Thursday 19 February 2015

Peran Bildung, Sensus Communis, Pertimbangan dan Slera Dalam Kesempurnaan Proses Dialektis-Hermeneotis

Pembahasan mengenai “Kebenaran” dan “metode” yang diusung oleh Hans-Georg Gadamer akan benar-benar memeberikan satu kontribusi penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan jika kita mampu menerapkannya dengan apik. Kenyataan yang ada selama ini, anggapan tentang sebuah kebenaran adalah jika hasil pencarian terhadap ilmu pengetahun sesuai dengan metode yang ada. 


Namun berbeda dengan pembahasan gadamer dalam karya monomentalnya itu. Gadamer menganggap bahwa untuk mendapatkan sebuah kebenaran, seseorang harus bisa keluar dari cengkraman sebuah metode. Seseorang disini diharapkan agar bisa meleburkan diri kedalam proses dialektis. Gadamer menganggap, kadangkala, sebuah metode justru menghalangi seseorang untuk mendapatkan sebuah kebenaran. Hal inilah yang banyak ditemui dalam dunia modern. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi memaksa manusia untuk selalu tunduk terhadap metode-metode yang ada. Padahal, sejalan dengan berkembangnya pengetahuan pula, metode itu semakin tidak menemukan kesesuaian. Dengan kata lain, suatu metode membutuhkan pula perubahan karena telah mengalami ketidak cocokan dengan realitas yang ada.

Gadamer menganggap bahwa pernyataan ilmu modern yang memiliki posisi dominan dalam penjelasan dan pembenaran filosofis terhadap pengetahuan dan kosep kebenaran sebagai suatu pernyataan yang tidak sohih. Fenomena pemahaman tidak hanya mencakup semua hubungan manusia dengan lingkungannya. Ia juga memiliki kebenaran sendiri dalam ilmu pengetahuan dan mempertahankan setiap usaha untuk mengubahnya kedalam sebuah metode ilmu pengetahuan.[1]

Gadamer memandang bahwa proses dilektika dan penafsiran memiliki peran penting dalam menemukan sebuah ilmu pengetahuan. Namun demikian dalam proses dilektika dan penafsiran terhadap satu teks seseorang tidak boleh tidak harus memiliki empat hal: Pertama, bildung. Bildung adalah pembentukan jalan pikiran. Dalam proses pemahaman atau penafsiran, jika seseorang membaca sebuah teks, maka seluruh pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut akan ikut berperan. Dengan demikian, penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan, usia, dan tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam kontek pembacaan terhadap teks kitab suci (Al qur’an atau Hadits), tida heran jika para fuqoha’ seperti imam hanafi, maliki, hambali dan syafi’ie memiliki pemahaman yang berbeda. Salah satunya, dapat kita lihat dalam pemahaman mereka dalam menentukan rukun wudhu.

Dalam proses penafsiran, bildung sangat penting. Sebab, tanpa bildung, orang tidak akan dapat memahami ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Singkatnya, orang tidak dapat menginterpretasi ilmu-ilmu tersebut dengan caranya sendiri. Dalam proses bildung ini tidak ada sesuatu (tradisi) yang dihilangkan, tetapi segala sesuatu dipertahankan.

Bildung Lebih menggambarkan hasil dari pada proses. Disini perubahan itu sangat jelas karena hasil dari bildung tidak dicapai dengan cara melakukan konstruksi teknis, tapi tumbuh dari proses pembentukan dan pemahaman batin.[2]

Kedua, sensus communis atau pertimbangan praktis yang baik atau pandangan yang mendasari komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek sosial atau pergaulan sosial. Para filsuf zaman dulu menyebutnya dengan “kebijaksanaan”. Istilah mudahnya adalah “suara hati”. Misalnya, sejarawan sangat memerlukan sensus communis untuk memahami latar belakang yang mendasari pola sikap manusia. sensus communis adalah akar dangkal dari panca indera luar, yaitu kemampuan untuk menggabungkan panca indera,  yang membuat pertimbangan tentang apa yang diberikan, sebuah kemampuan yang diberikan terhadap semua manusia. Adalah perasaan tentang yang benar dan kebaikan umum yang ditemukan pada semua manusia, sebuah perasaan yang diperoleh melalui kehidupan di dalam komunitas dan ditentukan oleh struktur dan tujuan-tujuannya. Satu hal yang utama adalah bahwa sensus communis jelas tidak berarti kemampuan umum pada semua manusia, tetapi pemahaman yang menemukan komunitas. Menurut Vico, sesuatu yang memberikan arah pada kehendak manusia  bukanlah keumuman akal budi absatrak tetapi keumuman konkret yang merepresentasikan komunita dari sebuah kelompok, masyarakat, bangsa, atau seluruh ras manusia.[3]

Ketiga, pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan. Faktor ini memang sulit untuk dipelajari dan diajarkan. Faktor ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan kasus-kasus yang ada. Faktor ini menjadi pembeda antara orang pintar dan orang bodoh. Orang bodoh yang miskin pertimbangan tidak dapat menghimpun kembali apa yang telah dipelajari dan diketahuinya sehingga ia tidak dapat mempergunakan hal-hal tersebut dengan benar. Pertimbangan hanya diperoleh melalui praktek dari satu masalah ke masalah lain, dan ini leboh condong kepada pengasahan kemampuan daripada perasaan. Akal sehat dalam pertimbangan dijadikan patokan untuk memilih mana yang benar dan mana yang salah, yang tepat dan yang tidak tepat, yang ia buat. Dalam pertimbanagn kalau melihat sesuatu dilihat dari sudut pandang yang baik dan masuk akal.

Keempat, taste atau selera, yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa atau keseimbangan antara insting pancaindra dan kebebasan intelektual.  Gadamer menyamakan selera dengan rasa. Dalam operasionalnya, selera tidak memakai pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas sesuatu, kita tidak tahu penyebabnya. Selera adalah sebuah kemampuan Intelektual dalam melakukan diferensiasi. Namun demikian, meskipun selera berjalan secara subjektif, tidak berarti ia menyerahkan secara buta pada nilai-nilai popular dan memilih model-model dan hanya menirunya. Selera, dalam hal ini area slera estetik, model dan pola memiliki fungsi masing-masing.[4]

Dengan empat hal diatas proses dialektika dan penafsiran terhadap satu teks atau objek tertentu akan menemukan satu titik kebenaran, denga tanpa terkungkung oleh suatu metodologi. Namun demikian, tidak berarti, gadamer adalah seorang yang anti-metodologis. Ia menilai bahwa sebuah metodologi, apapun itu, tidak akan menemukan kebenaran jika menganngap dirinya sebagai satu epistimologi.

Referensi:

Hans-Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode, terj. Truth and Method, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004).


[1] Hans-Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode, terj. Truth and Method, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004).
[2] Ibid hal.12
[3] Ibid hal. 24
[4] Ibid hal. 48

No comments: