Saturday 20 April 2013

PEREMPUAN DALAM BAYANG KAPITALISME: KRITIK ATAS AKTIVIS GENDER[1]

Oleh: Miftahul Arifin[2]

Pendahuluan
Dalam perbincangan ini, kapitalisme tentu saja tidak lepas dari pembicaraan tentang tenaga kerja atau buruh dalam satu industialisasi. Sebagai objek pemilik modal, buruh menjadi lahan empuk untuk diekspoitasi dalam rangka meningkatkan profit yang sebesar-besarnya. Ciri umum sebuah industri kapitalis adalah tidak adanya koherensi antara pendapatan pemilik modal dengan buruh sebagai
mesin industri.
Dari sini, strategi mulai dimainkan oleh pemilik modal. Ekspolitasi terhadap buruh dirancang sedemikian rupa sehingga tak tanpak sebagai bentuk eksploitasi, baik dengan iming-iming jaminan kesehatan maupun yang lainnya. Dalam hal tertentu, para pemilik modal memanfaatkan kaum perempuan sebagai mesin penunjang industri. Perempuan dipandang sebagai sosok manusia yang lemah dan tidak mudah memberontak atas kebijakan pemilik industri.
Berdasarkan fakta di lapangan, ternyata, tercatat sejak sekitar dua puluh tahun yang lalu terdapat kecendrungan feminisasi tenaga kerja yang ditandai dengan meningkatnya Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan dari 32,7 persen pada tahun 1980 menjadi 39,2 persen pada tahun 1990. Atau meningkatnya partisipasi pencari pekerjaan perempuan dari tahun ketahun semakin tinggi.[3]
Menigkatnya pekerja wanita tersebut tak lain merupakan bagian dari spirit wanita bahwa ia tak ingin hanya dianggap pandai dalam urusan domestik. Kaum perempuan ingin menujukkan bahwa ia juga memiliki kelebihan sebagaimana halnya seorang laki-laki.
Hanya saja, menurut Susi Eja Yuarsi[4], wanita seringkali ragu-ragu dalam mengembangkan diri karena ada norma norma yang memojokkan wanita. Pun wanita, lanjut Susi, seringkali dibingunkan oleh peran gandanya. Mengutip Laela Budiman,[5] susi menyatakan bahwa kemungkinan yang dicapai wanita itu sangat luas.  Hanya karena keterbatasan kebiasaan, norma dan nilai yang hidup dimasyarakat itulah yang dapat menghambat berbagai kemungkinan untuk merealisasikan potensinya. Inilah yang kemudian mencoba didobrak oleh para aktifis gender.
Sementara itu, gencarnya aktivis gender menyarakan kesamaan perempuan dengan laki-laki tidak kurang memberi efek bagi pekerja industri di era modern. Perempuan yang bergelut di bidang industri tidak sepenuhnya mendapatkan haknya secara layak. Wanita sering di nomor duakan dalam hal kerja. Padahal, disatu sisi, wanita dipandang sebagai sosok yang memiliki jari yang terampil dan luwes. Tapi mengapa dalam hal upah ia selalu lebih rendah dengan pekerja laki-laki? Pertanyaan inilah yang mencoba akan diuraikan oleh penulis dalam makalah ini.

Perempuan Dan Industri
Ada tiga perspektif yang dikemukakan oleh Ken Suratiyah[6] untuk menerangkan kaitan wanita dengan kesempatan kerja. Pertama, perspektif integrasi yang beranggapan bahwa pembangunan dapat memberikan peluang kerja bagi wanita. Jika wanita diberi kesempatan dalam kehidupan sosial, politik atau pun ekonomi maka ia akan sejajar dengan seorang laki-laki. Kedua, perspektif marjinalisasi, mengacu pada paham bahwa pembangunan kapitalis akan menggusur wanita dari kegiatan inti ekonomi bahkan mereka akan didepak sama sekali dari hubungan produktif. Ketiga, perspektif ekspolitasi, beranggapan bahwa eksploitasi adalah produk modernisasi yang mengedepankan akomodasi modal oleh para kapitalis.
Yang disebut terakhir inilah, menurut Ken, yang menyebabkan upah buruh rendah, kondisi tenaga kerja dan jaminan sosial wanita rendah. Pendapat ini didukung oleh Diane Wolf atas dasar penelitiannya di beberapa industri yang ada di ungaran, jawa tengah. Bahwa upah upah buruh wanita rendah disbanding dengan upah buruh laki-laki. Selain itu, kondisi kerja kurang layak, fasilitas minim bahkan sebagian buruh masih menopang pada keluarga.[7]
Bersamaan dengan hal tersebut, bekerja di area industri makin menjadi cita cita banyak perempuan muda karena memberi kesempatan untuk memperluas pergaulan dan dan aktualisasi diri.[8]  Hal ini dikung oleh beberapa pabrik industri yang mempekerjakan ratusan bahkan ribuan pekerja dengan menciptakan komunitas buruh yang memungkinkan mereka untuk saling berinteraksi.[9]
Menurut Indrasari,[10] kondisi dan kesempatan yang muncul bersamaan dengan pengintegrasian perempuan pabrik ini adalah bukti peluang pembebasan akibat dari perkembangan berwajah kapitalis. Karena, lanjut Indra, pertumbuhan kapitalisme memiliki sifat yang kontradiktif. Pada saat yang sama mengekspoitasi sekaligus memberi peluang pembesan.
Pemilihan perempuan sebagai tenaga kerja oleh pabrik karena mereka sangat memenuhi syarat dalam strategi penekanan biaya produksi. Dalam posisi ini, kapitalisme telah mereduksi peran perempuan sebagai hanya menjadi pelekasan dan pemegang domistik. Fungsi ekonomi perempuan dihapuskan dengan menonjolkan fungsi reproduktifnya.[11] Menurut Heyzer, sebagaimana juga dikutip oleh Indra, anggapan itu terbentuk karena dua hal: pertama, Familiy wage, yaitu sebuah keyakinan bahwa lelaki adalah penghasil nafkah keluarga dan sebagai kepala keluarga. Kedua, continuity of work (keberlangsungan kerja) yang menaggap bahwa perempuan akan selalu mengundurkan diri dari pekerjaannya pada saat tertentu. Hal ini, jelas tidak ada jaminan kontinuitas kerja.[12]

Eksploitasi Perempuan: Kritik Atas Aktivis Gender
Pendapat Heyzer yang kedua sangat logis menjadi alasan mengapa kaum perempuan dipandang sebelah mata oleh kalangan pemilik modal. Peran ganda perempuan, di satu sisi, benar-benar telah menjadi penghambat kebebasan perempuan dalam dunia ekonomis. Perempuan tak memberi jaminan dalam kontinuitas kerja. Tentu saja merupakan kerugian tersendiri bagi sebuah perusahaan menghargai perempuan sebanding dengan pekerja laki-laki.
Gencarnya aktifis gender menyuarakan kesamaan antara laki-laki dan perempuan kurang memiliki alasan yang kuat jika dihadapkan dengan dunia industri. Dalam hal ini jelas bahwa perempuan kurang menjanjikan terhadap keberlanjutan pabrik industri yang menjanjikan.
Walaupun di satu sisi, memang ada unsur yang sangat berperan yaitu kapitalisme memiliki kecendrungan untuk mengeksploitasi para buruh. Yakni anggapan bahwa perempuan tak lebih seperti apa yang dikatakan Heyzer yakni Family wage: sebuah keyakinan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah, bukan perempuan. Tugas besar bagi aktifis gender untuk menghilangkan stigma tersebut.
Disisi lain, pemahaman tentang arti kebebasan bagi perempuan untuk berkelindan dengan dunia ekonomi telah dimanfaatkan oleh kalangan kapitalis (pemilik modal). Kebebasan berkomonikasi dan aktualisasi diri dengan lingkungan telah dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk mengekploitasi para pekerja perempuan. Sebagaimana, pembahasan dimuka, di satu sisi perempuan diberi hak untuk menjalin hubungan dalam dunia kerja, di sisi lain hal tersebut menjadi media yang samar untuk mengelabuhi.
Inilah kritik penulis terhadap aktifis gender. Bahwa upaya pembesan terhadap kaum wanita untuk ikut andil dalam peran-peran tertentu ternyata dimanfaatkan oleh kaum kapitalis untuk mendapatkan profit yang besar.
Jelas kalangan perempuan tak menyadari akan hal ini. Pun andaikan mereka menyadarinya, mereka tak akan dapat berbuat apa-apa. Sebab, kemampuan melawan mereka memang lebih rendah dari pada kaum laki-laki. Lihat saja berapa benyak kaum perempuan yang menjadi lahan empuk kapitalis dalam dunia industri. Apa yang bisa mereka lakukan?

Reference
Haris Abdul, dkk, Sangkan Paran Gender, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)





[1] Makalah disajikan dalam diskusi mingguan, Asrama mahasiswa Fakultas Ushuluddin Program Khusus Iain Walisongo Semarang.
[2] Mahasiswa FUPK konsentrasi akidah dan Filsafat angkatan tahun 2010.
[3] Indrasari Tjandraningsih, Buruh Perempuan Menguak Mitos, dalam buku Sangkan Paran Gender, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1997), hal. 255
[4] Lih. Susi Eja Yuarsi, Wanita dan Akar Cultural Ketimpangan Gender, Ibid, hal. 247
[5] Dalam makalahnya “wanita dan kemungkinannya”, yasanti-Oxfam, 1988, hal 7
[6] Ken Suratiyah, Pengorbanan Wanita Pekerja Industri, dalam buku Sangkan Paran Gender, hal. 221. Kensuratiyah adalah Dosen Fakultas Pertanian UGM dan Peneliti pada pusat penelitian kependudukan UGM. Banyak berkecipung dalam studi wanita dan studi ekonomi rumah tangga.
[7] Ibid hal. 222. Dikutip dari Danie Wolf, Factory Daughther: Gender, Household Dynamic and Rulal Industrialization in Java, (Barkeley: University of California Press, 1992)
[8] Indrasari Tjandraningsih, Ibid, hal. 257
[9] Ibid, hal. 257
[10] Nama Lengkapnya adalah Indrasari Tjandraningsih. Alumnus Jurusan Antropologi Unpad Tahun 1989, bekerja pada LSM Akatiga Bandung. Beliau banyak menulis dan meneliti tentang buruh wanita.
[11] Ibid, hal. 258
[12] Ibid, hal. 258

No comments: