Saturday 20 April 2013

Teologi Islam Dalam Problem Kemiskinan


Oleh Miftahu Arifin

A.      Pendahuluan
Islam adalah agama yang memperjuangkan hak-hak kemanusiaan. Al Qur’an sebagai kitab suci dari agama islam berisikan petunjuk dan pedoman-pedoman bagaimana manusia hidup, baik hubungannya dengan tuhan maupun sesama manusia. Dalam konteks kemanusiaan ajaran al qur’an tidak tidak terbatas. Ia memberikan petunjuk bagaimana manusia hidup bermasyarakat dan memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari. Sehingga dapat dikatakan, permasalahan-permasalahan kemanusiaan, apapun itu bisa dicarikan jawabannya dalam islam. Lantas bagaimana islam berbicara kemiskinan?
Disisi lain memang, Al Qur’an menyebut nabi-nabi, sebagaimana dikemukakan oleh pemikir Islam Ali Syariati berasal dari kalangan masyarakat biasa, bahwa mereka bukan bagian dari kelompok yang mapan atau pemimpin yang berkuasa (Kecuali Nabi Daud dan Nabi Sulaiman).[1] Dengan tegas Al Qur’an menyebutkan, “Dialah yang mengutus diantara orang-orang yang buta huruf seorang rosul dari kalangan mereka sendiri” (62:2). Dengan, demikian, sebenarnya Al Qur’an berdiri di pihak golongan masyarakat yang lemah. Terutama ketika berhadapan dengan para penindas. Al Qur’an juga menegur orang-orang yang tidak mau menolong mereka yang teraniaya.[2]
Asghrar Engineer dalam kata pengantar buku Islam dan Teologi Pembebasan mengatakan, bahwa kedatangan islam merupakan sebuah revolusi yang selama berabad-abad telah berperan secara signifikan dalam panggung sejarah kehidupan manusia. Namun, demikian, setelah Nabi wafat terjadi perebutan kekuasaan yang berorientasi pada kepentingan pribadi.  Dari sini, banyak sekali orang-orang yang menginginkan status quo yang menyebabkan islam kehilangan kekuatan revolusionernya. Semenjak itulah perhatian umat tercurah pada masalah-masalah teologi.  Dalam hal ini, teologi islam yang sebenarnya sangat dekat dengan keadilan sosial, mulai mengalihkan perhatiannya pada masalah eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi.
Satu hal yang patut dicermati yaitu bahwa, pada dasarnya, kemunculan suatu teologi tertentu senantiasa terkait dengan upaya merespon permasalahan umat yang terjadi pada saat itu. Latar belakang sosial, politik, dan budaya memiliki faktor penting dalam memahami pertumbuhan dan perkembangan teologi Islam. Teologi Islam tidak berhenti sampai di tangan al-Ghazali.[3] Kini di tangan para cendekiawan muslim teologi Islam dihadapkan pada problem sosial yang baru, misal pluralism, kemiskinan dan masalah-masalah sosial baru yang lain.
Jika pada masa Al Asy’ari hingga Al Ghazali teologi hanya dipandang sebagai pengetahuan tentang ketuhanan, maka para cendikiawan muslim saat ini menginginkan teologi dapat menjawab tantangan umat islam yang hadir belakangan.
Karena masalah yang muncul amat beragam, maka dalam makalah yang singkat ini penulis hanya akan membatasi pada masalah masyrarakat miskin dimana pada faktanya mereka selalu diposisikan sebagai kaum tertindas. Penulis ingin mengetahui lebih jauh bagaimana sesungguhnya islam berbicara kaum miskin sebagai kaum yang lemah dan tertindas, baik secara kontek historis maupun pernyataan tegas yang terdapat dalam Al Qur’an.
B.      Paradigma Teologi Islam
Agama sebagai doktrin dan nilai memberikan pengaruh besar terhadap masyarakat.[4] Pemahaman keagamaan masyarakat akan memberi warna tersendiri bagi kehidupan sosialnya. Hal ini juga diakui oleh para pemikir seperti Robert N. Bellah dan Jose Casanova. Mereka mengakui pentingnya peran agama dalam kehidupan sosial politik masyarakat dunia. Agama bukan hanya pelengkap tetapi menjadi salah satu komponen penting yang cukup berpengaruh didalam berbagai proses globalisasi. Karena itu, maka perlu kiranya kita memahami sejauh mana posisi agama dalam merespon berbagai persoalan kemasyarakatan.[5]
Dalam menjawab tantangan globalisasi terhadap masyarakat masyarakat miskin yang tertindas di Indonesia, Mansour Fakih membagi paradigma umat islam di Indonesia menjadi empat bagian:[6]
1.   Pradigma Tradisionalis
Paradigma Tradisionalis percaya bahwa permasalahan kemiskinan kaum tertindas adalah ketentuan dan rencana tuhan. Mereka meyakini bahwa hanya tuhan yang maha tahu apa arti dan hikmah dibalik ketentuan tersebut. Mereka tidak tahu tentang gambaran besar sekenario tuhan dari perjalanan panjang umat manusia. Masalah kemiskinan sering kali adalah “ujian” atas keimanan.
Akar teologi ini bersumber dari teologi tradisional yang sering dikenal dengan golongan Ahlussunnah. Sebagaimana dicatat dalam sejarah tologi islam, ia merupakan aliran tertua yang bersumber dari pemikiran abu Hasan Al Asy’ari.
2.  Paradigma Medernis
Pemikiran kaum medernis tentang kemiskinan dan keterbelakangan kaum tertindas, sepaham dengan pemikiran modernisasi sekuler. Mereka percaya bahwa masalah yang dihadapi kaum tertindas berakar pada persoalan “karena ada yang salah dari sikap mental, budaya ataupun teologi mereka”. Mereka menyerang teologi sunni yang dijuliki sebagai kaum fatalistik.
Pemikiran ini berakar pada pemikiran para reformis islam sebelumnya seperti para teolog mu’tazilah dan gerakan neo-Mu’tazilah seperti Muhammad Abduh di Mesir atau Mustafa Kamal di Attarurk Turki. Di Indonesia pernah mempengaruhi pemikiran Muhammadiyah.
3.  Paradigma revivalis
Pemikiran revivalis melihat bahwa baik factor internal maupun factor eksternal sebagai persoalan kemiskinan dan ketebelakangan kaum tertindas. Bagi mereka, kemiskinan kaum tertindas lebih disebabkan karena semakin banyaknya kaum tertindas terutama umat islam yang justru mamakai idiologi lain atau isme lain sebagai dasar pijakan dari pada menggunakan Al Qur’an sebagai acuan dasar. Mereka berkeyakinan bahwa sesungguhnya al qur’an telah komplit dalam mengatur seluruh aspek kehidupan.
4.  Paradigma Transformatif
Paradigma ini merupakan paradigma alternative terhadap ketiga paragigma di atas. Mereka mempercayai bahwa kemiskinan kaum tertindas disebabkan oleh adanya sistem dan struktur ekonomi, politik dan kultur yang tidak adil, yang hanya menguntungkan sebagian kecil umat manusia. Oleh karena itu agenda mereka adalah melakukan transformasi terhadap struktur melalui penciptaan relasi yang secara fundamental baru dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik dan kultur.
Bagi kalangan ini, pemihakan terhadap kaum tertindas diilhami oleh semangat Al Qur’an dan sunnah Nabi, tetapi juga hasil dari analisa kritis terhadap struktur yang ada. Islam bagi mereka dipahami sebagai agama pembebasan terhadap kaum tertindas.
C.      Islam Dan Tantangan Kemiskinan
Jika agama hendak menciptakan kesalehan sosial dan menghindarkan diri dari hanya sekedar menjadi pelipur lara dan tempat berkeluh kesah, agama harus mentransformasikan diri menjadi alat yang canggih untuk melakukan perubahan sosial, menjadi sebuah agen yang secara aktif melakuan perubahan terhadap tatatanan sosial yang telah usang yang dengan sendirinya telah memiliki mekanisme sosial-legal dan politik ekonomi yang digunakan untuk mempertahankan hak-hak dan kekuasaan “kasta yang tinggi” dan kelas atas.[7]
Karena sebenarnya, meskipun teologi berasal dari teks skriptual yang diwahyukan oleh Tuhan, sebagian bersifat situasional-konteksual dan normatif-metafisis. Ruhnya yang militan tampak ketika teologi tetap mengidentifikasikan dirinya dengan kaum tertindas. Namun, karakter metafisis-spekulatif akan terlihat semakin menonjol manakala teologi mengidentifikasikan dirinya dengan kemapanan yang kemudian bersatu dengan gerakan keagamaan.[8]
Menurut Asghar Ali Engineer, diskusi ihwal islam dan tantang kemiskinan sangat menarik manakala kita telah memahami pendekatan yang dipakai Al Qur’an dalam membahas masalah tertentu yang berkaitan dengan hal tersebut. Adapun pendekatan yang dipakai oleh Al Qur’an ialah dengan menggambarkan para penguasa, pemimpin dan meraka yang di atas sebagai orang mustakbirin (sombong, mabuk kekuasaan) dengan menyebut rakyat jelata dengan mustadafiin (lemah dan tertindas). Nabi-nabi selalu berasal dari golongan orang yang lemah dan berjuang demi membebaskan mereka dari cengkraman para penindas. Bagaimana kita tahu nabi Musa. Dia melawan fir’un yang kuat demi membebaskan bangsa Israel yang tertindas. Bagaimana kita lihat nabi Nuh yang ditolak oleh pemuka masyarakat ketika menyebarkan dakwahnya.[9] Dan banyak nanbi-nabi yang lain yang mendapat tantangan keras ketika menyebarkan dakwahnya termasuk nabi sang penutup, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Peristiwa sejarah yang dikupas oleh al Qur’an di atas dapat kita jadikan kiasan. Bahwa ketertindasan bukanlah merupakan takdir tuhan yang jika dinginkan perubahan hanya dengan menerima takdir semata tanpa ada gerakan dan upaya untuk menghindarinya. Secara tidak langsung, tuhan, melaui nabinya, menginginkan manusia menjadi makhluk yang aktif. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan teologi yang dianut oleh faham jabariyah yang memercayakan segalanya kepada tuhan. Kaum jabariah berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada dirinya merupakan kehendak dan perbuatan tuhan.
Al Qur’an dengan jelas dan tanpa ragu-ragu berdiri dipihak golongan masyarakat lemah dalam menghadapi para penindas. Teologi Qur’ani tidak hanya dengan keras mengecam eksploitasi, arogansi kekuasaan dan penindasan terhadap kaum lemah. Namun, juga, memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk memerangi orang jahat demi menyelamatkan mereka yang tertindas.[10]
Rosul membenci kemiskinan dan kelaparan. Hadis yang diriwayatkan oleh Nissi menyebutkan, “Ya tuhan, aku berlindung kepadamu dari kemiskinan, kekurangan dan kehinaan, dan aku berlindung kepadamu dari keadaan teraniaya dan perilaku aniaya terhadap orang lain”.[11] Yang perlu dicermati dari hadits di atas, setelah mereka kaum lemah bebas dari ketertindasan, maka mereka juga berlidung dari menjadi seorang penindas. Ibaratnya, lupa daratan.


D.     Dakwah: Alat Transformasi Sosial
Transformasi bagi kaum tertindas merupakan suatu proses secara fundamental untuk menciptakan hubungan yang baru dan lebih baik. Dengan batasan seperti ini, maka sesungguhnya keseluruhan proses transformasi itu bagi teologi kaum tertindas merupakan proses dakwah.[12] Menurut Mansour Fakih, dakwah dalam pengertian dasarnya adalah “ajakan” dan kata dakwah senantiasa dihundungkan dengan kata “dengan bijaksana”. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya dakwah merupakan perintah Allah kepada manusia untuk melakukan transformasi sosial demi kepentingan manusia sendiri dan menjadi hak manusia untuk merekonstruksinya[13].
Karena struktur masyarakat senantiasa berubah dan berkembang, maka intuisi, metodologi, dan pendekatan dalam dakwah juga harus berkembang. Itulah relevansinya mengapa dakwah harus dilakukan secara bijaksana.[14] Dalam sebuah hadits rosulullah bersabda: “sesungguhnya aku diutus kedunia adalah untuk menyempurnakan akhlak”
Akhlak dalam konteks transformasi berarti menciptakan hubungan antar manusia, alam dan manusia serta manusia dengan tuhan yang secara fundamental baru dan lebih baik. Sementara dalam konteks structural dan simantik harus diartikan sebagai struktur ekonomi, politik, budaya, gender dan alam yang tidak dominative, tidak eksploitatif dan tidak menindas. Dengan kerangka seperti itu, maka semua aksi kegiatan untuk  mengupayakan terjadinya proses perubahan menuju penciptaan kearah dunia yang secara mendasar baru dan lebih baik, juga harus dipahami sebagai ibadah.[15]
Ada dua tawaran dari Mansour Fakih yang harus diberikan kepada kaum tertindas.[16] Pertama,  membangun kesadaran kritis mereka. Kesadaran disini tidak berarti kesadaran yang dibentuk oleh kepercayaan magis. Melainkan kesadaran kritis yang selalu melihat sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Kedua, melakukan advokasi kebijakan publik. Advokasi lebih merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap dan maju.
E.      Penutup: Kesimpulan
Dari beberapa pemhasan diatas, kita dapat menarik beberapa hal sebagai berikut;
1.       Pada dasarnya Al Qur’an memihak kepada orang yang lemah terutama ketika ia ditindas oleh orang-orang mustakbirin, para penguasa yang sombong.
2.      Sejarah kenabian dalam islam dapat dijadikan sebagai inspirasi dan pegangan bahwasanya ketertindasan itu memang harus dilawan.
3.      Perlunya penyuluhan teologi baru bagi fakir miskin yang tertindas. Teologi yang lama hanya telah menjadikan mereka tidak bertindak aktif dalam menghidari kemiskinan dan ketertindasan.
4.      Sebagai cendikiawan dan orang-prang islam yang faham realitas ini, maka perlunya memberikan pemahaman baru kepada mereka.

Sumber Bacaan
Engineer, Asghar Ali, Islam Dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
Tasmin, Teologi Kaum Tertindas,Kajian Atas Pemikiran Mansour Fakih (Kediri-Jawa Timur: STAIN Press, 2009)
Sang Profesor.htm



[1] Asghar Ali Engineer, Islam Dan Teologi Pembebasan, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2000), hal. 90
[2] Ibid hal. 91
[3] Sang Profesor.htm
[4] Tasmin, Teologi Kaum Tertindas, (STAIN Press: Kediri-Jawa Timur, 2009), hal. 111
[5] Ibid, hal. 111-112
[6] Ibid hal. 112-128
[7] Asghar, hal. 89
[8] Ibid. hal. 90
[9] Ibid. hal. 90-91
[10] Ibid. hal. 92
[11] Ibid hal. 99
[12] Tasmin,,,hal. 153 diambil dari pendapat Mansour Fakih.
[13] Ibid
[14] Ibid, hal. 154
[15] ibid
[16] Ibid hal. 160-165

No comments: