Makalah Oleh: Miftahul Arifin dan Umi Daris Salamah
(Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang)
Pendahuluan
Sebagai Seorang Sosiolog, konsep sosiologi Weber dapat dipandang sebagai upaya yang menengahi antara dua cara pandang yang
bertentangan yang terjadi pada masanya. Cara pandang pertama yang diilhami oleh
keberhasilan ilmu alam, dimana metode mereka akan mampu memacu perkembangan
studi manusia dan masyarakat. Cara pandang kedua, menekankan bahwa sesuatu yang
penting dalam manusia yaitu spirit, pikiran, budaya dan sejarahnya, tidak akan
mampu dipahami melalui teknik-teknik ilmu alam.[1]
Dalam salah
satu bukunya, pembahasan Weber dapat
ditafsirkan sebagai salah satu kritik Weber terhadap Karl Marx
dan teori-teorinya. Marx yang berpendapat, pada umumnya, bahwa semua lembaga manusia termasuk agama,
didasarkan pada dasar-dasar ekonomi.
Sebaliknya Etika Protestan sebagai karya
weber yang cukup populer berlawanan dengan teori ini. Buku tersebut menyiratkan bahwa kapitalisme dipengaruhi oleh
semangat agama itu sendiri. weber menemukan di dalam agama protestan yang
beraliran Calvinis ajaran ini. Konsep Calling, “panggilan” salah
satunya, bahwa bekerja merupakan panggilan dari tuhan, bukan hannya dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup.
Dalam etika protestan yang
ditemukan oleh weber berbeda dengan etika dalam islam yang ditemukan dalam
penelitian selanjutnya. Menurut weber, tidak ada potensi islam untuk menjadi
kapitalis. Hal ini salah satunya disebabkan oleh pandangan weber tentang islam
bahwa islam adalah agama tidak rasional. Selain itu, adanya sistem patremoneal
dan feodalisme yang bisa dilihat dalam sejarah islam.
Makalah ini akan membahawa
kapitalisme Max Webber dan bagaimana pandangan terhadap islam.
Pembahasan
- Biografi
Max Weber
(1864-1930) dilahirkan di Erfurt Jerman pada tanggal 21 April 1864, dari
kalangan keluarga kelas menengah. Ayahnya seorang birokrat yang relatif penting
dalam posisi politik. Sedangkan ibunya adalah seorang penganut ajaran calvin.
Ini mempengaruhi psikologinya, dimana ayahnya adalah seorang yang mementingkan
duniawinya, sedang hidup ibunya banyak tertuju pada aspek kehidupan akhirat.[2]
Weber kecil lalu berhadapan dengan
suatu pilihan jelas (Marianne Weber, 1975:62). Mula-mula ia memilih orientasi
hidup ayahnya, tetapi kemudian tertarik makin mendekati orientasi hidup ibunya.
Ketika berumur 18 tahun Weber pergi dari rumah, belajar di Universitas
Heildelberg. Hingga ia mengikuti gaya hidup ayahnya, yang menjadikan ia
terjerumus dalam pergaulan bebas. Sebelum akhirnya ia menjadi sarjana hukum.
Setelah kuliah tiga semester Weber
meninggalkan Heidelberg untuk dinas militer dan tahun 1884 ia kembali ke
Berlin, ke rumah orang tuanya, dan belajar di Universitas Berlin. Sampai 8
tahun kemudian ia menjadi pengacara dan pengajar di sana. Dalam proses itu
minatnya bergeser ke ekonomi, sejarah dan sosiologi yang menjadi sasaran
perhatiannya selama sisa hidupnya. Pada waktu bersamaan ia beralih lebih
mendekati nilai-nilai ibunya dan antipatinya terhadapnya meningkat. Ia lalu
menempuh kehidupan prihatin (ascetic) dan memusatkan perhatian
sepenuhnya untuk studi. Dengan mengikuti ibunya, Weber menjalani hidup
prihatin, rajin, bersemangat kerja, tinggi dalam istilah modern disebut Workaholic
(gila kerja). Semangat kerja yang tinggi ini mengantarkan Weber menjadi
profesor ekonomi di Universitas Heidelberg pada 1896.[3]
Banyak dari karya-karyanya
yang pada akhirnya belum sempat ia revisi, disebabkan oleh penyakit tahunan
yang ia derita. Koleksi karya-karyanya banyak diterbitkan setelah ia meninggal.
Karya yang paling akhir, yang disusun berdasarkan catatan-catatan perkuliahan
yang ditulis oleh para mahasiswanya di Munich yaitu General Economic History.
Karyanya yang paling terkenal adalah The Protestan Ethic and Spirit of
Capitalism yang berisikan tentang penelitiannya mengenahi hubungan etika
keagamaan dengan semangat kapitalisme. Secara spesifik buku ini membahas
tentang keterkaitan antara etika protestan dengan semangat kapitalisme.
2. Weber dan Semangat Kapitalisme
Menurut max weber
kapitalisme merupakan paham yang baik yang dapat menyejahterakan manusia jika
memakai teori ini. Kapitalisme berawal dari etika protestan yang mengajarkan
untuk hidup hemat, rajin bekerja, disipilin sebagai bentuk pemujaan terjadap
Tuhan. selain itu etika protestan sangat ketat sekali terhadap hidup santai dan
bersenang-senang karena hal itu munculah semangat kapitalisme.
Untuk sampai
pada penemuan atas penelitiannya itu, semula yang menjadi pokok pikiran utama
weber adalah bagaimana lahirnya lahirnya kapitalisme dan bagaimana ia bisa
hidup terus menerus. Dalam hal ini logika weber ada tiga; pertama, bila
kapitalisme merupakan hasil tindakan manusia maka tentulah ada tindakan khusus
yang dilakukan oleh kelas tertentu. Siapakah pendiri kapitalis? Jawaban weber
adalah tipe baru kewirausahaan dan tenaga kerja.[4]
Yang
membedakan kedua tipe tersebut dengan yang lainnya adalah adanya etos atau
mental khusus, “semangat kapitalis”. Inilah tahapan kedua Weber. Campuran unik
antara motivasi dan nilai ini mencakup keuntungan dalam arti menghasilkan
pendapatan dan khususnya mencari uang sebagai tujuan utama, dan tidak lagi
disubordinasikan pada pemenuhan kebutuhan lain. Apa yang semula dijadikan alat
untuk memenuhi tujuan, menjadi tujuan itu sendiri.[5]
Ketiga, bila
semangat kapitalis itu merupakan syarat kelahiran kapitalis dari mana datangnya
semangat itu.di sini lah sumbangan pemikiran asli weber, yakni semangat
kapitalisme yang banyak ditemukan dalam etika protestan khususnya Calivinis.[6]
Weber Melihat
adanya keterkaitan antara penganut kehidupan Calvinis yang diberi pedoman oleh
agama mereka dan jenis prilaku dan sikap yang diperlukan bagi kapitalisme agar
bekerja secara efektif. Calvinis mendorong memusatkan diri pada pekerjaan
duniawi dan pada saat yang sama juga mewujudkan kehidupan asketik: sederhana,
rajin beribadah, dan hidup hemat.[7]
Calvinis meyakini bahwa mereka tidak akan diberi ganjaran oleh tuhan kecuali
mereka sukses dalam kehidupan. Bekerja tekun bukan alat untuk keselamatan
tetapi merupakan tanda lahiriah bahwa ia telah dirahmati oleh tuhan. [8]
Weber mengadakan penelitian
mengenai peran agama-agama dan pengaruhnya atas etika ekomomi. Weber mencoba
membuktikan bahwa tanpa reformasi Protestan, kapitalisme Barat tidak akan
pernah dapat berkembang hingga kemajuannya seperti sekarang ini. Dia
menampilkan bukti mengenai hubungan antara berbagai bentuk tertentu agama
Protestan dan perkembangan yang sangat cepat menuju kapitalisme.
Konsep semangat kapitalisme yang
digunakan, dimengerti dalam pengertian khusus yakni sebagai semangat
kapitalisme modern.[9]
Oleh karena itu berkaitan dengan kapitalisme modern Eropa Barat dan Amerika.
Kapitalisme menurut Weber memang ada di Negara-negara non-Eropa dan Amerika
seperti di Cina, India dan Babilon serta di dunia maju abad-abad pertengahan,
akan tetapi dalam wilayah-wilayah itu etos kerja khusus semacam Protestan
berkurang di mana kerja harus ditunjukkan, seolah-olah kerja merupakan suatu
tujuan yang pasti dalam kerja itu sendiri, semacam panggilan. Sistem kapitalis
begitu membutuhkan kepatuhan terhadap suatu panggilan untuk mencari uang. Oleh
karenanya, konsepsi bahwa mencari uang sebagai tujuan di dalamnya yang mengikat
manusia sebagai suatu panggilan menjadi berlawanan dengan perasaan etis pada
keseluruhan periode sejarah.
Penolakan terhadap tradisi atau
perubahan yang sangat cepat dalam metode dan valuasi terhadap kegiatan ekonomik
tidaklah mungkin terjadi tanpa dorongan moral dan agama. Hanya saja Weber juga
menyatakan bukti mengenai tetap adanya perbedaan dari berbagai kelompok
keagamaan untuk ikut ambil bagian dalam kapitalisme yang mapan pada masanya
sendiri. Di Jerman, Perancis dan Hongaria, Weber menyatakan dengan tegas bahwa
distribusi pekerjaan dan persiapan pendidikan bagi mereka menunjukkan bahwa
para penganut Protestan Calvinis lebih besar kemungkinannya untuk memainkan
peranan dalam dunia usaha dan manajerial, serta untuk melaksanakan pekerjaan di
berbagai organisasi modern berskala besar, dibandingkan dengan para penganut
Katholik atau Protestan Lutheran. Kedua kelompok ini cenderung tetap menekuni
pekerjaan di bidang pertanian, usaha kerajinan berskala kecil, atau dalam
berbagai profesi humanistik, hukum, dan pemerintahan.
Konsepsi baru
dari suatu agama, yaitu mengajarkan untuk memandang pencarian kekayaan tidak
hanya sebagai suatu kemajuan, tetapi sebagai suatu tugas. Ini merupakan
perubahan dari standart moral yang mengubah suatu kelemahan alami ke dalam
suatu ornamen semangat. [10]
Hal ini dapat dihubungkan sebagaimana ajaran Calvinis, yang sebagian berisikan
tentang suatu pekerjaan bukanlah semata-mata sarana atau alat ekonomi. Kerja
adalah suatu tujuan akhir spiritual. Dikatakan bahwa suatu kemalasan yang
mengakibatkan rendahnya kreatifitas kerja adalah suatu ancaman besar. [11]
Dalam kapitalisme
yang diusung oleh weber ada transformasi yang bersifa positif yaitu dengan cara
membangun struktur. Dengan memobilisasi diri mengejar kesuksesan, individu
mulai membanding-bandingkan prestasi mereka. Mengakumulasikan kapital dari pada
mengkonsumsi, menginvestasikan kembali keuntungan dari pada langsung
menggunakannya. Ini menjadi satu-satunya strategi untuk menjaga kesuskesan di
pasar tenaga kerja yang kompetitif.[12]
3. Islam dalam Pandangan Weber
Setelah meyakini adanya hubungan
antara agama Protestan Calvinis dan semangat Kapitalisme, Weber lebih lanjut
berusaha membahas dan mengidentifikasi berbagai corak organisasi ekonomik
lainnya, serta berbagai ciri yang membedakan antara Calvinisme dengan beberapa
agama seperti Hindu, Budha, Taoisme, Katholik, termasuk Islam. Walaupun,
sebenarnya, komentar weber tentang islam termuat dalam tulisan yang
terpencar-pencar karena kajian weber tentang islam tidak sampai tuntas
dikarenakan karya weber yang berjudul “Religious Sosiologies” belum selesai, ia
telah meninggal dunia pada tahun 1920.
Islam dalam pandangan Weber adalah
sebuah agama monoteistik. Monoteistik akhir dari tradisi Ibrahim (Abrahamic
Religions) yang kemudian bergeser menjadi semacam agama yang yang menekankan
‘prestise sosial’. Berbeda dengan sekte Calvinis Puritan, Islam tidak memiliki
afinitas teologis dengan pengembangan kapitalisme. Islam periode Mekkah sebagai
agama eskatologis berkembang, mempertahankan suatu tendensi untuk menarik diri
dari dunia. Namun dalam perkembangan selanjutnya di Madinah dan dalam evolusi
komunitas-komunitas awal, agama ini berubah menjadi agama prajurit dengan
tekanan-tekanan kelas yang sangat kuat. Dengan ulasan lain, seperti dikutip
oleh Taufik Abdullah, meskipun Islam dipercaya sebagai agama yang menganut
sistem teologi yang ‘monoteistis universalistis’, Islam dianggap Weber sebagai
agama ‘kelas prajurit’, mempunyai kecenderungan pada ‘kepentingan feodal’,
berorientasi pada ‘prestise sosial’, bersifat ‘sultanistis’, dan bersifat
’patrimonial birokratis’, serta tidak mempunyai ‘prasyarat rohaniah bagi
(pertumbuhan) kapitalisme’. Weber percaya bahwa ajaran Islam mempunyai sikap
anti akal dan sangat menentang pengetahuan, terutama pengetahuan teologis.
Perintah-perintah religius hukum
suci tidak diarahkan pada tujuan konversial dalam konteks pertamanya. Tujuan
utamanya adalah perang hingga para pengikut agama-agama kitab asing akan
membayar upeti (jizyah), yaitu hingga Islam tumbuh dalam puncak skala sosial
dunia dengan meminta upeti dari agama-agama lainnya. Sehingga Islam adalah
agama para petualang yang diorientasikan kepada nilai-nilai penaklukkan dan perampasan
yang bersifat duniawi.
Weber kemudian memandang Islam
dalam banyak segi sebagai lawan puritanisme di mana ia selanjutnya memiliki
semangat hedonis murni. Hedonisme yang dimaksud Weber nampak pada kenyataan
Islam yang mengutamakan kesenangan dan kebahagiaan dalam hidup, khususnya
terhadap wanita, kemewahan dan harta benda. Etika al-Quran yang tidak mempertentangkan
antara perintah-perintah moral dengan dunia menghasilkan suatu kesimpulan bagi
Weber bahwa tidak mungkin etika asketis yang dominan akan muncul di dalam
Islam.
Kenyataan inilah yang menurut Weber
merupakan suatu bentuk penyelewengan dari monoteisme Islam pada kecenderungan
hedonisme murni tadi. Penyelewengan seperti dimaksud Weber adalah faktor
mengapa asketisme tidak ada dalam Islam yang implikasinya kapitalisme rasional
tidak dapat tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didominasi oleh budaya Islam.
Alasannya, pertama, masyarakat Islam bersifat feodalistik ‘prebendal’ dan
birokrasi patrimonial; dua faktor yang tidak mungkin memunculkan terciptanya
kapitalisme rasional. Kedua, kondisi-kondisi militer dan ekonomi masyarakat
Islam tidak memadai bagi perkembangan kapitalisme. Pendek kata, bagi Weber
Islam anti rasionalitas.
Alasan kuat Weber untuk sampai pada
kesimpulan ini adalah praktek-praktek ekonomi kaum Muslim yang tidak mendukung
proses akumulasi kapital atau pertumbuhan kapitalisme secara keseluruhan.
Demikian pula praktek-praktek sufistik Islam yang pada umumnya mengesankan
sikap ‘melupakan dunia’ dijadikan dasar bagi kesimpulan-kesimpulan di atas.
Lebih lanjut Weber juga percaya bahwa kaum Muslim, lagi-lagi berbeda dengan
Protestan aliran Calvin, tidak memiliki sikap sederhana, hemat, tekun atau
berperhitungan dalam seluruh kegiatan ekonomi mereka. Pendeknya, mereka tidak
mempunyai semangat beruf (calling atau panggilan ilahiyah) dan asketis yang
mempunyai afinitas dengan pertumbuhan kapitalisme.
Berbeda dengan yang ditemukan weber
dalam beberapa ajaran calvinis. Ide “Panggilan” untuk membuat urusan-urusan
biasa dari kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama. “Panggilan”
merupakan cara hidup yang sesuai dengan kehendak tuhan yang telah dibebankan
kepada manusia, dimana manusia harus bekerja. Calvinisme, dalam hal ini
puritan, menganggap pekerjaan sebagai panggilan yaitu sebagai tugas suci untuk
manusia. Jadi, bekerja bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup.
melainkan untuk melaksanakan misi suci yang datang dari agama.
Penutup
Sambil mengesampingkan persoalan
mengapa Weber memandang Islam seperti itu, jelas bahwa pandangan-pandangan
tersebut baik secara teologis maupun soiologis sulit untuk diterima terutama
oleh kalangan Islam. Atau, setidak-tidaknya oleh mereka yang memahami Islam
dengan “baik”. Bahkan oleh sebahagian orientalis pun pandangan seperti
diungkapkan Weber di atas sulit untuk diterima.
Dan di sini patut disebut pandangan
orientalis terkemuka HAR Gibb, yang melihat Islam lebih dari sekedar agama,
tetapi sebagai suatu sistem peradaban yang menyeluruh. Atau, seperti apa yang
ditulis oleh Bryan S. Turner, ”Weber was hopelessly incorrect in purely factual
terms”.
Daftar bacaan
Brian Morris, Antropologi
Agama,cet. II, Yogyakarta: AK Group, 2007
Piotr
Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2008)
Pip Jones, Pengantar
Teori-teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010)
Max Weber, Etika
Protestan dan Semangat Kapitalisme, (Surabaya : Pustaka Promethea, 2000)
R.H. Tawney, The Protestan dan Semangat
Kapitalisme, terj. (Surabaya: Pustaka Promethea, 2000)
[1] Brian Morris, Antropologi Agama,cet. II, Yogyakarta:
AK Group, 2007, hlm. 67
[2] Brian Morris, Antropologi Agama,cet. II, Yogyakarta:
AK Group, 2007, hlm. 68
[3] Biografi Max Weber by Prof. Dr. H. Paisal
Halim, M.Hum.htm
[4] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta:
Prenada, 2008), hal. 275
[5] Ibid.
[6] Ibid
[7] Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hal. 120
[8] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Ibid,,,,hal.
277
[9] Max Weber, Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme, Surabaya : Pustaka
Promethea, 2000, hlm.
[10] R.H. Tawney, dalam Pengantar terj. The
Protestan dan Semangat Kapitalisme, Surabaya: Pustaka Promethea, 2000,,
hlm. 9
[11] Ibid, hlm. 10
[12]
Piotr Sztompka, Teori Perubahan Sosial,,,Ibid hal. 278
No comments:
Post a Comment