk menjembatani kedua paham tersebut. Paham modernisme berpandangan bahwa paham tradisional dan modern sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena itu. Neo-modernisme berusaha menggabungan keduanya. Apa yang baik pada tradisional harus tetap dipegang. Sebaliknya, apa yang baik pada paham modernis dapat dijadikan pijakan.
Modernisme bukan sesuatu yang harus ditolak. Tetapi, dengan modernisme juga, bukan berarti alam pemikiran tradisional harus dikesampingkan. Bahkan, dalam beberapa hal dua pemikiran ini saling seiring dan sejalan.[6]
Dalam Makalah ini penulis hanya akan membatasi pembahan penulis kedalam tiga pokok pembahasan yakni, Munculnya gerakan Neo-modernisme Islam di Indonesia, tokoh neo modernism islam di Indonesia dan Wacana-wacana yang diusung oleh penganut paham neo-modernisme di Indonesia.
B.     Munculnya Gerakan Neo-modernisme Di Indonesia
Makmun Mukmir dalam bukunya Tafsir Neo-Modernis menyebutkan bahwa gerakan neo-modernisme muncul sebagai wujud respon terhadap proses transformasi sosial yang mengalami stagnasi, terutama di picu oleh tiga hal pokok yaitu :
1.      Lambatnya proses transformasi sosial keagamaan yang di capai oleh organisasi pembaharu tradisionalis dan modernis seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai arus Islam di Indonesia.
2.      Menguatnya gerakan idealisme Islam yang memiliki cita cita menjadikan Islam sebagai dasar Negara Republik Indonesia, bahkan dalam bentuk yang lebih ekstrim mereka mencita citakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
3.      Adanya pola perubahan pembangunan di dalam negeri Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan bersama dengan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, geografis dan sebagainya.[7]
C.    Tokoh Neo-modernisme
Istilah Neo-modernisme diperkenalkan oleh oleh Fazlurrahman, seorang tokoh gerakan pembaharuan islam asal Pakistan. Konsep neo-modernisme Fazlurrahman berusaha memahami pemikiran pemikiran islam dan barat secara padu. Karena, bagi Rahman, islam menyimpan nilai-nilai moernitas jika dipahami secara utuh dan menyeluruh. Bukan secara parsial yang justru akan melahirkan sikap eksklusif, jumud, dan intoleran terhadap agama lain.[8]
Selanjutnya, Fazlurrahman membagi dialektika perkebangan pembaharuan islam kedalam empat model gerakan. Pertama, revivalis modernis, yang muncul pada abad ke-18 dan 19, modernism klasik yang muncul pada pertengahan abad 19 dan 20, revivalisme pasca modernis atau neo-fundamentalis dan neo-modernisme itu sendiri. neo modernism Fazlurrhman memiliki karakter utama pengembangan suatu metodologi sistematis dengan melakukan rekonstuksi islam secara total dan tuntas pada akar-akar spiritualnya dan dapat menjawab kebutuhan islam modern secara cerdas dan bertanggung jawab.[9]
Gagasan neo-modernisme Fazlurrahman di atas kemudian menginspirasi tokoh tokoh pembaharus islam di Indonesia, baik secara langsung atau tidak langsung. Pengaruh secara langsung ialah adanya hubungan secara langsung dengan tokoh pembaharu tersebut.  Pengaruh secra tidak langsung ialah dapat melalui buku, majalah, surat kabar atau yang lainnya. Adapun tokoh noe-modernisme yang ada di Indonesia ialah Harun Nasution, Mukti Ali, Norcholis Madjid, munawir Syadzali, Dawa Raharjo, Djohan Efendi, Kuntowijoyo dan Abdurrahman Wahid.
Ahmad Amir Aziz Dalam Bukunya Neo-Modernisme Islam di Indonesia mengatakan, bahwa pemikir-pemikir di atas telah mendapat banyak simpati dari seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya buku-buku mereka yang laku di pasaran. Ide-ide mereka pun, meskipun sering kontroversial, sepat sekali menjadi wacana publik yang mampu menggairahkan semangat intelektualisme.[10]
Menurut Bachtiar, kemunculan neo-modernisme sangat menarik mengingat tokoh-tokohnya telah bersentuhan dan mengalami sosialisasi dengan pemikiran tradisional dan modern sekaligus. Nor Cholis Madjid dan Abdurrahman Wahid, misalnya.
Di satu pihak, Norcholis Madjid mengalami pendidikan pesantren. Di lain pihak, pada masa remaja, ia disekolahkan kepesantren gontor, sebuah pesantren modern. Bahkan ketika ia menjadi mahasiswa, ia menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam, sebuah organisasi indenpenden tetapi relative berafiliasi pada pemikiran modernis.[11] Demikian pula, Abdurrahman Wahid.
D.    Wacana Neo-modernisme
Dalam kontek pemikiran sosial-politik, sebagaimana dikatakan Fachri Ali Bachtiar Efendy,[12] sikap pemikir noe-modernis yang akomodatif terhadap pemikiran modernis dan tradisionalis berpengaruh terhadap cara pandang kaum modernis dalam melihat hubungan islam dan Negara. Hal ini dapat dilihat dari prodak prodak pemikirannya yang mereka usung. Adurrahman Wahid dan Nor Cholis Madjid adalah contohnya.
Adapun tema-tema yang menjadi concern cendikiawan neo-modernisme berkaitan dengan kekuasaan, pluralism agama, islam dan demokrasi dan islam dan universalime.
1.      Islam dan Politik
“Islam Yes, partai Islam No” demikian salah satu ungkapan Norcholis Madjid. Menurutnya, bahwa tidak ada Negara islam. Dalam kaitan islam dan politik, pemikiran neo-modernisme hendak mendamaikan atau menempatkan hubungan harmonis antara cita-cita islam dan Negara.[13]
Pembaharuan Norcholis Madjid merupakan penjelasan lebih halus dari konsep kesesuaian islam dan modernisasi sosio-politik Indonesia kontemporer.[14] Dalam hal ini Madjib merujuk pada pada konstutusi Madinah sebagai contoh dasar keislaman, dimana, ia merupakan dokumen politik pertama dalam sejarah islam yang diperlukan oleh masyarakat madinah pada waktu itu.[15]
Sementara Abdurrahman Wahid mengatakan:
 “Tanpa pancasila Negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas yang akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang Negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan”.
Dari perkataan tersebut, Wahid hendak menempatkan islam tidak secara formal. Tetapi, nilai-nilai islam lah yang harus dipegang sebagai fondasi moral umat islam dalam masyarat majemuk seperti Indonesia.


2.      Islam dan Demokrasi
Neo-modernisme menganggap bahwa tak ada pertentangan antara islam dan demokrasi. Tetapi, mencari kaitan antara keduanya tidak terlalu mudah. Sebab, kalau kita ingat, sejumlah idiologi pernah menyatakn kritik terhadap agama. Misal, hanya dipandang tak lebih sebagai keluh masyarakat tertindas. Sisi positif agama hanya sebagai penenang sementara. Sementara bagi masyarat yang mapan, agama hanya dijadikan legitimasi kekuasaan.[16] Di sisi lain, sebagaimana pandangan ulama dan penguasa politik, bahwa dalam islam tak ada tempat untuk demokrasi. Alasan mereka adalah bahwa demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat. Sementara dalam doktrin islam kekuasaan mutlak berpusat pada kekuasaan tuhan.[17]
Oleh karena itu, Islam dan demokrasi, bagi kalangan neo-modernis, ditafsirkan sebagai sesuatu yang sesuai, tidak ada benturan- dalam arti asalnya. Nor Cholis Madjid berpendapat, salah satu nilai demokrasi adalah egaliter: persamaan. Prinsip egaliter ini adalah prinsip yang terdapat dalam islam. Egalitarianisme dalam islam di sini, ialah adanya kesamaan, keadilan, eksistensi dan demokrasi, prinsip-prinsip musyawarah, perwakilan dan partisipasi, termasuk keadilan hukum yang telah diteapkan sejak zaman Nabi.[18] Analisis Norcholis Madjid yang banyak berdasarkan kepada ayat-ayat al Qur’an, seperti tentang tanggung jawab, musyawarah, keadilan dan lainnnya sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa islam sepanjang ajaran agamanya, tidak menghendaki sesuatu kecuali demi kebaikan bersama.[19]
Sementara Abdurrahman Wahid lebih menekankan pada hubungan fungsional dan simbiotik. Menurutnya, islam adalah  seluruh keimanan umat islam, sementara pancasila harus mewadahi seluruh aspek agama di Indonesia.[20] Menurutnya, nilai demokrasi itu ada yang bersifat pokok dan yang bersifat lanjutan. Adapun nilai pokok itu adalah kebebasan, keadilan dan musyawarah. Kebebsan yang dimaksud adalah kebebasan individu dilam kuasa Negara atau hak individu dan hak kolektif dalam masyarakat. Keadilan memiliki arti bahwa terbukanya peluang bagi warga Negara untuk melakukan apa yang diinginkan. Sementara musyawarah berarti bentuk atau cara pemeliharaan kebebasan dan dan memperjuangkan keadilan itu lewat jalur permusyawaratan.[21] Untuk mencapai keadilan bagi seluruh warga Negara tidak hanya ditentukan sepihak dari pihak pengelola Negara tetapi harus melaui musyawarah dengan masyarakat yang ada. Pemilihan umum merupakan representasi dari sistem musyarawah itu sendiri.
3.      Pluralisme Agama dan Toleransi
Sebagaimana telah diketahui, islam telah merambah keberbagai penjuru. Penyebarnya agama islam tak pelak mempertemukan agama Ibrahim ini dengan agama-agama yang lain. Di Indonesia, agama islam juga tampil ditengah-tengah banyak agama seperti Kristen, katolik, hindu, budha dan yang lainnya.
Pesoalan yang sering kali muncul adalah adanya truth claim terhadap kebenaran masing-masing agama yang menyebabkan terjadinya permusuhan antar agama.
Ada empat pemahaman mengenai pluralisme agama jika dihubungkan dengan kebenaran agama yang menimbulkan klaim kebenaran: pertama, tidak setiap agama memiliki kebenaran karena kebenaran mutlak hanya pada satu agama. Kedua, kebenaran ada pada setiap agama, tapi kebenaran mutlak hanya ada pada satu agama. Ketiga, kebenaran itu ada pada semua agama secara menyeluruh. Keempat, sekalipun kebenaran ada pada masing-masing agama tetapi, pada akhirnya akan menuju pada kebenaran tunggal.  Sementara dari ke empat pemaham di atas yang berkembang di tengah masyrakat adalah pemahaman yang lebih superior-inferior tentang kebenaran agama sehingga truth claim tidak bisa dihindarkan.[22]
Dari sini neo-modernisme islam memiliki pandangan bahwa klaim kebenaran hanyalah sebuah ajaran teologi yang perlu mendapat interpretasi ulang. Tidak ada kebenaran mutlak, sebab kebenaran tunggal hanya ada pada tuhan. Hal ini didasarkan pada pandangan islam bahwa islam merupakan agama universal dan fitrah yang memuliakan manusia.[23]
Pandangan Madjid terhadap pluralisme dan toleransi di dasarkan pada kebenaran ajaran kitab suci dan pengalam tradisi klasik islam, dimana, ada ada kaum menoritas dan mereka bebas dalam melakukan ibadah bebas memeluk agamanya.
Selain itu, islam merupakan agama universal, tidak hanya untuk satu golongan. Hal ini, menurut Madjid dapat dilihat dari kata islam itu sendiri, yaitu sikap tulus dan pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga, Islam bukan lah agama yang berdiri sendiri. Melainkan, ia tampil dalam rangkain agama-agama islam lainnya yang telah berdiri terlebih dahulu.[24]
Sementara Wahid hendak menempatkan islam dalam substansi ajarannya, bukan pada hal yang sifatnya setting sosial. karena itu wahid menyatakan bahwa universalime islam didasarkan pada adanya lima jaminan. Pertama, keselamatan warga negara dari tindakan badani di luar hukum. Kedua, keselamatan keyakinan agama masing masing. Ketiga, keselamatan keturunan. Ke empat, keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum. Kelima, keselamatan profesi (wahid via Anwar, 1995: 233)
4.      Islam dan Universalisme
Menurut neo-modernisme islam, islam dan universalime sangat terkait. Islam tidak menafikan universalime, tetapi tidak juga menolak lokalisme. Keduannya seharusnya menjadi pemahaman islam yang bercorak universal, modern, dan lokal.[25]
Pangan Norcholis madjid mengenai hal ini dimulai dari pengertian tentang islam sendiri. bahwa islam yang  berarti pasrah itu tidak hanya di ajarkan kepada hambanya. Melaikan pada hambanya yang berkaitan dengan dunia manusia. Ia harus tumbuh dari dalam bukan paksaan. Keagamaan yang di dasarkan pada paksaan akan kehilangan dimensinya yang paling mendasar yaitu keikhlasan.[26]
Sementara Wahid mengatakan, universalime islam di dasarkan pada paham kebenaran universal, di mana ajaran islam tidak kemudian mendorongnya untuk memonopoli dan mendominasi. Istilah pribumisasi islam yang dilontarkan oleh wahid adalah istilah yang penting dalam rangka menghadirkan universalitas islam dalam di tengah lokalitas. Lokalitas dalam pandannya tidak sama dengan marjinalisasi atau pembongkaran terhadap substasi islam. Perubahan salam dengan selamat pagi, misalnya. Disini wahid hendak menempatkan universalime islam dari segi substansi bukan pada formalitasnya.[27]
E.     Penutup: Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan di atas dapat disimpulkan kedalam beberapa hal sebagai berikut:
1.    Munculnya Paham Neo-modernisme dilatar belakangi oleh kegelisahan para pemikir islam yang tidak puas dengan pemikiran tradisional dan pemikiran yang diusung oleh pemikir modern.
2.    Di Indonesia, kemunculan neo-modernisme secara khusus dilator belakangi oleh tiga hal; pertama ketidak puasan terhadap produk pemikiran muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’ (NU). Kedua, menguatnya gerakan idealisme islam untuk mendirikan Negara islam. Ketiga, adanya pola pembangunan yang mengutamakan kepentingan bersama tanpa membedakan suku, ras dan agama.
3.    Lahirnya tokoh tokoh neo-modernisme di Indonesia tidak secara mandiri, melainkan mereka terinspirasi dari tokoh timur tengan seperti Fazlurrahman.
4.    Dari kesimpulan yang kedua di atas, maka tidak heran jika wacana-wacana yang diusung oleh neo-modernisme syarat dengan pemaduan antara islam dengan wacana-wacana modern di Indonesia seperti politik, pluralisme, demokrasi, toleransi dan universalime.
Demikian makalah yang singkat ini semoga dapat bermanfaat. Besar harapan penulis untuk dikritik dan diberi masukan sebagai pertimbangan perbaikan untuk penulisan selanjutnya.
Daftar Bacaan
Aziz, Ahmad Amir, Neo Modernisme Islam di Indonesia, (Rineka Cipta: Jakarta, 1999)
Efendy, Fachri Ali Bachtiar, Merambah Jalan Baru Islam, (Mizan: Bandung, 1986)
Mu’min Ma’mun, Tafsir Neo-modernis, (Idea Press: Yogyakarta,  2010)
Qodir Zuli, Pembaharuan Pemikiran Islam, Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006)
Rizem's Archives’ blog,  Neomodernisme Menuju Islam Modernis.htm


                                                                                                                                



[1] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal. 15
[2] Zuli Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam, Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 66
[3] Zuli Qodir, Ibid, hal. 66
[4] Ahmad Amir Aziz, hal, 4
[5] Ahmad Amir Aziz, hal. 7
[6] Zuli Qodir, hal. 67
[7] Ma’mun Mu’min, Tafsir Neo-modernis, (Jogjakarta: Idea Press, 2010), Hal. 6
[8] Rizem's Archives’ blog,  Neomodernisme Menuju Islam Modernis.htm, mengutip Abdul A’la Al-Maududi dalam bukunya “Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, Jejak Fazlur Rahman Dalam Wacana Islam di Indonesia”.

[9] Ahmad Amir Aziz, hal. 16
[10] Ibid hal. 8
[11] Ahmad Amir Aziz, hal. 176
[12] Fachri Ali Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung: Bandung, 1986), hal. 177
[13] Zuli Qodir, hal. 74
[14] Ibid, hal 74
[15] Fachri Ali Bachtiar Effendi, hal. 181
[16] Ahmad Amir Aziz, hal. 63-64
[17] Ibid, hal 64
[18] Zuli Qodir, hal. 84
[19] Ahmad Amir Aziz, hal. 67
[20] Zuli Qodir, hal. 85
[21] Ahmad Amir Aziz, hal. 65-66
[22] Zuli Qodir, Ibid, hal 91.
[23] Ibid
[24] Ahmad Amir Aziz, hal. 51
[25] Zuli Qodir, hal. 96
[26] Ibid, hal 97
[27] Ibid, hal. 99

No comments: