Sunday 1 February 2015

Manusia dan Bayang Ketuhanan: Diskursus teori Rudolf Otto Tentang Yang Kudus

Oleh Miftahul Arifin

Judul dalam tulisan ini bertitik tolak pada kenyataan dimana agama, walau dalam keadaan bagaimanapun akan selalu eksis dalam kehidupan manusia sepanjang zaman. Dimana ada manusia disitulah agama akan tetap hidup menjadi bagian dari padanya. Tak peduli benturan yang menghantam. Modernisasi sebagai tanda dari bangkitnya materialisme tak dapat membendung eksistensi agama. Justru agama akan selalu menjadi pijakan dasar dimana mansia itu hidup. Sadarkah manusia bahwa ia butuh agama? Ya, karena agama berada pada nalar psikologis di dalam alam terdalam dari manusia.

Agama terbentuk dari keyakinan akan kuasa ilahi. Ini lah konsep dasar jika kita kita ingin medikusikan Rodolf Otto. Pertanyaan yang paling mendasar sebelum kita berbicara lebih jauh adalah mengapa manusia tidak bisa lepas dan selalu bergantung pada agama. Banyak sekali para atheis yang tidak mengakui keberadaan agama, lebih-lebih keberadaan tuhan itu sendiri. Namun dalam hal tertentu tanpa di sadari ia akan mengakui akan keberadaan sesuatu diluar dirinya yang lebih kuat ketika dihadapkan pada masalah tertentu yang logika tidak dapat memecahkannya. Salah satu contoh yang paling lekat kita kenal adalah firaun menyeru kepada tuhan pada waktu akan mati tenggelam.

Rudolf Otto dalam hal ini menyebutnya dengan the Holy atau yang “kudus”. Ada kekuatan di dalam diri manusia yang mengendalikan manusia itu sendiri. Agama atau kepercayaan menyatakan bahwa dunia ini dipersiapkan dan bergantung pada penyelenggaraan Ilahi. Ada suatu sisi lain yang tidak tampak pada manusia. Munculnya kesadaran dalam diri manusia mengandaikan suatu keterbukaan akal budi manusia pada kenyataan.

Rudollf Otto mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada struktur apriori yang dapat memahami terhadap keberadaan tuhan. Nah, keterbukaan itu lah yang menjadi dasar mengapa orang beragama. Untuk tahapan selanjutnya, keyakinan ini diungkapkan dalam berbagai kegiatan religius seperti doa dan ibadat. tuhan menjadi dasar dan tujuan setiap agama dan kepercayaan.

Pengalaman hidup menjadi titik tolak hidup religius atau beragama. Tidak hanya sekarang orang-orang menghadapi kenyataan hidup yang tidak dapat ditangkap secara rasional. yang terjadi karena adalah melampaui daya nalar manusia. Misteri tersebut tidak sama dengan teka-teki. Ia adalah misteri besar yang tidak pernah dimengerti, namun tidak dapat disangkal kebenarannya dalam pengalaman manusia.

Perasaan Nominous
Rudolf Otto mengatakan mengapa rasa dalam diri manusia hingga ia tidak bisa lepas dari agama. Hal tersebut di sebabkan oleh adanya perasaan numininous. Perasaan numinous bersifat irrasional, tersembunyi dan membentuk suatu keadaan psikologi yang pali dasar dalam jiwa. Perasaan nominuos berbeda dengan perasaan yang mungkin membingungkan.
Perasaan nominuos yang memiliki ciri rasionalitas menunjukkan bahwa setiap pengalaman religius tidak bisa dikonsepkan, tidak dalam rasionalitas, tetapi dipahami walau demikian adanya. [1] ada dua aspek dalam perasaan nominous: pertama, perasaan takut yang religius yang kemudian disebut dengan tremendum. Kedua, perasaan terpesona yang kemudian disebut dengan fascinans.

Dalam hal tersebut, keberadaan yang kudus atau yang ilahi merupakan misteri. ia serentak tampak sebagai kekuatan yang menakutkan dan mengagumkan. Hal itu terjadi karena Ia berlainan sama sekali dari manusia. [2] Sedangkan perasaan Numinous yang menampakkan diri memunculkan perasaan gentar/takut dari manusia terhadap-Nya.

Menurut Otto, rasa takut dan gentar yang terdapat dalam jiwa manusia bukanlah bersumber dari murka Yang Ilahi melainkan realitas Yang Kudus, yang tidak dapat dimasuki. Yang Kudus itu dialami sebagai sesuatu yang berkuasa atas segala sesuatu. Ia tampak sebagai yang mulia. Di hadapan kemuliaan Yang Kudus tersebut, kita hanya bisa sujud dan hormat karena kita merasa lemah dan kecil.[3]

Namun demikian, meskipun Yang Kudus melebihi manusia dan berada di luar lingkup yang biasa, Ia tidak dialami sebagai yang asing. Manusia dapat mengenal dan mengerti serta merasa dekat dengan-Nya. Secara tidak rasional  yang kudus dialami sebagai sesuatu yang menarik. Yang Kudus dilihat sebagai suatu wujud yang penuh kebaikan, kegaiban, belas kasihan, dan rahmat. Rasa kagum dan terpesona tersebut mendorong manusia untuk menjalin relasi yang akrab dengan-Nya.

Yang Kudus
Menyebut beragama berarti menyembah kekuatan-kekuatan yang diyakini lebih tinggi dari hidup, karena menguasai hidup atau sebagian dari hidup. Dalam beragama secara demikian, orang zaman purbakala bukan hanya mengungkapkan keyakinan tentang adanya yang maha tinggi, melainkan juga tentang manusia dan tentang alam yang menjadi ungkapan hidup manusia.[4]

Berbicara tentang yang kudus maka sangat luas cakupannya. Akan tetapi dalam kontek pengertian yang umum, Yang Kudus dapat dipahami ke dalam dua pemahaman: pemahaman  dalam arti luas dan dalam arti sempit. Secara luas yang kudus adalah sesuatu yang terlindung dari pelanggaran, pengacauan atau pencemaran. Dalam pengertian yang sempit, Yang kudus hanya dilihat dalam konteks agama. Yang Kudus dilihat sebagai sesuatu yang suci dan keramat.[5]

Dalam pengertian yang lebih luas juga, Yang Kudus dipahami sebagai sesuatu yang dihormati, dimuliakan, dan tidak dapat dinodai. Maka, yang kudus tidak hanya terbatas pada agama tetapi banyak objek, baik yang bersifat keagamaan maupun bukan.

Maka, sejatinya apa yang dikatakan oleh kalangan atheis bahwa ia tidak butuh terhadap tuhan ataupun agama dipenuhi dengan keegoisan dan hanya eksistensi belaka agar ia dikenal oleh orang. Sebenaranya, di dalam kedalaman hati mereka mengakui adanya kekuatan diluar dirinya yang setiap waktu mendampingi dan mengendalikannya.





[1] http://kelanajiwa.wordpress.com/about/mengapa-manusia-butuh-tuhan/
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Theo Huijbers, Manusia Mencari Allah: Suatu Filsafat Ketuhanan (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 268.
[5] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 87.

No comments: