Sunday 1 February 2015

Membincang Kemukjizatan Al Qur'an

Oleh: Nikmatul Inayah
Mahasiswi Akidan dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang

A. Pendahuluan

Dunia yang lapang ini yang dipenuhi oleh makhluk-makhluk, gunung-gunung besar menjulang tinggi, laut besar dan ombak, semua itu tidak berdaya berhadapan dengan manusia. Demikianlah kepada manusia ini diberikan beberapa keistimewaan. Diantaranya yaitu diberinya kemampuan berfikir, yang dipergunakan untuk membukakan rahasia unsur-unsur kekuatan yang tersembunyi di alam ini semuanya ini dijadikan untuk berkhidmat kepada manusia.[1]

Allah sama sekali tidak akan menelantarkan manusia, tanpa memberikan kepadanya sebersit wahyu, dari waktu ke waktu, yang membimbingnya ke jalan petunjuk sehingga mereka dapat menempuh liku-liku hidup dan kehidupan ini atas dasar keterangan dan pengetahuan.[2]

Kepada Rosulullah diturunkan wahyu, dan dikuatkan dengan mu’jizat yaitu perbuatan luar biasa dalam menegakkan hujjah bagi Rosul itu sendiri terhadap seluruh umat manusia. Sehinggga orang-orang yang berada di hadapan Rosul itu mengakui bahwa dia lemah. Mereka menganut agama yang dibawa oleh Rosul ini dan patuh mengikuti perintah dan larangannya. Tapi akal manusia itu dalam perkembangannya     permulaan tumbuhnya itu tidak melihat satu juapun. Di sini manusia berpedoman pada kata hati lebih kuat daripada mu’jizat segala yang ada di alam ini. Ada hal-hal yang dapat dirasakan oleh kata hati, namun tidak terjangkau  oleh otak manusia memikirkannya.untuk memecahkan masalah ini maka oleh Allah diutusnya seorang Rosul.[3]

B. Pembahasan
1. Pengertian I’jaz

I’jaz berarti menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari kemampuan. Apabila kemu’jizatan telah terbukti , maka nampaklah kemampuan mu’jiz. Yang dimaksud dengan I’jaz dalam pembicaraan ini ialah menampakkan kebenaran nabi dalam pengakuannya sebagai seorang rosul dengan menampakkan kelemahan orang arab untuk menghadapi mu’jizatnya yang abadi, yaitu Qur’an, dan kelemahan-kelemahan generasi sesudah mereka. Dan mu’jizat adalah sesuatu hal luar biasa yang disertai tantangan dan selamat dari perlawanan.[4]

2. Aspek-aspek kemu’jizatan Qur’an
Secara khusus kemu’jizatan al-Qur’an terbagi menjadi dua aspek yaitu:
a.  Hal-hal yang berhubungan dengan metode-metodenya yang bersifat retorik. Yaitu tergambari dalam susunan kata-kata dan rangkaiannya, yang tersusun di dalam susunannya yang kokoh dan gemanya yang musical. Contoh: والصبح إدا تنفس " dan demi subuh apabila fajarnya telah menyingsing” (attakwir:18)
Kata tanaffas tidak mungkin jika ditempati dengan kata lain, karena tanaffas (menyingsing) mencakup 3 pengertian
·       Kehidupan.
·       Gerakan dan kontinuitasnya .
·       Terjadinya kehidupan itu sedikit demi sedikit.
b. Hal-hal yang berhubungan dengan metode-metodenya yang bersifat saintis. Yaitu mengupas kumpulan ayat-ayat yang menjelaskan bagaimana al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang berkaitan denagn pertumbuhan alam, penciptaan manusia dan alam-alam secara keseluruhan dan bagaiamana ia menuntut kepada kita agar memikirkan dan mempertimbangkan mengenai rahasia-rahasia dan hikmahnya.[5]

Secara umum kemu’jizatan Al- Qur’an terbagi menjadi beberapa aspek yaitu:
Ø Abu Ishaq Ibrahim an-Nizam dan pengikutnya dari kaum syiah seperti al-Murtada berpendapat, kemu’jizatan al-Qur’an adalah dengan cara sirfah pemalingan). Arti sirfah dalam pandangan an-Nizam adalah bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menantang Qur’an padahal sebenarnya mereka mampu menghadapinya. Maka pemalingan inilah yang luar biasa (mu’jizat)……
Ø Satu golongan ulama’ berpendapat, Qur’an itu mu’jizat dengan balaghohnya yang mencapai tingkat tinggi dan tidak ada bandingnya.
Ø Segi kemu’jizatan Qur’an itu  ialah karena ia mengandung badi’ yang sangat unik dan berbeda dengan apa yang telah dikenal dalam perkataan orang arab, seperti fasilah dan maqta’.
Ø Kemu’jizatan Qur’an itu terletak pada pemberitaannya tentang hal-hal gaib yang akan datang yang tak dapat diketahui kecuali dengan wahyu, dan pada pemberitaannya tentang hal-hal yang sudah terjadi sejak masa penciptaan makhluk, yang tidak mungkin dapat diterangkan oleh seorang ummi yang tidak  pernah berhubungan dengan ahli kitab.
Ø Qur’an itu mu’jizat karena ia mengandung bermacam-macam ilmu dan hikmah yang sangat dalam.[6]

3. Kadar kemu’jizatan Qur’an  

a.  Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa kemu’jizatan itu berkaitan denagn keseluruhan Qur’an bukan dengan sebagiannya atau dengan setiap surahnya secara lengkap.
b.  Sebagian ulama’ berpendapat, sebagian kecil atau sebagian besar dari Qur’an, tanpa harus satu surah penuh, juga merupakan mu’jizat, berdasarkan firman Allah: “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Qur’an…” (at-Tur:34).
c. Ulama’ lain berpendapat, kemu’jizatan itu cukup hanya dengan satu surah lengkap sekalipun pendek, atau dengan ukuran satu surah, baik satu ayat atau beberapa ayat.[7]

4. Cara memahami kemu’jizatan Qur’an

a. Kepribadian Nabi Muhammad Saw

Membuktikan kebenaran seorang nabi tidak harus melalui mu’jizat yang dipaparkannya tetapi juga dapat dibuktikan dengan mengenal kepribadian, kehidupan keseharian, akhlaq dan budi pekertinya bahkan juga air mukannya. Imam Al-Ghozali dalam konteks ini menekankan bahwa apabila kita merasa ragu terhadap seseorang apakah dia anbi atau bukan, tidak mungkin keraguan itu berubah menjadi keyakina, kecuali jika kita mengetahui keadaannya, baik denagn melihat secar langsung maupun mendengar beritanya melaului penyampaian sjumlah orang yang menurut adat mustahil mereka berbohong. Atau jika itu tidak dapat, bisa juga dengan mempelajari ucapan-ucapannya.[8]   

b. Kondisi masyarakat saat turunnya Al-Qur’an

Al-Qur’an menamai masyarakat Arab sebagai masyarakat ummiyyin. Yaitu bentuk jamak dari kata ummiy.yang terambil dari kata umm yang arti harfiahnya adalah ibu dalam arti bahwa seorang ummiy adalah yang keadaannya sama dengan keadaan pada saat dilahirkan ibunya dalam hal kemampuan membaca dan menulis. Sebagaimana dalam hadis: “ kami umat yang ummiy, kami tidak pandai menulis, tidak juga pandai berhitung. Bulan, begini, begini, begini ( beliau menggunakan jari-jari kedua tangannya untuk mengisyaratkanangka dua puluh Sembilan atau tiga puluh hari).

Kelangkaan alat tulis menulis dan ketidakmampuan menulis mengantarkan mereka untuk mengandalkan hafalan. Kemampuan menghafal pada akhirnya menjadi tolok ukur kecerdasan dan kemampuan ilmiah seseorang, sehingga tidak heran jika pentyair yang bernama Zurrumah meminta seseorang yang mendapatinya sedang menulis, umtuk tidak memberitahukan kepada orang lain tentang kemampuannya menulis. Dia berkata “sesungguhnya kemampuan menulis di klangan akmi adalah aib”[9]

Masyarakat Arab ketika itu juga tidak mahir berhitung.bahkan seperti yang di tulis Az-Zarkhasyi dalam Al-Burhan, bahasa arab memperkenalkan apa yang dinamai wawu atas-tsamaniyah yaitu huruf wawu yang digandengkan denagn angka delapan. Karena angka yang yang sempurna bagi mereka adalah tujuh (seperti sepuluh bagi kita).  Karena itu, angka tujuh bagi mereka bukan saja berarti bilangan yang diatas enam dan di bawah delapan, melainkan juga berarti banyak.    

Selain itu masyarakat Arab juga memiliki pengetahuan antara lain dalam bidang:
a. Astronomi penggunaan bintang untuk penunjuk jalan atau mengetahui jenis musim.
b. Meteorologi, untuk mengetahui keadaan cuaca dan turunnya hujan.
c. Sedikit tentang sejarah umat sekitarnya.
d. Pengobatan berdasarkan pengalaman.
e. Perdukunan dan semacamnya.
f.  Bahasa dan sastra.[10]

c. Masa dan cara kehadiran al-Qur’an

a. Kehadiran wahyu al-Qur’an di luar kehendak Nabi Muhammad Saw.

Nabi Saw tidak jarang membutuhkan penjelasan pada sesuatu yang sedang dihadapinya tetapi penjelasan bagi sesuatu yang sedang dihadapinya tidak kunjung datang.

Setelah sepuluh kali menerima wahyu tiba-tiba wahyu terputus kehadirannya sehingga orang-orang musyrik mekkah mengejek beliau dengan berkata: “Tuhan telah meninggalkan Muhammad dan membencinya”. Kegelisahan beliau berakhir ketika turun wahyu kesebelas “ Demi adh-dhuha, dan malam ketiak hening. Tuhanmu tidak meninggalkan kamu dan tidak pula membencimu. (Adh-Dhuha: 1-3).

Demikian terlihat bahwa wahyu adalah wewenang Tuhan sendiri. Walaupun keinginan Nabi Saw. meluap-luap menantikan kehadirannya, jika Tuhan tidak menghendaki, wahyu tak akan datang. Ini membuktikan bahwa wahyu bukan merupakan hasil perenungan atau bisikan jiwanya.[11] 
  
b. Kehadirannya secara tiba-tiba.

Ø Sahabat Nabi, Ibnu Mas’ud berkata,” suatu ketika aku berjalan bersama Nabi Saw. Di kota Madinah.

Beliau bertelekan tongkat, dan berjalan melalui sekelompok orang-orang Yahudi. Sebagian mereka berkata dengan sebagian yang lain.’seandainya kalian bertanya kepadanya (menguji Muhammad).’ Maka mereka berkata kepada Nabi, ‘Sampaikanlah kepada kami tentang ruh!’ maka sejenak beliau berhenti dan mengangkat kepalanya. Ketika itu aku sadar bahwa beliau sedang menerima wahyu, demikian sampai selesainya wahyu lalu beliau membaca ‘kulir-ruhu min amri Rabbiy wama utiitum minal ‘ilmiilla qaliila’.

Ø Jawaban al-Qur’an menyangkut ruh yang datang secara spontan lima belas abad yang lalu, masih tetap relevan dan amat ilmiah hingga saat ini. Walaupun kehadirannya datang secara tiba-tiba, ditemukan bahwa redaksinya sangat indah, teliti dan kandungannya amat kaya dan jitu. Melebihi keindahan dan ketelitian hadis-hadis beliau sendiri yang sesungguhnya di bawah “kekuasaan” beliau untuk mengucapkan atau tidak mengucapkannya dan untuk memikirkan susunan redaksinya.

Bahwa beliau tidak sepenuhnya menguasai diri ketika wahyu datang dijelaskan oleh sahabat Ubadah bin Ash-Shamit yaitu tampak perubahan padaair muka beliau, tunduk kepala beliau dan sahabat di sekitarnyapun menundukkan kepala.[12]

c. Ayat-ayat Teguran
Teguran –teguran kepada Nabi Saw. yang ditemukan dalam Qur’an ada yang keras dan tegas dan ada pula yang ringan lagi halus. Contohnya adalah:
v  Suatu ketika Nabi Saw. Sedang berkumpul bersama pemuka-pemuka musyrik di makkah untuk menjelaskan ajaran Islam kepada mereka. Tiba-tiba datang seorang buta Abdullah bin Ummi Maktum sambil bersuara keras “Muhammad, Muhmmad ajarkanlah aku sebagian yang diajarkan Tuhan kepadamu.” Kemudian muka Nabi kusut dan berpaling tidak menghiraukan kedatangannya. Sikap ini dinilai oleh Allah tidak wajar yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw., dan karena itu turun teguran Tuhan yang diabadikan oleh Al- Qur’an, yakni dalam firmanNya Qs. Abasa: 1-12) 
v  Dalam peperangan badar, Nabi membicarakan sikap yang harus diambil dalam menghadapi para tawanan perang. Umar bin Khotob mengusulkan agar mereka dibunuh, tapi Abu Bakar  mengusulkan agar mereka dimaafkan atau dibebaskan dengan tebusan. Nabi memilih ini. Namun Tuhan menegur beliau di dalam firmanNya:
“Tidak wajar bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya dimuka bumi. Kami menghendaki harta duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untuk kamu).dan Allah maha perkasa lagi maha bijksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar, karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah dari sebagian ramasan perang  yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. (Al-Anfal:67-69)
Adakah seorang pemimpin yang rela kesalahan-kesalahannya dipaparkan bahkan diabadikan dalam catatan resmi. Di sini Al-Qur’an telah mengabadikan hal itu, karena al-Qur’an memang bukan karangan Muhammad Saw.    
Di dalam Qur’an surat Al-Anfal ayat 67-69 terdapat uraian yang silih berganti antara kecaman, ancaman, dan pengampunan, serta anugrah itu tidak mungkin muncul dari diri seorang manusia yang sedang diliputisuatu kondisi tertentu. Bisakah berhimpun antara kesenangan dan kesusahan, amarah dan cinta, kecaman dan pujian dalam saat yang sama. Kalaupun bisa, pasti yang kedua menghapus yang pertama, tapi disini keduanya ditampilkan bersamaan. Hal ini membuktikan bahwa Qur’an bukan hasil karya Nabi. [13]

5. Bukti- bukti kemu’jizatan al-Qur’an  

a. Bahasa
Sastranya yang unik dalam susunan, kata-kata,  gaya bahasa dan dalam menyalah aturan-aturan orang Arab dalam fashohah dan sastra mereka yang mereka banggakan keunggulannya, karena al-Qur’an bukanlah syair, prosa ataupun sajak tetapi karena ia adalah metode yang berdiri sendiri  dalam keindahan ungkapan-ungkapannya yang segar menawan, konteks-konteks pengertian-pengertiannya yang tinggi yang orang Arab sebelumnya belum pernah menjumpai yang sepadan sehingga para sastrawan mereka selalu tidak mengetahui dari aspek apakah al-Qur’an menguasai akal mereka.[14]

Rosulullah meminta orang arab menandingi Qur’an dalam uslub umum yang meliputi orang arab sendiri dan orang lain, manusia dan jin. Dengan tantangan yang mengalahkan mereka.[15]

Rosulullah telah meminta orang arab menandingi Qur’an dalam tiga tahapan:
v    Menantang mereka dengan seluruh Qur’an dalam uslub umum yang meliputi Orang arab sendiri dan orang lain, manusia dan jin, dengan tantangan yang mengalahkan kemampuan mereka secara padu melalui firman-Nya dalam Qur’an surat al-Isra’: 88.
v    Menantang mereka dengan sepuluh surah saja dari Qur’an (Qs. Hud:13-14).
v    Menantang mereka dengan satu surah saja dari Qur’an (Qs. Yunus:38 & al-Baqoroh:23).[16]

Al-Qur’an, dimana orang Arab tidak mampu menandinginnya. Jalinan huruf-hurufnya serasi, ungkapannya indah, uslubnya manis, ayat-ayatnya teratur serta memperhatikan situasi dan kondisi dalam berbagai macam bayannya.

Demikian pula kemu’jizatan ditemukan dalam sifatnya yang dapat memuaskan akal dan menyenangkan perasaan. Qur’an dapat memenuhi kebutuhan jiwa manusia, pemikiran maupun perasaan, secara sama dan berimbang. Kekuatan pikir tidak akan menindas kekuatan rasa dan kekuatan rasapun tidak akan pula menindas kekuatan pikir.

b. Al-Qur’an mengandung banyak kisah-kisah para Nabi, para Rosul dan berita-berita tentang umat-umat terdahulu dengan segala keadaan mereka melalui ungkapan yang sesuai dengan hal-hal yang benar dan dikonfirmasikan yang ditegaskan dalam kitab-kitab Yahudi dan Nasrani sebagai ahli kitab, padahal Nabi Saw tumbuh sebagai seorang yang ummi, tidak bisa membaca dan menulis.

c. Al-Qur’an juga menyebutkan tentang persoalan-persoalan yang akan terjadi pada masa yang akan datang dan kejadiannya secara praktis sudah benar-benar terjadi.

d. Keagamaan yang dikandung oleh al-Qur’an yang bangsa Arab sama sekali belum mengetahuinya seperti akidah tauhid, beriman kepada yang gaib, hari kiamat hari perhitungan dan pembalasan perbuatan manusia, surga, neraka dan malaikat serta masalah-masalah lain yang khusus berkenaan dengan perundang-undangan. 

e. Allah mengumpulkan dalam ayat-ayat banyak penjelasan-penjelasan yang mengandung realitas-realitas ilmiah yang mempunyai tujuan akhir di dalam akar dan tipikal mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kosmos, apa yang datang tentang penciptaan manusia dan perkembangannya baik dalam fisik maupun akal, kemudian tentang tumbuh-tumbuhan, hewan dan serangga-serangga.

f. Al-Qur’an dari sejak diturunkan sampai sekarang tidak nampak dalam teks-teks, pengertian-pengertian atau dalam rumusan-rumusannya suatu noda, kontradiksi atau kekacauan mengenai kehidupan dunia dengan segala seluk beluknya yang diungkapnya.[17]     

C. Kesimpulan

Al-Qur’an adalah undang-undang  yang sempurna mengatur kehidupan manusia dalam bentuk yang lebih baik dan lebih tinggi nilainya. Dan melindungi peraturan-peraturan lain berkaitan dengan tidak mampu ditandingi oleh ilmu pengetahuan dan oleh bahasa untuk selama –lamanya. Tidak seorangpun yang membantah bahwa Al-Qur’anlah yang membuat berita-berita di alam ini bukan sejarah.    

Referensi
Qathan, Mana’ul, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, terj. Halimuddin, Jakarta:PT Rineka Cipta, 1995

al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir, Bogor: Pustaka Lintera anatar Nusa, 2009

Ibrahim, Muhammad Ismail, Sisi Mulia Al-Qur’an, terj. Aly Abu Bakar Basalamah, Jakarta: Rajawali, 1986

Shihab, M. Quraish, Mukjizat Al-Qur’an, PT Mizan Pustaka: Bandung, 2007





[1]  Mana’ul Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, terj. Halimuddin, Jakarta:PT Rineka Cipta, 1995, hal: 68
[2]  Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir, Bogor: Pustaka Lintera anatar Nusa, 2009, hal:369
[3] Halimuddin, hal: 68-69
[4]  Mudzakir, hal: 371
[5] Muhammad Ismail Ibrahim, Sisi Mulia Al-Qur’an, terj. Aly Abu Bakar Basalamah, Jakarta: Rajawali, 1986,,hal:25-28
 [6] Mudzakir, hal: 375-377
[7] Ibid, hal: 378 -379
[8] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, PT Mizan Pustaka: Bandung, 2007, hal: 67
[9] Ibid, hal: 74-75 
[10] Ibid, hal: 75-76
[11] Ibid, hal:77-79
[12] Ibid, hal: 84-85
[13] Ibid, hal: 80 - 83
[14]  Muhammad Ismail Ibrahim, hal: 20
[15] Ibid, hal: 371
[16] Ibid, hal:372
                [17] Ibid, hal:20-25

No comments: