Sunday 1 February 2015

Metafora dalam Perubahan Makna Al-Qur'an

Oleh: Heri Kuseri
Mahasiswa Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang

Pendahuluan
Al-Quran diturunkan kepada nabi Muhammad SAW menggunakan bahasa arab. Kitab suci umat Islam ini diwahyukan oleh Tuhan sebagai petunjuk dan pedoman dalam hidup pada abad ke-6 Masehi di Jazirah arab, sekaligus menjadi karya sastra arab terbesar pada zamannya. Bahkan hingga sekarang. Karena memang sudah semestinya kalam Tuhan itu sempurna dan tiada tandingannya.


Dan itu memang terbukti, nyatanya hingga saat ini belum ada karya sastra yang mengunggulinya. Baik dari segi bahasa maupun kandungannya yang barang tentu benar menurut umat Islam. Dan sejauh ini apa yang dinyatakan Al-Quran tidak pernah meleset dari science.

Namun diakui bahwa isi dari Al-Quran tersebut tidak serta merta dapat kita pahami dengan utuh kebenarannya. Karena ia bukanlah kalam insan seperti kita, melainkan kalam Tuhan yang dikirim dengan balutan bahasa manusia untuk mengatur dan menunjuki jalan yang benar dalam kehidupan manusia.

Apalagi Al-Quran ini diturunkan sebagai mu’jizat nabi Muhammad SAW, jadi tentu memiliki kei’jazan terhadap apapun yang hendak melawannya. Tak terkecuali mengenai keindahan uslub dan tata bahasanya yang dapat mengalahkan seluruh syair-syair dan prosa karangan bangsa arab yang terkenal tiada duanya pada masa itu. Sehingga dalam kondisi masyarakat yang seperti itu, Al-Quran diturunkan kepada Muhammad sebagai bukti kebenaran kenabiannya dengan nilai sastra yang sangat tinggi.[1]

Sayangnya, kita sebagai bangsa ‘ajam tidak tahu menahu mengenai keindahan yang dikandung oleh Al-Quran. Karena Al-Quran tidak diturunkan ke dalam bahasa Ibu kita, bahasa Indonesia. Oleh karena itu, untuk menggalinya diperlukan pembelajaran secara khusus mengenai gaya bahasa dan tata bahasa bangsa arab tersebut. Salah satunya yaitu dengan memahami Metafora yang digunakan dalam Al-Quran sebagai gaya bahasa yang unik dan bernilai tinggi yang mempengaruhi pembentukan makna dalam Al-Quran.

Pembahasan
A. Definisi Metafora
Secara bahasa, metafora ini diambil dari terjemahan bahasa arab kata majaz yang menurut Kamus Bahasa Indonesia sendiri artinya kiasan. Yaitu sebuah cara untuk melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakannya dengan sesuatu yg lain.

Metafora sendiri memiliki arti pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya (makna konotatif), melainkan sebagai lukisan yg berdasarkan persamaan atau perbandingan, misal tulang punggung dl kalimat pemuda adalah tulang punggung Negara. Jadi, secara etimologi dalam bahasa Indonesia kedua kata ini memiliki inti makna yang sama.

Orang yang pertama kali menggunakan istilah majas ini adalah Al-Jahiz. Menurut Al-Jahiz, majas ini merupakan bagian dari bentuk denotatif (haqiqah), lebih tepatnya lawan dari haqiqah. Ibnu Qutaibah (w. 276 H) terpengaruh oleh pemikiran Al-Jahiz yang telah memberikan batasan segi-segi majas dan berpendapat bahwa:

“Majas meliputi peminjaman kata atau ungkapan (isti’arah), perumpamaan (tamtsil), pembalikan (qalb), pendahuluan (taqdim), pengakhiran (ta’khir), pembuangan (hadzf), pengulangan (tikrar), penyembunyian (ikhfa), penampakan (idzhar), sindiran (ta’ridh), pemfasihan (ifshah), kiasana (kinayah), penjelasan (izhah),  kata tunggal (mufrad) untuk maksud jamak , kata jamak (jam’) untik maksud tunggal, kata tunggal dan jamak untuk makna dua orang (tatsniyah), kata khusus untuk makna umum, kata umum untuk makna khusus dan lain-lain”.[2]
       
Namun pada dasarnya, kosa kata majaz tidak dapat ditemukan secara langsung dalam al-Quran. Kata dasar atau akar kata j-w-z terdapat dalam Al-Quran dalam bentuk kata jawaza dan tajawwaza yang berarti “memotong” dan “melewati”. Menurut beberapa penelitian, pengertian dari kata majaz terseebut dapat dapat ditemukan padanan katanya dalam Al-Quran. Kosa kata yang hampir memiliki arti yang sepadan dengan majaz adalah al-matsal, yang derivasi katanya paling banyak ditemukan dalam Al-Quran. Makna lain dari kata j-w-z adalah al-ta’ridh (penampakan, penonjolan), dan akar kata’-r-dh ini ditemukan dalam al-Quran. Sedangkan lawan dari ta’ridh adalah tasyrih (kejelasan, keterus-terangan) yang makna dasarnya memiliki kedekatan arti dengan al-kinayah (metonymy). Kosa kata lainnya adalah isti’arah, meskipun kata tersebut tidak secara langsung , dalam bentuknya, disinggung dalam Al-Quran, melainkan hanya secara substansial saja. Hal ini dikarenakan Al-Quran banyak sekali menggunakan ungkapan-ungkapan metaforis. Kosa-kata yang bermakna metaforis tersebut adalah kosa kata yang  digunakan dalam perkembangan teori dan kritik sastra arab sebagai kata kunci dari majaz.[3]

Beberapa data menunjukkan bahwa penafsiran-penafsiran murid Ibn Abbas seperti Mujahid, al-Dhahhak, al-Suddi al-Kabir, dan yang lainnya, menyinggung secara eksplisit konsep majaz dalam Al-Quran, dalam pengertian makna teks yang melampaui batas-batas leksikalnya.

Dalam pengertian di atas, majaz, menurut Ibn Qutaibah, banyak ditemukan dalam Al-Quran, terutama yang merupakan lawan kata dari haqiqah. Haqiqah dalam hal ini diartikan sebagai makna leksikal, makna apa adanya. Contoh: burung terbang, maksudnya adalah ada seekor burung yang sedang terbang. Sebaliknya, contoh kalimat “burung bernyanyi”, itu bukan berarti ada burung yang bisa berrnyanyi. Karena sungguh tidak ada burung yang bisa bernyanyi melainkan “berkicau”. Itu artinya, kalimat tersebut melampaui batas-batas makna leksikal dari kata tersebut.[4]

Tokoh gramatik dan ilmuwan bahasa lainnya yang memberikan kontribusi bagi pengembangan kata majaz adalah al-Mubarrad (w. 286/899).  Ternyata ia juga tidak jauh beda dalam memberikan deifnisi dengan Ibn Qutaibah. Menurutnya, majaz bisa merupakan hiasan dalam bertutur, serta berfungsi mengalihkan makna dari arti dasar yang sebenarnya. [5]

B. Pertumbuhan dan Perkembangan Metafora
Dalam kajian gaya bahasa Arab modern, istilah metafor diidentikkan dengan konsep majaz, yang lazim digunakan oleh para sarjana klasik sebagai lawan dari istilah haqiqat sebagaimana yang diutarakan oleh Al-Jahiz (w. 255/868). Berkaitan dengan persoalan majaz, secara historis setidaknya ada tiga kelompok berbeda pandangan, yang memposisikan majaz sebagai lawan dari haqiqat. Pertama, Mu’tazilah, yang secara dogmatis ajarannya banyak bersinggungan dengan majaz. Mereka menjadikan majaz sebagai senjata untuk memberikan interpretasi terhadap teks-teks yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka. Kedua, Dzahiriyah, kelompok yang menolak keberadaan majaz baik dalam bahasa maupun dalam al-Qur’an, dan sebagai konsekuensi mereka juga menolak adanya ta’wil (interpretasi). Pada intinya, mereka menentang dengan keras pemahaman terhadap teks yang melampaui bahasa. Ketiga, Asy’ariyyah, yang mengakui adanya majaz dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Paling tidak mereka memposisikan diri secara moderat di antara dua kelompok di atas.[6]                

Hal yang paling penting dalam pembahasan metafora ini ialah mengenai sumber bahasa itu sendiri. Karena tema mengenai metafora ini akan berdampak pada perubahan makna yang ada dalam Al-Quran. Terutama mengenai ayat-ayat yang berbicara mengenai Tuhan. Sehingga perdebatan mengenai konsep metafora ini juga sampai ke dalam ranah teologis. Meminjam istilah Komaruddin, secara garis besar terdapat tiga teori mengenai asal-usul bahasa, yaitu; teologis, naturalis dan konvensionalis. Pendukung aliran teologis mengatakan, manusia bisa berbahasa karena anugerah Tuhan, pada mulanya Tuhan mengajarkan kepada Adam selaku nenek moyang seluruh manusia. Teori kedua, naturalis, beranggapan bahwa kemampuan manusia berbahasa merupakan bawaan alam, sebagaimana kemampuan untuk melihat, mendengar maupun berjalan. Teori ketiga, konvensionalis, berpandangan bahwa bahasa pada awalnya muncul sebagai produk sosial. Ia merupakan hasil konvensi yang disepakati dan kemudian dilestarikan oleh masyarakat (Hidayat, 1996:29).[7]

Bertolak dari perbedaan tersebut, dalam pembahasan historis perkembangan metafora (majaz) ini kita akan membahas periodesasi berkembangnya konsep majaz ini. Sebagaimana penelitian Joseph van Ess menunjukkan bahwa dalam abad pertama hijriah, kata majaz, dalam kerangka argumentasi teologis, secara substantif telah dipergunakan. Pengerrtian substantif yang dimaksud adalah pengertian majaz sebagai makna yang tidak leksikal dan bukan arti yang sebenarnya. Salah satu contohnya adalah interpretasi van Ess terhadap argumentasi-argumentasi teologis dari Hasan Muhamad Ibn al-Hanafiyah (w/ 100/719) yang dilihat oleh van Ess sebaggai pemahaman majazi alias pemahaman yang melampaui makna sesungguhnya.[8]

  1. Karya Abu ‘Ubaydah al-Musanna (w. 207/822) yang berjudul Majaz al-Quran, menurut banyak peneliti, karyanya dianggap sebagai karya yang paling awal, yang secara eksplisit memuat, serta menggunakan kata majaz. Menurut, Warsbrough, yang termasuk dalam istilah majaz yang digunakan Abu ‘Ubaidah di antaranya I) kalimat susunan balik (taqdim wa-ta’khir), II) eliptik atau penghilangan suku kata yang bervarian seperti ikhtisar ataupun mudhmar, III) pleonasme, dan IV) metonymi.[9]
  2. Karya kesarjanaan yang lain ialah derivasi dari kata majaz oleh Abu Ziyad al-Farra (w. 210/825). Al-Farra ini tidak menggunakan kata majaz sebagaimana yang lainnya seperti Abu ‘Ubaidah dalam karyanya Majaz al-Quran, akan tetapi ia menggunakan derivasinya, yaitu tajawwuz (melampaui). Yang dimaksud tajawwuz dalam karya tersebut ialah stilistik. Penggunaan kata tajawwuz oleh AL-Farra ditemukan dalam 2:16 “fa maa rabihat tijaaratuhum (maka tidaklah beruntung perniagaan mereka) di mana frasa tersebut dianggap sebagai bentuk tajawwuz olehnya.  Kalimat dan frasa tersebut, menurut Al-Farra melampaui batas bahasa keseharian yang digunakan oleh bangsa arab. Hal ini karena penggunaan perniagaan yang menguntungkan itu tidaklah lazim, dan yang biasa digunakan adalah pedagang yang mendapatkan untuk dalam perniagaannya.[10]
  3. Selanjutnya, pengembangan konsep dan istilah majaz kemudian dilakukan oleh Al-Jahiz (w. 255/868), teolog dan kritikus sastra berhaluan Mu’tazilah. Ia, dalam banyak karya kesarjanaannya menggembangkan teori bahasa, dan bahkan pada peringkat tertentu, filsafat bahasa. Karya berjudul al-Bayan wa al-Tabyin dan al-Hayawan, merupakan karya ensiklopedik yang amat kaya dengan bahasan, meski tidak sistematis. Akan tetapi analisis dan teori bahasa yang digunakannya sangat kentara mencerminkan pemikiran teologi Mu’tazilahnya.[11]
  4. Dan masih banyak lagi tokoh yang mengulas, mengembangkan dan berkontribusi dalam kajian majaz secara bahasa maupun yang berkaitan dengan Al-Quran. Seperti generasi Mu’tazilah berikutnya, al-Qadhi Abd al-Jabbar (w. 417/1026), Sarjana Sunni yang brilian, ‘Abd al-Qahir al-Jurjani (w. 471/ 1078), teolog Sunni Ibn Qutaibah (w. 276/889), dan al-Mubarrad (w. 286/899).


Dari seluruh uraian mengenai majaz, tampak bahwa al-Jurjani lah yang dapat memberikan penjelasan secara jelas dan sistematis. Berbeda jauh dengan apa yang telah diutarakan oleh sarjana-sarjana pendahulunya seperti Abu ‘Ubaidah, al-Farra, al-Jahiz, Ibn Qutaibah, dan yang lainnya.[12]

Perbedaan selanjutnya yaitu pada terletak pada sistematisasi konsep majaz ala al-Jurjani yanng membagi lagi model majaz menjadi dua, yakni majaz dalam pemahaman (majaz fi al-‘aql) dan majaz dalam bahasa (majaz fi al-lughoh). Yang pertama menurut pandangan al-Jurjani adalah majaz dalam penetapan (majaz fi al-itsbat), yang kedua majaz yang ditetapkan (majaz fi al-mutsbat), dan yang ketiga adalah majaz dalam penetapan dan yang ditetapkan seecara bersamaan (fi al-itsbat wa al mutsbat jamii’an). Ketiga model dan jenis majaz tersebut merupakan varian yang berfungsi sebagai hiasan bertutur atau gaya bahasa. untuk itulah al-Jurjani kemudian dalam beberapa bagian karyanya membahas bentuk-bentuk majaz yang lain seperti isti’arah, pleonasme, tasybih, dan linnya secara intensif.[13]  

Namun terlepas dari perbedaan pandangan mengenai definisi dan pemahaman mengenai majaz dalam Al-Quran. Pada kenyataannya tidak dapat kita pungkiri bahwa dalam ayat Al-Quran banyak gaya dan tata bahasa yang tidak lazim digunakan oleh bangsa arab sebelumnya, yang itu menjadi kekhasan dan keindahan tersendiri dalam AL-Quran yang kita pahami sebagai bagian dari mu’jizat Al-Quran dari segi bahasa.

C. Tujuan Metafora
Al-quran banyak mendidik manusia melalui penggunaan laras bahasa yang santun dan indah, seperti perumpamaan ataupun majaz. Sebagaimana yang sudah kita ketahui, bahwa kajian majaz ataupun perumpamaan ini adalah merupakan bagian dari ilmu bayan (salah satu elemen retorik arab) yang memamerkan ciri-ciri keindahan dan keunikan dalam ungkapan ayat. Ahli-ahli retorik arab sering menggunakan gaya bahasa ini dalam komunikasi mereka dalam tujuan tertentu. Begitu juga dengan Al-Quran yang sudah barang tentu memiliki maksud dan tujuan tertentu.

Sebenarnya, penampilan laras dan bahasa majaz dalam Al-Quran mempunyai pesan dan maksud yang bukan saja hanya untuk menggambarkan keindahan dan keunggulan penggunaan bahasa yang tiada tolok bandingannya, bahkan mempunyai tujuan yang amat agung, yang lebih memupukkan kepada perkara-perkara mengenai aqidah, keagamaan, pendidikan, kehidupan, kemasyarakatan, kepemimpinan,  dan sebaggainya yang merangkum aspek keduniaan dan keakhiratan.[14]

Secara mendasar, tujuan dan maksud majaz dalam Al-Quran itu dibagi menjadi dua bagian, pertama tujuan secara umum dan yang kedua tujuan secara khusus.[15]

1. Tujuan Umum Majaz dalam AL-Quran

a) Mendekatkan objek perbandingan kepada pendengar. Perumpamaan ini bertujuan membuka mata dan pandangan sesorang yang tidak mengetahui atau sulit dalam memahami secara keseluruhan mengenai teks tertentu sehingga membutuhkan uraian lebih lanjut yang mudah dipahami. Contoh jelas dapat dilihat pada majaz yang menggambarkan paras rupa bidadari elok yang berada di dlam surga. Allah menyifatkannya pada firmannya surat al-Waqi’ah ayat 22-23.

b) Memberikan keyakinan terhadap sesuatu isu. Keyakinan yang dihasilkan dari sebuah pemahaman logika dari majaz kadangkala dapat mencapai tahap sebagai bahan bukti dan hujjah.[16] Banyak ayat Al-Quran yang menyentuh hal tersebut, seperti dengan kajian aqidah menggunakan logika majaz yang lebih mengena. Sehingga dapat lebih memantapkan hati. 

c) Mengajak kebaikan dan menghindari kejahatan. Kebaikan dan kejahatan ini merupakan dua hal yang saling berlawanan dan sering dilakukan oleh setiap individu dari kita. Dalam tujuan ini, Al-Quran mencoba menggambarkan dan menyuguhkannya kepada kita dengan cara membandingkan keduanya dengan segala konsekuensi dari masing-masing segi. Sebagaimana dalam surat Ibrahim, 14: ayat 14 dan ayat 26.[17]

d) Memberikan motivasi dan peringatan. Melalui tujuan ini, seseorang dapat dirangsang untuk melakukan segala keinginan dan menggambil sikap berhati-hati dalam masalah yang sedang dibahas. Tujuan ini lebih bersifat mendidik dan melatih untuk melakukan dan meninggalkan sesuatu perbuatan. Misalnya dalam surat al-Baqarah, 2: ayat 261.[18]

e) Memberikan pujian dan celaan. Salah satu dari maksud majaz ini juga termasuk memuji dan mencela seseorang yang memang pantas untuk menerima hal itu.[19] Tujuan ini untuk membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Sehingga yang jahat akan merasa malu dan meninggalkan keburukannya tersebut. Majaz dengan tujuan ini dapat dilihat pada surat al-Fath, 48: ayat 29.[20]

f) Memacu dan menggerakkan daya berpikir kreatif. Tumpuan dari tujuan ini dialamatkan kepada para ahli ilmu dan orang bijak pandai, karena ia tentu memerlukan kecerdikan mental dan dan kekuatan daya pikir yang mampu menghasilkan natijah yang baik.[21]Contohnya dalam surat al-Hasyr, 59: ayat 21.

2. Tujuan Majaz seccara Khusus
a) Perumpamaan keadaan dari orang-orang yang beriman sebagai pelajaran dan teladan yang harus ditiru sebagai seorang yang mengaku Islam. Misla dalam surat al-An’am, 6: ayat 22.

b) Menggambarkan sifat dan kelakuan-kelakuan orang kafir supaya kita tidak menirunya. Misal dalam surat al-Baqarah, 2: ayat 171.

c) Penggambaran sifat dan kelakuan orang-orang munafik. Seperti pada surat al-Baqarah, 2: ayat 17.

d) Dan berbagai macam majaz dalam rangka penggambaran-penggambaran yang dapat kita petik hikmahnya. Dalam hal ini majaz bermaksud memberi nasihat kepada orang beriman dan memberikan pelajaran terhadap orang-orang kafir.[22] Contohnya pada surat al-Ra’d, 13: ayat 35.

D. Bentuk-Bentuk Metafora 
Dalam kajian ilmu bayan ini, penulis menemukan beberapa perbedaan mengenai bentuk dari majaz. Menurut penulis, hal ini lebih karena perbedaan penerjemahan makna majaz ke dalam bahasa lain. Misalnya, dalam buku Perumpamaan Al-Quran karya Azhar Muhammad (2008). Di situ yang dijadikan kata induk (kata yang lebih umum) adalah perumpamaan (Mitsal), bukan majaz. Sehingga pembagian bentuknya meliputi: Simile (Tasybih), Perlambangan (al-Majaz), Metafora (al-Isti’arah), dan peringkasan dan penguraian (al-‘ijaz wal al-Itnab). Sedangkan dalam karyanya Agus Tricahyo, M. A dalam bukunya Metafora dalam Al-Quran membaginya menjadi tiga bentuk. Meliputi Tasybih, Majaz, dan Kinayah. Dan yang ketiga ialah dalam karya M. Nur Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar yang menyebutkan bahwa bentuk dari majaz adalah Isti’arah, seni perbandingan (tasybih), Parabel (Matsal) dan persamaan (tamtsil), dan metonomie (Kinayah).

Namun, berdasarkan definisi penulis di awal. Yaitu mengenai definisi metafora merupakan padanan dari majaz. Maka penulis lebih memilih penjelasan pembagian bentuk majaz yang ketiga oleh M. Nur Kholis Setiawan dan mengkomparasikan dengan definisi yang lain.

  1. Isti’arah. Para sarjana bahasa mendefinisikannya secara tradisional sebagai gambaran-gambaran retoris yang paling penting. Menurut pandangan dan kesimpulan ahli klasik, isti’arah ini mengacu pada perbandingan yang disederhanakan atau penggantian sesuatu yang sejatinya dengan ungkapan lain yang “tidak sejatinya” berdasarkan ukuran atau kriteria-kriterria persamaan ataupun kemiripan.[23]
  2. Tasybih. Tasybih ini merupakan ungkapan yang menyatakan bahwa sesuatu itu mempunyai persamaan dengan sesuatu yang lain dengan menggunakan penanda persamaan atau perbandingan. Menurut ahli terminologi, tasybih berarti:
  3. "Menyamakan suatu hal kepada hal yang lain dalam suatu makna dengan menggunakan perabot yang diketahui".[24]
  4. Matsal dan Tamtsil. Konsep matsal dan tamtsil merupakan bentuk majaz selanjutnya sebagai pembangunan seni puitik secara umum. Kata amtsal ini sangat banyak dalam Al-Quran. Berdasarkan pembahasan mengenai bentuk-bentuk majaz, matsal ini memiliki kekhususan dibanding dengan tasybih, isti’arah, dan kinayah.  Karena matsal merupakan sebuah konsep tertentu dan matsal ini juga merupakan bentuk lain dari perbandingan yang pemakaiannya terrpengaruh oleh pemakaian dalam Al-Quran.[25]
  5. Kinayah. Kinayah secara bahasa ialah lafal yang biasa digunakan orang berbicara dan mempunyai maksud yang lain. Sedangkan menurut terminology para ahli ilmu bayan, kinayah adalah lafal yang biasa dipahami berdasarkan kelaziman maknanya, serta dibenarkan memahaminya berdasarkan makna hakikinya.
  6. Dengan demikian, hubungan antara makna hakiki dengan makna majaz dalam kinayah adalah karena kelaziman sedangkan dalam isti’arah karena aspek keserupaan.[26]

         
Kesimpulan
Al-Quran sebagai kalam Tuhan benar-benar telah hadir untuk kita sebagi pedoman untuk hidup. Salah satu kemu’jizatannya adalah mengenai struktur dan tata bahasanya yang bernilai sastra tinggi. Bahkan tiada yang sanggup untuk menandinginya.

Tapi perlu diketahui, bahwa metafora (majaz) sebagai kandungan yang menjadi unsur daya tarik keindahan bahasa dan tingginya nilai sastra tersebut bukanlah satu-satunya tujuan yang dikehendaki Allah SWT. Namun masih ada maksud dan tujuan-tujuan tersirat yang lain sebagaimana dijelaskan di atas.

Jadi, dari sini penulis dapat menyimpulkan bahwa bahasa Al-Quran bukanlah sekedar bahasa yang dikenal dengan nilai kemu’jizatan secara bahasa saja. Namun itu juga merupakan sebuah trik untuk berkomunikasi dan mentransformasikan bahasa Tuhan sehingga kita dapat memahaminya dengan mudah. Kendatipun kita tahu bahwa tidak ada orang yang berhak mengatasnamakan kebenaran Tuhan, truth Claim. Namun setidaknya kita punnya petunjuk sebagai landasan untuk mendekati maksud Tuhan yang terkandung dalam Al-Quran.

Daftar Pustaka

Tricahyo, Agus,  Metafora dalam Al-Quran: Melacak Ayat-Ayat Metaforis dalam Al-Quran, 2009, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press.

Hamid Abu Zaid, Nashr, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas dalam Al-Quran Menurut Mu’tazilah, Terjemahan dari Al-Ittijah Al-‘Aqli fi At-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Quran ‘Inda AL’Mu’tazilah oleh Abdurrrahman Kasdi dan Hasan Hamka , 2003, Bandung: Mizan.

Kholis Setiawan, M. Nur,  Al-Quran Kitab Sastra Terbesar, 2005, Yogyakarta: eLSAQ Press.


Muhammad, Azhar, Perumpamaan Al-Quran, 2008, Kuala Lumpur: Universitas Teknologi Malaysia.



[1] Agus Tricahyo, M. A, Metafora dalam Al-Quran: Melacak Ayat-Ayat Metaforis dalam Al-Quran, 2009, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, hal. 2.  
[2] Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas dalam Al-Quran Menurut Mu’tazilah, Terjemahan dari Al-Ittijah Al-‘Aqli fi At-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Quran ‘Inda AL’Mu’tazilah oleh Abdurrrahman Kasdi dan Hasan Hamka , 2003, Bandung: Mizan. Hal 136.   
[3] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar, 2005, Yogyakarta: eLSAQ Press, hal. 182-183.
[4] Ibid, hal. 195.
[5] Ibid, hal. 197.
[7]  Ibid.
[8]  M. Nur Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar, hal. 183.
[9] Ibid, hal. 187.
[10] Ibid, hal. 188-189.
[11] Ibid, hal. 191.
[12] Ibid, hal. 203.
[13] Ibid, hal. 203-204.
[14]  Azhar Muhammad, Perumpamaan Al-Quran,2008, Kuala Lumpur: Universitas Teknologi Malaysia, hal. 70.  
[15] Ibid.
[16] Ibid, hal. 71.  
[17] Ibid, hal. 74.
[18] Ibid, hal. 77.
[19] Ibid, hal. 82.  
[20] Ibid, hal. 86.
[21] Ibid, hal. 87.
[22]  Ibid, hal. 105.
[23]  M. Nur Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar, hal. 208.
[24] Agus Tricahyo, M. A, Metafora dalam Al-Quran: Melacak Ayat-Ayat Metaforis dalam Al-Quran,hal. 13-14.
[25]  M. Nur Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar, hal. 235.
[26]  Agus Tricahyo, M. A, Metafora dalam Al-Quran: Melacak Ayat-Ayat Metaforis dalam Al-Quran, hal. 58.

No comments: