Sunday 1 February 2015

Komparasi Tafsir dan Ta'wil

Oleh Muhammad Assefudin
Mahasiswa Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang

a.    Pendahuluan
Al-qur’an adalah mu’jizat yang sangat besar diturunkan kepada nabi Muhammad SAW tidak ada satu orang pun yang sanggup menandinginya. Selain karena bahasa arab memiliki keistimewaan tersendiri juga bahasa dan redaksi yang digunakan dalam al-qur’an bermakna luas dan penuh dengan ilmu. Terutama kebahagiaan mereka yang mempelajari al-Qur’an bergantung pada pemahaman maknanya, pengetahuan rahasia – rahasianya.


Al-qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan yang tidak habis untuk kita gali. Mulai dari ilmu tentang pemerintahan, ilmu kesehatan, ilmu hukum, keimanan, kisah-kisah, ilmu tentang hal-hal ghaib  seperti akhirat dan pembalasan hari akhir dan masih banyak lagi yang terkandung dalam al-qur’an karena setiap ayatnya adalah ilmu[1]. Kemampuan setiap orang dalam memahami lafadz dan ungkapan  qur’an tidaklah sama, padahal ayatnya sama dengan semua yang tersurat .

Sesudah Rosululloh SAW wafat barulah para sahabat yang alim yang mengetahui rahasia-rahasia Al Qur’an dan yang mendapat petunjuk langsung dari NAbi SAW sendiri, merasa perlu bangun menerangkan apa yang mereka ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami tentang maksud-maksud Al Qur’an[2]

“Tafsir, dan Ta’wil” adalah pokok bahasan dalam makalah ini. Pada upaya penyingkapan tabir akan rahasia-rahasia ayat dan makna maka pentingnya diketahui ilmu tafsir ataupun ta’wil. Memahami al-Qur’an tidak hanya berdasarkan apa yang tertera pada terjemahan saja akan tetapi pemahaman yang lebih dalam lagi yaitu dikaji berdasarkan ilmu tafsir.

Harus diakui, sampai saat ini masih ada usaha gigih dan terus menerus dalam mengkaji berbagai hal tentang ilmu tafsir. Ada yang dimotivasi karena keinginan utnuk membuktikan kebenaran al-qur’an ada juga yang beranggapan tentang misteri yang menyelimuti al-Qur’an, maka pada makalah ini akan kami terangkan tentang metode dalam memahami al-qur’an.

Pembahasan
a.       Pengertian
1.       Tafsir
Kata tafsir diambil dari kata fassara yufassiru tafsiiran( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ yang berarti keterangan atau uraian, Al-jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa al-kasyf[3] wa al-izhar yang artinya menyingkap dan melahirkan .

Hal ini senada dengan pendapat yang mengatakan bahwa tafsir adalah menyingkapkan maksud dari lafadz yang sulit dalam Al-Qur’an, didalam Al-Qur’an disebutkan tentang makna tafsir :

اوَلَا يَأۡتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئۡنَـٰكَ بِٱلۡحَقِّ وَأَحۡسَنَ تَفۡسِيرً

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu perumpamaan, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS. 25:33)

Berikut ini adalah beberapa pengertian tafsir:

1.       Secara etimologi kata tafsir dalam bahasa arab berarti al-idlah (penjelasan) atau al-tabyin (keterangan)[4] selain itu tafsir bisa berarti: الاايضاح والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan) dan  المشكل كشف مرادعن الفظ (menjabarkan kata yang samar )[5]
2.       Tafsir secara bahasa adalah mengikuti wazan “ taf’il” berasal dari akar kata al-fasr  yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak.
3.       Secara bahasa kata Tafsir ( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ  yang mengandung arti: الإيضاح و البيان (keterangan dan penjelasan), yakni menyingkap dan menampak-kan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata الفســر  berarti menyingkapkan sesuatu yang tertutupi.
4.       Tafsir secara Etimologis adalah penjelasan dan mengungkapkan kata tafsir diambil dari kata fassara – yufassiru- tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. Pada dasarnya kata tafsir berdasarkan bahasa tidak terlepas dari kandungan makna Al-Qur’an (Menjelaskan) Al- Bayan ( Menerangkan ) Al-Kasif ( Mengungkapkan ), Al-Azhar ( Menampakkan ) dan Al-Ibanah ( Menjelaskan )

Adapun tafsir menurut istilah adalah terdapat banyak pendapat :
  1. Tafsir menurut Al-Kilab Dalam At-tashil adalh menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat atau tujuan.
  2. Menurut Syaikh Al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekatinya atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalahnya.
  3. Menurut Abu Hayyan tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara penggunaan lafadz-lafadz Qur’an tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri  maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal  lain  yang melengkapinya[6].
  4. Menurut Al-Zarkasyi tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, serta menyimpulkan kandungan hokum dan hikmahnya.
  5. Kata Tafsir dalam Islam secara khusus menunjuk kepada masalah Penafsiran atau penjelasan mengenai ayat-ayat Al-Quran. Tafsir secara Terminologi. menurut badruddin Al-Zarkasyi :

السير : علم يعرف به فهم كتب الله تعا لى النزل علىنبيه محمد صلى الله عليه وسلم ونيا ن معا نيه واستخراج أحكمه
Tafsir ialah : ilmu yang dengannya dapat dipahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W dan dengannya dapat dijelaskan makna-maknaya serta dikeluarkan hukum-hukum dan hikma-hikmanya.

Menurut Syeikh Thahir al-jazairi, sebagaimana dinukil rifat syauqi Nawawi dam M.Ali Hasan serta Mashuri sirojuddin Iqbal dan Al. Fudlali, dikatakan :

التفسير فى الحقيقة إنما هو شرح اللفظ المستلغق عند السا مع بما هو أفصح عنده بما يراد فيه أوله دلالةعليه يا حد ى الطرق الدلالا ت

Tafsir adalah hakekatnya ialah : menerangkan maksud lafal yang sulit dipahami oleh para pendengar (penyimak) denga uraian yang lebih yang lebih memperjelas maksudnya baik dengan mengemukakan sinonim atau kata kata yang mendekati sinonim itu akan dengan mengemukakan uraian yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui jalan dalaah.

Sedangkan Abu Hayyan, seperti dikemikakan oleh Manna’ Al-Qaththan, mengemukakan

االتفسير : علم يبحث فيه عن كيفية النطق با لأ لفاظ القران ومد لولاتهاوأحكامها الأفرادية والتركيبية والتركيبية ومعا نيها التى تحمل عليها حالة التركيب وتتمات لذا لك

Tafsir : ilmu membahas mengenai tata cara pengucapan lafal-lafal Al-Quran, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri. sendiri maupun ketika tersusun makna-makna yang diinginkan atsnya dalam keadaan tersususun sreta hal-hal lain yang melengkapinya.

Maka berdasarkan rumus-rumus diats dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa tafsir adalah : usaha yang bertujuan menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an atau lafal-lafalnya agar hal-hal yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang, yang sulit dipahami menjadi mudah di pahami, sehingga al-Qur’an sebagai pedoman dalam hidup dan kehidupan sehari-hari agar tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat[7].

Dari rumusan-rumusan pengertian tafsir tersebut ada beberapa unsur pokok yang dapat dikemukakan, yaitu :
a. Pada hakekatnya, tafsir itu menjelaskan maksud ayat-ayat al-Qur-an, yang sebagian besar masih dalam bentuk yang sangat global
b.  Tujuan adalah untuk memperjelas makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, sehingga apa yang hendaki oleh Allah S.W.T. dalam firman-Nya itu dapat dipahami dan dihayati untuk diamalkan.
c.   Sasarannya adalah agar al-Qur'an sebagai pedoman hidup dan hidayah dari Allah benar-benar berfungsi sebagaimana tujuan al-Qur'an diturunkan.
d. Sarana pendukung dalam menafsirkan al-Qur'an meliputi berbagai ilmu yang berhubungan dengan itu.
e. Upaya menafsirkan al-Qur'an bukan untuk memastikan, bah­wa secara pasti begitulah yang dikehendaki Allah dalam firman­-Nya itu, namun pencarian makna itu hanyalah semata-mata untuk memperoleh kebenaran menurut kadar kemampuanmanusia dengan segala keterbatasan ilmu yang dimilikinya.

2.       Takwil

Secara etimologi, menurut sebagian ulama', kata tawil me­miliki makna yang sama dengan kata tafsi[8]r, yakni "menerangkan" dan "menjelaskan"." Ta'wil berasal dari kata "aul". Kata tersebut dapat berarti: Pertama, al-ruju'(kembali, mengembalikan) yakni, mengembalikan makna pada proporsi yang sesungguhnya. Kedua, al-sharf(memalingkan) yakni memalingkan suatu lafal yang mem­punyai sifat khusus dari makna lahir kepada makna batin lafal itu sendiri karena ada ketepatan atau kecocokan dan keserasian de­ngan maksud yang dituju. Ketiga, al-siydsah (mensiasati) yakni, bahwa lafal-lafal atau kalimat-kalimat tertentu yang mempunyai sifat khusus memerlukan "siasat" yang tepat untuk menemukan makna yang dimaksud. Untuk itu diperlukan ilmu yang luas dan mendalam.

Selanjutnya pemaknaan ta’wil menurut terminologi dapat dikemukakan sebagai berikut :

التأويل : صرف اللفظ عن معناه الظاهرإلى معن يحتمله إلى معنى يحتمله إذاكان للمحتمل الذى يراه موافقا للكتا ب والسنه

Ta’wil ialah : memalingkan lafal dari maknanya yang tersurat kepada makna lain (batin) yang dimiliki lafal itu, jika makna lain tersebut dipandang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan Sunnah.

Sebagaimana, seperti Ahmad al-Marahiy mengemukakan :

اماالتأويل : فهوأن يكون للاية عدة معا ن محتملة فمهما ذكرت للسا مع معنى ثم معنى وقف وقفه للمتردد في اختيار أقربهاإلى نفسه ومن ثم كان التأويل أكثرما يستعمل فى جا نب المتشا بها ت

Adapun ta’wil ialah ayat yang memiliki kemungkinan sejumlah makna yang terkandung di dalamnya, maka manakala dikemukakan makna demi makna kepada pendengar, ia menjadi sangsi dan bingung mana yang hendak dipilihnya, karena itu, ta’wil lebih banyak digunakan untuk ayat-ayat musasyahibat.

Muhammad Ali al-Shabuniy mendefenisikan ta’wil sebagai berikut :

التاويل : فهو ترجيح بعض المعانى المحتملة من الايا ت الكريمة التى تحتمل عدة معا ن

Ta’wil ialah : memandang kuat sebagian dari makna-makna tertentu yang terkandung di dalam ayat al-Qur’an dari sekian banyak kemungkinan makna yang ada.

Menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an berarti “membelokkan “atau”memalingkan” lafal-lafal atau ayat-ayat al-Qur’an dari maknanya yang tersurat kepada yang tersirat dengan maksud mencari makna yang sesuai dengan ruh al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW[9]. Sasaran ta’wil umumnya adalah menyangkut ayat-ayat Mutasyabiyat atau ayat-ayat yang mempunyai sejumlah kemungkinan makna yang terkandung di dalamnya.

1.   Dalil Takwil
Menurut para Ulama’, ada bentuk dalil-dalil yang digunakan untuk merajihkan makna estoris (makna marjuh) darpada makna zhahir
a. Nash Al Qur’an dan As Sunnah, seperti firman Allah SWT tentang keharaman bangkai (hewan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah) dalam Q.S Al MAidah: 3. Ayat ini menerangkan keharaman segala sesuatu dari bangkai, termasuk kulitnya. Namun ada hadith bahwasannya Rosulullah SAW bersabda kepada sahabatnya tentang kambing milik Maiimunah R.A yang mati dan akan dibuang, “Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?”, para sahabat menjawab, “Tapi ini bangkai?”, beliau menjawab, “Yang diharamkan dari bangaki hanyalah memakannya”, Dalil dari Hadith ini mengalihkan sebuah lafadz dari makna Zhahirnya.
b. Ijma’, seperti firman Allah SWT dalam QS. Al Jumu’ah: 9, mengenai perintah shalat Jum’at, secara zhahir ayat ini berlaku kepada semua orang beriman baik laki-laki, perempuan, orang merdeka, budak, maupun anak-anak. Tetapi ijma’ mengecualikan anak-anak yang belum baligh.
c.  Qiyas; diantara para ulama ada yang mensyaratkan harus dengan qiyas jaly, seperti Qiyas budak laki-laki dan budak perempuan dalam hal pembebasannnya, sedangkan Qiyas fariq tidak berlaku. Hikmah Tasyri’ dan kaidah-kaidah dasar syari’at; seperti kewajibanzakat dari empat puluh ekor kambing dengan satu ekor. Menurut Ulama’ syafi’iyyah, membayar dengan seekor kambing sesuai dengan zhahir lafadz hadith dan tidak boleh menggantinya dengan uang (ikhrajal-qiymah) karena lafaznya jelas, khusus, qath’i. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiyamah) karena hikmah dari mengeluarakn zakat adalah mencukupi kebutuhan orang-orang faqir dan uang lebih bermanfaat untuk mencukupi segala kebuthab mereka serta lebih sesuai dengan keinginan syariat.

2.  Kaitan Takwil dengan Makna
Dalam kaitannya dengan masalah makna, seorang mujtahid ketika akan mengalihkan lafadz dari makna yang kuat kepada makna yang lemah harus memperhatikan hal-hal berikut;
a. Makna lughawi bahasa Arab, seperti kata shalat yang berarti do’a, zakat yang berarti penyucian, dan shaum yang berarti menahan.
b. Istilah-istilah syar’I, kata yang memiliki pengertian khusus dalam syar’I, sehingga makna kata tersebut harus dikembalikan kepada makna syar’I bukan kepada makna lughawi atau bahasa.
c.  Istilah dalam urf (kebiasaan), baik urf yang bersifat umum seperti kata al-adabah untuk yang berkaki empat (melata) atau kata al-ghoit untuk kotoran, maupun urf yang bersifat khusus seperti istilah-istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith dan ilmu-ilmu lainnya.

Selain memperhatian tiga hal di atas, dalam mengalihkan lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah juga harus mengembalikan kepada makna yang dekat atau berdasar dalil.

3. Bentuk-bentuk Takwil

Para Ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalamaikajian ayat-ayat Al Qur’an, bila dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan pengambilan hokum (istimbath al-hakam). Sehingga kajian para ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk Takwil, diantaranya mengkhususkan lafazh yang masih umum (takhshishal-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid Al Mutlaq), mengalihkan lafzh dari maknanya yang hakiki kepada majazi, atau dari makna yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.

4. Ruang lingkup Takwil
Allah Azza wa Jalla menurunkan Alqur’an dengan dua macam ayat, muhkamat dam mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti makna yang dimaksud kecuali setelah dselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara-perkara gaib misalnya seperti ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surge , neraka dan lain-lain[10]. Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat merupakan objek kajian Takwil (majaal Takwil)

        Lebih spesifik lagi Muhammad bin Umar bin salim Bazmul dalam syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Ibnu Taimiyah yang dikutip Abdurrahman MArdafi menyatakan bahwa, mantuq memiliki lima macam; nash, zhahir, muawwal, dalalah iqtidha’ dan dalalah isharah adalah bagian dari pembahasan Takwil.

        As Sahukani dalam Irsyadul Fuhul yang dikutip Abdurrahman Mardafi menjelaskan bahwa ada dua ruang lingkup Takwil (majaal al-Takwil); yang Pertama, kebanyakan dalam masalah furu’, yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah. Takwil dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama. Kedua’ dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah-masalah aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu termasuk juga huruf muqattha’ah di permulaan surat-surat.

b.      Perbedaan Tafsir dengan Takwil

Tentang perbedaan Tafsir dan takwil ini banyak ulama mengeluarkan berbagai pendapat, tentunya pendapat-pendapat Ulama itu ada yang tidak sama bahkan ada yang jauh berbeda satu sama lain, diantara pendapat-pendapat tersebut adalah:
·   Ibnu faris yang dikutip dari Abduraahman Mardafi menyatakan bahwa maksud sebuah ungkapan tidak akan bisa lepas dari tiga hal: makna , tafsir dan takwil. Meskipun berbeda dari segi istilah, namun maksud dari ketiganya saling berdekatan dan terkait. Makna adalah maksud dan tujuan dari sebuah perkataan. Sedangkan Tafsir, menyingkap maksud yang tersembunyi dari sebuah ayat. Adapun Takwil, mengalihkan lafadz dari suatu makna kepada makna lain yang dikandungnya[11].

·  Ar-Raghib Al-Ishfani yang dikutip Abdurrahman Mardadi mengatakan, “Tafsir lebih umum dari takwil. Tafsir lebih banyak digunakan lafadz-lafdz, sedangkan Takwil juga lebih banyak digunakan kepada makna-makna, seperti Takwil mimpi. Takwil juga lebih banyak digunakan dalam kitab-kitab suci, sedang Tafsir banyak digunakan untuk menemukan makna kata-kata dalam sebuah ucapan.

·  Abdurrahman Mardafi menambahkan dari pendapat Az Zarkasyi bahwa, tafsir dalam istilah para Ulama adalah menyingkap atau menemukan makna-makna Al Qur’an dan menjelaskan maksudnya, ia lebih umum dari Takwil yang hanya sekedar  membahas lafadz-lafdz yang ambigu atau makna yang zhahir atau permasalahan lainnya[12]. Tafsir lebih banyak digunakan dalam kalimat-kalimat. Selain itu, tafsir juga membahas lafadz-lafadz yang asing. Sedangkan takwil, terkadang menggunakan lafadz umum dan terkadang lafadz khusus. Seperti kata kufur yang terkadang diartikan ingkar dalam arti umum, terkadang juga digunakan untuk pengingkaranan terhadap Allah Azza Wa Jallla dalam arti khusus, dan kata iman yang terkadang diartikan mempercayai (tashdiq) dalam arti umum, terkadang juga diguanakan untuk membenarkan kebenaran, baik dalam lafadz ambigu yang memiliki beberapa makna.

·    Al-bajili yang dikutip Abdurrahman Mardafi mengatakan bahwa Tafsir berkaitan dengan riwayah (riwayat) sedangkan Takwil berkaitan dengan dirayah (ilmu pengetahuan). Abdurrahman Mardafi menambahan hal serupa dinyatakan oleh Abu NAshr Al-Qushairy, “ Tafsir terbatas hanya pada mengikuti dan mendengar (riwayat), sedangkan istimbath (kesimpulan) merupakan bagian dari Takwil. Ini juga pendapat Abu Mansur Al mAturidy, sehingga ia juga menyimpulkan bahwa Tafsir berlaku untuk para sahabat sedangkan Takwil untuk para Fuqoha’ (ulama). Sebab, para sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu dan mendengar langsung dari Nabi Muhammad SAW serta mereka tidak akan berbicara tanpa Ilmu.

·  Menurut Abdurrahman Mardifi sendiri Takwil adalah hakekat luar (haqiqah kharijiyah) dari sebuah ayat, sedangkan mengetahui tafsir dan maknanya adalah mengetahui gambaran sebuah ayat secara ilmiah, jarena Allah Azza wa Jalla menurunkan Al Qur’an agar mudah dipahami, dimengerti, direnungkan dan dipikirkan baik ayat muhkamat maupun yang mutasyabihat meskipun tidak diketahui takwilnya.

Jika dilihat dari pengertian tafsir dan takwil maka dapa dibedakan atas :

Ta’wil :
1.      Takwil adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka makna “tafsir dan “takwil” adalah dua kata yang berdekatan atau sama maknanya.
2.      Takwil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka takwil dari talab (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri dan takwil dari khabar adalah esensi yang  diberitakan.

Tafsir :
3.      Dikatakan tafsir adalah apa yang telah jelas didalamnya kitabullah atau tertentu pasti) dalam sunnah yang sohih karena maknanya telah jelas dan gamblang.
4.      Dikatakan pula tafsir lebih banyak digunakan dalam menerangkan lafadz dan mufrodat (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak dipakai dalam menjelaskan makna dan susunan kalimat.

Atas dasar ini maka perbedaan antara keduanya cukup besar, sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan. Sedangkan ta’wil ialah esensi dari suatu yang berada dalam realita (bukan dalam pikiran). Ta’wil memerlukan renungan dan pemikiran dalam membuka tabir/makna yang terkandung didalamnya. Dengan menggunakan istidlal dapat menyeleksi makna yang lebih kuat, sifatnya tidak pasti sebab kalau makna tersebut dipastikan maka berarti manusia telah menguasai al-qur’an sedang ditegaskan dalam kitabullah :

 وما يعلم تأ ويله إلا الله (الأ يه, والله اعلم)
Misalnya:
ان ربك لب المرصا د (الفجر : 14(

Artinya :Sesunguhnya tuhanmu benar-benar mengawasi  (QS al-fajr:89:14).
           
Penafsiran ayat di atas adalah bahwa Allah senantiasa mengintai (mengawasi) hamba-Nya, sedangkan takwilnya adalah bahwa Allah selalu mengingatkan hamba-Nya dari kemungkinan mengabaikan perintah-perintah-Nya serta melupakan atau melalaikan semua itu dari kemungkinan mempersiapkan hal-hal yang di anggap perlu.[13][9] 

Tafsir dan ta’wil keduanya memiliki kontribusi yang sama dalam memahami al-Qur’an.  Tafsir merupakan penjelas dari apa yang dimaksudkan oleh Allah dan tidak akan diperoleh secara pasti kecuali dari para rosulullah atau dari para sahabat. Sedangakan ta’wil merupakan kerja tarjih yang bersandar kepada ijtihad. Tarjih akan sulit dilakukan atau bahkan mustahil tanpa ada penelusuran kosa kata arab, keterkaitan ayat sebelumya dan sesudahnya, khas dan ‘am, mujmal dan muqayyad dan lainya. Dalam hal ini tafsir merupakan perpanjangan dari ilmu tafsir dan tafsir berfungsi menyiapkan perangkat-perangkat ta’wil.(Abu Zaid)[14][10]
         
Penutup
a.  Kesimpulan
Takwil merupakan bagian dari tafsir, jika tafsir menyingkap tabir makna dari sebuah lafadz, maka Takwil menemukan makna dari Lafadz yang ambigu setelah tabir tersingkap. Jadi, Takwil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari Tafsir. Tafsir menyingkap tabir makna dari lafadz yang tersirat (implisit) sedangkan Takwil menemukan makna batin (esetoris) dari lafazh yang eksplisit (tersurat) atau ambigu (mutasyabihah)

b.      Daftar Pustaka
1.       Rifa’at Syauqi, M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
2.       Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi Teungku, Ilmu-ilmu Al Qur’an, (semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002)
3.       Manna’ khalil Al-qattan, Studi ilmu-ilmu al-qur’an (Jakarta, Litera Antar Nusa, 2011
4.       Muhammad Ali al-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘ulumul al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Irsyad, 1970),
5.       Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an
6.       Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009)
7.       Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
8.       Rifa’at Syauqi, M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
9.       Mashuri Sirajuddin Iqbal, A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Angkasa, 1987)





[1] Rifa’at Syauqi, M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
[2] Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi Teungku, Ilmu-ilmu Al Qur’an, (semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002)
[3] Manna’ khalil Al-qattan, Studi ilmu-ilmu al-qur’an (Jakarta, Litera Antar Nusa, 2011
[4] Muhammad Ali al-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘ulumul al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Irsyad, 1970),
[5] Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an
[6] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009)
[7] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
[8] Muhammad Ali al-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘ulumul al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Irsyad, 1970), h. 74
[9] Rifa’at Syauqi, M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988),
[10] Mashuri Sirajuddin Iqbal, A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Angkasa, 1987)
[11] Manna’ khalil Al-qattan, Studi ilmu-ilmu al-qur’an (Jakarta, Litera Antar Nusa, 2011) hlm. 459
[12] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)


No comments: