Thursday 19 February 2015

Qira'at dan Sab'ah Ahruf dalam Al Qur'an

Makalah oleh : Ishlah Hayati
(Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang

PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui, Al Qur’an merupakan kitab suci umat Islam, dan beriman kepadanya tergolong salah satu rukun Iman. Ia adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Mulai dari surat al-Fatihah sampai dengan akhir surat an-Nas.


Alqur’an juga salah satu sumber hukum Islam yang menduduki peringkat teratas, dan seluruh ayatnya berstatus qath’iy al-wurud, yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah SWT. Dengan demikian, autentisitas serta orsinilitas al-Qur’an benar-benar dapat dipertanggung jawabkan, karena ia merupakan wahyu Allah baik dari segi lafadz maupun dari segi maknanya.

Kemudian didalam Alqur’an terdapat sejumlah riwayat yang secara eksplisit menyebutkan bahwa Alqur’an diwahyukan dalam tujuh huruf. Keadaan ini pula yang menyebabkan terjadinya unifikasi dalam bacaan alQur’an, disamping sebab-sebab lainnya.

PEMBAHASAN
1. Pengertian qira’at
Secara etimologis, lafad Qira’at (قراة) merupakan bentuk masdar dari (قرأ), yang artinya: bacaan.

Sedangkan secara terminologis tedapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukaan oleh paran ulama sehubungan dengan pengertian qira’at ini. Imam al-Zarkasyi misalnya, mengemukaan sebagai berikut:

qira’at yaitu; perbedaan lafadz-lafadz alqur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut seperti takhfif, tsydid, dan lain-lain.”

Menurut pendapat al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli, mengemukakan sebagai berikut:
  1. Qira’at yaitu: suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, baik yang disepakati maupun di-ikhtilaf-kan oleh para ahli qira’at, seperti: hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), tahrik (member harakat), washl (menyambungkan huruf), ibdal (menggantikan huruf atau lafadz tertentu), dan lain-lain yang diperoleh oleh indra pendengaran.”[1]
  2. Senada dengan pernyataan al-dimyati diatas, Imam Syihabuddin al-Qushthalani mengemukakan:
  3. qira’at yaitu: suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at (tentang cara pengucapan lafadz- lafadz al-Qur’an), seperti menyangkut aspek kebahasaan, I’rab, Hazf, isbat, fashl, washl, yang diperoleh dengan cara periwayatan.”

Macam- macam Qira’at
Yang dimaksud macam-macam qira’at disini, yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at al-Qur’an.

Qira’at Sab’at
Yaitu: tujuh versi qira’at yang dinisbatkan kepada para Imam qira’at yang berjumlah tujuh orang yaitu: Ibnu Amir, Ibnu Kasir, ‘Ashim, Abu ‘Amr, Hamzah, Nafi’, dan al-Kisa’i.

Dengan demikian ragam qira’at sab’ah ada 7 macam, yaitu:
  1. Qira’at Ibnu ‘Amir
  2. Qira’at Ibnu Kasir
  3. Qira’at ‘Ashim
  4. Qira’at Abu ‘Amr
  5. Qira’at Hamzah
  6. Qira’at Nafi’
  7. Qira’at al-Kisa’i

Dari pendapat Dr. Subhi as-Shalih sama juga disebut dengan tujuh sistem qira’at yang dihimpun oleh Imam Besar Ibnu Mujahid. Masih banyak system qira’at yang lain, yang dikenal dengan istilah “sepuluh system qira’at”(tujuh sistem qira’at ditambah Qira’at Ya’kub dan Qira’at Khalaf bin Hisyam), dan “ empat belas sistem qira’at”(qira’at tujuh ditambah qira’at Hasan al-Basri, qira’at Muhammad bin ‘Abdurrahman, Yahya bin Mubarrak al-Yazidi, dan Abul-Faraj Muhammad bin Ahmad asy-Syanbudzi)[2]

2. Qira’at Syazzat
Yang dimaksud dengan Qira’at Syazzat dalam bahasa ini adalah sebagaimana dikemukakan oleh sebagian ulama yaitu, Qira’at yang sanadnya Shahih, sesuai dengan kaidah bahasa arab, akan tetapi menyalahi rasm al-mushhaf.[3]

Qira’at bukanlah hasil dari ijtihad para ulama, karena ia bersumber dari Rasulullah  SAW. Dengan perkataan lain, periwayatan yang bermuara kepada Nabi SAWmerupakan sumber asli serta sumber satu-satunya bagi qira’at al-Qur’an. Karena itu jelaslah kiranya, bahwa qira’at al-Qur’an bersifat tawfiqiyah dan bukan bersifat ikhtiariyyat.[4] Namun untuk membedakan mana qira’at yang berasal dari Rasulullah SAW dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu. Ada 3 persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at shahih, yaitu:

a.                   موافقة العربية, qira’at itu sesuai dengan bahasa arab.
b.                  مطابقة الرسم, qira’at itu sesuai dengan mushaf-mushaf usmani .
c.                   صحة السند, bahwa shahih sanadnya, baik diriwayatkan dari imam qira’at yang tujuh dan yang sepuluh, maupun dari imam-imam qira’at yang berterima selain mereka.[5]

Al-suyuuthi mengutip ibnu al-jazari yang mengelompokkan qira’at berdasarkan sanad  kepada 6 macam:[6]

1.                   المتواتر : Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulillah. Dan inilah yang umumdalamhalqira’at.

2.                  المشهور : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan sesuai dengan kaidah Bahasa Arab juga rasm Utsmani, Serta terkenal pula dikalangan para ahli qira’at sehingga karenanya tidak dikategorikan qira’at yang salah atau syadz.

3.                  الآحد : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidah Bahasa Arab (qira’at ini tidak termasuk qira’at yang diamalkan). Qira’at macam ini tidak termasuk qiera’at yang dapat diamalkan bacaannya.Diantara contohnya ialah seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, مُتَّكِئِينَعَلَىرَفَارِفَخُضْرٍوَعَبَاقَرِيٍّحِسَانٍ

4.                  الشاذ : Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ , versi qira’at yang terdapat dalam firman Allah, berikut: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

5.                  الموضوع : Qira’at yang tidak ada asalnya/ qira’at yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar, seperti qira’ah yang dihimpun oleh Muhammad ibnu ja’far al-khuzai.

6.                  المدرج : Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat al-Qur’an, seperti qira’ah sa’d ibn abi waqqash.

Perbedaan antara satu qira’ah dan qira’at lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, I’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini sudah barang tentu membawa sedikit atau banyak, kemudian perbedaan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistinbath dari padanya. Karena itu, Al-Zarkasyi berkata:

“bahwa dengan perbedaan qira’at timbullah perbedaan dalam hukum. Karena itu, para ulama fiqh membangun hukum batalnya wudhu’ orang yang disentuh (lawan jenis)dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qira’at pada: “kamu sentuh” dan kamu saling menyentuh”, demikian juga hukum bolehnya mencampuri perempuan yang sedang haidh ketika terputus haidhnya dan tidak bolehnya hingga ia mandi (dibangun)atas dasar perbedaan mereka dalam bacaan: “hingga mereka suci”

Dr. Quraish Shihab menyatakan, bahwa setiap nash (al-Qur’an) mengandung lebih dari satu dalalat (maksud, arti). Bagi pengucapnya, redaksi tersebut hanya mengandung satu arti saja, yakni arti yang dimaksudkan olehnya. Inilah yang disebut dalalah haqiqiyyat. Tetapi bagi pendengar atau pembacanya, dalalahnya bersifat relatif. Mereka tidak dapat memastikan maksud pembicara. Pemahaman mereka terhadap nash (al-Qur’an) dipengaruhi oleh banyak hal. Mereka bisa berbeda pendapat. Yang kedua ini dinamakan dalalat nisbiyyat.[7]

Makna Sab’ah Ahruf Dalam Al-Qur’an
Banyak hadits yang menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf. Jadi, kalau kalau hadits tersebut tidak dapat dibatasi maknanya maka kita mesti berupaya memahaminya sejauh mungkin, tapi dengan makna yang tidak berlawanan dengan naql dan akal. Pendapat yang lebih mendekati kebenaran, yakni yang tidak terlampau dangkal dan juga tidak berlebihan yang berarti tujuh macam cara membaca yang diberikan Rasulullah sebagai kelonggaran kepada umat Islam.

Sejumlah besar sarjana muslim telah berupaya untuk mengungkapkan dan menjelaskan makna sab’ah ahruf yang terdapat dalam beberapa riwayat tersebut. Abu Hatim Muhammad ibnu habban al-busti(w.354  H), misalnya telah mengumpulkan antara 35 hingga 40 macam penjelasan mengenai masalah ini. Bahkan abu syammah (w. 665 H)telah menulis sebuah buku yang secara khusus menjelaskan tentang berbagai macam penjelasan mengenai sab’ah ahruf ini. Dari sekian banyak penjelasan, sedikitnya ada 6 persfektif yang berkembang, yaitu:[8]
uuBahwa yang dimaksud sab’ah ahruf adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa yang terkenal dikalangan bangsa arab, tetapi maknanya tidak berbeda. Ketujuh bahasa itu adalah quraisy, huzayl, saqif, hawazim, kinanat, tamim, dan yaman.

  1. Menurut sebagian ulama yang lain, bahwa yang dimaksud sab’ah ahruf adalah tujuh macam bahasa dari bahsa-bahasa arab yang dengannya al-qur’an diturunkan. Artinya bahwa lafad-lafad dalam alqur’an secara keseluruhan tidak terlepas dari tujuh bahasa yang terkenal dikalangan bangsa arab. Meskipun sebagian besarnya adalah bahasa quraisy, sebagian lagi dalam bahasa huzayl, saqif, hawazin, kinanat dan yaman.
  2. Pendapat ulama yang lain adalah tujuh pintu atau segi yang dengannya al qur’an diturunkan. Ketujuh segi tersebut adalah perintahh(amr), larangan (nahy), halal,haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal (perumpamaan).
  3. Pendapat lain mengatakan bahwa dalam hadits kata sab’ah ahruf tersebut tidak diartikan dalam bilangan tertentu, akan tetapi menunjukan arti banyak.
  4. Pendapat lain mengatakan bahwa sab’ah ahruf dimaknai sebagai al-qira’ah al-sab (tujuh bacaan)yang secara khusus dihimpun oleh ibnu mujahid.
  5. Yang dimaksud denga sab’ah ahruf adalah tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan). Adapun perbedaan yang dimaksud meliputi perbedaan kata benda, baik dalam mufrad, jama’, mudzakkar maupun muannas, perbedaan dari segi I’rab,tashrif, taqdim dan ta’khir, segi ibdal, segi bentuk penambahan dan pengurangan, dan perbedaan lahjah, seperti bacaan tafhim dan tarqiq, fathah dan imalah,idhar dan idgham,dll.

Hikmah Adanya Perbedaan Qira’at Dalam Al-Qur’an
Adapun hikmah secara umum dari adanya perbedaan qira’at al-Qur’an, sementara ulama mengemukakan sebagai berikut:[9]
ccUntuk member kemudahan bagi umat Islam, khususnya bangsa Arab, dalam membaca al-Qur’an.

  1. Mempersatuka umat Islam dikalangan bangsa Arab, yang relatif baru,  dalam satu bahasa yang dapat mengikat persatuan diantara mereka , yaitu bahasa quraisyi yang dengannya al-Qur’an diturunkan dan dapat mengakomodasi atau menampung unsur-unsur bahasa Arab dari kabilah- kabilah lainnya.
  2. Menunjukkan kelebihan (keutamaan)umat nabi Muhammad SAW. Dari umat nabi- nabi sebelumnya, karena kitab suci yang diturunkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad SAW hanya terdiri atas satu versi qira’at.
  3. Menunjukkan atau membuktikan, terjaga serta terpeliharanya al-Qur’an dari adanya tabdil (penggantian) dan tahrif (pengubahan), termasuk berbagai versi qira’atnya.
  4. Manna’al-Qththan dalam Mabahis fi ‘ulum al-Qur’an juga menyebutkan hikmah diwahyukannya al-Qur’an dalam tujuh huruf, diantaranya:
  5. Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi umat Islam, khususnya bangsa Arab sebagai bangsa yang ummi.
  6. Sebagai bukti kemu’jizatan al-Qur’an menurut naluri dasar kebahasaan orang arab.
  7. Sebagai kemu’jizatan al-Qur’an dalam aspek makna dan hukum- hukumnya.[10]
  8.  

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa  yang dimaksud dengan qira’at dalam bahasan ini yaitu, cara mengucapkan lafadz-lafadz al-Qur’an sebagaimana yang diucapkan Nabi Muhammad SAW., atau sebagaimana diucapkan (oleh para sahabat) dihadapan Nabi SAW, lalu beliau men-taqrir-kannya. Perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai qira’at qur’an  mempunyai hikmah tertentu khususnya bagi bangsa Arab sendiri dan tentunya tidak mengurangi kemurnian al-Qur’an sebagai kitab suci pedoman umat Islam.
Disamping itu adanya perbedaan qira’at dalam al-Qur’an juga berpengaruh terhadap istinbath hukum. Karena perbedaan qira’at akan berpengaruh pada makna al-Qur’an itu sendiri sehingga tak lain akan menghasilkan hukum yang berbeda pula.

DAFTAR PUSTAKA
Hasanuddin, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 1995
as-Shalih Subkhi, Membahas Ilmu- ilmu Al-Qur’an, cet 1(Jakarta: Pustaka Firdaus),1990
 Abdul Wahid Ramli,Ulumul Qur’an 1,cet 1,(Jakarta: Rajawali), 1993
Shihab Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan), Cet ke-2, 1992
Nor Ichwan Mohammad, Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi Atas Persoalan Linguistik, cet: 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2002



[1] Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 1995, Hlm: 112
[2] Dr. Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu- ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus),1990, cet 1, Hlm: 324
[3] Ibid, Hlm: 146
[4] Hasanuddin F, Hlm: 123
[5] H. Ramli Abdul Wahid,Ulumul Qur’an 1,cet 1,(Jakarta: Rajawali), 1993, Hlm:118
[6] Ibid, Hlm: 119-121
[7] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan), Cet ke-2,1992,  Hlm: 138
[8] Mohammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi Atas Persoalan Linguistik, cet:1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2002, Hlm:313-318
[9] Hasanuddin F, Hlm: 241-247
[10] Manna’ al-Qaththan, Mabahis fi ‘ulum al-Qur’an, Hlm:169

No comments: