Sunday 1 February 2015

Kontribusi Penting Hermeneutika dalam Penafsiran Al-Quran

Oleh Umi Daris Salamah
Mahasiwa Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang

Pendahuluan          
Sebagai masyarakat agama, umat islam disebut sebagai masyarakat dengan peradaban teks ( hadlarat al-nash ) [1]. Struktur kehidupannya diletakkan di atas landasan teks, seperti Al-Qur’an, Hadist, juga Kitab- Kitab fiqh, tafsir, teologi, dan sebagainya. Tapi yang menjadi problem adalah semakin lama teks itu menjadi “ berhala “ dalam artian, teks itu mengalami saklarisasi, tidak hanya pada Al-Qur’an maupun Hadist, tetapi berlaku juga terhadap teks-teks tersier, seperti kitab tafsir Qur’an, tafsir Hadist, kitab fiqh, teks-teks hasil pemikiran keagamaan orang-orang terdahulu. Yang mengantarkan pada kungkungan skriptualisme yang cenderung fundamentalistik dan radikal.  


Dewasa ini, muncul upaya-upaya untuk mengaplikasikan hermeneutika sebagai metode tafsir al-Quran menggantikan metode yang telah dirumuskan oleh para ulama. Namun tentu saja, ide tersebut harus ditelaah dan dikritisi. Makalah ini akan mambahas tentang peran hermeneutika dalam peafsiran al-Qur’an

Hermeneutika
Hermeneutika berasal dari bahasa yunani hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’[2]atau mengartikan, menerjemahkan, bertindak sebagai penafsir. Maka, kata benda hermeneia secara harfiyah bisa di artikan dengan penafsiran atau interpretasi. Dalam mitologi Yunani, dikenal dengan yang namanya Hermes. Tokoh yang mempunyai tugas menyampaikan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olimpus dengan bahasa manusia. Dia berperan sebagai penafsir kehendak dewa ke dalam bahasa manusia. Dia digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan Mercurius dalam bahasa latinnya. Mulai saat itu, hermes disebut sebagai symbol seorang duta yang mendapat beban berupa misi tertentu. Berhasil atau tidak misi tersebut tergantung bagaimana penyampaian pesan tersebut.

Menurut Richard E. Palmer Dalam proses penafsiran atau penerjemahan terhadap pesan-pesan Tuhan mengandung tiga makna hermeneutis yang mendasar. Pertama, mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih berada dalam pikiran melalui kata-kata (utterance, speaking) sebagai medium penyampaian. Kedua, menjelaskan secara rasional (interpretation, explanation) sesuatu yang sebelumnya masih samar-samar sehingga maksud dan maknanya dapat dimengerti. Ketiga, menerjemahkan ( translating ) suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa yang lain yang dimengerti oleh pendengarnya. Baik dalam bahasa Yunani ataupun bahasa Inggris , tiga pengertian Hermeneutika diatas kemudian dirangkum dalam pengertian “ penafsir “. Hal ini karena segala sesuatu yang masih membutuhkan pengungkapan secara lisan, penjelasan yang masuk akal, dan penerjemahan bahasa pada dasarnya mengandug proses “ memberi pemahaman “ atau dengan kata lain menafsirkannya.[3]

Dalam hal ini Richard E. Palmer juga mamberikan peta hermeneutic sebagai berikut:
1.     Hermeneutic sebagai teori penafsiran kitab suci
2. Hermeneutic sebagai sebuah metode filologi. Dimulai dengan rasionalisme dan hal-hal yang berhubungan dengannya.
3.  Hermeneutic sebagai ilmu pemahaman linguistic
4. Hermeneutic sebagai fondasi ilmu kemanusiaan. Kerangka dalam bentuk di awali oleh Wilhelm Dilthey. Hingga di akhir perkembangan pemikirannya, ia berusaha menggunakan psikologi dalam memahami dan menginterpratisasikan.
5. Hermeneutic sebagai fenomena das sein dan pemahaman eksistensial.
6. Hermeneutic sebagai system penafsiran,[4]    

Kalangan ilmuan klasik dan modern telah sepakat tentang pengertian hermeneutic. Yaitu sebagai proses mengubah sesuatu dari situasi ketidak tahuan menjadi mengerti. Pengertian tersebut merupakan peralihan dari sesuatu yang abstrak, ke dalam ungkapan yang jelas dengan bentuk bahasa yang mampu di pahami manusia[5]

Pada dasarnya hermeneutic berhubungan erat dengan bahasa. Kita berbicara dengan bahasa, kita berpikir melalui bahasa, kita menulis juga dengan behasa, bahkan seni yang tidak menggunakan suatu bahasapun, berkomunikasi dengan seni lain dengan bahasa. Melalui bahasa kita berkomunikasi tetapi melalui bahasa pula kita bisa salah paham dan salam tafsir. Arti atau makna dapat kita peroleh tergantung dari banyak factor: siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat, atau situasi yang mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa. Sebagai contoh, pemahaman dan penafsiran pada anak terhadap kata-kata, sedikit banyak tergantung pada latar belakang anak itu sendiri. Arti dari suatu istilah antara orang yang tinggal di pedesaan terkadang berbeda dengan orang perkotaan, sekalipun istilah yang mereka gunakan sama persis.

Hermeneutika adalah cara baru untuk “ bergaul” dengan bahasa. Bila “ mengerti “ selalu dikaitkan dengan bahasa, maka bahasa juga membatasi dirinya sendiri. Kita meyadari hal ini, namun semua buah pikiran kita harus di ungkapkan dengan bahasa yang ada sesuai aturan tata bahasanya yang berlaku. Kita harus menyesuaikan diri dengan kupasan-kupasan linguistic dan terpaksa pula mengadakan pembaharuan yang relative sangat kecil kemugkinannya. [6]

Fungsi Hermeneutika
Sebagai teknik untuk memperoleh pemahaman yang benar, hermeneutika berguna dan berfungsi untuk :
a.       Membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks.
Bahasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktifitas hermeneutika. Lingkup bahasa yang membantu hermeneutika dapat mencakup masalah bahasa, makana kata, masalah semantik, semiotik, pragmatik, masalah expression dan indikation serta masalah logika yang terkandung dalam teks.

b.      Membantu mempermudah menjelaskan teks, termasuk teks kitab suci.
Membantu mengandaikan hubungan teks dengan waktu, hubungan teks dengansituasi atau lingkungan di mana teks disusun. Masalah lain adalah masalah teks dengan teks yang lain yang sudah ada dan sudah didiskusikan tema tertemtu. Masalah ini memunculkan persoalan mengenai ciri khas yang membedakan seorang pengarang dengan pengarang yang lain yang membahas tema yang sama.

c.       Memberi arahan untuk masalah yang terkait dengan hukum.
Poin ini menjelaskan bahwa penafsiran terhadap teks  hukum dapat dilakukan secara hermeneutika bagi mereka yang memiliki dasar dan penguasaan terhadap masalah hukum. Sedangkan analisis hukum atau teks hukum tetap diambil dari kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam tradisi hukum islam. [7]

Aliran-aliran Hermeneutika
Joseph Bleicher di dalam bukunya membagi hermeneutika kontemporer menjadi tiga aliran; yaitu :
ü  Hermeneutika teori (Hermeneutical Theory)
ü  Hermeneutika Filsafat( hermenneutic Philoshophy )
ü  Hermeneutika kritik (Critical hermeneutics)[8]

Hermeneutika teori menfokuskan perhatian pada masalah teori umum penafsiran sebagai sebuah metodologi untuk ilmu-ilmu tentang manusia termasuk ilmu sosial. Hermeneutika teori menempatkan hermenetik dalam ruang epistimologi, yakni, hermenetik di tempatkan sebagai metode penafsiran terhadap pemikiran orang lain. Betti mengharapkan pemikiran orang lain ( the mind of other) dapat dipahami seobyektif munkin. Oleh aliran ini hermenetik diupayakan akan menemukan fondasi yang dibutuhkan bagi penelitian ilmiyah. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Schleiermacher, Droysen, Dilthey dan Emilio Betti.

Hermeneutika Filsafat justru menolak upaya menemukan fondasi dan kemungkinan diperoleh pemahaman yang obyektif melalui proses atau metode penafsiran. Pokok pandangan Hermeneutika Filsafat ini menyatakan bahwa ilmuwan atau penafsir berada dalam ikatan sebuah tradisi yang membuatnya telah memiliki pre understanding (pemahaman awal), terhadap obyek yang dikaji dan dengan demikian dia tidak berangkat dari pikiran yang netral. Hermeneutika Filsafat tidak bertujuan untuk mencapai pengetahuan yang obyektif tetapi bertujuan hendak menjelaskan fenomena Human Desain. Tokoh-tokohnya adalah Heidegger, Gadamer, Ricoeur.

Hermeneutika Kritik lahir lahir dari latar belakang dua aliran diatas. Habermas melihat dua aliran Hermeneutik yang ada, tidak mempertimbangkan faktoh extra linguistic sebagai kondisi yang punya pengaruh terhadap pemikiran atau perbuatan seseorang, misalnya, tekanan ekonomi yang dirasakan berat, berpengaruh pada temperatur seseorang dan ini berpeluang menjadi faktor eksternal yang berpengaruh pada tata pikir dan prilaku seseorang. Hermeneutika Kritik sering dikaitkan  sebagai cara pandang kaum idealis yang memiliki tingkat kesadaran yang mencapai level tertentu dalam menganalisis secara kritis kondisi politik, ekonomi, dan budaya namun tetap mendasarkan diri pada data atau bukti-bukti materiel yang memadahi, dan mereka memiliki kasadaran melakukan pembebasan seperti model psikologis

Penerapan Hermeneutik
Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermenetik adalah ilmu tafsir kitab suci. Seperti injil, taurot, kitab-kitab veda, Upanishad. Dikatakan bahwa awal kemunculan hermeneutic banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dengan kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia. Model ini dikenal dengan ilmu tafsir kitab suci.[9]

Hermeneutic tidak hanya mutlak milik kaum penafsir Kitab Suci, ia berkembang  pesat dalam pelbagai disiplin keilmuan yang luas. Kajian tentang ini juga dilakukan pada teks-teks klasik Yunani dan Romawi. Bentuk kajian hermeneutic seperti diatas mulai  berkembang pada abad 17 dan 18.[10] Di kalangan ilmuan gereja yang terlibat dalam debat mengenai otentitas Bibel mulai menggunakan Hermeneutika. Dalam hal ini hermeneutika juga mereka gunakan sebagai cara memperoleh kejelasan dan pemahaman yang benar atas Bibel. Pada masa ini hermeneutika diklasifikasikan menjadi dua kategori, pertama, hermeneutika saklar yang merujuk kepada kitab suci, kedua, hermeneutika profane yang merujuk pada teks-teks biasa seperti teks sastra, hukum dan sebagainya. [11]

Pada abad 20, Hermeneutika tidak hanya digunakan dalam penafsiran kitab Suci, maupun kitab-kitab klasik Yunani. Ia memiliki peranan yag cukup luas dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Sejarah, hukum, agama, filsafat, seni, kasusastran, maupun linguistic, atau semua yang berkaitan dengan Geisteswissenschaften atau ilmu-ilmu pengetahuan kemanusiaan atau ilmu pengetahuan tentang kehidupan memerlukan hermeneutik (Wilhelm Dilthey ) [12]

Teks sejarah yang di tulis dalam bahasa yang rumit yang beberapa abad tidak dipedulikan oleh para pembacanya, tidak dapat dipahami dalam kurun waktu seseorang tanpa penafsiran yang benar. Istilah-istilah yang di pakai mungkin ada kesamaannya, tetapi arti atau makna istilah-istilah itu bisa berbeda.

Hermeneutika dalam pemikiran Islam
Sebagai masyarakat agama, umat islam disebut sebagai masyarakat dengan peradaban teks ( hadlarat al-nash ) [13]. Struktur kehidupannya diletakkan di atas landasan teks, seperti Al-Qur’an, Hadist, juga Kitab- Kitab fiqh, tafsir, teologi, dan sebagainya. Tapi yang menjadi problem adalah semakin lama teks itu menjadi “ berhala “ dalam artian, teks itu mengalami saklarisasi, tidak hanya pada Al-Qur’an maupun Hadist, tetapi berlaku juga terhadap teks-teks tersier, seperti kitab tafsir Qur’an, tafsir Hadist, kitab fiqh, teks-teks hasil pemikiran keagamaan orang-orang terdahulu. Yang mengantarkan pada kungkungan skriptualisme yang cenderung fundamentalistik dan radikal.[14]

Al-qur’an, tekt

Al-qur’an adalah bentuk teks terbuka yang menerima berbagai bentuk eksploitasi seperti, penafsiran, pembacaan, penerjemahan, hingga pengambilannya sebagai rujukan. Kelahiran teks al-qur’an di tengah umat islam telah melahirkan pusat wacana keislaman yang tak pernah berhenti dan menjadi pusat inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna ayat-ayatnya. ( Qomaruddin Hidayat, memahami bahasa agama : sebuah  kajian hermeneutic ,  Jakarta : Paramadina, 1996 hlm. 15 ). Maka dapat dikatakan bahwa al-qur’an hingga kini masih menjadi teks inti dalam peradaban islam.

Hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi untuk memahami pesan al-Qur’an agar subtilitas intellegendi ( ketepatan pemahaman ) dan subtilits ecspilcandi ( ketapatan penjabaran ) dari pesan Allah bisa di telusuri secara komprehensif.

Salah satu penekanan dalam pendekatan hermeneutika adalah bagaimana mengapresiasi pesan dari Allah yang tersimpan dalam teks al-Qur’an tidak hanya secara tekstual, tetapi juga secara kontekstual dan menyeluruh dengan mengaitkan suasana batin dan cultural ketika terjadi proses pewahyuan.

Yang pertama-tama memerkenalkan hermeneutika dalam khazanah pemikiran islam adalah Hasan Hanafi dalam karya-karyanya. Dimana penggunaannya hanya merupakan eksperimentasi metodologis untuk melepas diri dari positivism dalam teoritasi hukum islam dan Ushul Fiqh. Sampai disitu, respon terhadap tawaran ats hermeneutika hampir-hampir tidak ada. [15]

Satu hal yang menonjol dari hermeneutika hasan hanafi dan pemikirannya secara umum adalah muatan ideologisnya yang syarat muatan praktis. Tipikal pemikiran revolusioner semacam ini, justru sangat beda dengan mainstream umat islam yan masih terkungkung oleh lembaga-lembaga tradisionalisme dan ortodoksi. [16]

Dalam pandangan Hasan Hanafi, hermeneutika tidak sekedar ilmu interpretasi atau sekedar  teori pemahaman, tetapi juga ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingat kanyataan, dan lugas sampai praksis serta juga tampaknya wahyu dan pemikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.

Hermeneutika sebagai metode penafsiran al-Qur’an         
Apa yang ditawarkan hermeneutic dalam kajian-kajian agama itu dalam penafsiran al-qur’an belum bisa diterima semua pihak dalam ligkungan pemikiran islam. Farid Esach mengatakan bahwa kata “ hermeneutic “ termasuk istilah baru di kalangan umat islam, meskipun praktiknya sudah dilakukan. Akan tetapi banyak pemikir. islam yang mengkritiknya.[17] 

Setelah paul recour mangalihkan tradisi hermeneutic dari objek kajian  studi bible kembali, kalangan agamawan juga banyak yang menggunakan hermeneutic yang sebelumnya dikembangkan di dunia saintis untuk kepentingan penafsiran kitab sucinya. Dan bagaimana jika ini sigunakan untuk penafsiran al-qur’an? Sebab didalam islam juga terdapat metode-metode penafsiran kitab sucinya. Para pemikir kontemporer seperti hasan hanafi, fazlurrahman, arkoun dll, telah memulai dalam penggunaan hermeneutic sebagai landasan metodologinya untuk memahami al-Qur’an. [18]

Istilah hermeneutika dalam wacana keilmuan islam, memang tidak ditemukan. Tapi dikatakan bahwa, ada istilah yang mirip dengan hermeneutika. Menurut M. Plegger, Hermeneutika sama dengan kata هرمس ( dibaca : Hirmis, Harmas, atau Harmis ) yang terdapat dalam kitab al-Ulf karya Abu Mansyur dengan istilah hermetisme yang ada dalam tradisi filsafat yunani. Dikatakan, M.Pleggner bahwa Hirmis dalam Islam dikenal denganالمثلث بالحكمة  yang berarti aliran pemikiran yang berasal dari tiga individu :

a.     Hermes yang identik dengan Akhnukh (Enoc ) dan Idris. Ia hidup di Mesir sebelum ada pembangunan pyramid

b.   Diidentikkan dengan al-babili dari Babilonia yang hidup setelah Piramid dibangun.

c.      Berasal dari tulisan tentang ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang disusun setelah pyramid dibangun.[19]

Term yang lebih dekat dengan istilah hermeneutika dalam tradisi keilmuan islam adalah Tafsir, tafsir merupakan suatu disiplin ilmu yang sudah memeiliki epistemology yang jelas. Padanan kata lain yag biasa digunakan adalah ta’wil yang dimaknai dengan mengalihkan makna lafadz yang rajah kepada makna yang di marjuh karena dalil yang mengikutinya.[20]

Dalam perkembangan dari tafsir maupun ta’wil sendiri masih memerlukan pengkajian ulang. Karena keduanya di nilai masih mengabaikan aspek kontekstualisasi. Dan ini menimbulkan laju perkembangan pemikiran islam kehilangan vitalitasnya, Sholi li kulli zaman wal makan.

Selangkah kedepan dari perspektif ilmu tafsir, ketika hermeneutika digunakan sebagai metodologi dalam mendekati al-Qur’an maka al-Qur’an akan di tempatkan sebagai lahan kajian ilmah sebagaimana layaknya obyek lapangan penelitian dunia ilmu. Ia disiikapi sebagai teks warisan masa lalu yang pernah muncul di tengah-tengah pergulatan sejarah hidup sekelompok manusia tertentu. Al-Qur’an menjadi bukti sejarah yang apabila dicetak asal-usulnya akan menjadi jendela penghubung antara dunia kini dan 14 abad yang lalu. Penelusuran asal-usul al-Qur’an yang dimaksud tentu tidak sampai membicarakan pemilik teks yang berada di wilayah jangkauan indra dan akal manusia. Dalam tartan historisitas pemilik al-qur’an dapat diwakili  oleh pribadi Nabi Muhammad yang turut serta dalam proses terwujudnya teks al-Qur’an. Symbol-simbol bahasa manusia tidak akan dapat menggambarkan proses transformasi wahyu dari dunia batin ke dunia batin. [21]

Problem hermeneutika yang meuncul kemudian adalah, Karena al-Qur’an hanya sebuah teks yang tersusun dimasa lampau maka ia tidak familiar atau asing dengan pembaca sekarang. Ia tidak akan ada yang mengetahui secara persis maksud di balik teks kecuali pemilik teks sendiri, sementara pemilik teks tidak ada sehingga tidak dapat dikonfirmasi. Sedangkan dalam hermeneutic seorang pembaca diharuskan dapat menyelami psikologi pemilik teks agar dapat memahami maksud penulis teks. Merupakan problem paling utama, bagamimana untuk mengatasi keterrasingan ini. jika hermeneutika umum digunakan dalam menyelesaikan problem hermeneutika ini. maka ada tiga hal yang harus diperhatikan. Yakni, pesan ( tanda atau teks), penafsir ( mediator ) , dan para audiens yang ada dalam al-Qur’an. [22]

Khazanah Ulumul Qur’an sebagai sebentuk metodologi untuk menggarap wilayah penafsiran dan pemaknaan al-qur’an memiliki tigkat sofistikasi yang luar biasa. Sifat luar biasa dari hazanah Ulumul Qur’an ini terbukti dari berlimpahnya karya tafsir al-Qur’an dengan berbagai pola, mulai tahlili sampai maudlu’I dan mulai   yang sekedar menafsirkan dengan mencari sinonim kata dan ayat hingga yang melakukan ta’wil dengan intuisi dan menafsirkan secara ilmiah. Kenyataan ini mau tidak mau telah membuktikan kekomprehensifan Ulumul Qur’an tersebut dalam menjembatani jarak antara mufasir dengan al-qur’an sehingga melahirkan berbagai hazanah tafsir. Hingga orang kemudian akan menyimpulkan bahwa sebenarnya dengan islam memiliki Ulumul qur’an sebagai sarana ilmiyah penafsiran al-qur’an itupun sudah cukup, tanpa perlu lagi metodologi tambahan seperti hermeneutika.[23]   

Dalam sebuah penafsiran perlu diperhatikan adanya kontekstualisasi, dan bukan hanya teks dan konteks. Yaitu bagaimana agar teks yang diproduksi dan berasal dari masa allu bisa dipahami dan bermanfaat untuk masa kini.   Dalam kaitannya dengan pembahasan ini, pertanyaannya mungkin, bagaimana al-Qur’an bisa applicable untuk segala ruang dan waktu? Dan tidak hanya compatible untuk ruang dan waktu ketika teks tersebut muncul pertama kali.

Salah satu sumbangan berharga hermeneutic dalam penafsiran al-Qur’an adalah berbagai tawaran teori dan konsep pemahaman yang berasal dari para tokoh filosofis dan kritis. sumbangan tersebut, secara umum adlaah kesadaran akan adanya berbagai determenasi yang turut menentukan sebuah proses pemahaman , baik determenasi tersebut berasal dari wilayah sosial, budaya, politik, maupun psikologis. Determenasi-determenasi tersebut pada akhirnya, akan mengeliminasi setiap pemahaman dan penafsiran yang merasa sebagai ‘ objektive’ dan ‘tanpa kepentingan’ serta ‘ pasti benar’.[24]

Disinilah hermeneutika memberikan pelajaran bahwa sebenarnya setiap ide, pemikitran maupun penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh konteks dan misi serta kepentingan dari sang penafsir. Sehingga sangat tidak bijaksana untuk menyalahkan ‘yang lain’ dan membenarkan dirinya sendiri secara apriori, karena bagaimanapun pkiran itu sangat tergantung pada konteks masing-masing.  

Hermeneutika menawarkan sesuatu yang sangat menarik dalam wacana penafsiran kitab suci. Pola penafsiran yang di tawarkannya si satu sisi mengungkap asumsi-asumsi metodologis yang manusiawi karena  tidak hanya memperhatikan isi teks. Tetapi juga mempertimbangkan  keberadaan konteks sosial.  Di sisi lain, hermeneutika membuka jalan   bagi upaya kontekstualisasi kitab suci sehingga dapat berdialog dan operasional- fungsional   dalam berbagai ruang dan   waktu yang berbeda , sebagaimana yang diidamkan dan dipegangi secara  apologis oleh banyak kalangan umat beragama terhadap kitab sucinya masing-masing.

Daftar pustaka

Zayd, Nasr Hamd Abu. 2001. Tekstualitas Al-Qur’an. Yogyakarta : LKiS

Sumaryono, E. 2001. Hermeneutika Sebuah Metode Filsafa. Yogyakarta : Kanisius

Burhanuddin, Mamat S.  2006. Hermeneutika al-Qur’an ala Pesantren. Yogyakarta: UII Press

Syamsudin, Sahiron. 2003. Hermeneutika Al-Qur’an Madzhab Yogya, Yogyakarta : Islamaika


Faiz,  Fahruddin. 2005. Hermeneutika Al-Qur’an , Yogyakarta : eLSAQ Press



[1] Nasr Hamd Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an, Yogyakarta : LKiS, 2001, hlm. 1-2
[2] E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat,Yogyakarta : Kanisius, 1999, hlm. 23
[3] Ibid
[4] Mamat S. Burhanuddin, Hermeneutika al-Qur’an ala Pesantren, Yogyakarta: UII Press, 2006, hlm. 62-69
[5] Sahiron Syamsudin, Hermeneutika Al-Qur’an Madzhab Yogya, Yogyakarta : Islamaika, 2003, hlm. 54
[6] E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat,Yogyakarta : Kanisius, 1999, hlm. 27
[8] Fahruddin Faiz,  Hermeneutika Al-Qur’an , Yogyakarta : eLSAQ Press, 2005, hlm. 7
[9] Shahiron syamsuddin dkk, Hermeneutika Al-Qur’an Madzhab Yogya, Yogyakarta : Islamaika, 2003,  hlm.
[10]Ibid,  hlm. 53
[11] Rusmadi, dalam skripsinya Hermeneutika Fazlurrahman, hlm. 27
[12]Ibid,  hlm. 28
[13] Nasr Hamd Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an, Yogyakarta : LKiS, 2001, hlm. 1-2
[14] Rusmadi, dalam skripsinya Hermeneutika Fazlurrahman, hlm.
[15] Syahiran Syamsuddin, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an Madzhab Yogya, Yogyakarta : Islamaika, 2003,  hlm. 60
[16] Ibid.
[17]ibid, hlm. 61
[18] Mamat S. Burhanuddin, Hermeneutika al-Qur’an ala Pesantren, Yogyakarta: UII Press, 2006, hlm. 76
[19] Ibid
[20] Ibid, hlm. 77
[21] Ibid, hlm. 80
[22] Ibid
[23] Fahruddin Faiz,  Hermeneutika Al-Qur’an , Yogyakarta : eLSAQ Press, 2005, hlm. 18
[24] Ibid, hlm. 22

No comments: