Saturday 20 April 2013

Analisa Perbandingan Qur'an dan Veda


Oleh: Miftahul Arifin
NIM: 104111029

Pendahuluan
Setiap  agama memiliki pedoman untuk mengatur seluruh aspek kehidupan pemeluknya. Pedoman itu tak  lain adalah kitab suci yang diyakini  kebenaran dan sakralitasnya. Dengan kata lain, kitab suci merupakan pedoman utama yang menjadi landasan pemeluk agama melakukan aktivitas, baik aktivitas yang berhubungan dengan tuhan (ubudiyah) atau aktifitas yang berhubungan dengan sesama 
manusia (muamalah). Semuanya diatur dalam kitab suci tersebut. Para pemeluk agama meyakini bahwa kitab suci yang dimiliki bukan merupakan karangan manusia atau seorang tokoh dalam agama tersebut. Sebuah kitab suci diyakini sebagai wahyu tuhan yang diturunkan dari langit yang bertujuan menciptakan manusia dapat hidup dengan benar.
Al Qur’an adalah kitab suci bagi umat islam.Umat islam meyakini bahwa Al Qur’an adalah kitab penuntun yang mengatur segala aktifitas umat. Maka, segala sesuatu yang dilaksanakan oleh umat islam, tidak boleh tidak harus sesuai dengan apa yang terdapat di dalam Al Qur’an. Jika, tidak, maka ia akan dianggap telah keluar dari aturan-aturan yang ditentukan oleh tuhan.
Demikian pula umat bagi agama lain seperti umat Hindu. Umat Hindu juga menyakini bahwa kitab Veda  lah sumber kebenaran yang murni. Veda juga diyakini sebagai kitab suci yang diturunkan oleh tuhan kepada seluruh umat manusia untuk menuntuh hidupnya.
Jika demikian, dimanakah kitab yang paling benar? Wallahu ‘alam. Hanya tuhan lah yang mengetahui hakikat kebenaran itu. Kita, sebagai manusia, hanya berusaha untuk selalu mencapai, atau paling tidak mendekati, kebenaran yang dimaksudkan oleh tuhan.
Dalam tulisan ini,  Analisa perbandingan Antara Al Qur’an dan Veda, penulis tidak bermaksud untuk mencari kebenaran, kesalahan atau celah yang ada dalam kedua kitab tersebut. Sebagai umat islam, penulis menyakini dengan sepenuh hati bahwa Al Qur’an merupakan kitab yang paling benar bagi penulis. Namun, demikian dalam perbandingan ini penulis akan berusaha bersikap netral dan objektif. Sehingga, dapat diketahui letak perbedaan dan persamaan antara keduanya. Maka, dalam tulisan ini, penulis hanya ingin membanding kan antara keduanya.
Namun demikian, karena luasnya pembahasan mengenai kedua kitab tersebut, penulis hanya akan membatasinya pada tiga pokok persoalan; kitab Veda dan Al Qur’an sebagai pedoman hidup yang berkembang, bagaimanakah proses pewahyuan keduanya, dan akan bahas pula  nama-nama lain dalam kedua kitab tersebut.
Sebagai refresh untuk menuju suatu analisa yang membandingkan antara keduanya, akan diuraikan terlebih dahulu hal  ihwal mengenai kedua kita tersebut. Selamat membaca.
A. Kitab Al Quran
1.        Pengertian
Al Qur’an adalah Allah yang bernilai mukjizat yang diturunkan kepada pungkasan para nabi dan Rosul dengan perantaraan malaikat jibril a.s yang tertulis pada mushahif. Diriwayatkan kepada kita dengan mutawatir. Membacanya bernilai ibadah. Diawali dengan surat Al Fatihah dan ditutup dengan surat An-nas.[1]
Al Qur’an merupakan kitab pedoman bagi umat manusia, baik hubunganya secara vertikal dengan Allah maupun hubungan secara horizontal, sesame  manusia.  Bagi umat islam, Al Qur’an adalah wahyu tuhan yang diyakini kebenarnnya dan tidak ada satupun manusia yang dapat membuat semisal Al Qur’an. Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu ayat dalam Al qur’an surat bahwa sekalipun seluruh makhluk di muka bumi dikumpulkan dan disuruh membuat semisal Al Qur’an nisacaya ia tidak akan mampu membuatnya.
Allah berfirman  dala surat Al isra’ ayat 88:
قل لئن اجتمعت الانس و الجن على ان يأ توا بمثل هذ القران لا يأ تون بمثله ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا. (الأسرء: 88)
2.       Kedudukan Al Qur’an
Kedudukan Al Qur’an bagi umat islam sangat tinggi. Ia merupakan petunjuk yang menuntun hidup manusia, baik hubungannya dengan tuhan maupun sesame manusia.
Yusuf Al Qardawi menjelaskan, sedikitnya ada 7 tema-tema utama yang terdapat dalam Al Qur’an.[2]. pertama, meluruskan aqidah dan kepercayaan. Kedua, menetapkan kemuliaan manusia dan hak-haknya. Ketiga, menyembah Allah SWT. Dan bertaqwa kepadanya. Keempat, membersihkan jiwa manusia. Kelima, membentuk keluarga dan berlaku adil kepada kaum wanita. Keenam, membentuk umat yang menjadi saksi bagi manusia. Ketujuh, mengajak membangun alam manusia yang saling menolong. Dengan kata lain, Al Qu’an yang terdiri dari 30 jus itu memiliki kandungan makna yang lengkap dan tak akan pernah habis sekalipun manusia berulang-ulang telah menggalinya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Al Qur’an disebut sebagai kitab sohih likulli zaman wa makan.
Kedudukan Al Qur’an bagi umat islam ialah sebagai sumber utama yang mengatur segala aktifitas manusia. Ia adalah sumber utama hukum-hukum yang menjelaskan yang hak dan yang batil. Sehingga apapun yang di lakukan umat islam harus sesuai dengan isyarat-isyarat yang ada di dalamnya. Maka, seandainya ada hal-hal yang seolah-olah bertentangan dengan Al Qur’an, baik itu datangnya dari hadis Nabi atau sunnah sahabat atau sunnah orang muslim, yang harus didahulukan adalah Al Qur’an. Hal itu mutlak karena taka da kebenaran yang lebih sempurna kecuali kebenaran yang diajarkan Al Qur’an.
3.       Cara Al Qur’an diturunkan
Sebagaimana banyak dijelaskan dalam buku-buku ulumul Qur’an, bahwa secara garis besar Al Qur’an diturunkan melaui dua tahap. Pertama, dari lauh al-Mahfuzh ke langit dunia secara keseluruhan. Kedua, dari langit dunia kepada nabi Muhammad secara terpisah. Sejarah telah mencatat bahwa proses pewahyuan Al qur’an secara bertahap kepada Nabi Muhammad selama 23 tahun.
Imam Suyuti menyebutkan bahwa Imam Qurthubi menukil sebuah hikayat ijmak atas turunnya Al Qur’an secara keseluruhan dari lauh al-mahfuzd ke langit dunia. Hal ini sebagai pertanda khusus perkara al Qur’an dan perihal rosul yang hendak menerimanya dan sekaligus memberikan pengumuman kepada penduduk langit tujuh bahwa Al Qur’an merupakan kitab terakhir yang diturunkan kepada nabi terakhir untuk umat yang termulia.[3]
Sementara turunnya Al Quran berangsur-angsur, sebagaimana dikatakan Syekh Muhammad Ali Asa-Shabuni dalam bukunya Ikhtisar ulumul Qur’an Praktis sebagai berikut:[4]
1.         Mengukuhkan hati Nabi dalam menghadapi ulah orang-orang musyrik yang menyakitkan.
2.        Sebagai kasih saying kepada nabi ketika turunnya wahyu.
3.        Sebagai tahapan ketika mensyariatkan hokum-hukum syamawiyyah
4.        Memudahkan untuk menghafal dan memahami Al Qur’an bagi kaum muslimin
5.        Sebagai petunjuk bagi kepada dzat yang mengeluarkan Al Qur’an. Serta sesungguhnya ia diturunkan oleh Allah yang maha bijaksana.
6.        Sebagai argumentasi berbagai peristiwa dan kejadian dan sebagai peringatan ketika itu.
Penyampaian Al Qur’an kepada nabi Muhammad beraneka ragam. Secara garis besar ada dua macam.[5] Pertama, melaui perantara, yaitu malaikat jibril as. Kedua, tanpa perantara.
1.    Penurunan Wahyu dengan Perantara.
Malaikat jibril adalah utusan Allah yang secara khusus bertugas menyampaikan wahyu Allah kepada para Rosul. Ada dua cara penyampain wahyu melalui malaikat jibril. Pertama, datang kepadanya seperti gemerincing lonceng dan suara yang amat kuat. Yang mempengaruhi factor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini dipandang paling berat dalam proses penururnan wahyu. Apabila wahyu turun dengan cara ini, maka nabi mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya.[6]
Kedua, malaikat menjelma sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara ini lebih ringan dari pada cara yang pertama karena danya kesesuaian antara si pembicara dan si pendengar.  Rasul merasa senang sekali mendengarkan dari utusan pembawa wahyu itu, karena seperti manusia yang berhadapan yang berhadapan dengan saudaranya.[7]
Keadaan jibril menampakkan diri seperti seorang laki-laki tidak lah mengharuskan ia melepaskan sifat kerohaniannya. Tetapi yang dimaksudkan ialah bahwa ia menampakkan diri dalam bentuk manusia untuk menyenangkan Rosulullah sebagai manusia.[8]
Ketika wahyu turun nabi selalu mengkonsentrasikan untuk menghafalnya. Beliau sering mengulang membacanya bersama jibril dalam mempelajari Al Qur’an karena beliau merasa khawatir kalau-kalau ada yang terlupa atau hilang. Allah pun memerintahkan Nabi untuk mendengarkan baik-baik bila jibril membacakannya.[9]
2.   Penurunan wahyu tanpa perantara
Penyampaian wahyu tanpa melalui perantara ialah dengan mimpi yang benar-benar dalam keadaan tidur. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh aisyah dikatakan bahwa sesungguhnya apa yang telah terjadi kepada nabi adalah benar-benar mimpi dalam waktu tidur. Beliau tidak melihat mimpi kecuali bagaikan terangnya pagi hari.[10]
Hal tersebut merupakan persiapan bagi Rosul untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar, kecuali bagi orang yang mendakwakan bahwa surah kausar diturunkan melalui mimpi karena ada satu hadis yang menjelaskan itu.[11]
Demikian pula menurut pendapat yang paling sah, Allah pun telah berbicara secara langsung kepada Rosul. Seperti pada malam isra’ mi’raj. Yang demikian ini merupakan bagian kedua dari penyampain wahyu secara langsung oleh Allah. Tetapi hal ini tidak terjadi pada proses penyampain Al Qur’an, tetapi terjadi pada Nabi Musa as.[12]
Adapun penurunan wahyu kepada jibril sebagaimana dijelaskan oleh Ali As Shabuny dalam buku At-Tibyaan Fii Ulumil Qur’an ialah dengan cara diperdengarkan kepada jibril. Ia mendengarkan ayat-ayat Allah kemudian disampaikan kepada Rosulullah.
Makna Inna Anzalnaahu Fii Lailatil qadri ialah “sesungguhnya kami telah memperdengarkan dan memberikan pengertian kepada malaikat tentang Al Qur’an dan kami menurunkannya apa yang telah mereka dengar”[13]
4.       Nama-nama Al Qur’an
Al Qur’an adalah kitab samawi yang tinggi dan luhur. Ia adalah kitab samawi yang paling mulia yang diturunkan secara khusus kepada nabi penutup akhir zaman. Karenanya, dinamai lah kitab samawi itu dengan Al Qur’an, Al Furqan, At-Tanzil, Adz-Dzikir, Al Kitab. Penamaan tersebut bukan tanpa alasan, tetapi dengan alasan-alasan tertentu sebagai berikut:[14]
1.       Alasan diberi nama Al Qur’an ialah karena banyak terdapat dalam ayat-ayat. Misal, surat dalam surat Qaaf ayat 1 yang artinya:
“Qaaf. Demi Al Qur’an yang sangat mulia.”
Dalam surat Al Isra’ ayat 9 juga disebutkan.
Artinya: “Sesungguhnya Al Qur’an ini memberi petunjuk pada jalan yang amat lurus”
2.      Alasan Al Qur’an diberi nama Al Furqan juga dijelaskan dalam beberapa ayat di dalamnya seperti pada surat Al Furqan ayat 1:
Artinya:” Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al Fur’qan kepada hambanya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”
3.      Alasan Al Qur’an diberi nama At Tanzil tertera dalam surat Asy-Syu’ara’ ayat 192-193:
Artinya:”dan sesungguhnya At-Tanzil ini (Al Qur’an ini) benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, ia dibawa turun oleh Ar-ruh Al Amin (Jibril as.)”
4.      Alasan Al Qur’an diberi nama Adz-Zikir tertera dalam surat Al Hijr ayat 9:
Artinya:”Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Adz-Zikir (Al Qur’an) dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”
5.      Sedangkan pemberian nama Al Kitab tertera dalam surat Ad-dukhan ayat 1-3:
Artinya:”Haa miim. Demi kitab (Al-Qur’an) yang menjelaskan. Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi”
5.       Bahasa Al Qur’an
Bahasa Al Qur’an secara khusus adalah bahasa arab. tidak disebut Al Qur’an jika telah tidak berbahasa arab meskipun hal tersebut merupakan salinan dari makna Al Qura’an dalam bahasa arab. Hal ini disebabkan karena bahasa dalam al Qur’an merupakan bagian dari wahyu itu sendiri. namun perlu di ingat, bahwa bahasa arab dalam Al qur’antidak lah sama dengan bahasa orang-orang arab ketika Al Qur’an itu turun. Bahasa Arab dalam Al Qur’an adalah bahasa khusus. Lebih tepatnya bahasa Al Qur’an.
Sebagaimana diketahui dalam sejarah peradaban islam, banyak para ahli yang telah menekuni ilmu bahasa dengan beragam variasi. Mereka mengubah puisi dan prosa, kata-kata bijak dan masal yang tunduk pada aturan bayan dan diekspresikan dalam uslub-uslubnya yang memukau.[15] Namun, dihadapan Al Qur’an ia  menjadi pecahan-pecahan kecil yang tunduk menghormat dan takut kepada uslub Al Qur’an.[16]
Sejarah juga telah menyaksikan, ahli bahasa telah terjun ke dalam medan festifal bahasa dan mereka memperoleh kemenagan. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang mengalahi Al Qur’an.[17] Dengan kata lain, kebahasaan dalam Al Qur’an adalah bagian dari Al Qur’an sediri. Oleh karena itu, jika Al Qur’an telah diterjemahkan kedalam bahasa yang lain maka tidak disebut Al Qur’an. Hal ini juga untuk menghindari campur tangan orang islam sendiri. karena Allah sudah berjanji bahwa Dia Sendirilah yang akan memelihara dan menjaga Al Qur’an.
انا نحن نز لنا الذ كر و انا له لحافظون    (الحجر: 14)
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Al Qur’an dan kami lah yang akan menjaganya”

A. Kitab Veda
1.        Pengertian
Veda merupakan kitab suci dari agama Brahma/ hindu. Veda bermakana pengetahuan (knowlwdge). Dari rumpun akar kata yang sama makna dapat di saksikan perkembangan kata tersebut sebagai berikut: vedo (old slavonic), veit (old norse), videre (latin), oida, (grik), woit (gothik), Weiss (jerman), dan wot (inggris).[18]
I Made Titib, dalam buku Veda, Sabda Suci pedoman praktis Kehidupan, menjabarkan definisi Veda secara simantik. Secara simantik, Veda berarti “pengetahuan suci”, “kebenaran sejati”, “pengetahuan tentang ritual”, “kebijaksanaan tertinggi”, “pengetahuan ritual sejati tentang kebenaran abadi”, dan ajaran suci atau kitab suci sumber ajaran agama Hindu.
Maharsi Sayana mengatakan, kata Veda yang berasal dari akar kata Vid, yang berarti untuk mengetahui, veda memiliki pengertian sebagai kitab suci yang mengandung ajaran yang luhur untuk menuntun menuju kehidupan yang baik dan menghindarinya dari berbagai bentuk kejahatan.[19]
Veda terdiri dari empat Samitha (himpunan):
1.       Rig-veda, berisikan 1028 buah nyanyian keagamaan (hymns) terdiri atas 10.600 bait dan terpandang sebagai himpunan paling tua diantara himpunan lainnya.
2.      Sama-Veda, berisikan kumpulan nada bunyi-bunyian bagi mengiringi nyanyian keagamaan di dalam rig-veda.
3.      Yajur Veda, berisikan kumpulan nyanyian keagamaan beserta pengaturan upacara kebaktian.
4.      Atharva-Veda. Ia dipandang sebagai samitha paling belakangan. Ia berisikan himpunan mantra-mantra, guna-guna, nyanyian-nyanyian perkawinan yang disertai pembahasan-pembahsan filosofis dan teologis.[20]
Pada mulanya veda bukan merupakan kumpulan tertulis. Tetapi, berabad-abad lamanaya, merupakan ajaran-ajaran yang terpandang suci, bersifat nyanyian kegamaan dan diwariskan secara turun temurun, secara hafalan di luar kepala (oral veda). Penulisan dilakukan sekitar pada abad ke-5 sebelum masehi.[21]
Pada mulanya, kaum terpelajar tidak menerima terhadap Atharva veda sebagai bagian dari kitab suci. Karena, mereka menganggap telah ada campur tangan dari penyalin-penyalinnya. Tiga samhita yang diakui itu dikenal dengan sebutan sruti.[22]
2.       Kedudukan
1.    Sumber Ajaran Agama Hindu
Sebagai kitab suci agama hindu, ajaran veda diyakini sebagai satu-satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari atau untuk waktu waktu tertentu. Ia diyakini sebagai kitab suci karena sifat isinya dan yang menurunkan adalah tuhan yang maha esa yang disebut dengan apauruseya. Apapun yang diturunkan sebagai ajarannya kepada umat manusia adalah ajaran suci, terlebih lagi bahwa isinya memberikan petunjuk-petunjuk atau ajaran-ajaran untuk hidup suci.[23]
Dalam kitab Veda mengalir ajaran yang merupakan kebenaran bagi agama hindu. Veda menuntun tindakan umat sejak lahir sampai ia meninggal. Demikian pula, ajaran veda tidak terbatas hanya sebagai tuntunan  bagi individu. Melainkan juga hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[24]
Umat hindu menyakini kebenaran yang datang dari kitab veda. Svami Sivanda, seorang yogi besar menyatakan bahwa Veda Merupakan kitab tertua dari perpustakaan umat manusia. Veda diwahyukan pada permulaan adanya pengertian waktu.[25]
2.   Wahyu Tuhan Yang Maha Esa
Sepertinya halnya setiap agama lain, umat hindu menyakini veda sebagai wahyu yang diturnkan oleh tuhan.  Orang-hindu menyebutnya dengan sruti, yaitu yang didengar. Veda sebagai kumpulan sabda berasal dari apauruseya yang berarti bukan manusia. Para penerima wahyu dalam agama Hindu berfungsi hanya sebagai sarana dari tuhan untuk menyampaikan kepada umat manusia.[26] Dalam tradisi kuno, penyampaian wahyu kepada umat manusia dilakukan dengan tradisi lisan melalui sebuah perguruan yang disebut “parampara”.[27]
Orang yang diutus sebagai penyampai wahyu dari tuhan dilihat dari kesucian pribadinya. Dalam agama hindu, orang tersebut disebut dengan Rsi. Rsi berasal dari kata drs yang artinya “melihat atau memandang”.[28]
3.   Veda sebagai sumber hukum bersifat memaksa
Adanya banyak dalil dalam kitab veda yang menerangkan bahwa veda sebagai sumber hokum dari agama hindu bersifat memaksa dan mutlak. Diantaranya sebagaimana disebutkan dalam Manavadharmasastra II.2. sebagai berikut:
Kamatmata na prasasta na caivehasya kamata, kamyo hi nedadhigamah karmayogasca vaidikah.

Artinya: “berbuat hanya karena nafsu untuk meperoleh pahala tidaklah terpuji, namun berbuat tanpa keinginan akan pahala tidak dapat kita jumpai di dunia ini karena keinginan-keinginan itu bersumber dari mempelajari veda dank arena itu, setiap perbuatan diatur oleh veda”

Manavadharmasastra II.5 juga menyebutkan,

Tesu Samyang varttamano gacchatya maralokatam
Yatha samkalpitamsceha sarvan Kaman samasnute

Artinya: “ketahuilah bahwa ia selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dengan cara yang benar, mencapai tingkat kebebasan yang sempurna kelak dan memperoleh semua keinginan yang mungkin ia inginkan”

Disebutkan pula dalam manavadharmasastra II.11,

Yo ‘vamanyeta te mule hetu sastrasrayad dvijah, sa sadhubir bahiskaryo nastiko vedan indakah.

Artinya: “setiap dvijati yang menggantikan dengan lembaga dialektika dan dengan memandang rendah kedua sumber hokum (sruti-smrti) harus dijauhkan dari orang-orang bajik sebagai seorang atheis dan yang menentang veda”

Masih banyak pasal-pasal yang menekankan pentingnya veda, baik sebagai ilmu maupun sebagai alat didalam membina masyarakat. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut penghayatan veda sangat penting karena kan bermanfaat bukan saja pada orag tersebut. Tetapi, juga kepada orang yang akan dibinanya.

4.       Cara Pewahyuan
Karena Veda, sebagaimana  keyakinan umat hindu, merupakan wahyu tuhan yang disampaikan kepada umat manusia, maka veda sebagaimana kitab-kitab agama lain tentu saja memiliki ciri-ciri tersendiri dalam proses pewahyuannya. Veda diturunkan oleh oleh Brahma sebagai dewa SABDA kepada seorang Maharsi.
Sebenarnya tidak ada satu uraian tepat bagaimana wahyu itu diturunkan kecuali melaui penafsiran atau keterangan tak langsung dari berbagi ulasan yang dapat dihimpun dari berbagai waktu. Perlunya menjelaskan hal tersebut karena veda adalah kitab agama hindu yang tidak dapat dibantah lagi kebenarannya. Status veda sebagai wahyu tuhan menjadi kewajaran bagi kita untuk mengetahui proses wahyu itu diturunkan.[29]
Gede Pudja dalam buku Pengantar agama Hindu menjelaskan bahwa ada 4 cara wahyu itu disampaikan kepada para nabi (Maharsi) sebagai berikut:[30]
1.    Wahyu yang disampaikan kepada maharsi dengan cara dimasukkan langsung ke dalam  pikiran dan hatinya. Kata-kata itu memberi kesan dan membentuk rupa atau keadaan yang kemudian menemukan bentuknya berkembang dalam pikiran.
2.   Dewa memperlihatkan dirinya dalam bentuk manusia biasa. Hal ini sebagaimana ditafsirkan dalam uraian kitab purana. Wahyu itu membentuk kesannya dengan melalui contoh atau perintah langsung yang dilakukan oleh para dewa. Ajaran dewa inilah yang akhirnya dibukukan sebagai sabda tuhan (sabda Dewata, Daivi Vak).
3.   Wahyu turun seperti gamang lonceng. Gema itu membentuk rupa yang dalam aksar dikenal dengan OMKARA atau SVARA NADA. Suara nada ini merupakan gemerincingnya suara yang melahirkan kata-kata yang memberi petunjuk mengenai arti dan makna suara itu sendiri. demikian, cara ini di dianggap sebagai cara paling sulit dalam ilmu dank arena ini pula dianggap sebagai paling rahasia.
4.   Para dewa memperlihatkan dirinya kedalam bentuk yang mulia. Kejadian ini agak berbeda dengan proses yang disebut dalam uraian nomer 2 di atas. Penggambaran turunnya wahyu melaui ini, hanya dilukiskan sebagai manusia secara empiris secara langsung berhadapan dengan Dewa yang akan menyampaikan pesan-pesannya kepada si penerima wahyu.
I Made Titib juga menjelaskan dengan uraian yang sama namun ada beberapa bagian yang sedikit berbeda.[31] Pertama, Svaranada. Svaranada adalah gema yang diterima Rsi. Gema tersebut kemudian berubah menjadi sabda atau wahyu tuhan. Wahyu itu kemudian disampaikan kepada para siswa yang ada di dalam asrama (pasraman).
Kedua, Upanisad, yaitu dimasukinya pikiran rsi oleh sabda Brahman sehingga pikiran itu berfungsi sebagai sarana yang menghubungkan tuhan dengan para siswa. Sabda guru adalah sabda Brahman yang disampaikan dalam suasana pendidikan. Dalam praktiknya, para siswa duduk dekat dibawah guru untuk menerima ajarannya.
Ketiga, Darsana atau Darsanam. Yaitu, Rsi atau orang suci berhadapan dengan deva-deva. Seperti halnya arjuna yang berhadapan dengan Deva Indra atau Siva dalam satu pandangan ghaib dengan mata rohani.
Ke empat, Avatara. Yakni, Manusia berhadapan dengan Avataranya, seperti halnya arjuna meneriman wejangan suci Bhagavadgita dari Sri Krisna, sang purna Avatara.
5.       Nama-Nama Lain Dari kitab Veda
Imade Titib dalam bukunya Veda, Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan menjelaskan ada 5 nama-nama lain dari kitab suci Veda sebagai berikut:
1.         Kitab Sruti. Kitab Sruti menunjukkan bahwa isi kitab itu merupakan Wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang diterima oleh para Maharsi. Seorang maharsi disebut Mantradastrai yang artinya kerena kesucian diri pribadinya mampu merekam sabda tuhan yang disebut Apauruseya, atau tuhan yang maha esa yang bukan berwujud manusia.
2.   Kitan Cetur Veda. Nama dimaksudkan untuk menujukkan bahwa veda merupakan himpunan dari Rgveda, yajut veda, sama veda dan atharvaveda. Tiga yang pertama diyakini umurnya lebih tua.
3.   Kitab Rahasya. Kata Rahasya artinya bahwa veda mengandung ajaran yang bersifat rahasia yakni ajaran moksa atau kelepasan. Ajaran veda meliputi ajaran ketuhanan serta penciptaan alam semesta yang penuh misteri dan selalu menjadi pertanyaan serta usaha untuk bersatu dengannya merupakan tujuan tertinggi agama hindu.
4.   Kitab Agama. Kitab agama menunjukkan bahwa kebenaran veda adalah mutlak dan harus diyakini kebenarannya. Kata agama merupakan satu istilah pramana yaitu tiga cara untuk menentukan kebenaran sesuatu, yaitu agama pramana, anumana pramana, dan pratyaksa pramana yang masing-masing berarti kebenaran yang disampaikan oleh orang-orang suci yang sangat diyakini kesucian pribadinya, kebenaran yang berdasarkan pertimbangan analisis yang sistematis dan kebenaran berdasarkan pengamatan.
5.       Kitab Mantra. Kitab mantra adalah nama lain dari kitab veda. Nama ii diberikan karena veda memang berbentuk mantra atau puisi syair yang dapat dilagukan. Mantra artinya ucapan yang keluar dari pikiran dan pikiran merupakan saluran membentuk rupa atau wujud yang dapat dibayangkan. Seluruh kita sruti syairnya pada umumnya disebut mantra meliputi kitab Samhita, Brahma, Aranyaka, dan kitab-kitab Uppanisad. Diluar kitab-kitab itu, syair-syairnya disebut sloka.

6.        Bahasa Veda
Bahasa Veda adalah bahasa yang digunakan oleh masayarakat di tempat waktu veda itu diturunkan. Dengan demikian, bahasa veda adalah bahasa sanskerta. Bahasa ini tetap digunakan sampai perkembangan susastra.[32] Istilah atau nama sansekerta sebagai nama bahasa ini dipopulerkan oleh seorang maharsi yang bernama Panini. Ketika itu ia mencoba menulis sebuah kitab tata bahasa yang sansekerta yang terdiri dari 8 Adhyaya (dalam bahasa Indonesia Bab) yang lebih popular dengan Astadhhyayi yang mencoba mengemukakan bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa deva-deva atau bahasa devata.[33]
Selanjutnya dalam perkembangannnya yang sangat pesat para ahli kemudian membedakan bahasa sang sekerta menjadi 3 kelompok:
1.       Bahasa Sanskerta Veda (vedic Sanskrit); bahasa sanskerta yang digunakan dalam veda yang umumnya jauh lebih tua dibandingkan dengan bahasa sanskerta yang digunakan dalam berbagai susastra hindu seperti purana, dan lainnya.
2.      Bahasa Sanskerta Klasik (classical sankrit); bahasa sanskerta yang digunanakan dalam susastra hindu seperti itihasa (Ramayana dan mahabhrata).
3.      Bahasa Sanskerta campuran (Hybrida Sankrit);para ahli menyebut bahasa ini dengan bahasa sanskerta kepulauan atau bahasa yang digunakan ditanah air. Kedua bahasa ini tidak murni lagi seperti duan bahasa di atas karena sudah mendapat pengaruh dari bahasa yang berkembang pada waktu itu.
Menurut Imade Titib, dalam mempelajari veda dan susastra dalam hindu seseorang tidak akan sempurna pemahamannya kecuali mengetahui bahasa sanskerta. Bagi hindu di Indonesia,  diperlukan juga memahami jawa kono dan Bali.
B.      Al Qur’an dan Veda: Sebuah Analisis Perbandingan

1.       Wahyu Tuhan Yang Selalu Berkembang
Sebagai kitab suci sebuah agama, Al Qur’an dan veda memiliki beberapa kesamaan karakteristik. Secara sederhana, baik Al Qu’an atau pun Veda, keduanya merupakan kitab suci yang dirunkan oleh tuhan yang maha esa, yang diperuntukkan bagi umatnya dan di turunkan melaui para utusanya. Kalau dalam Islam utusan itu disebut Nabi, sementara dalam agama hindu lebih dikenal dengan sebutan Rsi atau maharsi. Nabi dan rsi diutus oleh tuhan untuk menyapaikan ajaran kepada manusia. Antara Al Qur’an dan Veda, kuduanya, diyakini sebagai penuntun hidup umat yang akan membawa keselamatan di dunia dan di akhirat. Ia tidak lekang karena zaman karena ajarannya selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan.
Sebagaimana dikemukan oleh I Made Titib, memahami kitab suci Veda, bagi umat Hindu, adalah mutlak. Sebab, Veda merupakan wahyu tuhan dan sumber ajaran dan sumber hukum agama Hindu. Dari Veda semua ajaran Hindu mengalir dan memberikan vitalitas kepada umatnya. Dengan memahami Veda kita akan lebih mudah melihat perkembangan agama Hindu selanjutnya. Ajaran Veda sesuai dengan sifatnya Anadi-ananta dan Sanatana yakni, tidak berawal, tidak berakhir dan bersifat abadi, maka ajaran Veda senantiasa relevan dengan lerkembangan zaman.[34]
Hal ini jelas, sesuai dengan bunyi Rgveda VI. 24. 7:
Na yam jaranti sarado na masa,
Na dyava Indram avakarsayanti
“Tuhan yang maha Esa tidak menjadikan dia tua, bulan dan demikian pula hari”
Umur manusia boleh saja tua, tetapi ajaran suci veda seantiasa diikuti oleh generasi-generasi berikutnya membuktikan bahwa veda tetap relevan sepanjang zaman. Pada masa silam kitab Ramayana dan Mahabraharta telah lama diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno (Mangjawaken Valmikimata dan Vyasamata), demikian pula kitab purana. Sayangnya, hanya satu purana berbahsa jawa kuna yakni, Brahmanda Purana yang kita warisi. Sementara kitab Ramayana (kakawin berbahasa jawa kuna) telah di susun pada abad ke VIII-IX di jawa tengah, pada zaman dynasti Samjaya, sedang Mahabhrata pada zaman Dharmavamsa Teguh di jawa timur dan tradisi penyususnan karya sastra ini berlangsung terus hingga jaman Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu Nusantara terbesar di Indonesia.[35]
Demikian pula Al Qura’an. Sebagaimana telah banyak dijelaskan oleh para tokoh-tokoh islam. Al Qur’an adalah kitab universal. Universalitas kandungan Al Qur’an berimplikasi bahwa ia adalah kitab yang dapat menjawab segala tantangan zaman. Tak hanya itu, ajaran dalam Al Qur’an sesuai dengan realitas sosial dimana Al Qu’an itu diajarkan. Makanya, mayoritas umat islam menyebutnya dengan “sohiihun lii kulli zaman wa makan
Al Qur’an bukanlah kitab yang diturunkan hanya untuk umat-umat terdahulu di zaman nabi, tetapi untuk orang-orang dimasa mendatang. prinsip-prinsip universal Al Qu’an bisa dijadikan pijakan untuk menjawab tantangan zaman yang bersifat temporal dan particular.[36] Problem-problem sosial keagamaan di era kontemporer akan dijawab oleh Al Qur’an dengan cara melakukan kontekstualisasi penafsiran secara terus menerus.[37]
Makna Universalitas Al Qur’an juga menunjukkan bahwa Al Qur’an tidak terbatas kepada satu umat, atau kelompok tertentu. Pembicaraan Al Qur’an ditunjukkan, baik kepada orang muslim maupun bukan muslim, termasuk orang kafir, musyrik, ahli kitab yahudi dan nasrani.[38]
Lebih jelas Al qur’an menyebutkan dalam surat Ali Imran Ayat 64 sebagai berikut:
Artinya: “Katakanlah hai Ahli kitab, marilah pada suatu hari kiamat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu. Bahwa tidak kami sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari pada Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah).”
Selain itu, persaman Al Qur’an dengan Veda tanpak dalam beberapa hal yakni, proses penerimaan wahyu tuhan dan nama-nama dalam kedua kitab tersebut.
2.      Sistem Pewahyuan
Dalam proses penerimaan wahyu, Al Qur’an dan Veda juga memiliki bebrapa kesamaan. Misal, wahyu diturunkan kepada nabi Muhammad seperti gemerincing lonceng dan suara yang amat kuat. Dalam pewahyuan veda juga disebutkan demikian. Dalam prosesnya, gamang lonceng atau Gema itu membentuk rupa yang dalam aksar dikenal dengan OMKARA atau SVARA NADA. Suara nada ini merupakan gemerincingnya suara yang melahirkan kata-kata yang memberi petunjuk mengenai arti dan makna suara itu sendiri. demikian, cara ini di dianggap sebagai cara paling sulit dalam ilmu dan karena ini pula dianggap sebagai paling rahasia. Dalam pewahyuan Al Qur’an, cara ini dipandang paling sulit dan berat oleh Nabi. Sehingga, Apabila wahyu turun dengan cara ini, maka nabi mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya.
Selain itu, dalam proses pewahyuan si penyampai wahyu merubah wujud seperti manusia. Baik Hindu maupun islam mengakui proses pewahyuan yang demikian. Tetapi, di sini, ada sedikit perbedaan. Jika di dalam islam yang merubah wujud adalah malaikat jibril sebagai makhluk yang diutus oleh tuhan, maka di dalam pewahyuan Veda Rsi atau orang suci berhadapan dengan deva-deva laiknya arjuna yang berhadapan dengan Deva Indra atau Siva dalam satu pandangan ghaib dengan mata rohani.
Sebagaimana ditafsirkan dalam uraian kitab purana, Wahyu itu membentuk kesannya dengan melalui contoh atau perintah langsung yang dilakukan oleh para dewa.
Dalam proses pewahyuan Veda juga, bahwa wahyu yang disampaikan kepada maharsi dengan cara dimasukkan langsung ke dalam  pikiran dan hatinya. Kata-kata itu memberi kesan dan membentuk rupa atau keadaan yang kemudian menemukan bentuknya berkembang dalam pikiran.
Dalam islam pewahyuan yang demikian juga terjadi pada nabi. Dijelaskan oleh Manna Khalil Al-Qattan, bahwa wahyu diturunkan ketika Nabi dalam keadaan sadar.[39] Hal ini didasarkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh anas dalam sahih Muslim.
“Ketika Rasulullah s.a.w pada suatu hari berada berada di antara kami di dalam masjid, tiba-tiba ia mendengkur, lalu mengankat kepala belia dalam keadaan tersenyum. Aku tanyakan kepadanya: ‘apakah yang menyebabkan engkau tertawa wahai Rasulullah?’ Ia menjawab: ‘Tadi aku telah turunn kepadaku sebuah surat.”
Mungkin dalam keadaan mendengkur inilah, menurut Manna Khali al Qattan,  keadaan yang dialami ketika wahyu turun.[40] Dalam kedaan seperti ini, menurut penulis, turunnya wahyu dengan cara dimasukkan secara langsung kedalam pikiran Nabi.
3.      Nama-nama Kitab
Tidak hanya Al Qur’an, Veda juga memiliki banyak nama. Sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan di atas, veda memiliki nama-nama antara lain sruti, Cetur Veda, Rahasya, kitab Agama dan mantra.  Al Qu’an, dengan beberapa alasan juga telah disebutkan nama-namanya antara lain, Al Furqan, Adz- Dzikr, At Tanzil dan Al Kitab. Dengan kata lain, Al Qur’an dan veda tak terbatas hanya pada satu nama. Melainkan ada beberapa nama sebagai penyebut lain selain kedua kitab tersebut.
Namun, meski demikian, terdapat perbedaan antara keduanya. Jika nama-nama dalam Al Qu’an secara mutlak didasarkan pada dalil-dalil yang terdapat dalam Al Quran, maka pemberian nama-nama veda didasarkan pada esesnsi atau maksud dari kitab tersebut. Misal, pemberian nama Kitab Rahasya. Pemberian nama ini didasarkan kepada bahwa Veda mengandung ajaran yang bersifat rahasia yakni ajaran moksa atau kelepasan.
Tetapi sebagian ulama dalam islam, juga telah menafsiri bahwa pemberian nama-nama terhadap Al Qur’an juga tidak lepas dengan esensi Al Qur’an sendiri. seperti penamaan Al Qur’an dengan At-Tanzil yang artinya turun. Di sini tidak lepas dari alasan bahwa sesunggunya al Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh tuhan kepada Nabi Muhammad. Demikian Pula Adz-Dzikr yang berarti mengingat. Bahwa Al Qur’an turun kemuka bumi sebagi peringatan bagi umat manusia.
Dengan demikian, persoalan nama dalam kedua kitab, Al Qur’an dan veda memiliki kesamaan dalam beberapa prosesnyaa memiliki perbedaan.
4.      Bahasa Kitab
Tidak dijumpai persamaan antara bahasa Veda yang menggunakan bahasa sansekerta dengan bahasa Al Quran yang menggunakan bahasa arab kecuali keduanya merupakan bahasa kitab yang disampaikan sesuai dengan kitab itu diturunkan untuk memberikan pemahaman bagi manusia, umat. Bahasa Al Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa arab karena Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad yang notabennya adalah bangsa arab.
Allah berfirman dalam surat Yusuf ayat 2 sebagai berikut:
انا انزلنا ه قرانا عر بيا.  (يوسف: 2)
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan Al qur’an dengan berbahasa arab”.
Ayat di atas memberi satu pengertian bahwa bahasa arab merupakan bahasa Al Qur’an. Artinya, jika bahasa Al Qur’an sudah diterjemahkan kedalam bahasa yang lain, maka ia tak dapa t disebut Al Qur’an. Melainkan, ia disebut dengan terjemahan Al Qur’an.
Tetapi perlu ditegaskan kembali, meskipun bahasa Al Qur’an menggunakan bahasa arab, bahasa arab dalam Al Qur’an tidak bisa disamakan dengan bahasa arabnya orang-orang arab pada waktu itu. Bahasa yang digunakan Al Quran adalah bahasa khusus. Ia adalah bahasa wahyu.
Dalam Veda, sebagaimana dikatakan oleh I Made Titib, bahwa bahasa Veda adalah bahasa masyarakat dimana ia diturunkan. Dalam hal ini, veda menggunakan bahasa sanskerta.
Berbeda dengan Al Qur’an. Pada perkembangannya, Veda mengalami perkembangan dalam kebahasaan. Seperti yang telah dijelaskan di muka, Veda terbagi kedalam tiga bahasa. Sementara Al Qur’an tetap memposisikan diri seperti semula. Tak ada sedikitpun perubahan, baik dari jumlah ayat, surat, huruf terlebih bahasa yang digunakan.
Jika bahasa sebuah kitab mengikuti bahasa dimana agama itu berkembang, maka akan berimplikasi sangat besar bagi kitab itu sendiri. seperti yang juga telah terjadi pada kitab veda. Ada dua jenis bahasa Sanskerta, yakni Hybrida dan Archipelago, yang telah mendapat campuran bahasa yang berkembang ketika itu. Misal, di India bahasa Sanskerta mendapat pengaruh bahasa Bengali di bagian timur dan bahasa Tamil di bagian selatan. Sedangkan di masa lampau, di Indonesia,  bahasa Sanskerta sudah bercampur dengan unsur-unsur bahasa Nusantara.[41] Al Qur’an tidak mengambil pengembangan itu pada tataran kebahasaan, melainkan pada pemahaman isi kandungan teks-teks Al Qur’an itu sendiri.  
Kesimpulan
Dari beberapa penjabara di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan; pertama, sebagai kitab suci, baik Veda maupun Al Qur’an, memilki kedudukan yang mulia bagi pemeluknya. Ia adalah penuntun kehidupan umat. Umat Hindu meyakini bahwa kitab Veda adalah kitab universal yang tidak lekang dengan zaman. demikian pula Al Qur’an. Kedudukan Al Qur’an sebagai kitab sohiihun lii kulli zaman wa makaan diyakini sebagai kitab yang dapat memperbaiki kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan Negara, dimana pun dan kapan pun.
Kedua, dalam konsep pewahyuan. Ketika seorang rsi atau nabi menerima wahyu tuhan, ia selalu dihadapkan pada proses yang berbeda terutama sampainya wahyu kepada utusan tuhan.
Ketiga, bahasa. Tuhan maha mengetahui dan memahami. Makanya pun, ketika wahyu itu diturunkan, Dia selalu memberikan yang termudah bagi manusia agar wahyu tersebut dapat diterima dan dipahami dengan baik. Baik Al Qur’an maupun veda diturunkan dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa masyarakat dimana kitab itu diturunkan.
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak. Tulisan singkat ini tidak akan menjadi sempurna kecuali mendapat saran-saran dari pembaca sebagai modal perbaikan bagi tulisan selanjutnya. Mohon maaf atas segala kekeliruan. Trima kasih atas segala perhatian.

Daftar Bacaan
Ali, Muhammad Ash-Shabuny, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001)

Ali, Muhammad Ash-Shabuny, Pengantar Studi Al Qur’an, terj, (Bandung: Al Ma’arif, 1987)

Amanah St,  Pengantar Ilmu Al Qur’an dan Tafsir, (CV. Adhi Grafika: Semarang, 1993)

Al Qardawi Yusuf, Berinteraksi dengan Al Qur’an, terj., (Jakarta: Gema Insani press, 1999)

Joesoef,  Agama-Agama Besar Di Dunia, (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1996)

Khalil Manna al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an, terj, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011)

Mustaqim Abdul, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2011)

Pudja Puja, Pengantar agama Hindu III, (Surabaya: Paramita, 1998)

Titib, I Made, Veda: Sabda Suci pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 1998)










[1] Syekh Ali Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hal. 3
[2] Yusuf Al Qardawi, Berinteraksi dengan Al Qur’an, terj., (Jakarta: Gema Insani press, 1999), hal. 107-169.
[3] Syekh Ali Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hal. 45
[4] Syekh Ali Ash-Shabuni, ibid. hal. 48
[5] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an, terj, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), hal. 44
[6] Manna Khalil al-Qattan, ibid, hal. 48
[7] Ibid.
[8] Ibid, hal.  49
[9] Muhammad Ali As Shabuny, Pengantar Studi Al Qur’an, terj, (Bandung: Al Ma’arif, 1987), hal. 76
[10] Manna Khalil al Qattan, Op cit, hal. 44
[11] Ibid, hal. 44
[12] Ibid, hal. 47
[13] Muhammad Ali As Shabuny, Pengantar Studi Al Qur’an, terj, (Bandung: Al Ma’arif, 1987), hal. 78
[14] Ibid, hal. 23
[15] Manna Khalil al Qattan, ibid, hal. 379
[16] Ibid
[17] Ibid, hal. 381
[18] Joesoef,  Agama-Agama Besar Di Dunia, (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1996), hal. 28
[19] I Made Titib, Veda: Sabda Suci pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 1998), hal. 13
[20] Joesoef,  Op cit, hal. 28
[21] Ibid.
[22] Ibid, hal. 29
[23] I Made Titib, Op cit, hal. 19
[24] Ibid, hal. 19-20
[25] Ibid,  hal. 19
[26] Ibid, hal. 20
[27] Ibid, hal. 21
[28] Ibid, hal. 22
[29] Gede Pudja, Pengantar agama Hindu III, (Surabaya: Paramita, 1998), hal. 14-15
[30] Ibid. hal. 15
[31] I Made Titib, Op cit, hal. 22
[32] Ibid, hal. 16
[33] Ibid.
[34] Ibid, hal. 11-10
[35] Ibid, hal. 10
[36] Abdul mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2011), hal. 54
[37] Ibid.
[38] St Amanah,  Pengantar Ilmu Al Qur’an dan Tafsir, (CV. Adhi Grafika: Semarang, 1993), hal. 136.
[39] Manna Khalil al Qattan, Loc it, hal. 6
[40] Ibid, hal. 7
[41] I Made Titib, hal. 17

No comments: