Sunday 1 February 2015

Pendekatan Gender dalam Kajian Tafsir Al Qur'an

Oleh Lestari Arum PutriMahasiswa Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang

Pendahuluan

Seperti yang kita ketahui, tanpa perlu melakukan penilitian yang seksama, kita dapat melihat bahwa perempuan selama ini hanya memainkan peran sosial ekonomi apalagi politik yang kecil kalau dibandingkan dengan laki-laki. Sebaliknya peran domestik perempuan lebih menonjol. Tentu dalam kasus-kasus individual tertentu tetap ada pegecualian, seperti Cory Aquino yang pernah menjadi presiden Filipina, dan dalam dunia Islam sendiri Benazir Butho dari Pakistan. Apa sebab laki-laki dominan dalam peran-peran publik, sementara perempuan lebih banyak memainkan peran domestik di rumah tangga?[1]


Salah satu sebab mengapa laki-laki dominan dalam peran publik sementara perempuan lebih banyak memainkan peran domestik di rumah tangga menurut Ali Asghar Engineer adalah domestikasi perempuan itu memang berangkat dari asumsi teologis bahwa perempun memang diciptakan lebih rendah dari laki-laki sehingga sepantasnya laki-laki mendominasi kehidupan mereka. Dominasi peran laki-laki itu dibenarkan leh norma-norma kitab suci yang ditafsirkan oleh laki-laki untuk mengekalkan dominasi mereka. Termasuk Al-Qur’an yang secara komparatif bersikap liberal dalam perlakuannya terhadap perempuan.[2]

Tidak ada metode penafsiran Al-Qur’an yang benar-benar objektif. Setiap mufassir menetapkan beberapa pilihan subjektif. Uraian tafsir mereka sebagian mencerminkan pilihan subjektif itu dan tidak selalu mencerminkan maksud dari teks yang mereka tafsirkan.[3]

Karena itu, arti penting analisis tentang konsep Al-Qur’an tentang perempuan harus diukur dari perspektif Al-Qur’an sendiri baik sebagai kekuatan dalam sejarah, politik, bahasa, budaya, kecedekiawanan, dan spiritualitas, maupun kitab suci umat manusia.[4]

Dalam makalah ini akan dibahas tentang pendekatan gender dalam kajian tafsir. Bagaimana Al-Qur’an memandang perempuan serta feminisme sendiri dalam kajian tafsir. Semoga bermanfaat.

Rumusan Masalah
  1. Apakah pengertian istilah gender?
  2. Bagaimana dinamika dan kelahiran gerakan feminisme?
  3. Bagaimana pandangan para feminis Muslim tentang ayat-ayat tentang perempuan yang menjadi tema-tema kajian?
  4. Bagaimana metode analisis gender dalam tafsir gender?

Pembahasan
  1. Pengertian Gender

Kata gender secara etimologi berasal dari bahasa Inggris, gender yang berarti jenis kelamin.[5]Pengertian ini lebih menekankan hubungan laki-laki dan perempuan secara anatomis. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Definisi ini lebih menekankan aspek kultural dibandingkan pemaknaan secara anatomis. Di dalam Women’s  Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam peran, perilaku, mentalitas, dan karakter emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[6]

Agar memudahkan dalam memberikan pegertian gender tersebut, pengertian gender dibedakan dengan pengertian seks (Jenis Kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, dengan (alat) tanda-tanda tertentu pula. Alat-alat tersebut selalu melekat pada manusia selamanya, tidak dapat dipertukarkan, bersifat permanen, dan dapat dikenali semenjak manusia lahir. Itulah yang disebut dengan ketentuan Tuhan atau kodrat. Dari sini melahirkan istilah identitas jenis kelamin.[7]

Gender melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan, dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan perkasa. Ciri dari sifat itu merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, dan keibuan. Sementara itu juga, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Dari sini melahirkan istilah identitas gender.[8]

2. Dinamika gender dan kelahiran gerakan feminisme

Perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana telah terjadi deskriminasi terhadap kaum perempuan dalam sistem tersebut. Dalam konvensi penghapusan segala bentuk deskriminasi terhadap perempuan telah dirumuskan pengertian deskriminasi.Deskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau mengahapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan HAM dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang plitik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.[9]

Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, misalnya, yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.[10]

Dengan demikian,  telah terjadi pergeseran relasi gender. Gender yang semula merupakan interaksi sosial yang setara antara laki-laki dan perempuan bergeser menjadi hegemoni laki-laki terhadap perempuan. Dalam proses historis yang panjang, hegemoni laki-laki atas perempuan telah memperoleh legitimasi dari nilai-nilai sossial, agama, hukum , dan sebagainya. Hegemoni ini tersosialisasi secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Secara sosiologis, masyarakat patriarkal terbentuk dari pergeseran relasi gender tersebut. Laki-laki diposisikan berkuasa tehadap perempuan di berbagai sektor kehidupan. Secara tradisional manusia di berbagai belahan dunia menata diri atau tertata dalam bangunan masyarakat patriarkal. Kondisi ini menggugah kesadaran perempuan untuk mengambil hak-hak kemanusiaannya. Perjuangan untuk sebuah kesetaraan gender telah melahirkan gerakan feminisme.[11]

Pada umumnya orang berprasangka bahwa Feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial yang ada. Persoalannya feminisme itu sendiri, seperti juga aliran pemikiran dan gerakan lainnya, bukan merupakan suatu pemikiran atau aliran yang tunggal, melainkan terdiri atas pelbagai ideologi, paradigma serta teori yang dipakai oleh mereka masing-masing. Meskipun datang dengan analisis dan dari idelogi yang berbeda-beda, umumnya mereka memiliki kesamaan kepedulian, yakni memperjuangkan nasib kaum perempuan.[12]

Pandangan para feminis Muslim tentang ayat-ayat tentang perempuan yang menjadi tema-tema kajian:

1. Konsep Penciptaan Manusia

Dalam tradisi Islam dikenal dan diyakini empat macam cara penciptaan mansuia: (1) Diciptakan dari tanah( penciptaan Nabi Adam AS); (2) Diciptakan dari (tulang rusuk) Adam ( penciptaan Hawa); (3) Diciptakan melalui seorang ibu dengan proses kehamilan tanpa ayah, baik secara hukum maupun secara biologis ( penciptaan Nabi ‘Isa AS), dan (4) Diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis dan hukum, atau minimal secara biologis semata (penciptaan manusia selain Adam, Hawa, dan ‘Isa).[13]

Ayat-ayat yang dijadikan rujukan untuk keempat macam cara penciptaan manusia diatas antara lain adalah:

 ....................................................................................................................................

Ketiga surat diatas menunjukkan penciptaan manusia pertama dari tanah. Sedangkan untuk proses penciptaan Hawa adalah surat Al-A’raf 189 dan Az-Zumar 6. Untuk penciptaan ‘Isa dijelaskan dalam surat Maryam 19-22, dan yang menerangkan tentang proses reproduksi manusia lewat rahim ibu terdapat dalam surat Al-Mukminun 12-14.[14]

Berbeda dengan ketiga macam caara penciptaanya yang lain, ayat-ayat tentang penciptaan Hawa tidak menyebutkan secara jelas dan terperinci mekanisme penciptaan Hawa. Dalam ketiga ayat tersebut hanya disebutkan bahwa dari padanya(nafs wahidah-Adam) Dia menciptakan istrinya (Zaujaha-Hawa). Redaksi seperti itu sangat potensial untuk ditafsirkan secara kontroversial. [15]

Kata nafs digunakan secara umum dan teknis. Walaupun seara umum kata ini diterjemahkan sebagai diri dan jamaknya anfus sebagai diri-diri, namin Al-Qur’an tidak pernah menggunakannya untuk menunjuk pada diri makhluk selain manusia.  Secara teknis, kata nafs dalam Al-Qur’an merujuk pada asal semua manusia secara umum. Meskipun manusia berkembang biak di muaka bumi dan membentuk bermacam-macam negara, suku, dan bangsa yang berlainan bahasa dan warna kulit, namun mereka semua berasal dari sumber yang sama. [16]

Secara gramatikal, nafs adalah feminin, dan merupakan anteseden dari kata sifat atau kata kerja feminin. Namun, secara konseptual, nafs tidak maskulin maupun feminin, dan menjadi bagian esensial dari setiap orang, laki-laki maupun perempuan. Karena itu, kata ini juga dapat (dan memang) mempunyai anteseden maskulin. Menurut kisah Al-Qur’an tentang penciptaan, Allah tidak pernah berencana memulai penciptaan manusia dengan seorang lakilaki; Dia juga tidak pernah merujukkan asal mula manusia pada Adam. Al-Qur’an bahkan tidak menyebutkan bahwa Allah memulai penciptaan manusia dengan nafs Adam, laki-laki. Ketiadaan penyebutan tentang hal ini patut diperhatikan, sebab versi Al-Qur’an tentang pencipaan manusia tidak diungkapkan dalam istilah-istilah gender.[17]

Dalam surat An-Nisa’ ayat 1 tidak disebutkan secara eksplisit nama Adam dan Hawa, tapi diungkapkan dengan kata nafs wahidah dan zaujaha. Namun dengan bantuan ayat-ayat lain dan hadits-hadita Nabi, umumnya para mufassir memahami dan meyakini bahwa yang dimaksud dengan nafs wahidah dan zaujaha dalam ayat itu adalah Nabi Adam dan Hawa yang dari keduanya terjadi perkembanganbiakan umat manusia. Kontroversi sesungguhnya bukan pada siapa yang pertama, tetapi pada penciptaan Hawa yang dalam ayat diungkapkan dengan kalimat khalaqa minha zaujaha. Apakah Hawa diciptakan dari tanah sama seperti penciptaan Adam atau diciptakan dari bagian tubuh Adam itu sendiri. Kalimat minha menunjukan bahwa untuk Adam diciptakan istri dari jenis yang sama dengan dirinya, atau diciptakan dari diri Adam sendiri.[18]

Amina tidak menolak penafsiran bahwa yang dimaksud dengan nafs wahidah adalah Adam dan zawjaha adalah Hawa. Tetapi dia menegaskan bahwa kenyataan historis itu tidaklah menunjukkan Allah memulai enciptaan manusia dari jrnis kelamin laki-laki. Menurut catatan Al-Qur’an, Allah tidak pernah merencanakan untuk memulai penciptaan manusia dalam bentuk seorang laki-laki, dan tidak pernah pula merujuk bahwa asal-usul umat manusia adalah Adam. Tentang teknk penciptaan Hawa, Amina tidak mengemukakan pendapatnya secara tegas. Dia hanya menjelaskan bahwa kata min dalam bahasa Arab, pertama, dapat digunakan sebagai kata depan”dari”untuknya”, kedua, dapat digunakan untuk menyatakan sama macam atau jenisnya. Bila min pada kalimat minha dalam An-Nisa ayat 1 digunakan fungsinya yang pertama maka maknanya Hawa diciptakan dari Adam, sebaliknya bila kedua maka maknanya Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam. Amina tidak secara tegas memilh salah satu dari kedua kemunginan adi. Namun terkesan dia tidak menyukai kemungkinan pertama, sekalipun tidak secara tegas memilih yang kedua.[19]

2. Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga

Konsep kepemimpinan suami atas istri, sebagai mana yang diyakini oleh umat Islam umumnya itu, berasal dari pemahaman terhadap firman Allah SWT dalam surat AnNisa’ ayat 34, maka para feminis Muslim setidak-tidaknya Asghar Ali Engineer dan Amina Wadud Muhsin berupaya untuk melakukan penafsiran kembali terhadap ayat tersebut tentu saja setelah membongkar penafsiran lama yang mereka nilai bias gender. Ini merupakan ayat tersebut seutuhnya,

.....................................................................................................................................

34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.[20]

Berdasarkan ayat diatas Zamakhsyari, Alusi dan Sa’id Hawwa sepakat menyatakan bahawa suami adalah pemimpin terhadap istrinya dalam rumah tangga. Menurut Asghar Ali Engineer penafsiran dalam ayat tersebut tidak boleh dipahami lepas dari konteks sosial pada waktu ayat itu diturunkan. Keunggulan laki-laki dalam pandangan Asghar bukanlah keunggulan jenis kelamin, tapi keunggulan fungsional karena laki-laki mencari nafkah dan membelanjakan hartanya untuk perempuan. Asghar menyatakan bahwa pernyataan ar-rijal qawwamun ‘ala an-nisa’ bukanlah pernyataan normatif, tapi pernyataan kontekstual. Sedangkan Amina Wadud dapat menyetujui laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan dalam rumah tangga jika disertai dua keadaan: (1) jika laki-laki punya atau sanggup membuktikan kelebihannya;(2)jika laki-laki mendukung perempuan dengan menggunakan harta bendanya. Bagi Amina, kelebihan laki-laki yang dijamin oleh Al-Qur’an hanyalah warisan.[21]

3. Konsep Kesaksian dan Kewarisan Perempuan

Pertimbangan lain dalam pembahasan kontemporer tentang isu perempuan dalam Al-Qur’an berfokus pada potensi perempuan dalam kesaksian. Menurut ayat yang terkait dengan hal ini, ketika suatu perjanjian utang dituliskan, maka “persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh)seorang lelaki dan dua rang perempuan dari saksi-saksi yang kamu rida, supaya jika seorang perempuan lupa maka seorang lagi(perempuan) mengingatkannya. (QS. 2: 282)”. Menurut susunan kata ayat ini, kedua perempuan ditunjuk sebagai “pengingat” bagi yang satunya lagi. Dia bertindak sebagi penguat. Meskipun ada dua, tiap-tiap perempuan berbeda fungsinya.[22]

Menurut Asghar, formula 2:1 hanya berlaku khusus untuk kasus transaksi bisnis saja. Tidak dapat dideduksikan menjadi satu aturan umum yakni satu saksi laki-laki setara nilainya dengan dua orang saksi perempuan. Menurutnya karena perempuan pada masa ayat itu diturunkan tidak berpengalaman dalam persoalan bisnis sehingga mempunyai kemungkinan untuk lupa. Jika yang satu lupa yang lain mengingatkan.[23]

Dalam masalah waris ini, Asghar tidak meniai ketentuan ini bersifat deskriminatif terhadap perempuan. Menurutnya, selain mendapatkan bagian dari warisan, nanti setelah anak perempuan itu kawin, maka ia akan mendapat tambahan harta berupa mas kawin dari suaminya. Padahal disamping itu dia tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menafkahi dirinya sendiri dan anak-anaknya, karena semuanya sudah menjadi tanggung jawab suaminya. Cuma yang dikritik Asghar adalah penafsiran yang menjadikan ketentuan warisan ini sebagai alasan untuk menganggap anak perempuan lebih rendah nilainya dibandingkan anak laki-laki.[24]

Amina sendiri berpendapat, perkara warisan mencakup pertimbangan-pertimbangan berikut: (1) pembagian kepada famili laki-laki dan perempuan yang masih hidup, (2) sebagian harta dapat diwariskan, (3) harus mempertimbangkan keadaan orang yang ditinggalkan, manfaat orang yang ditinggalkan bagi almarhum, dan manfaat dari harta yang diwariskan.[25]

Metode analisis gender dalam tafsir gender:

  1. Teori Psikoanalisa atau Identifikasi. Teori ini mewarnai karya tafsir gender seputar pembahasannya tentang poligami. Alasan kebolehan poligami yang dikemukakan adalah istri tidak mampu memberiakan kepuasan kepada suaminya secara seksual. Dalam hal ini suami diberikan dua pilihan, yaitu menceraikan istrinya atau tetap mempertahankan istrinya lalu menikah dengan itri kedua. Oleh sebagian tafsir gender yang membolehkan poligami, pilihan kedua inilh yang dianggap lebih manusiawi karena meskipun suami memiliki istri kedua, dia tetap dapat memberikan kasih sayang dan bantuan finansial kepada anak-anak dan istri pertamanya. Intinya adalah bahwa sebagian tafsir gender di Indonesia dan Mesir menjadikan faktor seksual sebagai legitimasi kebolehan poligami.[26]
  2. Teori Struktural-Fungsional. Teori ini banyak dipakai dalam analisis gender terutama dalam pembahasannya seputar pro dan kontra tentang kepemimpinan perempuan. Tidak sedikit mufassir yang berbeda penafsiran satu sama lain.[27]
  3. Teori Konflik. Sebagian tafsir gender menolak hubungan suami istri dalam bentuk struktur yang vertikal dan mengusulkan struktur horizontal sehingga tercipta hubungan companionship seperti yang dikehendaki penganut teori konflik. Persoalan kepemimpina rumah tangga dirujuk dalam QS. An-Nisa/4:34 dengan menggunakan teori konflik untuk memahami ayat ini dalam rangka menggugurkan pandangan ulama klasik bahwa kepemimpinan tidak mutlak pada tangan suami. Kata qawwamun yang menjadi sumber perdebatan dalam ayat ini diusahakan untuk menghindari makna bias gender dengan memaknai bukan dengan makna “pemimpin”. Metode lain adalah kata rijal dan nisa yang tidak mutlak dimaknai dengan laki-laki dan perempuan dalam pengertian biologis tapi dapat diartikan dalam makna gender.[28]


Kesimpulan

Perbedaan penafsiran antara para mufassir dan feminis Muslim terjadi disebabkan oleh latar belakang pemikiran masing-masing individu. Para feminis Muslim menggunakan perspektif feminisme dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, sedang para mufassir tidak melakukan hal yang sama. Metodologi yang mereka gunakan juga berbeda.

Pada dasarnya inti ajaran setiap agama, khususnya Islam adalah menganjurkan dan menegakkan prinsip keadilan. Al-Qur’an sebagi prinsip-prinsip dasar atau pedoman moral tentang keadilan tersebut mencakup pelbagai anjuran untuk menegakkan keadilan ekonomi, keadilan politik, kultural termasuk keadilan gender. Dalam hal ini diperlukan metode penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang bisa digunakan untuk memahami bagaimana ajaran moral agama yang bersifat prinsipl mesti membutuhkan analisa sosial.[29]

Daftar Pustaka

Ilyas, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)

Wadud, Amina , Qur’an Menurut Perempuan, Penerj: Abdullah Ali, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006)

Wojowasito, S dan Wasito W, Tito Kamus Lengkap Inggris-Indonesia Indonesia-Inggris, (Bandung: Angkasa Offset, 1980)

Kadarusman, M.Ag, Agama, Relasi Gender, & Feminisme, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005)

Ch, Mufidah Rekonstruksi Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Konteks Sosial  Budaya dan Agama, file PDF

Fakih, Mansour , Analisis Gender &  Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)



[1] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. M.A. , Feminisme dalam Kajian Tafir Al-Qur’an klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), Hlm. 1
[2] Ibid, hal: 2-3
[3] Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, Penerj: Abdullah Ali, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), Hlm. 16
[4] Ibid, hal: 13-14
[5] Prof. S. Wojowasito dan Drs. Tito Wasito W, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia Indonesia-Inggris, (Bandung: Angkasa Offset, 1980), Hlm.66.
[6] Kadarusman, M.Ag, Agama, Relasi Gender, & Feminisme, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005),Hlm. 20
[7] Mufidah Ch, Rekonstruksi Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Konteks Sosial  Budaya dan Agama, file PDF, Hlm. 2
[8] Ibid, hal:3
[9] Kadarusman, M.Ag, Hlm. 22
[10] DR. Mansour Fakih, Analisis Gender &  Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), Hlm. 12-13
[11] Kadarusman, M.Ag, Hlm. 22-23
[12] DR. Mansour Fakih, Hlm. 78-79
[13]Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. M.A. ,Hlm.6 1-62
[14] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. M.A., Hlm. 62
[15] Ibid
[16] Amina Wadud, Hlm. 42
[17] Ibid, Hlm. 43
[18] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. M.A., Hlm. 64
[19] Ibid, Hlm. 70-72
[20] QS. An-Nisa 34
[21] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. M.A., Hlm.73-85
[22] Amina Wadud, Hlm. 146-147
[23] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. M.A., Hlm. 95-96
[24] Ibid, Hlm. 103
[25] Amina Wadud, Hlm. 151
[26] Dr. Hamka Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, (Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI), Hlm. 143
[27] Ibid, Hlm. 146
[28] Ibid, Hlm. 154
[29] DR. Mansour Fakih, Hlm.135-136

No comments: