Saturday 6 October 2018

Pemurnian Tasawuf Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauzi

Oleh: Miftahul Arifin

a.    Pendahuluan
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tidak luput dari polemik-polemik yang melingkupinya. Lazimnya sebuah pemikiran, pro kontra tidak bisa dilepaskan. Dalam ungkapan yang umum dikenal “beda kepala maka beda isinya” dan isi kepada tidak lepas dari pengaruh lingkungan dan situasi sosial.

Demikian pula tasawuf sebagai satu disiplin keilmuan yang telah mencapai puncak kemapanannya. Sejarah telah mencatat, polemik tasawuf tidak hanya terjadi dalam konsep pemikiran. Pengaruh situasi politik yang turut serta menjadikan beberapa tokoh tasawuf harus merenggang nyawa karena pemikirannya dianggap melenceng-bahkan kafir.
Polemik tersebut terjadi pada masa-masa tasawuf masih dalam proses pengembangan dengan lahirnya konsep-konsep baru yang terjadi pada Abad III dan IV hijriyah. Polemik tersebut terus terjadi sepanjang sejarah hingga sampai pada periodisasi yang dikenal dengan era pemurnian. Serang-serangan terhadap penganut-penganut tarekat yang tumbuh pada saat itu tidak bisa dielakan.
Makalah ini secara khusus akan membahasa tasawuf pada masa-masa yang disebut pemurnian tersebut. Pembahasan akan difokuskan pada inti materi dan sedikit mengulas kondisi sosial dimana tokoh-tokoh pemurni tersebut hidup. Sudut padang yang dipakai melalui dua tokoh guru dan murid yang dikenal pemurni tasawuf. Kedua tokoh tersebut adalah Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.
Makalah ini menyajikan tiga sub bab. Pertama, sejarah singkat tasawuf dari masa ke masa, pemurnian tasawuf Ibnu Taymiyyah, dan Pemurnian tasawuf Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Bagian akhir adalah kesimpulan yang meringkas inti pembahasan pada setiap sub bagian.

b.   Sejarah Singkat Perkembangan Tasawuf
Tasawuf telah menjadi bagian dari ajaran Islam sejak awal-awal Islam turun ke bumi melalui Nabi Muhammad. Dari Nabi Muhmmadlah para sahabat mencotoh kehidupan nabi seperti sikap sederhan dan tidak berlebih-lebihan pada dunia. Praktik kehidupan nabi ini menjadi cikal bakal lahirnya tasawuf sepeninggalnya nabi Muhammad hingga menjadi ilmu tersendiri dengan berbagai macam konsep dan sistem pengajaran.
Para sufi mengembangkan tasawauf hingga memili ragam bentuk seiring perkembangan zaman dan kebutuhan yang dirasa perlu pada saat itu. Perbedaan karakter tersebut kemudian melahirkan periodisasi yang dilakukan para peneliti tasawuf untuk mengetahui karakter tasawuf dari masa ke masa.
Sebagai dicatat Ahma Taqiyudin[1], setidaknya perkembangan tasawuf dari masa ke masa dapat dibagi ke dalam tiga bagian yaitu 1) masa pembentukan, 2) masa pengembangan, 3) masa konsolidasi, 4) masa falsafi, 5) masa pemurnian. Masa pembentukan diawali dari masa abad I Hijriyah, ketika Hasan Basri membawa ajaran kahuf dan raja’. Pada masa pengembangan pada abad III dan IV ketika telah tasawuf mempunyai corak yang berbeda sama sekali dengan tasawuf sebelumnya. Misalnya, kefana’an (ekstase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan Khalik. Masa konsolidasi pada abad V H ketika tasawuf mengadakan konsolidasi yang ditandai dengan kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni.
Setelah tasawuf falsafi mendapat halaman dari tasawuf Sunni, maka pada abad VI H, tampillah tasawuf falsafi. Yakni tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Kemudian yang terakhir adalah masa pemurnian karena tasawuf dianggap sudah menyeleweng dan terjadi pengkultusan terhadap wali-wali.[2]
Yang menjadi sasaran saat itu diantaranya adalah gerakan terekat. Tarekat dianggap mengabaikan syari’at. Tarekat juga dianggap hanya mengajarkan berzikir pada Allah dan hari akhirat dengan mengabaikan kehidupan duniawi. Dan tuduhan paling ekstrim, tarekat penuh dengan tahayul dan khurafat dan menyumbang kemunduran dan kehancuran umat Islam. Tuduhan tersebut sebagaimana dicatat Shoimun Faisol,[3] ditengarai karena bebeberapa faktor, diantaranya a) tarekat menjadikan syari’at hanya sebagai alas saja (kulit dari ibadah) dan lebih mengutamakan tarekat. Sehingga muncul persepsi bahwa syari’at adalah kulit sedangkan tarekat adalah isi, b) terjadi kultus individu (guru) dan tahayul dan khurafat serta pemulian makam-makan syekh secara berlebihan dari pengikut tarekat.
Bersamaan dengan itu, muncullah beberapa sufi ortodok yang menggempur pemikiran tasawuf yang dianggap melenceng tersebut. Dua diantaranya yang menjadi inti dalam pembahasan makalah ini yaitu Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim Al Jauziyah.

c.    Pemurnian Tasawuf Ibnu Taimiyah

1.    Biografi Singkat dan Kondisi Sosial Ibnu Taymiyyah
Lahir dari keluarga terhormat dan terpelajar di sebuah kota yang pusat studi keilmuan di masanya, Ibnu Taymiyyah tumbuh menjadi pribadi yang pandai dan berpikiran cemerlang. Di tangannya lah tradisi keilmuan yang dianggap melenceng dari ajaran Islam dikritik habis-habisan dengan seruan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Sebagaimana dicatat Asep Usman Ismail, Ibnu Taymiyyah lahir di Kota Harran, sebuah kota yang menjadi pusat studi filsafat dan basis kaum Sabi’un (sebuah masyarakat pemeluk agama Sabi’at) di sebelah Utara Irak pada 10 Rabiul Awal 661 H/22 Januari 1263 M. Ia berasal dari keluarga besa Taymiyyah, sebuah keluarga terpelajar yang dihormati dan disegani masyarakat pada zamannya dengan nama lengkap Taqiyy al-Din Abu Al-Abbas Ahmad ibn Syaikh al-Imam al ‘Allamah Syahab al-Din Abi al-Mahasin Abd al Halim ibn Syaikh al-Imam al-Allamah Syaikh al-Islam Majd al-Din Abi al-Barakat Abd al-Salam ibn Abi Muhammad Abdullah ibn Abi al-Qasim al-Khidr ibnu Muhammad ibn al-Khidr ibn Ali ibn Abdullah ibn Taymiyyah al Harani.[4]
Tahun-tahu kelahiran Ibnu Taymiyyah dunia Islam penuh dengan tragedi dan kekejaman yang menegangkan. Sejarah mencatat tahun 1258 (lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Taymiyyah) Kota Baghdad jatuh ke tangan bangsa Mongol yang sekaligus menandai berakhirnya kekhalifahan Bani Abbas yang telah berkuasa selama lima Abad (750-1258 M). Kepempinan politik saat itu, terutama di Mesir dan Syiria dalam genggaman Kelustanan Mamluk (1250-1517) yang berpusat di Mesir.[5]
Ibnu Taymiyyah merasakan langsung betapa mengerikan ancaman penaklukan Mongol. Karena pada tahun 667/1269 (enam tahun setelah kelahiran Ibnu Taymiyyah) kota kelahirannya, Harran diserbu bangsa Mongol. Karena serbuan tersebut, kelurga Ibnu Taymiyyah terpaksa harus mengungsi ke Damaskus. Di sanalah Ibnu Taymiyyah bersama keluarganya menetap dan mendapat tempat di hati masyarakat karena bermadzhab sama yaitu Hambali. Damaskus saat itu merupakan kota terpening Syiria yang merupakan Kota Kesultanan Dinasti Mamluk dan menjadi pusat peradan yang penting. Ibnu Taymiyyah juga pernah hidup di Mesir yang saat itu menjadi pusat pertemuan berbagai madzhab fiqih yang sudah mapan seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambal. Mesir pun menjadi pusat utama berbagai aliran tasawuf dan tarikat[6] yang kelak mendapat serangan dari dirinya karena dianggap telah melenceng dari ajaran Islam.
Ibnu Taymiyyah tumbuh sebagai pemuda yang tekun dan mempelajari berbagai disiplin ilmu. Ia hafal Al-Qur’an dan mengusai hadis. Pelajaran yang paling diminati adalah ilmu tafsir hingga terkadang dalam memahami satu ayat harus membuka 100 kitab tafsir. Sementara ilmu fiqih dan ushul fiqih juga dipelajarinya kepada ulama-ulama terkenal pada zamannya. Salah satu guru fiqihnya adalah Zainab binti Makki Al-Harrani (668 H/1289 M) salah ahli fiqih perempuan yang terkenal.[7] Al Tablawi, seorang cendikiawan Mesir menilai Ibnu Taymiyyah termasuk sufi dan ulama yang zuhud. Hal ini dilihat dari perhatiannya terhadap karya-karya sufi dan sempat menulis karya sufi, meskipun dalam hal ini ketokohan Ibnu Tayminyyah banyak dilupakan. Beberapa karya Tasawuf yang dipelajrinya dintaranya Al Risalah Al-Qusyairi karangan Imam Al-Qusyairi, Ihya Ulumuddin karangan Imam Al Ghazali, dan Fushulul Hikam karangan Ibn Arabi.[8]
Ibn Taymiyyah wafat di Damaskus pada Malam Senin 20 Dzul Qa’dah 728 H/ 26 September 1328 M. Kuburan Ibn Taymiyyah menjadi salah satu tujuah ziarah kamu Muslim di pusat peradaban Islam klasik tersebut. Pemikriannya menjadi sumber isnpirasi bagi umat Islam di satu sisi. Sementara di sisi lain menjadi bahan perdebatan para cendekiawan Muslim sepanjang sama sebagaimana tokoh-tokoh atau ulama-ulama lain.[9]
Menurut Fakhruddin dalam ‘Ibn Taimiyya on Public and Private Law in Islam, or Public Policy in Islamic Jurisprudence (Beyrouth, Khayats, 1966) sebagaimana dikutip Ahmad Taqiyudin, Madzhab Hambali yang cenderung keras mempengaruhi pemikiran Ibnu Taymiyyah.[10] Karir dan pemikirannya merupakan hasil dialog intens antara konteks politik oleh tekanan militer kesultanan Mamluk dan kebenaran tekstual Sunni. Ibnu Taimiyyah menghabiskan hidupnya sebagai kritikus agama di wilayah Mamluk di Mesir dan Suriah dengan misi menyebarkan makna syari’at yang benar dan gigih menentang gerakan tasawuf dan Kristen. Ibnu Taymiyyah juga terus terlibat dalam kontroversi dengan ulama Syiah, khususnya al-‘Allamah al- Hilli.[11] Asep Ismail menyebut, kritik Ibnu Taymiyyah kepada ulama dan para pejabat pemerintah yang dianggap bertanggung jawa terhadap kemuduran Islam sebagai ajaran amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga wajib memberikan kritik kepada setiap hal yang dinilai sebagai kedzaliman. Namun demikian, Ibnu Taymiyyah mengharamkan pemberontakan kepada pemerintahan yang sah bahkan mewajibkan setiap orang untuk taat kepada pemerintah yang sah.[12]
Beberapa karya yang dihasilkan Ibnu Taimiyyah meliputi berbagai bidang keilmuwan, seperti tafsir- ilmu tafsir, Hadits-ilmu Hadits, Fiqh-Ushul Fiqh, akhlak-tasawuf, mantiq (logika)-filsafat, politik-pemerintahan, tauhid-kalam. Sebagian dari karyanya seperti “Kita bar-Radd ‘ala al-Mantiqiyin”, “Ma’arij alWusul”, Minhaj al-Sunnah”, dan “Kitab Bugyah al-Murtad”. Sebagian karya Ibnu Taimiyyah kini telah terhimpun dalam “Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah” yang berjumlah 37 jilid. Ini belum belum termasuk karangan-karangannya yang tergolong besar, seperti “Minhaj as-Sunnah”.[13]
2.    Pandangan Tasawuf Ibnu Taymiyyah
Masa pemurnian tasawuf merupakan satu masa dimana beberapa ajaran tasawuf dianggap melenceng dan keluar dari koridor-koridor ajaran Islam. Hal ini sebagai akibat dari perkembangan tasawuf yang berlangsung dari masa ke masa. Sebagaimana diketahui, jika pada awal-awal Islam tasawuf lebih bernuasa laku kehidupan sufi yang ditnjukkan dengan prilaku zuhud (menghindari dunia), pada Abad III dan ke IV H tasawuf sudah sedemikian berkembang. Tasawuf menjadi madzahab-madzhab dengan dengan ajaran-ajaran tersendiri. Dicatat Amin Syukur, tasawuf pada Abad ini sudah bercorak kefanaan yang menjurus pada pesatuan hamba dengan khalik. Saat itu orang-orang sudah banyak berbicara tentang lenyap dan kecintaan, kekal dengan tuhan, menyaksikan tuhan, bertemu dengannya dan menjadi satu dengan tuhan.[14]
Seiring berjalannya waktu, tasawuf terus mengalami perkembangan sampai pada anggapan melenceng. Alberry mengatakan, masa Ibn Araby, Ibnu Faridh dan Al-Rumy merupakan masa keemasan gerakan tasawuf, baik secara teoritis maupun praktis. Sedangkan pengaruh-pengarus tasawuf kian tersebar luas melalui thariqah-thariqah. Legenda-legenda tentang kegaiban sufi dikembangkan dan mendapat sambutan dari masyarakat awam hingga terjadi pengkultusan terhadap wali-wali. Tasawuf pada masa itu disebut juga telah ditandai dengan bid’ah bid’ah dan khurafat yang mengabaikan syariat dan hukum-hukum moral.[15]
Pada masa-masa itulah Ibnu Taimiyyah muncul sebagai pendekar yang melancarkan serangan kepada para sufi. Kritik Ibnu Taimiyyah salah saunya ialah kepercayaan kepada wali. Waliyullah menutunya Ibnu Taymiyah adalah orang yang menepati dan mengikuti apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci oleh Allah.[16] Meski demikian, wali tidak musti ma’sum karena bisa jadi wali juga salah dalam memahami syariat atau salah dalam mempersepsikan karamatnya. Sehingga semua yang dikatakan wali tidak wajib dipercayai karena wali bukan seorang nabi. Di sisi lain seorang wali tidak boleh berpegang pada ilham, bisikan, atau pesan dari Allah yang dibisikkan melalui hatinya kecuali bila sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh nabi.[17]
Ibnu Taymiyyah membagi penyikapan manusia terhadap para wali menjadi tiga kelompok: Pertama, meyakini waliyullah dan menyetujui  semua bisikan kalbunya benar. Kedua, apabila menyaksikan seorang wali yang melakukan dan mengatakan tidak sesuai dengan syariat maka secara keseluruhan menolak kewaliannya. Ketiga, tidak menilai para wali ma’shum dan tidak pula menilai pembuat dosa (ma’tsum).[18] Ibnu Taymiyah kemudian merumuskan karamat wali menjadi tiga bagian yaitu terpuji dalam agama, tercela dalam agama, dan mubah dalam agama.[19]
Selain kewalian, Ibnu Taymiyyah juga mengkritik ajaran ittihad, hulul, dan wahdatul wujud dengan menganggap sebagai ajaran yang menuju kekufuran, walaupun keluar dari orang-orang yang dipandang arif, ahli hakikat dan mengesakan Allah. Meskipun demikian, Ibnu Taymiyyah masih mentolerir ajaran fana yakni satu tingakatan yang diperoleh orang yang arif ketika kesadarannya hilang. Namun ia bukan menjadi sebuah tujuan. Fana yang ditolerir oleh Ibnu Taymiyyah ialah fana yang disertai tauhid.[20]
Ibnu Taymiyyah membagi fana menjadi tiga bagian yaitu fana dalam ibadah, fana pandangan hati dan fana wujud selain Allah. Fana yang terakhir inilah yang dianggap nyeleweng menurut Ibnu Taymiyyah. Alasannya, karena ajaran tersebut beranggapan bahwa wujud khalid adalah wujud makhluk yang berarti tidak mengakui wujud selain Allah. Padahal, dalam ajaran Islam, wujud ada dua, yaitu wujud khaliq dan wujud makhluk.[21]
Pandangan Ibnu Taymiyyah yang tidak menolak atau menerima keseluruhan terhadap ajaran tasawuf dinilai sebagai pandangan yang jujur dan seimbang. Misalnya sebagaimana disampaikan Ahmad Taqiyyudin. Menurutnya, pandangan Ibnu Taimiyyah terhadap ilmu tasawuf merupakan suatu pandangan yang obyektif scientific serta adil ke-adil-an. Ibnu Taymiyyah memposisikan diri berada ditengah-tengah. Tidak ekstrim kekanan yang menerima apa saja yang berbau sufi atau tasawwuf tanpa menimbang-nimbang macam apa tasawuf. Sebaliknya juga ekstrim kekiri dan menjadi oposan yang menolak bentuk apa saja yang datang atas nama tasawuf. Patokan yang menyebabkan hal ini adalah atas dasar yang dikandung dalam Al-Qur'an dan Assunah berdasarkan pemahaman Assalafus Sholih.[22]
Ibnu Taymiyyah dikutip Asep Usman mengatakan bahwa para ulama berbeda mengenai jalan yang ditempuh. Satu gololongan mencela tasawuf dan kaum sufi secara tajam dengan celaan sebagai pembuat bid’ah dan keluar dari ajaran sunnah. Sedangkan yang lain berlebih-lebihan memandang tasawud dan memuji kaum sufi. Kedua pandangan tersebut menurut Ibnu Taymiyyah tidak benar. Sedangkan pandangan yang benar adalah orang yang berijtihad dalam mentaati perintah Allah secara esoterik atau secara batini atau eksoteris atau lahiri sebagaimana para fuqaha. Diantara para sufi ada yang mendekatkan diri kepada Allah dan sesuai ijtihadnya. Ibnu Taymiyyah juga mengatakan bahwa para sufi yang menempuh kehidupan zuhud dan melulu ibadah termasuk diantara golongan siddiqin.[23]
Secara garis besar, inti pandangan Ibnu Taymiyyah tentang tasawuf dapat dibagi menjadi dua bagian penting.[24] Pertama, Tentang keabsahan Tasawuf sebagai jalan menempuh kebenaran, menurutnya tidak selamanya metode tasawuf dapat mengantarkan pada kebenaran, bahkan mustahil manusia bisa mengetahui kebenaran sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah. Bahkan makrifat, sesuatu yang sering disebut-sebut sebagai tujuan akhir kegiatan tasawuf, juga tidak dapat mengantarkan pada kebenaran. Menurutnya, tujuan akhir kehidupan manusia adalah ibadah. Baginya tasawuf memang dapat mengantarkan seseorang pada pembersihan jiwa (tazkiyah), namun posisinya sama dengan prilaku moralitas pada umumnya, dimana seseorang yang memiliki akhlak yang tinggi akan membantu pembersihan jiwanya. Kasyf sebagai pengalaman religius semestinya dibawa pada tingkat intelektual yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, tentang praktek Tasawuf (Tarekat), antara lain ia mengakui bahwa wali mempunyai karamah, tetapi hal tersebut tidak menjamin orang tersebut ma'shum dari kesalahan, dan tidak terbebas dari syari'ah. Baginya karamah tidak lebih afdhal dari istiqomah. Ia menentang adanya praktek meminta-minta di kubur Nabi atau oang-orang Shaleh. Sebab hal tersebut tidak sejalan dengan konsep ibadah, dimana seharusnya orang yang memerlukan pertolongan kepada Allah, langsung berdo'a kepadanya, tanpa perantaraan siapa pun jua. Demikian juga ziarah kubur dengan maksud taqarrub kepada Allah. Menurutnya taqarrub kepada Allah dapat dilakukan dengan mengamalkan amalanamalan wajib maupun sunnah.

d.   Pemurnian Tasawuf Ibnu Qayyim Al-Jauzi

1.    Biografi dan Kondisi Sosial Ibnu Qayyim
Persis seperti kehidupan gurunya, Ibnu Taymiyyah, Ibnu Qayyim Al-Jauzi hidup dari keluarga terpandang dan berilmu. Lingkungan tersebut mendukung kehidupan Ibnu Qayyim kelas, dimana, ia dikenal sebagai orang yang berpengetahuan luas.
Nama lengkapnya Muhammad bin Abi Bakar bin Ayub Sa’ad bin Sa’ad Al Ruz’i Al Damasqy Abu Abdillah Syamsuddin. Ayahnya Abi Bakar merupakan kepala sekolah dan penjaga (Qayyim) sekolah Jauziyah. Dari sana Ibnu Qayyim lebih dikenal dengan Ibnu Qayyim dari pada namanya sendiri.[25]
Ibnu Qayyim lahir di Damaskus pada Tanggal 7 Safar 691 H/29 Januari 1292 M. Keluarganya yang religius, ilmuan membentuk pribadi Ibnu Qayyim menjadi orang yang gemar belajar ilmu. Ia dibimbing langsung oleh ayahnya hingga dalam usia muda, sekitar tujuh tahun, Ibnu Qayyim telah menyimak hadis dan ilmu-ilmu lain di majlis para syaikh/ guru. Pada jenjang ini juga Ibnu Qayyim telah menyimak beberap juz dari tafsir mimpi dari Syaikh Shihabuddin Al-‘Abir. Ia juga telah mematangkan ilmu nahwu dan ilmu-ilmu bahasa Arab kepada Syaikh Abu Al-Fath Al-Ba’labakki seperti Alfiyah Ibnu Malik.[26]
Dalam proses selanjutnya, Ibnu Qayyim berguru kepada Ibnu Taymiyyah. Bahkan, Ibnu Taymiyyah merupakan guru utama Ibnu Qayyim dan berpengaruh besar terhadap keilmuannya saat dewasa dan menjadi ulama besar. Besarnya pengaruh Ibnu Taymiyyah kepada Ibnu Qayyim sampai-sampai keduanya selalu disandingkan dalam setiap pembicaraan kelak, khususnya dalam mengcounter pemikiran tasawuf yang dianggap melenceng dari ajaran Islam karena penuh bid’ah khurafat. Berbicara Ibnu Qayyim juga berbicara Ibnu Taymiyyah atau sebaliknya. Keduanya dikenal sebagai ulama yang dalam periodisasi tasawuf disebut era pemurnian.
Boleh dikatakan, Ibn Qayyim merupakan penerus pemikiran Ibnu Taymiyyah yang dalam banyak aspek tidak terdapat perbedaan dalam kerangka berpikirnya. Meliankan hanya lah perbedaan dalam performa. Ibnu Taymiyyah dianggap cederung lebih keras baik dalam pemikiran maupun tindakan. Sedangkan Ibn Qayyim lebih cenderung halus yang mengarah kepada performa moderat atau lunak, datar dan tidak frontal.[27]
Ibnu Qayyim adalah seorang ahli fiqih bermadzhab Hambali yang pakar dalam berbagai bidang ilmu. Ia juga dikenal memiliki otoritas dalam Ilmu Tafsir. Juga hadis, ilmu nahwu, ushul fiqih, dan ilmu kalam. Dari Ibnu Qayyim pula lahir ulama-ulama kenamaan lintas madzhab di negeri Syam seperti Ibnu Kasir, Imam Al Zahabi, Ibnu Rajab, dan lain-lain.[28] Disamping itu, sebagaimana dicatat Ulin Na’mah,[29]Ibn Qayyim merupakan seorang ahli ibadah. Diriwayatkan bahwa setiap kali ia selesai Solat Subuh selalu melakukan zikir (berzikir) hingga matahari terbit, dan ia mengatakan bahwa hal tersebut dilakukannya karena zikir merupakan sumber kekuatannya, jika tidak berzikir, maka kekuatannya akan hilang.
Keluasan ilmu Ibnu Qayyim dapat dilihat dari berbagai karya yang ditulisnya. Tercatat ada sekitar 41 buku hasil buah tangan selama hidupnya. Diantara karya-karya itu yaitu, I’lam Al Muqaqqi’in an Rabb Al-Alamin dan Ighasah Al Lahfan min Masyahid Al-Syaithan.[30]
2.    Pandangan Tasawuf Ibnu Qayyim
Ibnu Qayyim sebagaimana ditulis Arikhah[31], membagi tasawuf menjadi dua ditinjau dari sisi materi. Yakni, dimensi ibadah yang mencakup pada ketuhanan dan dimensi istianah yang mencakup pada kehambaan. Penjabaran mengenia dua pembagian tersebut dapat dilihat dalam Tafsir al-Qayyim bahwa ibadah lebih didahulukan dari pada istianah. Didahulukannya ibadah atas istianah (minta tolong) termasuk dalam tujuan atas sarana. Sebab ibadah adalah tujuan hamba-hamba yang (memang) diciptakan untuknya. Sedang istianah (minta tolong) adalah sarana untuk ibadah. Hal ini merujuk pada penafsiran surat Al-Fatihah.
Lebih lanjut, dari sisi obyek, Ibn Qayyim membagi tasawuf ke dalam tiga dimensi. Yakni Tuhan, manusia dan alam yang akan dijelaskan sebagai berikut:[32]
Pertama, dimensi Tuhan. Ibn Qayyim menyebutkan bahwa masalah ketauhidan harus dipelajari dan dibenahi untuk pertama kalinya. Tauhid adalah maqām pertama yang harus didahulukan sebagaimana dakwah para utusan Allah dan juga hadis Rasulullah saw. Karena itu, tidak sah maqam atau ahwal kecuali dengan tauḥīd. Tauhid adalah kunci dakwah para utusan Allah.
Tauhid menurut Ibn Qayyim adalah mengesakan Allah dari para makhluk. Dengan definisi ini, maka pengakuan seseorang, maqam, ḥal dan pengesaan hamba tidak sah kecuali dengan mengesakan Allah dari para makhluk. Hal ini sekaligus menafikan para sufi yang mengaku mengesakan Allah, tetapi konsep tasawufnya adalah ittiḥād dan ḥulūl serta para filosof, penyembah berhala yang menjadikan berhala sebagai perantara kepada Tuhan dan sebagainya.
Kedua, dimensi Manusia. Menurut Ibnu Qayyim, tugas dan kewajiban manusia adalah menyembah Allah. Allah menjadikan ibadah sebagai karakter makhluk-Nya yang paling sempurna dan dekat kepada-Nya. Allah juga menjadikan kabar gembira bagi mereka yang menyembah-Nya. Tingkatan ibadah yang paling tinggi adalah iḥsān, yaitu menyembah Allah seakan-akan tidak melihat-Nya dan jika tidak melihat-Nya, maka Dia melihatnya.
Ibadah harus dilaksanakan hingga ajal menjemput dan wajib beribadah selama ia masih hidup. Konsekuensi ini, siapapun yang mengaku telah sampai pada maqām yang membebaskan dari beribadah, maka dia adalah orang yang zindīq dan kafir terhadap Allah dan rasul-Nya.
Sedangkan takwa menurut Ibn Qayyim adalah amal dengan ketaatan kepada Allah atas cahaya-Nya, dengan mengharap pahala dan meninggalkan maksiat atas cahaya-Nya dengan takut kepada siksa-Nya. Hal ini menafikan para sufi yang mengaku mengesakan Allah, tetapi konsep tasawufnya adalah ittiḥād dan ḥulūl serta para filosof, penyembah berhala yang menjadikan berhala sebagai perantara kepada Tuhan dan sebagainya.
Ketiga, dimensi Alam. Menurut Ibnu Qayyim, alam dengan segala isinya diperuntukkan untuk ciptaan Allah, baik yang beriman maupun yang tidak. Semua ciptaan Allah ini tidak sia-sia, semua dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan makhluk-Nya. Namun Allah menjanjikan bahwa bagi orang-orang yang memanfaatkan alam dengan baik, maka hasilnya juga akan baik. Begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, prinsip pelestarian dan keseimbangan menjadi hukum Allah di dunia ini.
Alam, dengan segala bagiannya, menurut Ibn Qayyim mempunyai Sang Pembuat, Sang Pencipta, dan Sang Pemilik. Maka orang yang mengingkari Sang Pembuat, Sang Pencipta, dan Sang Pemilik adalah orang yang mengingkari wujudnya alam ini. Ibnu Qayyim mengutip dari Ibn Taimiyyah, bahwa bagaimana seseorang mencari dalil atas keberadaan Allah sedangkan Dia adalah dalil atas segala sesuatu.
Sebagaimana disinggung, Ibnu Qayyim mengkritik para sufi yang memiliki konsep hulul atau ittihad. Salah satu dasarnya adalah konsep keesaan tuhan yang dipaparkan ibnu Qayyim. Para sufi dianggap keluar dari konsep teologi yang benar.
Setidaknya ada empat kritik yang dilancarkan Ibnu Qayyim kepada konsep tasawuf para sufi sebelumnya.[33]
Pertama, pengetahuan tentang agama yang sedikit serta tidak tahu nama dan sifat Allah SWT. Para sufi banyak keluar dari konsep teologi. Kedua, Sibuk beribadah dan mendekatkan diri pada Allah daripada mendahulukan ilmu. Ibn Qayyim mendahulukan ilmu atas ibadah dan suluk dikarenakan ilmu lebih utama daripada salat sunnah dan ibadah lainnya. Ilmu mengantarkan kepada kebenaran dan untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik. Walaupun ibadah dan suluk bisa membersihkan hati, menyucikan jiwa, tetapi keduanya tetap membutuhkan ilmu untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Ketiga, bersandar pada sumber selain al-Qur‟an dan al-Hadis serta menjauh dari metode Rasulullah saw dan para sahabat. Menurut Ibn Qayyim, banyak sufi yang mengesampingkan sumber Islam dan metode Rasulullah dan para sahabatnya. Para sufi menggabungkan konsep tasawuf dengan konsep yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti konsep filsafat (waḥdah al-wujūd), konsep Nasrani (ḥulūl), konsep Neo-Platonis, Persia, dan lainnya.
Keempat, mengikuti kesalahan para guru walaupun kadang tidak benar dalam ajarannya. Misalnya adalah lebih sibuk beribadah daripada bersosialisasi dengan masyarakat, mengagungkan dan mengkultuskannya hingga menganggap bahwa guru adalah seorang yang terjaga dari dosa.

e.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, perkembangan tasawuf dari masa ke masa dapat dibagi ke dalam tiga bagian yaitu 1) masa pembentukan, 2) masa pengembangan, 3) masa konsolidasi, 4) masa falsafi, 5) masa pemurnian.
Kedua, meskipun dikenal keras melancarkan kritik terhadap tasawuf, Ibnu Taymiyyah tidak bisa dikatakan anti terhadap tasawuf. Secara keseluruhan dari kritiknya bisa dilihat hanya fokus kepada konsep konsep tasawuf yang dianggap melenceng dari syariah seperti penyatuan hamba dengan khaliq (ittihad) atau konsep hulul. Di sisi lain Ibnu Taymiyyah masih menerima konsep tasawuf seperti konsep fana karena begitu terasa dekatnya hamba dengan khaliq.
Ketiga, pesis seperti gurunya, Ibnu Taymiyyah, Ibnu Qayyim juga melancarkan kritik terhadap tasawuf. Kritik tidak jauh berbeda yaitu seputar ajaran tasawuf yang dekat dengan bid’ah dan khurafat. Namun demikian, Ibnu Qayyim dikenal lebih halus dibandingkan dengan sang guru, Ibnu Taymiyyah.
Daftar Pustaka

Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).

Shohimun Faisol dan Muhammad Sa'I, Kontribusi Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah Dalam Dakwah Islamiyah Di Lombok, (Jurnal Penelitian Keislaman, vol. 1, no. 2, Juni 2005)

Asep Usman Ismail, Apakah Wali Itu Ada?, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005)

Ahmad Taqiyyudin, Pemikiran Tasawuf Ibnu Taymiyyah, El-Hikam, Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman

Antony Black, “Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi hingga Masa Kini”, terj. The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the
Present, (Jakarta: Serambi, 2006).

Otoman, Pemikiran Neo-Sufisme, Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang.

Rusdaya Basri, Ibnu Al-Jauzi Tentang Pengaruh Perubahan Sosial, Jurnal Al-Manahij, Volume IX Nomor 2, Desember 2015.

Ulin Na’mah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Pedapatnya Tentang Ilmu Kalam, Junal Universum Volume 9 Nomor 1 Januari 2015.

Arikhah, Reaktualisasi Pemikiran Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Dalam Pengembangan Tasawuf, Jurnal at-Taqaddum, Volume 8, Nomor 1, Juli 2016


[1] Pemikiran Tasawuf Ibnu Taymiyyah, El-Hikam, Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman, h. 67.
[2] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 30-41
[3] Shohimun Faisol dan Muhammad Sa'I, Kontribusi Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah Dalam Dakwah Islamiyah Di Lombok, (Jurnal Penelitian Keislaman, vol. 1, no. 2, Juni 2005), hlm. 18
[4] Asep Usman Ismail, Apakah Wali Itu Ada?, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 53-54.
[5] Ibid, h. 54.
[6] Ibid, h. 59
[7] Ibid, h. 56-57
[8] Ibid, h. 58.
[9] Ibid, h. 65
[10] Ahmad Taqiyyudin, Pemikiran Tasawuf Ibnu Taymiyyah, El-Hikam, Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman, h. 70
[11] Antony Black, The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the
Present, terj. Abdullah Ali, Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi hingga Masa Kini,
(Jakarta: Serambi, 2006), h. 288
[12] Asep Ismail. Ibid, h. 60
[13] Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taymiyyah h. 32-33 dalam Ahmad Taqiyyudin, Pemikiran Tasawuf Ibnu Taymiyyah, El-Hikam, Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman, h. 71.
[14] Amin Sykur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 32
[15] Ibid, h. 41
[16] Asep Usman Ismail, Ibid, h. 173.
[17] Ibid, h. 176
[18] Ibid, h 176-177
[19] Ibid, h. 179
[20] Amin Syukur, Ibid h. 42.
[21] Ibid, h. 43.
[22] Ibid, h.73.
[23] Ibid, h. 166
[24] Otoman, Pemikiran Neo-Sufisme, Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang.

[25] Rusdaya Basri, Ibnu Al-Jauzi Tentang Pengaruh Perubahan Sosial, Jurnal Al-Manahij, Volume IX Nomor 2, Desember 2015, h. 195.
[26] Ibid, h. 195.
[27] Ulin Na’mah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Pedapatnya Tentang Ilmu Kalam, Junal Universum Volume 9 Nomor 1 Januari 2015, h. 72
[28] Ibid, h. 195
[29] Ulin Na’mah, Ibid, h. 68
[30] Ibid, 195.
[31] Arikhah, Reaktualisasi Pemikiran Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Dalam Pengembangan Tasawuf, Jurnal at-Taqaddum, Volume 8, Nomor 1, Juli 2016, h. 80
[32] Arikhah, Ibid, h 80-81
[33] Arikhah, Reaktualisasi Pemikiran Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Dalam Pengembangan Tasawuf, Jurnal at-Taqaddum, Volume 8, Nomor 1, Juli 2016, h. 80-81.

No comments: