Oleh: Miftahul Arifin
Arikhah, Reaktualisasi
Pemikiran Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Dalam Pengembangan Tasawuf, Jurnal
at-Taqaddum, Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
a. Pendahuluan
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tidak luput dari polemik-polemik
yang melingkupinya. Lazimnya sebuah pemikiran, pro kontra tidak bisa
dilepaskan. Dalam ungkapan yang umum dikenal “beda kepala maka beda isinya” dan
isi kepada tidak lepas dari pengaruh lingkungan dan situasi sosial.
Demikian pula tasawuf sebagai satu disiplin keilmuan yang telah mencapai
puncak kemapanannya. Sejarah telah mencatat, polemik tasawuf tidak hanya
terjadi dalam konsep pemikiran. Pengaruh situasi politik yang turut serta
menjadikan beberapa tokoh tasawuf harus merenggang nyawa karena pemikirannya
dianggap melenceng-bahkan kafir.
Polemik tersebut terjadi pada masa-masa tasawuf masih dalam proses
pengembangan dengan lahirnya konsep-konsep baru yang terjadi pada Abad III dan
IV hijriyah. Polemik tersebut terus terjadi sepanjang sejarah hingga sampai
pada periodisasi yang dikenal dengan era pemurnian. Serang-serangan terhadap
penganut-penganut tarekat yang tumbuh pada saat itu tidak bisa dielakan.
Makalah ini secara khusus akan membahasa tasawuf pada masa-masa yang
disebut pemurnian tersebut. Pembahasan akan difokuskan pada inti materi dan
sedikit mengulas kondisi sosial dimana tokoh-tokoh pemurni tersebut hidup.
Sudut padang yang dipakai melalui dua tokoh guru dan murid yang dikenal pemurni
tasawuf. Kedua tokoh tersebut adalah Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah.
Makalah ini menyajikan tiga sub bab. Pertama, sejarah singkat tasawuf dari
masa ke masa, pemurnian tasawuf Ibnu Taymiyyah, dan Pemurnian tasawuf Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah. Bagian akhir adalah kesimpulan yang meringkas inti
pembahasan pada setiap sub bagian.
b. Sejarah Singkat Perkembangan Tasawuf
Tasawuf telah menjadi bagian dari ajaran Islam sejak awal-awal Islam turun
ke bumi melalui Nabi Muhammad. Dari Nabi Muhmmadlah para sahabat mencotoh
kehidupan nabi seperti sikap sederhan dan tidak berlebih-lebihan pada dunia.
Praktik kehidupan nabi ini menjadi cikal bakal lahirnya tasawuf sepeninggalnya
nabi Muhammad hingga menjadi ilmu tersendiri dengan berbagai macam konsep dan
sistem pengajaran.
Para sufi mengembangkan tasawauf hingga memili ragam bentuk seiring
perkembangan zaman dan kebutuhan yang dirasa perlu pada saat itu. Perbedaan
karakter tersebut kemudian melahirkan periodisasi yang dilakukan para peneliti
tasawuf untuk mengetahui karakter tasawuf dari masa ke masa.
Sebagai dicatat Ahma Taqiyudin[1],
setidaknya perkembangan tasawuf dari masa ke masa dapat dibagi ke dalam tiga
bagian yaitu 1) masa pembentukan, 2) masa pengembangan, 3) masa konsolidasi, 4)
masa falsafi, 5) masa pemurnian. Masa pembentukan diawali dari masa abad I Hijriyah,
ketika Hasan Basri membawa ajaran kahuf dan raja’. Pada masa pengembangan pada
abad III dan IV ketika telah tasawuf mempunyai corak yang berbeda sama sekali
dengan tasawuf sebelumnya. Misalnya, kefana’an (ekstase) yang menjurus ke
persatuan hamba dengan Khalik. Masa konsolidasi pada abad V H ketika tasawuf
mengadakan konsolidasi yang ditandai dengan kompetisi dan pertarungan antara
tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni.
Setelah tasawuf falsafi mendapat halaman dari tasawuf Sunni, maka pada
abad VI H, tampillah tasawuf falsafi. Yakni tasawuf yang bercampur dengan
ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya
disesuaikan dengan tasawuf. Kemudian yang terakhir adalah masa pemurnian karena
tasawuf dianggap sudah menyeleweng dan terjadi pengkultusan terhadap wali-wali.[2]
Yang menjadi sasaran saat itu diantaranya adalah gerakan terekat. Tarekat
dianggap mengabaikan syari’at. Tarekat juga dianggap hanya mengajarkan berzikir
pada Allah dan hari akhirat dengan mengabaikan kehidupan duniawi. Dan tuduhan
paling ekstrim, tarekat penuh dengan tahayul dan khurafat dan menyumbang kemunduran
dan kehancuran umat Islam. Tuduhan tersebut sebagaimana dicatat Shoimun Faisol,[3]
ditengarai karena bebeberapa faktor, diantaranya a) tarekat menjadikan syari’at
hanya sebagai alas saja (kulit dari ibadah) dan lebih mengutamakan tarekat. Sehingga
muncul persepsi bahwa syari’at adalah kulit sedangkan tarekat adalah isi, b) terjadi
kultus individu (guru) dan tahayul dan khurafat serta pemulian makam-makan
syekh secara berlebihan dari pengikut tarekat.
Bersamaan dengan itu, muncullah beberapa sufi ortodok yang menggempur
pemikiran tasawuf yang dianggap melenceng tersebut. Dua diantaranya yang
menjadi inti dalam pembahasan makalah ini yaitu Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim
Al Jauziyah.
c. Pemurnian Tasawuf Ibnu Taimiyah
1.
Biografi Singkat dan Kondisi Sosial Ibnu Taymiyyah
Lahir dari keluarga terhormat dan terpelajar di sebuah kota yang pusat
studi keilmuan di masanya, Ibnu Taymiyyah tumbuh menjadi pribadi yang pandai
dan berpikiran cemerlang. Di tangannya lah tradisi keilmuan yang dianggap
melenceng dari ajaran Islam dikritik habis-habisan dengan seruan untuk kembali
kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Sebagaimana dicatat Asep Usman Ismail, Ibnu Taymiyyah lahir di Kota
Harran, sebuah kota yang menjadi pusat studi filsafat dan basis kaum Sabi’un
(sebuah masyarakat pemeluk agama Sabi’at) di sebelah Utara Irak pada 10 Rabiul
Awal 661 H/22 Januari 1263 M. Ia berasal dari keluarga besa Taymiyyah, sebuah
keluarga terpelajar yang dihormati dan disegani masyarakat pada zamannya dengan
nama lengkap Taqiyy al-Din Abu Al-Abbas Ahmad ibn Syaikh al-Imam al ‘Allamah
Syahab al-Din Abi al-Mahasin Abd al Halim ibn Syaikh al-Imam al-Allamah Syaikh
al-Islam Majd al-Din Abi al-Barakat Abd al-Salam ibn Abi Muhammad Abdullah ibn
Abi al-Qasim al-Khidr ibnu Muhammad ibn al-Khidr ibn Ali ibn Abdullah ibn Taymiyyah
al Harani.[4]
Tahun-tahu kelahiran Ibnu Taymiyyah dunia Islam penuh dengan tragedi dan
kekejaman yang menegangkan. Sejarah mencatat tahun 1258 (lima tahun sebelum
kelahiran Ibnu Taymiyyah) Kota Baghdad jatuh ke tangan bangsa Mongol yang
sekaligus menandai berakhirnya kekhalifahan Bani Abbas yang telah berkuasa
selama lima Abad (750-1258 M). Kepempinan politik saat itu, terutama di Mesir
dan Syiria dalam genggaman Kelustanan Mamluk (1250-1517) yang berpusat di
Mesir.[5]
Ibnu Taymiyyah merasakan langsung betapa mengerikan ancaman penaklukan
Mongol. Karena pada tahun 667/1269 (enam tahun setelah kelahiran Ibnu
Taymiyyah) kota kelahirannya, Harran diserbu bangsa Mongol. Karena serbuan
tersebut, kelurga Ibnu Taymiyyah terpaksa harus mengungsi ke Damaskus. Di sanalah
Ibnu Taymiyyah bersama keluarganya menetap dan mendapat tempat di hati
masyarakat karena bermadzhab sama yaitu Hambali. Damaskus saat itu merupakan
kota terpening Syiria yang merupakan Kota Kesultanan Dinasti Mamluk dan menjadi
pusat peradan yang penting. Ibnu Taymiyyah juga pernah hidup di Mesir yang saat
itu menjadi pusat pertemuan berbagai madzhab fiqih yang sudah mapan seperti
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambal. Mesir pun menjadi pusat utama berbagai
aliran tasawuf dan tarikat[6]
yang kelak mendapat serangan dari dirinya karena dianggap telah melenceng dari
ajaran Islam.
Ibnu Taymiyyah tumbuh sebagai pemuda yang tekun dan mempelajari berbagai
disiplin ilmu. Ia hafal Al-Qur’an dan mengusai hadis. Pelajaran yang paling
diminati adalah ilmu tafsir hingga terkadang dalam memahami satu ayat harus
membuka 100 kitab tafsir. Sementara ilmu fiqih dan ushul fiqih juga
dipelajarinya kepada ulama-ulama terkenal pada zamannya. Salah satu guru
fiqihnya adalah Zainab binti Makki Al-Harrani (668 H/1289 M) salah ahli fiqih
perempuan yang terkenal.[7]
Al Tablawi, seorang cendikiawan Mesir menilai Ibnu Taymiyyah termasuk sufi dan
ulama yang zuhud. Hal ini dilihat dari perhatiannya terhadap karya-karya sufi
dan sempat menulis karya sufi, meskipun dalam hal ini ketokohan Ibnu Tayminyyah
banyak dilupakan. Beberapa karya Tasawuf yang dipelajrinya dintaranya Al
Risalah Al-Qusyairi karangan Imam Al-Qusyairi, Ihya Ulumuddin karangan Imam Al
Ghazali, dan Fushulul Hikam karangan Ibn Arabi.[8]
Ibn Taymiyyah wafat di Damaskus pada Malam Senin 20 Dzul Qa’dah 728 H/ 26
September 1328 M. Kuburan Ibn Taymiyyah menjadi salah satu tujuah ziarah kamu
Muslim di pusat peradaban Islam klasik tersebut. Pemikriannya menjadi sumber
isnpirasi bagi umat Islam di satu sisi. Sementara di sisi lain menjadi bahan
perdebatan para cendekiawan Muslim sepanjang sama sebagaimana tokoh-tokoh atau
ulama-ulama lain.[9]
Menurut Fakhruddin dalam ‘Ibn Taimiyya on Public and Private Law in Islam,
or Public Policy in Islamic Jurisprudence (Beyrouth, Khayats, 1966) sebagaimana
dikutip Ahmad Taqiyudin, Madzhab Hambali yang cenderung keras mempengaruhi
pemikiran Ibnu Taymiyyah.[10]
Karir dan pemikirannya merupakan hasil dialog intens antara konteks politik
oleh tekanan militer kesultanan Mamluk dan kebenaran tekstual Sunni. Ibnu
Taimiyyah menghabiskan hidupnya sebagai kritikus agama di wilayah Mamluk di Mesir
dan Suriah dengan misi menyebarkan makna syari’at yang benar dan gigih menentang
gerakan tasawuf dan Kristen. Ibnu Taymiyyah juga terus terlibat dalam
kontroversi dengan ulama Syiah, khususnya al-‘Allamah al- Hilli.[11]
Asep Ismail menyebut, kritik Ibnu Taymiyyah kepada ulama dan para pejabat
pemerintah yang dianggap bertanggung jawa terhadap kemuduran Islam sebagai
ajaran amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga wajib memberikan kritik kepada setiap
hal yang dinilai sebagai kedzaliman. Namun demikian, Ibnu Taymiyyah
mengharamkan pemberontakan kepada pemerintahan yang sah bahkan mewajibkan
setiap orang untuk taat kepada pemerintah yang sah.[12]
Beberapa karya yang dihasilkan Ibnu Taimiyyah meliputi berbagai bidang
keilmuwan, seperti tafsir- ilmu tafsir, Hadits-ilmu Hadits, Fiqh-Ushul Fiqh,
akhlak-tasawuf, mantiq (logika)-filsafat, politik-pemerintahan, tauhid-kalam. Sebagian
dari karyanya seperti “Kita bar-Radd ‘ala al-Mantiqiyin”, “Ma’arij alWusul”, Minhaj
al-Sunnah”, dan “Kitab Bugyah al-Murtad”. Sebagian karya Ibnu Taimiyyah kini
telah terhimpun dalam “Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah” yang berjumlah 37 jilid.
Ini belum belum termasuk karangan-karangannya yang tergolong besar, seperti
“Minhaj as-Sunnah”.[13]
2.
Pandangan Tasawuf Ibnu Taymiyyah
Masa pemurnian tasawuf merupakan satu masa dimana beberapa ajaran tasawuf
dianggap melenceng dan keluar dari koridor-koridor ajaran Islam. Hal ini
sebagai akibat dari perkembangan tasawuf yang berlangsung dari masa ke masa. Sebagaimana
diketahui, jika pada awal-awal Islam tasawuf lebih bernuasa laku kehidupan sufi
yang ditnjukkan dengan prilaku zuhud (menghindari dunia), pada Abad III dan ke
IV H tasawuf sudah sedemikian berkembang. Tasawuf menjadi madzahab-madzhab
dengan dengan ajaran-ajaran tersendiri. Dicatat Amin Syukur, tasawuf pada Abad
ini sudah bercorak kefanaan yang menjurus pada pesatuan hamba dengan khalik.
Saat itu orang-orang sudah banyak berbicara tentang lenyap dan kecintaan, kekal
dengan tuhan, menyaksikan tuhan, bertemu dengannya dan menjadi satu dengan
tuhan.[14]
Seiring berjalannya waktu, tasawuf terus mengalami perkembangan sampai
pada anggapan melenceng. Alberry mengatakan, masa Ibn Araby, Ibnu Faridh dan
Al-Rumy merupakan masa keemasan gerakan tasawuf, baik secara teoritis maupun
praktis. Sedangkan pengaruh-pengarus tasawuf kian tersebar luas melalui
thariqah-thariqah. Legenda-legenda tentang kegaiban sufi dikembangkan dan
mendapat sambutan dari masyarakat awam hingga terjadi pengkultusan terhadap
wali-wali. Tasawuf pada masa itu disebut juga telah ditandai dengan bid’ah
bid’ah dan khurafat yang mengabaikan syariat dan hukum-hukum moral.[15]
Pada masa-masa itulah Ibnu Taimiyyah muncul sebagai pendekar yang
melancarkan serangan kepada para sufi. Kritik Ibnu Taimiyyah salah saunya ialah
kepercayaan kepada wali. Waliyullah menutunya Ibnu Taymiyah adalah orang yang
menepati dan mengikuti apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci
oleh Allah.[16] Meski demikian,
wali tidak musti ma’sum karena bisa jadi wali juga salah dalam memahami syariat
atau salah dalam mempersepsikan karamatnya. Sehingga semua yang dikatakan wali
tidak wajib dipercayai karena wali bukan seorang nabi. Di sisi lain seorang
wali tidak boleh berpegang pada ilham, bisikan, atau pesan dari Allah yang
dibisikkan melalui hatinya kecuali bila sesuai dengan ajaran yang disampaikan
oleh nabi.[17]
Ibnu Taymiyyah membagi penyikapan manusia terhadap para wali menjadi tiga
kelompok: Pertama, meyakini waliyullah dan menyetujui semua bisikan kalbunya benar. Kedua, apabila
menyaksikan seorang wali yang melakukan dan mengatakan tidak sesuai dengan
syariat maka secara keseluruhan menolak kewaliannya. Ketiga, tidak menilai para
wali ma’shum dan tidak pula menilai pembuat dosa (ma’tsum).[18]
Ibnu Taymiyah kemudian merumuskan karamat wali menjadi tiga bagian yaitu
terpuji dalam agama, tercela dalam agama, dan mubah dalam agama.[19]
Selain kewalian, Ibnu Taymiyyah juga mengkritik ajaran ittihad, hulul, dan
wahdatul wujud dengan menganggap sebagai ajaran yang menuju kekufuran, walaupun
keluar dari orang-orang yang dipandang arif, ahli hakikat dan mengesakan Allah.
Meskipun demikian, Ibnu Taymiyyah masih mentolerir ajaran fana yakni satu
tingakatan yang diperoleh orang yang arif ketika kesadarannya hilang. Namun ia
bukan menjadi sebuah tujuan. Fana yang ditolerir oleh Ibnu Taymiyyah ialah fana
yang disertai tauhid.[20]
Ibnu Taymiyyah membagi fana menjadi tiga bagian yaitu fana dalam ibadah,
fana pandangan hati dan fana wujud selain Allah. Fana yang terakhir inilah yang
dianggap nyeleweng menurut Ibnu Taymiyyah. Alasannya, karena ajaran tersebut
beranggapan bahwa wujud khalid adalah wujud makhluk yang berarti tidak mengakui
wujud selain Allah. Padahal, dalam ajaran Islam, wujud ada dua, yaitu wujud
khaliq dan wujud makhluk.[21]
Pandangan Ibnu Taymiyyah yang tidak menolak atau menerima keseluruhan
terhadap ajaran tasawuf dinilai sebagai pandangan yang jujur dan seimbang.
Misalnya sebagaimana disampaikan Ahmad Taqiyyudin. Menurutnya, pandangan Ibnu
Taimiyyah terhadap ilmu tasawuf merupakan suatu pandangan yang obyektif
scientific serta adil ke-adil-an. Ibnu Taymiyyah memposisikan diri berada
ditengah-tengah. Tidak ekstrim kekanan yang menerima apa saja yang berbau sufi atau
tasawwuf tanpa menimbang-nimbang macam apa tasawuf. Sebaliknya juga ekstrim
kekiri dan menjadi oposan yang menolak bentuk apa saja yang datang atas nama
tasawuf. Patokan yang menyebabkan hal ini adalah atas dasar yang dikandung
dalam Al-Qur'an dan Assunah berdasarkan pemahaman Assalafus Sholih.[22]
Ibnu Taymiyyah dikutip Asep Usman mengatakan bahwa para ulama berbeda
mengenai jalan yang ditempuh. Satu gololongan mencela tasawuf dan kaum sufi
secara tajam dengan celaan sebagai pembuat bid’ah dan keluar dari ajaran
sunnah. Sedangkan yang lain berlebih-lebihan memandang tasawud dan memuji kaum
sufi. Kedua pandangan tersebut menurut Ibnu Taymiyyah tidak benar. Sedangkan
pandangan yang benar adalah orang yang berijtihad dalam mentaati perintah Allah
secara esoterik atau secara batini atau eksoteris atau lahiri sebagaimana para
fuqaha. Diantara para sufi ada yang mendekatkan diri kepada Allah dan sesuai
ijtihadnya. Ibnu Taymiyyah juga mengatakan bahwa para sufi yang menempuh
kehidupan zuhud dan melulu ibadah termasuk diantara golongan siddiqin.[23]
Secara garis besar, inti pandangan Ibnu Taymiyyah tentang tasawuf dapat
dibagi menjadi dua bagian penting.[24]
Pertama, Tentang keabsahan Tasawuf sebagai jalan menempuh kebenaran, menurutnya
tidak selamanya metode tasawuf dapat mengantarkan pada kebenaran, bahkan
mustahil manusia bisa mengetahui kebenaran sebagaimana yang dimaksudkan oleh
Allah. Bahkan makrifat, sesuatu yang sering disebut-sebut sebagai tujuan akhir
kegiatan tasawuf, juga tidak dapat mengantarkan pada kebenaran. Menurutnya,
tujuan akhir kehidupan manusia adalah ibadah. Baginya tasawuf memang dapat
mengantarkan seseorang pada pembersihan jiwa (tazkiyah), namun posisinya sama
dengan prilaku moralitas pada umumnya, dimana seseorang yang memiliki akhlak
yang tinggi akan membantu pembersihan jiwanya. Kasyf sebagai pengalaman
religius semestinya dibawa pada tingkat intelektual yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Kedua, tentang praktek Tasawuf (Tarekat), antara lain ia mengakui bahwa
wali mempunyai karamah, tetapi hal tersebut tidak menjamin orang tersebut
ma'shum dari kesalahan, dan tidak terbebas dari syari'ah. Baginya karamah tidak
lebih afdhal dari istiqomah. Ia menentang adanya praktek meminta-minta di kubur
Nabi atau oang-orang Shaleh. Sebab hal tersebut tidak sejalan dengan konsep
ibadah, dimana seharusnya orang yang memerlukan pertolongan kepada Allah,
langsung berdo'a kepadanya, tanpa perantaraan siapa pun jua. Demikian juga
ziarah kubur dengan maksud taqarrub kepada Allah. Menurutnya taqarrub kepada
Allah dapat dilakukan dengan mengamalkan amalanamalan wajib maupun sunnah.
d. Pemurnian Tasawuf Ibnu Qayyim Al-Jauzi
1.
Biografi dan Kondisi Sosial Ibnu Qayyim
Persis seperti kehidupan gurunya, Ibnu Taymiyyah, Ibnu Qayyim Al-Jauzi
hidup dari keluarga terpandang dan berilmu. Lingkungan tersebut mendukung
kehidupan Ibnu Qayyim kelas, dimana, ia dikenal sebagai orang yang
berpengetahuan luas.
Nama lengkapnya Muhammad bin Abi Bakar bin Ayub Sa’ad bin Sa’ad Al Ruz’i
Al Damasqy Abu Abdillah Syamsuddin. Ayahnya Abi Bakar merupakan kepala sekolah
dan penjaga (Qayyim) sekolah Jauziyah. Dari sana Ibnu Qayyim lebih dikenal
dengan Ibnu Qayyim dari pada namanya sendiri.[25]
Ibnu Qayyim lahir di Damaskus pada Tanggal 7 Safar 691 H/29 Januari 1292
M. Keluarganya yang religius, ilmuan membentuk pribadi Ibnu Qayyim menjadi
orang yang gemar belajar ilmu. Ia dibimbing langsung oleh ayahnya hingga dalam
usia muda, sekitar tujuh tahun, Ibnu Qayyim telah menyimak hadis dan ilmu-ilmu
lain di majlis para syaikh/ guru. Pada jenjang ini juga Ibnu Qayyim telah
menyimak beberap juz dari tafsir mimpi dari Syaikh Shihabuddin Al-‘Abir. Ia
juga telah mematangkan ilmu nahwu dan ilmu-ilmu bahasa Arab kepada Syaikh Abu
Al-Fath Al-Ba’labakki seperti Alfiyah Ibnu Malik.[26]
Dalam proses selanjutnya, Ibnu Qayyim berguru kepada Ibnu Taymiyyah.
Bahkan, Ibnu Taymiyyah merupakan guru utama Ibnu Qayyim dan berpengaruh besar
terhadap keilmuannya saat dewasa dan menjadi ulama besar. Besarnya pengaruh
Ibnu Taymiyyah kepada Ibnu Qayyim sampai-sampai keduanya selalu disandingkan
dalam setiap pembicaraan kelak, khususnya dalam mengcounter pemikiran tasawuf
yang dianggap melenceng dari ajaran Islam karena penuh bid’ah khurafat.
Berbicara Ibnu Qayyim juga berbicara Ibnu Taymiyyah atau sebaliknya. Keduanya
dikenal sebagai ulama yang dalam periodisasi tasawuf disebut era pemurnian.
Boleh dikatakan, Ibn Qayyim merupakan penerus pemikiran Ibnu Taymiyyah
yang dalam banyak aspek tidak terdapat perbedaan dalam kerangka berpikirnya.
Meliankan hanya lah perbedaan dalam performa. Ibnu Taymiyyah dianggap cederung
lebih keras baik dalam pemikiran maupun tindakan. Sedangkan Ibn Qayyim lebih
cenderung halus yang mengarah kepada performa moderat atau lunak, datar dan
tidak frontal.[27]
Ibnu Qayyim adalah seorang ahli fiqih bermadzhab Hambali yang pakar dalam
berbagai bidang ilmu. Ia juga dikenal memiliki otoritas dalam Ilmu Tafsir. Juga
hadis, ilmu nahwu, ushul fiqih, dan ilmu kalam. Dari Ibnu Qayyim pula lahir
ulama-ulama kenamaan lintas madzhab di negeri Syam seperti Ibnu Kasir, Imam Al
Zahabi, Ibnu Rajab, dan lain-lain.[28]
Disamping itu, sebagaimana dicatat Ulin Na’mah,[29]Ibn
Qayyim merupakan seorang ahli ibadah. Diriwayatkan bahwa setiap kali ia selesai
Solat Subuh selalu melakukan zikir (berzikir) hingga matahari terbit, dan ia
mengatakan bahwa hal tersebut dilakukannya karena zikir merupakan sumber
kekuatannya, jika tidak berzikir, maka kekuatannya akan hilang.
Keluasan ilmu Ibnu Qayyim dapat dilihat dari berbagai karya yang
ditulisnya. Tercatat ada sekitar 41 buku hasil buah tangan selama hidupnya.
Diantara karya-karya itu yaitu, I’lam Al Muqaqqi’in an Rabb Al-Alamin dan
Ighasah Al Lahfan min Masyahid Al-Syaithan.[30]
2.
Pandangan Tasawuf Ibnu Qayyim
Ibnu Qayyim sebagaimana ditulis Arikhah[31],
membagi tasawuf menjadi dua ditinjau dari sisi materi. Yakni, dimensi ibadah
yang mencakup pada ketuhanan dan dimensi istianah yang mencakup pada kehambaan.
Penjabaran mengenia dua pembagian tersebut dapat dilihat dalam Tafsir al-Qayyim
bahwa ibadah lebih didahulukan dari pada istianah. Didahulukannya ibadah atas istianah
(minta tolong) termasuk dalam tujuan atas sarana. Sebab ibadah adalah tujuan
hamba-hamba yang (memang) diciptakan untuknya. Sedang istianah (minta tolong)
adalah sarana untuk ibadah. Hal ini merujuk pada penafsiran surat Al-Fatihah.
Lebih lanjut, dari sisi obyek, Ibn Qayyim membagi tasawuf ke dalam tiga
dimensi. Yakni Tuhan, manusia dan alam yang akan dijelaskan sebagai berikut:[32]
Pertama, dimensi Tuhan. Ibn Qayyim menyebutkan bahwa masalah ketauhidan
harus dipelajari dan dibenahi untuk pertama kalinya. Tauhid adalah maqām
pertama yang harus didahulukan sebagaimana dakwah para utusan Allah dan juga
hadis Rasulullah saw. Karena itu, tidak sah maqam atau ahwal kecuali dengan tauḥīd.
Tauhid adalah kunci dakwah para utusan Allah.
Tauhid menurut Ibn Qayyim adalah mengesakan Allah dari para makhluk. Dengan
definisi ini, maka pengakuan seseorang, maqam, ḥal dan pengesaan hamba tidak
sah kecuali dengan mengesakan Allah dari para makhluk. Hal ini sekaligus
menafikan para sufi yang mengaku mengesakan Allah, tetapi konsep tasawufnya
adalah ittiḥād dan ḥulūl serta para filosof, penyembah berhala yang menjadikan
berhala sebagai perantara kepada Tuhan dan sebagainya.
Kedua, dimensi Manusia. Menurut Ibnu Qayyim, tugas dan kewajiban manusia
adalah menyembah Allah. Allah menjadikan ibadah sebagai karakter makhluk-Nya
yang paling sempurna dan dekat kepada-Nya. Allah juga menjadikan kabar gembira
bagi mereka yang menyembah-Nya. Tingkatan ibadah yang paling tinggi adalah iḥsān,
yaitu menyembah Allah seakan-akan tidak melihat-Nya dan jika tidak melihat-Nya,
maka Dia melihatnya.
Ibadah harus dilaksanakan hingga ajal menjemput dan wajib beribadah selama
ia masih hidup. Konsekuensi ini, siapapun yang mengaku telah sampai pada maqām
yang membebaskan dari beribadah, maka dia adalah orang yang zindīq dan kafir
terhadap Allah dan rasul-Nya.
Sedangkan takwa menurut Ibn Qayyim adalah amal dengan ketaatan kepada
Allah atas cahaya-Nya, dengan mengharap pahala dan meninggalkan maksiat atas cahaya-Nya
dengan takut kepada siksa-Nya. Hal ini menafikan para sufi yang mengaku mengesakan
Allah, tetapi konsep tasawufnya adalah ittiḥād dan ḥulūl serta para filosof,
penyembah berhala yang menjadikan berhala sebagai perantara kepada Tuhan dan
sebagainya.
Ketiga, dimensi Alam. Menurut Ibnu Qayyim, alam dengan segala isinya
diperuntukkan untuk ciptaan Allah, baik yang beriman maupun yang tidak. Semua
ciptaan Allah ini tidak sia-sia, semua dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan
makhluk-Nya. Namun Allah menjanjikan bahwa bagi orang-orang yang memanfaatkan
alam dengan baik, maka hasilnya juga akan baik. Begitu juga sebaliknya. Oleh karena
itu, prinsip pelestarian dan keseimbangan menjadi hukum Allah di dunia ini.
Alam, dengan segala bagiannya, menurut Ibn Qayyim mempunyai Sang Pembuat,
Sang Pencipta, dan Sang Pemilik. Maka orang yang mengingkari Sang Pembuat, Sang
Pencipta, dan Sang Pemilik adalah orang yang mengingkari wujudnya alam ini. Ibnu
Qayyim mengutip dari Ibn Taimiyyah, bahwa bagaimana seseorang mencari dalil
atas keberadaan Allah sedangkan Dia adalah dalil atas segala sesuatu.
Sebagaimana disinggung, Ibnu Qayyim mengkritik para sufi yang memiliki
konsep hulul atau ittihad. Salah satu dasarnya adalah konsep keesaan tuhan yang
dipaparkan ibnu Qayyim. Para sufi dianggap keluar dari konsep teologi yang
benar.
Setidaknya ada empat kritik yang dilancarkan Ibnu Qayyim kepada konsep
tasawuf para sufi sebelumnya.[33]
Pertama, pengetahuan tentang agama yang sedikit serta tidak tahu nama dan sifat
Allah SWT. Para sufi banyak keluar dari konsep teologi. Kedua, Sibuk beribadah
dan mendekatkan diri pada Allah daripada mendahulukan ilmu. Ibn Qayyim
mendahulukan ilmu atas ibadah dan suluk dikarenakan ilmu lebih utama daripada
salat sunnah dan ibadah lainnya. Ilmu mengantarkan kepada kebenaran dan untuk
mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik. Walaupun ibadah dan suluk
bisa membersihkan hati, menyucikan jiwa, tetapi keduanya tetap membutuhkan ilmu
untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Ketiga, bersandar pada sumber selain al-Qur‟an dan al-Hadis serta menjauh dari
metode Rasulullah saw dan para sahabat. Menurut Ibn Qayyim, banyak sufi yang
mengesampingkan sumber Islam dan metode Rasulullah dan para sahabatnya. Para
sufi menggabungkan konsep tasawuf dengan konsep yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam, seperti konsep filsafat (waḥdah al-wujūd), konsep Nasrani (ḥulūl),
konsep Neo-Platonis, Persia, dan lainnya.
Keempat, mengikuti kesalahan para guru walaupun kadang tidak benar dalam
ajarannya. Misalnya adalah lebih sibuk beribadah daripada bersosialisasi dengan
masyarakat, mengagungkan dan mengkultuskannya hingga menganggap bahwa guru adalah
seorang yang terjaga dari dosa.
e. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut: Pertama, perkembangan tasawuf dari masa ke masa
dapat dibagi ke dalam tiga bagian yaitu 1) masa pembentukan, 2) masa
pengembangan, 3) masa konsolidasi, 4) masa falsafi, 5) masa pemurnian.
Kedua, meskipun dikenal keras melancarkan kritik terhadap tasawuf, Ibnu
Taymiyyah tidak bisa dikatakan anti terhadap tasawuf. Secara keseluruhan dari
kritiknya bisa dilihat hanya fokus kepada konsep konsep tasawuf yang dianggap
melenceng dari syariah seperti penyatuan hamba dengan khaliq (ittihad) atau
konsep hulul. Di sisi lain Ibnu Taymiyyah masih menerima konsep tasawuf seperti
konsep fana karena begitu terasa dekatnya hamba dengan khaliq.
Ketiga, pesis seperti gurunya, Ibnu Taymiyyah, Ibnu Qayyim juga
melancarkan kritik terhadap tasawuf. Kritik tidak jauh berbeda yaitu seputar
ajaran tasawuf yang dekat dengan bid’ah dan khurafat. Namun demikian, Ibnu
Qayyim dikenal lebih halus dibandingkan dengan sang guru, Ibnu Taymiyyah.
Daftar Pustaka
Amin
Syukur, Menggugat Tasawuf (Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21),
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
Shohimun
Faisol dan Muhammad Sa'I, Kontribusi Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah Dalam
Dakwah Islamiyah Di Lombok, (Jurnal Penelitian Keislaman, vol. 1, no. 2, Juni
2005)
Asep
Usman Ismail, Apakah Wali Itu Ada?, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005)
Ahmad
Taqiyyudin, Pemikiran Tasawuf Ibnu Taymiyyah, El-Hikam, Jurnal Pendidikan dan
Kajian Keislaman
Antony
Black, “Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi hingga Masa Kini”, terj. The
History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the
Present,
(Jakarta: Serambi, 2006).
Otoman,
Pemikiran Neo-Sufisme, Jurnal Sejarah
dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang.
Rusdaya
Basri, Ibnu Al-Jauzi Tentang Pengaruh Perubahan Sosial, Jurnal Al-Manahij,
Volume IX Nomor 2, Desember 2015.
Ulin
Na’mah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Pedapatnya Tentang Ilmu Kalam, Junal
Universum Volume 9 Nomor 1 Januari 2015.
[1] Pemikiran Tasawuf Ibnu
Taymiyyah, El-Hikam, Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman, h. 67.
[2] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Sufisme dan Tanggung
Jawab Sosial Abad 21), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 30-41
[3] Shohimun Faisol dan Muhammad
Sa'I, Kontribusi Tarekat Qadiriyah Wa
Naqsabandiyah Dalam Dakwah Islamiyah Di Lombok, (Jurnal Penelitian
Keislaman, vol. 1, no. 2, Juni 2005), hlm. 18
[4] Asep Usman Ismail, Apakah Wali Itu Ada?, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), h. 53-54.
[5] Ibid, h. 54.
[6] Ibid, h. 59
[7] Ibid, h. 56-57
[8] Ibid, h. 58.
[9] Ibid, h. 65
[10] Ahmad Taqiyyudin, Pemikiran Tasawuf Ibnu Taymiyyah,
El-Hikam, Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman, h. 70
[11] Antony Black, The History of Islamic Political Thought:
From the Prophet to the
Present, terj. Abdullah Ali, Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi
hingga Masa Kini,
(Jakarta: Serambi, 2006), h. 288
[12] Asep Ismail. Ibid, h. 60
[13] Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taymiyyah h. 32-33 dalam
Ahmad Taqiyyudin, Pemikiran Tasawuf Ibnu
Taymiyyah, El-Hikam, Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman, h. 71.
[14] Amin Sykur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 32
[15] Ibid, h. 41
[16] Asep Usman Ismail, Ibid, h. 173.
[17] Ibid, h. 176
[18] Ibid, h 176-177
[19] Ibid, h. 179
[20] Amin Syukur, Ibid h. 42.
[21] Ibid, h. 43.
[22] Ibid, h.73.
[23] Ibid, h. 166
[24]
Otoman, Pemikiran Neo-Sufisme, Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan
Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang.
[25] Rusdaya Basri, Ibnu Al-Jauzi Tentang Pengaruh Perubahan
Sosial, Jurnal Al-Manahij, Volume IX Nomor 2, Desember 2015, h. 195.
[26] Ibid, h. 195.
[27] Ulin Na’mah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Pedapatnya
Tentang Ilmu Kalam, Junal Universum Volume 9 Nomor 1 Januari 2015, h. 72
[28] Ibid, h. 195
[29] Ulin Na’mah, Ibid, h. 68
[30] Ibid, 195.
[31] Arikhah, Reaktualisasi Pemikiran Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Dalam Pengembangan
Tasawuf, Jurnal at-Taqaddum, Volume 8, Nomor 1, Juli 2016, h. 80
[32] Arikhah, Ibid, h 80-81
[33] Arikhah, Reaktualisasi Pemikiran Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Dalam Pengembangan
Tasawuf, Jurnal at-Taqaddum, Volume 8, Nomor 1, Juli 2016, h. 80-81.
No comments:
Post a Comment