Wednesday 4 December 2013

Respon Muhammas Mustafa Azami Terhadap Orientalis Hadis



Oleh: Miftahul arifin[1]

A.  Biografi Muhammad Mustafa Azami

Muhammad Mustafa Azami lahir di kota Mano, India Utara, tahun 1932. Ayahnya pencinta ilmu dan membenci penjajahan, serta tidak suka bahasa Inggris. Watak ini mempengaruhi perjalanan studi Azami, dimana ketika masih duduk di SLTA beliau disuruh pindah oleh ayahnya ke sekolah Islam yang menggunakan bahasa Arab. Dari sinilah Azami mulai belajar hadis. Tamat dari sekolah Islam, Azami lalu melanjutkan studinya di Collage of Science di Deoband, sebuah perguruan tinggi terbesar di India yang juga mengajarkan studi Islam dan tamat tahun 1952. Kemudian Azami melanjutkan studinya di Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris, Universitas al-Azhar, Cairo dan tamat tahun 1955 dengan memperoleh ijazah al-‘Alimiyah. Tahun itu juga beliau kembali ke tanah airnya, India.[2]


Tahun 1956 Azami diangkat menjadi dosen bahasa Arab untuk orang-orang non Arab di Qatar. Lalu tahun 1957 beliau diangkat sebagai sekretaris Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-kutub al-qatriyah). Tahun 1964 Azami melanjutkan studinya lagi di Universitas Cambridge, Inggris sampai meraih gelar Ph.D. Tahun 1966 dengan disertasi berjudul Studies in Early Hadits Literature. Lalu beliau kembali lagi ke Qatar untuk memegang jabatan semula. Tahun 1968 beliau mengundurkan diri dari jabatannya di Qatar dan pindah ke Mekkah untuk mengajar di Fakultas Pasca Sarjana jurusan Syari’ah dan studi islam Universitas King Abdul Aziz (sekarang Universitas Umm al-Qura). Beliau bersama al Marhum Dr. Amin al-Mishri, termasuk yang ikut andil mendirikan fakultas tersebut.[3]

Tahun 1973 beliau berpindah ke Riyadh untuk mengajar di Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah Universitas King Saud. Dan di Universitas ini Ali Mustafa Yakub bertemu dengan Azami sebagai murid dan guru, dimana setelah tamat ia mendapat amanah dari Azami untuk menerjemahkan buku-bukunya. Reputasi ilmiah Azami melejit ketika pada tahun 1980 beliau memenangkan hadiah Internasional Raja Faisal untuk studi islam dari lembaga hadiah Yayasan Raja Faisal di Riyadh. Azami sebagai guru besar hadis dan ilmu hadis pada Universitas King Saud, Riyadh.[4] Dan berawal dari riwayat hidupnya yang banyak menekuni ilmu hadis sehingga karya-karyanya banyak digunakan hingga saat ini.[4]

B.        Respon M. M Azami terhadap Orientalis Hadis

Tuduhan-tuduhan kalangan orientalis terhadap hadis nabi mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Salah satunya Mustofa Azami. Melalui beberapa buku yang ditulisnya ia membahas dengan rinci sanggahan sanggahannya. Bahwa ada banyak kesalahan dan tuduhan tuduhan yang tidak berdasar dari kalangan orintalis terhadap hadis nabi.

Salah satu orientalis hadis yang pandangannya dikritik oleh M. M Azami adalah Joseph Schacth. Tokoh orieantalis asal Ratibor, Silesia, polandia.

Schacht mengatakan, bahwa hadis nabi telah dipalsukan oleh para ulama’ abad ke dua dan ketiga yang berusaha menjustivikasi pandangan mereka sendiri dengan melacak ke belakang sampai kepada nabi.[5] Menurutnya, tradisi yang hidup dari madzhab fiqh-fiqh klasik di dasarkan pada sejumlah besar penalaran individual terlebih dahulu, kemudian pada tahap kedua dinyatakan berasal dari sahabat.[6]

Dalam buku Menguji Keasilian Hadis-Hadis Hukum M. M Azami mengkrtik Schact atas karangangannya Origin of Muhammadan Jurisprudence dalam beberapa persoalan:

a.         Inkonsistensi Baik dalam Teori Penggunaan Sumber  

Dalam buku tersebut, Scacht membatasi diri pada hadis-hadis hukum setelah membahas 47 contoh dari periode yang berbeda-beda.[7] Padahal, sebagian yang dibahasnya itu sebenarnya tidak datang dari Nabi dan sebagian besar pula bukan hadis hukum, melainkan hadis ibadah. Dengan kata lain, hanya semperempat dari bahasannya itu yang sesuai dengan bahasan Schacth. Demikan Respon Azami.

b.        Asumsi-asumsi yang Tidak berdasar dan Metode Riset yang Tak Ilmiah

Premis dasar yang digunakan Schacht, bahwa jika suatu hadis tidak dirujuk dalam dalam diskusi hukum, maka hadis itu telah dipalsukan. Dia berargumen bahwa generasi sebelum Syafi’I adalah pengecualian dan bahwa semua madzhab fiqih klasik memberikan perlawanan terhadap hadis-hadis Nabi.

Jika pernyataan itu benar, Kata Azami, tentu suatu hadis tidak pernah ada jika tidak digunakan sebagai argumen hukum. Mereka yang menentang hadis-hadis hukum sepertinya hampir tidak pernah mengunakan hadis tersebut.[8]

c.         Kesalahan-kesalahan Fakta

Banyak contoh yang dikutib Schacht untuk menunjukkan pemalsuan hadis dianggap tidak valid oleh refrensi kepada sumber lain yang memberikan bukti bahwa ulama sezaman atau yang lebih dulu menyadari adanya hadis tersebut.[9]

d.     Pengabaian Terhadap Realitas Politik dan Geogerafis

Pandangan Schact menginginkan agar kita percaya bahwa tipu daya telah dilakukan secara massal oleh para ulama di seluruh dunia islam pada abad ke-2 H.

Azami mengatakan: “Apa kita percaya bahwa tanpa fasilitas telpon, telegrap atau alat transportasi modern. Para ulama dapat berkomunikasi begitu baik sehingga hadis-hadis yang sama berkembang dalam area yang luas dan terpencar-pencar.”

e.         Kesalahan Terhadap Metode Kutipan para Ulama terdahulu

Azami mengatakan bahwa sebagai seorang sarjana, Scacht telah melakukan kesalahan metodologis, kesalahpahaman dan kesalahtafsiran terhadap kutipan para ulama terdahulu dalam tulisan dan fatwa mereka. Salah satu contohnnya mengenai kompenasasi untuk luka-luka. Schat berpandangan hadis tersebut dilakukan pemalsuan oleh madzhab irak. Padahal kasusnya adalah perselisihan pendapat antara Abu Hanifah dan Malik mengenai kompensasi luka-luka.

Dan terlebih mengenai pembahasan tersebut, tidak ditemukan referensi dari Nabi maupun sumber lain. Pembahasan tersebut adalah mengenai keputusan/ fatwa Abu Hanifah tentang kompesasi untuk jenis luka tertentu yang menimpa seorang hamba.[10]

C.       Sanggahan terhadap Schacht Tentang Sanad: Gambaran Umum

Ada perbedaan antara kitab sirah dan kitab hadis. Dalam penyusunan kitab Hadis bisa jadi ada dua hadis yang disebutkan dalam satu tempat sementara hadis tersebut tidak berhubungan. Dalam hal ini pembaca tidak akan merasa adanya percampuradukan. Sedangkan kitab sirah selalu memerlukan penuturan kejadian dan kisah-kisah yang selalu berkaitan dan berkesinambungan. Dengan demikian, dari kacamata ilmiah, kita sirah tidak dapat dijadikan obyek studi sanad.[11] Inilah yang banyak dilakukan oleh kalangan orentalis, sebagaimana dikatakan Azami. Mereka menggunakan kita sirah untuk meneliti sanad.

Joseph Schacht, sebut Azami, telah mempelajari kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik dan kitab al-Umm’ karya imam Syafi’i. Kitab tersebut lebih tepat disebut sebagaikitab fiqih dari pada kitab-kitab Hadis. Dan ia telah menggenerelisasikan hasil kajiannya terhadap kitab tersebut. Dan ia seolah-olah menerapkan terhadap kitab tersebut sebagai kitab hadis.

Menurut Azami ,Schacht tidak memperhatikan cara penyusunan kitab fiqih, bagaimana ketika seorang mufti, hakim, atau pembela menangani suatu masalah tidak harus memberikan keterangan yang selengkap-lengkapnya. Dan ini yang dilakukan oleh ulama-ulama fiqih pada abad pertama hijri.[12]

Dengan demikian, dalam kesimpulan yang ditulis dalam Bab VII tentang “Schacht dan Studi sanad Dalam Kitab Fiqih” dalam buku Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya ia mengatakan, “Adalah suatu kesalahan mendasar apabila kita meneliti hadis-hadis dalam kitab fiqih. Karenanya semua penelitian hadis serta sanad di luar sumber yang asli, hasilnya akan meleset dari kebenaran.”

D.      Sanggahan Terhadap Schacht Tentang Tersebarnya Sanad

Teori Schacht tentang “”Sejarah Pemalsuan Sanad” atau dengan kata lain, “untuk mengetahui masa pemalsuan sanad Hadis” mendapat pujian dari prof. Robson. Ia mengatakan, “Teori ini merupakan sumbangan yang berharga untuk meneliti perkembangan Hadis-hadis Nabi.”

Schacht mengatakan, bahwa sanad Hadis sebagian besar adalah palsu, dan hal itu diakui oleh semua orang bahwa sanad-sanad itu pemakaiannya dimulai dalam bentuk sederhana, kemudian berkembang dan mencapai bentuknya pada paruh kedua abad ketiga hijri. Ia juga memberikan tuduhan, bahwa jika suatu kelompok ingin mengaitkan pendapatnya dengan orang terdahulu, maka kelompok tersebut akan memilih tokoh-tokoh orang-orang terdahulu itu dan menaruhnya kedalam sanad.[13]

Dalam hal ini, Azami membantah, bahwa sebenarnya penggunaan sanad sudah dimulai pada masa Nabi SAW, hanya saja metode ahli hadis dalam menggunakan sand itu berbeda-beda, khususnya pada masa sahabat. Dan perhatian terhadap pentingnya sanad itu mencapai puncaknya pada akhir abad pertama. Azami mengatakan, teori projectting Back (proyeksi ke belakang) schacht sulit dibayangkan dan prakteknya juga mustahil.[14]
Selain itu, dalam penelitiannya Shcacht hanya mengambil sebagian Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ahli-ahli hadis seperti imam Malik dan yang lainnya. Tetapi kemudian ia menerapkannya kepada keseluruhan hadis nabi yang otentik. Bahkan, hadis-hadis yang diambil oleh Schacht adalah Hadis yang dinilai lemah bahkan keliru oleh ahli-ahli Hadis.[15]

E.       Kesulitan Teori Projecting Back

Sebagaimana telah sedikit disinggung di atas, sebagaimana dikatakan oleh Azami, bahwa teori projecting Back yang digunakan Schacht sangat sulit diterapkan.

Hal tersebut dikemukakan oleh Azami. Ada dua alasan yang dikemukakan oleh azami untuk membuktikan pernyataannya sebagai berikut:[16]

1.          Dalam dunia ilmu pengetahuan citra seorang guru tidaklah sama. Setiap peajar selalu cenderung untuk berguru kepada guru yang paling baik dan populer. Sementara pada abad kedua hijri, sudah terdapat kaidah-kaidah kritik baik secara lisan maupun tulisan. Dari kaidah tersebut dapat diketahui bahwa ada guru yang memiliki reputasi ilmiah yang tinggi dan sebaliknya. Jika demikian adanya, mengapa para pelajar itu tidak membuat sanad dengan memasukkan nama-nama guru yang memiliki reputasi tinggi. Sebaliknya mereka justeru memilih orang-orang yang dipercaya hadisnya.

2.         Materi-materi Hadis kebanyakan mempunyai persamaan di kalangan kelompok-kelompok islam seperti Khawarij, Mu’tazilah, Zaidiyah dan imamiyah, dimana mereka mereka memisahkan diri dari kelompok ahlussunnah kurang lebih 25 tahun setelah Nabi wafat. Maka, apabila pemalsuan hadis yang berkaitan dengan masalah fiqih itu, pemalsuannya terjadi pada abad kedua dan ketiga hijri sebagaimana dikatakan Schacht, maka tentunya tidak ada satu hadis pun yang secara bersamaan terdapat dalam kelompok islam tersebut. Padahal, kenyataannya, dalam kitab tersebut banyak terdapat Hadis yang materinya berkaitan satu dengan yang lainnya.

Dalam kesimpulannya, Azami mengakui bahwa memang terjadi pemalsuan hadis pada dekade keempat dari hijrahnya Nabi. Tetapi pemalsuan itu hanya pada masalah politik. Maka sejak saat itu, ahli hadis lebih berhati dalam memilih guru, lebih selektif dalam memilih Hadis dan lebih teliti dalam menerima rawi. Dan dibanding masa sebelumnya, penggunaan sanad setelah itu menjadi sangat penting.

“Kitab-kitab-kitab Hadis sampai sekarang ini juga selalu siap untuk diperiksa, diteliti dan dikoreksi, sepanjang hal itu memenuhi kriteria-kriteri ilmiah dan obyejtifitas, bukan atas dasar ketidak tahuan dan kebecian,” ujar Azami di kesimpulan akhir dalam pembahasan sanad.

F.       Penutup

Demikian beberapa sanggahan yang dikemukaan oleh M. M Azami terhadap karya orientalis tentang hadis Nabi khususnya Joseph schacht. Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwa terdapat banyak kesalahan dan tidak sesuai dengan faktas sejarah mengenai tuduhan-tuduhan Schacht terhadap hadis. Hal ini tidak lain disebabkan karena sikapnya yang subyektif dan memiliki tendensi untuk menghancurkan islam dalam struktur ilmu pengetahuan. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Selanjutnya, makalah yang singkay ini hanya segelintir dari pembahasan Azami atas sanggahannya terhada Schacht. Untuk lebih jelasnya, silahkan dapat dilihat  sendiri dalam beberapa karya seperti Menguji Kaslian Hadis-Hadis Hukum Idan Hadis Nabawai dan Sejarah Kodifikasinya.

Kesalahan tidak dapat kami hindari. Oleh karena itu kritik dan saran sangat kami perlukan untuk perbaikan selanjutnya.

Daftar Pustaka
Azami, Muhammad Mustafa, Menuji keaslian Hadis-Hadis Hukum,Sanggahan atas The Origin of Muhammad Jurisprudence Joseph Schacht, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 2004).
Azami, Muhammas Mustafa, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1994).
http://salamsejahteracintadamai.blogspot.com/2012/10/tokoh-hadis-kontemporer-muh-mustafa.html



[1] Makalah ini dipresentasikan dalam mata kuliah Orientalis, Kamis, 04 Desember 2013
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] M. M Azami, Menuji keaslian Hadis-Hadis Hukum, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 2004), hal. 162
[6] Pandangan Schact tersebut di dasarkan pada keyataan bahwa bagian penting sejarah hidup nabi ditulis pada masa belakangan. Sehingga pada masa itu, kira-kira sekitar satu setengah abad setelah nabi wafat, umat islam sudah tidak mempunyai ingatan atas nabi kecuali dalam keadaan samar. Namun, berbagai upaya dilakukan untuk menutupi kekurangan. Materi diatur sedemikian rupa sebentuk Hadis dengan menambahi sanad. Hal ini terjadi pada abad ke dua hijriah. Demikian kesimpulan Schacht sebagai mana ditulis oleh M. M Azami dalam buku Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya.
[7] Ke-47 daftar yang dibahas Schacht adalah sebagai berikut: (1) Perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Malik mengenai Luka-luka tertentu dan kompensasinya. Hadist ini tidak datang dari nabi. (2)Sebuah surat yang dinyatakan dari Hasan Bashri kepada Abd al Malik (Bukan dari Nabi). (3) Sujud Setelah membaca ayat-ayat tertentu dalam al Qur’an. (4) Posisiperempuan dalam Shalat Jama’ah, (5) Kutukan kepada musuh dalam Shalat, (6) Waktu yang paling utama untuk Sahalt Subuh, (7) Mengenai Kesucian kota Mekkah, (8) Mengenai Puasa, (9) Luka Pada Gigi,(10) Rampasan perang milik pembunuh,(11), Mereka yang mengikuti suatu golongan adalah anggota golongan itu,(12)  Pencurian barang rampasan oleh budak, (13) Pelarian budak ke daerah musuh (Bukan Hadis Nabi), (14) Kesaksian palsu (Bukan Dari Nabi), (15) Zakan pertanian sepersepuluh,(16) Mengenai pertukaran (larangan menjual makanan biji-bijian sebelum menjadi hak milik), (17) Tayammum, (18) Zakat harta milik anak yatim, (19)  Bagian seorang anak laki-laki yang ikut berperang (Usian matang), (20) Bersuci, (21) Transaksi tertentu, (22) Sujud dalam Al Qur’an, (23) Kesucian Mekkah dan membunuh ular di sana, (24) Larangan merusak barang-barang milik musuh dalam peperangan (Hadis dari Abu Bakar, bukan dari Nabi). Lih. selengkapnya di dalam buku Menguji Keaslian Hadis-hadis Hukum karya Mustafa Azami (Putaka Firdaus: Jakarta, 2004), hal. 166
[8] Argumen ini, menurut Azami menyanggah teori e silentio sebagaimana yang digunakan Schacht dalam tesisnya. teori e selentio mengasumsikan bahwa jika seorang ulama’ pada waktu tertentu mengabaikan suatu hadis tertentu atau tidak menyinggungya atau, terlebih, jika hadis tersebut tidak disinggung oleh ulama’ kemudian, maka hadis tersebut tidak ada pada masa itu. Jika suatu Hadis pertama kali ditemukan dengan isnad yang tidak lengkap, dan kemudian dengan isnad yang lengkap, maka hadis tersebut telah diperbaiki, dengan kata lain dipalsukan.
[9] Kenyatan ini dalap dilihat pada nomer 4, 6, 7, 10, 17, 19, 23, dan 24 dari 47 contoh yang dibahasanya.
[10] Dalam diskusi yang dilakukan antara Abu Hanifah dan Malik tidak ada yang mengarah kepada Hadis ataupun kepada sumber yang lebih tinggi. Tetapi Schacht dapat menemukan hadis palsu dari nabi di dalamnya. Demikian kata Azami. Untuk lebih jelas dan banyak lagi contoh-contoh kesalahan yang dilakukan oleh Schacht dapat dilihat di dalam bukunya Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum, hal. 176-221.
[11] M. M Azami, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1994), hal. 538.
[12] Salah satu contoh cara ahli fiqih klasik dalam menukil Hadis adalah perkataan Abu Yusuf. Ia berkata: “Saya diberi tahu Muhammad bin ishaq, bahwa ubadah al Shalmit ketika ditanya mengenai ayat rampasan perang, ia menjawab, “Masalah itu mengenai diri kami para sahabat Nabi. Allah menurunkan ayat Al-Anfal (Rampasan perang) pada waktu itu kami berbeda pendapat dan sikap kami tidak baik mengenai hal itu. Lalu Allah menyerahka itu kepada Rosulullah. ”” Mustofa Azami, Ibid, hal. 539. Perkataan tesebut dikutib Azami dari kitab al-Radd ala Siyar al-Auza’I, hal, 7
[13] Ibid, hal. 563-564
[14] Ibid, hal. 564
[15] Contoh dalam hal ini adalah hadis yang diperkenalkan oleh Imam Malik dimana Nabi mengusap sarung kaki. Sanad dari Hadis tersebut salah, dan bahkan al Zurqani menuduh Malik melakukan dua kesalahan. Dan anehnya, dalam bahasan tersebut , Schacht tidak menuturkan ucapan al Zurqani selengkapnya. Asyafi’I selaku murid Imam Malik menjelaskan kekeliruan hadis tersebut dalam sanadnya.  
[16] Ibid, hal. 574-575

No comments: