Saturday 20 April 2013

Al Baqillani: Studi Perbandingan dengan Al Asy’ari dan Faham Mu’tazilah


Oleh Miftahul Arifin

A.     Pendahuluan
Dalam sejarah aliran-aliran dalam tologi islam, Al Baqillani dikenal sebagai salah seorang tokoh pemuka dari golongan Asy’ariyah. Selain karena pengakuannya akan adanya sifat-sifat Allah, pendapat-pendapatnya juga memiliki kesamaan dengan Imam Al Asy’ari. Ia juga banyak menolak terhadap ajaran-ajaran yang dibawa oleh golongan mu’tazilah.
Pandangan-pandangan dari al Asy’ri ia dapat
kan dari kedua gurunya yaitu, Ibnu Mujahid dan Abu Al Hasan al Bahili. Keduanya merupakan murid Al Asy’ari. Namun, meski demikian, Al Baqillani tidak selalu sependapat dengan Al Asy’ari. Disatu sisi ia menerima terhadap faham Asy’ariah dan disisi lain ia menolaknya. Secara umum Al Baqillani sependapat dengan Al Asy’ari dan menolah terhadap pandangan Mu’tazilah.
Dalam Makalah yang sikat ini, penulis berusaha mencari persamaan dan perbedaan pandangan antara mu’tazilah, Al Asy’ari dan al Baqillani. Namun penulis hanya akan membatasi pada empat pokok permasalahan: pertama, mengenai perbuatan Manusia. Kedua, Fungsi Akal Dan wahyu. Ketiga, Janji dan ancaman tuhan. Konsep iman dan hari akhir.

B.   Pembahasan
1.   Riwayat Hidup
Nama Asli Al Baqillani adalah al-Qadi Abu Bakar Muhammad Ibn al-Tayyib Ibn Muhammad Ibn Ja’far Ibn Al-Qasim Abu Bakar al Baqillani. Lahir di Basrah tetapi tidak ada keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahirannya. Namun, karena ia lahir pada pemerintahan Al Buwaihi (w.372 H), maka ia diperkirakan lahir pada paroh kedua abad ke empat Hijriah.[1]
Ibnu Asakir menjelaskan, bahwa Syaikh Abu al Qasim ibnu Burhan al Nawawi Memandang al Baqillani sebagai pemuka  Asy’ariah yang paling utama di masanya. Bagus pemikirannya dan tangkas di dalam memberikan penjelasan. Setelah seorang mendengar penjelasannya, tidak merasa enak lagi mendengar keterangan orang lain. Selain itu ia juga terkenal sebagai pemuka asy’ariah yang mampu membungkam lawan-lawannya. Ketika ia pernah mendatangi sebuah pertemuan, ibn al Muallim, pemuka dari golongan Rafida kepada pengikutnya: “Telah datang kepadamu setan”. Mendengar penghinaan itu, al Baqillani kemudian mendatangi nya dan berkata, qaala ta’ala:anna arsalna al-syayaatina ‘ala al kafirina Tauzzuhum azza (QS. 19: 83). Dengan perkataan lain: “Jika saya setan maka kamulah kafinya dan saya diutus kepadamu”[2]
Al Baqillani adalah seorang dari madzhab maliki yang memiliki banyak murid.[3] Diantaranya adalah Abu Muhammad al Abd al-Wahhab ibn Nasr al-Maliki, Ali Ibn Muhammad al Harbi, Abu Ja’far al-Sammani, Abu Abdallah al-Azdi dan Abu Imran al Fasi. Disamping itu juga, ia memiliki banyak karya tulis. Setiap malam ia menulis tiga puluh lima lembar tulisan. Pada waktu ba’da subuh, ia membagikan tulisan-tulisannya agar mereka membacanya dan memberikan sumbangan pemikiran di dalamnya.
Masa kehidupan al Baqillani merupakan masa kecemerlangan Mu’tazilah meski tidak secemerlang pada masa pemerintahan al Ma’mun[4]. Pertentangan antar golongan pun tidak setajam ketika ketika itu. Hal ini dapat dilihat, ketika itu, hubungan mu’tazilah dengan kaum Syi’ah cukup baik. Hubungan tersebut membawa mu’tazilah memperoleh kekuatan besar yang memperoleh naungan dari pemerintahan Buwaihi. Bahkan, sebagian pendapat mengatakan bahwa mu’tazilah sesuai dengan faham syiah ketika itu. Pada saat itu juga , mereka dapat menyampaikan ajarannya secara terang-terangan di hadapan lawan-lawannya. 
Al Baqillani wafat pada hari sabtu, tanggal 27 Zulka’dah 403 Hijriyah, bertepatan dengan tanggal 6 Juni 1931 Masehi. Ia di kebumikan di daerah Majusi. Kemudian di pindah ke pemakaman korban perang.
2.   Karya
Al Baqillani merupakan salah seorang pemuka dari faham Asy’ariyah yang banyak meninggalkan karya. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Al Baqillani, setiap malam menghasilkan tiga puluh lima lembar tulisan yang disajikan kepada seluruh sahabat-sahabatnya. Ilhamuddin, dikutip dari Zuhdi Jar, dalam bukunya al Mu’tazilah mengatakan bahwa diantara karya al Baqillani yang bisa ditemukan sekarang antara lain: I’jaz Al Qur’an. Al Tamhid, Al Hidayat, Al Bayan, Al Manaqib al Aimmat,  dan Al Insaf.
3.   Beberapa masalah pokok dalam islam di sekitar kehidupan Al Baqillani
Al Baqillani hidup pada masa pemerintahan Bani Buaihi. Bani Buaihi berasal dari suku Dailam, yaitu suku bangsa pegunungan yang garang dari daerah sebelah barat daya laut Kaspia. Sejak pemerintahan umar ibn Khattab daerah tersebut sudah di masuki islam.[5] Ali, Al Hasan dan Ahmad merupakan tiga bersaudara yang telah meletakkan dasar bagi bagi dinasti bani Buaihi.
Dalam pada itu sedikitnya ada dua masalah pokok dalam teologi islam yang berkembang ketika itu. Pertama, masalah kafir. Kata kafir yang disebutkan dalam Al qur’an ialah kebalikan dari kata iman, dan ditujukan bagi orang-orang di luar islam. Tetapi dalam paham khawarij, kalangan islam pun telah ada yang kafir seperti orang yang telah melakukan arbitrase dalam kasus politik antara ali dan Mu’awiyah.[6] Kafir dalam hal itu menurut mereka berarti murtad, alias keluar dari agama islam dan wajib dibunuh.
Pandangan diatas kemudian mendapat tantangan dari kalangan murji’ah. Menurut mereka, mukmin yang berbuat dosa besar tetaplah mukmin. Sedangkan penilaian akhir ditunda dan diserahkan kepada Allah. Para pemimpin yang melakukan disa besar juga tidak bisa disebut kafir, tetap harus ditaati.[7]
Dalam perdebatan mengenai hal tersebut mu’tazilah juga tampil sebagai golongan yang tidak sependapat dengan kedua golongan di atas. Menurut Mu’tazilah, sebagai mana dikatakan Watsil bin Ata, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi fasiq. Predikat kafir tidak dapat diberikan kepada mukmin pelaku dosa besar karena ia juga tetap mengucapkan  syahadat dan mengerjakan amal-amal baik.[8]
Berbeda pula dengan kalangan Asy’ari dan al Maturidi, baik Samarkand maupun Bukhara. Mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak pula berada pada dua tempat seperti yang dikatakan Mu’tazilah. Mereka berpandangan, jika orang tersebut meninggal maka nasibnya di akhirat terserah Allah.[9]
Kedua, Mengenai kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan. Menurut Mu’tazilah, kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan terbatas. Keterbatasan itu terjadi oleh adanya pembatasan yang diciptakannya sendiri, yaitu dengan memberi kebebasan berbuat bagi manusia. Sementara itu, menurut kalangan al asy’ari tuhan tetap memiliki kehendak dan kekuasaan mutlak. Segala kebaikan dan kejahatan terjadi menurut kehendaknya.
Namun, berbeda dengan Maturidiyah Samarkand. Karena ia memberi penghargaan yang tiggi terhadap akal, maka pendapatnya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah. Menurut mereka, yang membatasai kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan adalah kebebasan yang diberikan-Nya kepada Manusia.[10]
Pada situasi itulah Al baqillani Hadir sebagai bagian dari golongan Asy’ariyah. Namun, meski demikian, Al baqillani tidak serta merta menerima terhadap pemikiran Al Asy’ari. Ada beberapa dari pemikiran Al Asy’ari yang tidak diterima oleh al Baqillani. Beberapa hal tersebut akan kami jabarkan pada pembahasa selanjutnya.
4.   Pemikiran Al Baqillani : Studi Perbandingan dengan pemikiran  Al Asy’ari dan Mu’tazilah
Al Baqillani merupakan salah satu pemuka dari golongan Asy’ariyah yang memiliki keilmuan yang luas. Meski demikian, al Baqillani tidak serta merta menganut faham yang telah dirumuskan oleh Al asy’ari. Dengan kemampuannya itu, ia berusaha memfilter setiap ajaran asy’ariyah yang dianggap benar dan menyingkirkan faham asy’ariyah yang tidak sesuai dengan pemahamannya. Tidak hanya itu, ia juga lawan dari golongan mu’tazilah yang berkembang pada waktu itu, yang juga merupakan lawan berat dari kaum Asy’ariyah.
Dalam pembahasan ini paling tidak ada tiga hal yang menjadi pokok pembahasan penulis: pertama, tentang perbuatan manusia. Kedua, Fungsi akal dan wahyu. Ketiga, Janji dan ancaman tuhan.
1.      Perbuatan Manusia
Kaum Mu’tazilah meyakini bahwa secara hakiki manusialah yang menciptakan perbuatannya[11] Apabila Allah yang menciptakan perbuatan manusia, maka perbuatan manusia buan merupakan perbuatan bagi mereka. Oleh karena itu, batallah taqlif, dan batallah janji maupun ancaman Allah. Bagaimana Allah akan menghisab hamba-hambanya di akhirat jika perbuatan mereka merupakan ciptaan Allah.[12]
Kaum Mu’tazilah berpandangan jika tuhan menciptakan perbuatan manusia tidak ada gunanaya ia mengutus Rosul-Nya, sebab ia tidak bebas dalam mengikuti petunjukknya. Kaum Mu’tazilah berpendirian bahwa didalam perbuatan manusia ada kekafiran, kebohongan dan kedzaliman. Jika Allah menciptakan perbuatan manusia tentu perbuatan buruk itu merupakan perbuatannya sebab siapa yang berbuat sesuatu maka perbuatan itu didasarkan kepadanya.[13] Dengan begitu, tidak dapat dikatakan bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh allah.
Kaum Asy’ariyah menolak terhadap pandangan Mu’tazilah di atas. Pandangan tersebut, menurut Al Asy’ary bertentangan dengan firman Allah “sesunggunya tuhanmu maha pelaksana atas segala sesuatu yang ia kehendaki” (QS. 11:107). Bagi Al Asy’ari, manusia tidak memiliki pilihan di dalam perbuatannya karena semua yang dilakukan manusia berdasarkan ketentuan tuhan. Demikian juga mengenai kakafiran itu buruk dan keimanan itu baik. Sekiranya tuhan tidak menciptakan kekafiran itu buruk tentulah manusia memandang kekafiran itu menjadi baik kerena keinginan mereka. Perbuatan manusia bagi al asy’ari adalah kasb dan tidak ada fail bagi kasb kecuali Allah.[14] Al Asy’ari meyakini bahwa Perbuatan Manusia Adalah ciptaan tuhan seluruhnya[15]
Untuk membuktikan bahwa allah lah yang menjadikan atau menciptakan semua perbuatan manusia, Al Asy’ari mengemukakan contoh seperti dua macam gerak yang terjadi pada manusia yaitu gerak idhthirar dan gerak iktisab. Sebagaimana gerak idthirar memerlukan waktu dan tempat begitu pula gerak iktisab. [16]
Gerak idthirar terjadi secara paksa pada manusia dan tidak melepaskan dari padanya sekalipun manusia telah berusaha seperti gemetarnya orang sakit atau demam. Sementara gerak iktisab ada usaha manusia untuk melakukan atau tidak walaupun yang menjadikan bergerak atau tidak adalah Allah.[17]
Berbeda dengan Al Baqillani. Menurut Al Baqillani, manusia memiliki sumbangan efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Yang diwujudkan tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia; adapun bentuk yang dihasilkan dari gerak itu adalah perbuatan manusia. Dengan kata lain, gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk: duduk, berdiri, berbaring dan lain-lain. Manusialah yang menciptakan bentuk dari gerak yang diciptakan tuhan itu sendiri.[18]
Menurut Al Baqillani, Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan perbuatan yang diinginkannya. Tetapi kebebasan manusia dalam berbuat itu tidak seperti kebebasan yang dipahami oleh Mu’tazilah.[19] Manusia hanya berbuat dengan qudrah atau daya yang diciptakan tuhan. Hal ini dapat dibuktikan dengan perbuatan seseorang yang hanya bisa berbuat dalam satu waktu namun, tidak dapat berbuat pada waktu yang lain.[20]
Dengan demikian, kasb dalam pengertian Al Asy’ari tidak memiliki efek, sementara menurut Al Baqillani memiliki efek.
Qudrat yang ada pada manusia, menurut Al Baqillani, tidak tetap. Kemampuan manusia hanya ada bersamaan dengan perbuatan. Apabila manusia telah memiliki kemampuan sebelum terjadi perbuatan, maka pada waktu terjadinya perbuatan ia tidak lagi membutuhkan tuhan. Dan ini mustahil.[21]
Adapun mengenai daya yang diberikan tuhan kepada manusia, menurut Al Baqillani, bersamaan dengan terlaksananya perbuatan, sebagaimana air memancar keluar bersamaan dengan terjeburnya batu kedalam sebuah bejana. Untuk menegaskan pendapat tersebut Al Baqillani mengutib ayat Al Qur’an dalam surat At Talaq ayat 7:[22]
لا يكلف الله نفسا الا ما اتها
                 ” Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuan yang diberikan oleh Allah”
Dalam menaggapi pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia bukan ciptaan tuhan, al Baqillani mengemukakan bahwa Allah adalah pencipta semua perbuatan manusia sebab Allah berkuasa terhadap apa yang ia lakukan. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “dan dialah yang menciptakan manusia dan perbuatannya”(Qs. Al-shaffat: 96). Perbuatan manusia dikatakan perbuatan tuhan karena manusia diberi daya untuk berbuat ketika terjadinya perbuatan.[23]
2.      Fungsi Akal dan Wahyu
Golongan Mu’tazilah merupakan golongan yang sangat menjunjung tinggi akal. Bagi Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui melalui akal. Dengan demikian, berterima kasih kepada tuhan sebelum datangnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diwajib diketahui melaui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjahui yang jahat adalah wajib.[24]
Menurut al-Syahrastani, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kewajiban mengetahui dan berterima kasih kepada tuhan dan kewajiban menegerjakan yang baik dan menjahui yang buruk dapat diketahui oleh akal. Sudah barang tentu bahwa Sesuatu hal adalah wajib, orang harus terlebih dahulu mengetahui hakikat hal itu sendiri. Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterima kasih kepada tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjahui yang jahat, orang harus terlebih dahulu mengetahui tuhan dan mengetahui baik dan buruk.[25] Oleh karena itu, bagi orang yang berakal sehat, muda ataupun tua berkewajiban mengetahui tuhan. Al-Nadzdzam memberikan batasan yang dimaksud muda adalah anak yang telah bisa memikirkan bahwa dirinya dan alam semesta ini ada yang menciptakan.[26] Apa gunanya rosul di utus? Abu Al Huzail dan Abu Ali sepakat mengatakan bahwa rosul diutus untuk memberitahukan ketentuan hukum seperti shalat lima waktu, puasa ramadlan dan lain-lain.[27]
Sementara kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak dapat mengetahui kewajiban sebelum turunnya wahyu. Semua kewajiban menurutnya ialah berdasarkan wahyu. Akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan keburukan. Demikian pula mengenai pemberian pahala atau siksa berdasarkan wahyu, bukan akal.[28] Demikian pula mengenai kewajiban bersyukur atas nikmat Allah. Pendapat tersebut diperkuat oleh sebuah ayat “Kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutus seorang Rosul”(QS. 17:15). Al Asy’ari berpandangan bahwa kewajiban beriman bagi seseorang baru datang mana kala telah sempurna akalnya.[29]
Dalam hal ini, Al Baqillani menolak pandangan mu’tazilah yang mengatakan bahwa segala yang baik dan buruk dapat diketahui oleh akal. Menurut Al Baqillani, yang menentukan baik dan buruk adalah wahyu.[30] Ia memberikan alasan bahwa orang yang berakal tidak pernah sependapat dalam menentukan baik dan buruk.[31] Dengan demikian kalau akal dijadikan tolo ukur dalam menentukan baik dan buruk maka tidak akan ada keseragamaan mengenai baik itu sendiri.
Selanjutnya, mengenai baik dan buruk, Al Baqillani membaginya kepada tiga kelompok[32]. Pertama,berkaitan dengan kesempurnaan dan kekurangan sifat seperti berilmu itu baik sedangkan bodoh itu buruk. Semua orang sepakat bahwa hal itu dapat diketahui oleh akal. Kedua, berkaitan dengan perbedaan kepentingan, seperti seorang yang mati adalah baik bagi musuhnya tapi buruk bagi keluarganya. Ketiga, berkaitan dengan pahala dan siksa. Menurut al Baqillani, informasi mengenai hal tersebut hanya dapat diketahui melaui wahyu. Dalam hal ini akal tidak memiliki peran.
Penggolongan mengenai baik dan buruk seperti yang dikemukakan oleh al Baqillani diatas memberi pengertian bahwa meskipun sebagai pemuka dari golongan Asy’ariyah yang ber-madzhab pada imam al Asy’ary, Al Baqillani tidak serta-merta menerima dan mengkonsumsi secara total pendapat Asy’ariyah. Al Baqillani melihat bahwa akan dalam satu sisi memang memiliki potensi untuk menilai bahwa sesuatu itu dapat dikatakan baik atau buruk.
Berdasarkan penjelasan di atas tanpaknya kelemahan akan dalam pandangan al Baqillani hanya pada masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan pahala dan siksa. Selain itu akal masih dapat berperan. Dalam hal ini misalnya, meskipun akal tidak dapat mengetahui secara spontan mana makanan yang sehat atau terdapat racun, akan dapat mengetahuinya berdasarkan eksperimen.[33]
3.      Janji Dan Ancaman Tuhan
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari kelima ajaran pokok Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak dapat disebut adil, jika ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan tuhan menghendaki supaya orang yang bersalah diberi hukuman dan orang yang berbuat baik diberi upah sebagaimana dijanjikan oleh tuhan.[34] Menurut kaum mu’tazilah, janji dan ancaman Allah pasti terjadi. Bahkan pelaku dosa besar yang tidak bertaubat akan kekal di dalam neraka. Namun, Adzab yang diterimanya lebih ringan dari pada orang kafir.[35]
Mengenai janji dan ancaman ini, Asy’ari dan Al Baqillani memiliki pandangan yang sama. Mereka berpendapat bahwa perbuatan baik tidak wajib mendapat pahala dari Allah dan orang yang berbuat maksiat tidak wajib menerima hukuman. Menurutnya, apabila Allah hendak bermaksud menyiksa seluruh penduduk bumi, maka Allah tidak dapat dikatakan dzalim kepada manusia.[36] Pendapat ini tentu sangat bertentang dengan faham mu’tazilah yang lebih mengedepan rasional.
Selanjutnya, menurut Al Asy’ari, Allah adalah pemberi kewajiban maka tidak ada satupun yang wajib terhadapnya. Berdasarkan akal, tidak dapat dikatakan bahwa Allah wajib menerima taubat seseorang yang berdosa besar. Sesuai dengan petunjuk wahyu dan hadits, Allah akan mengabulkan taubat orang yang bertaubat dan mengabulkan doa orang yang dalam keadaan terpaksa.[37] Albaqillani memperkuat pendapat Al Asy’ari diatas dengan mengatakan bahwa pemeberian pahala merupakan kewajiban bagi tuhan adalah buruk menurut akal. Karena, tidak mustahil bagi Allah jika mengampuni dan memasukkan orang yang berbuat maksiat ke dalam neraka.[38] Dalam artian perbuatan Allah tidak dapat dikatakan tidak adil dalam hal apapun karena segala sesuatu yang ada di alam ini merupakan ciptaan Allah. Allah memiliki kebebasan atas semua itu.
Namun meski demikian, Menurut Al Baqillani, sesuai dengan firman allah “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penyayang” (QS. 64: 87), Allah akan mengampuni orang yang berbuat jahat. Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah boleh mengampuni semua atau sebagian yang berdosa dan menyiksa sebagian yang lain. Akan tetapi sesuai dengan ketentuan Nabi Muhammad dan ijma’ kaum muslimin, Allah tidak akan mengampuni seorangpun diantara orang kafir.[39]
Bagi Al Baqillani, pelaku dosa besar atau fasik tidak termasuk kafir atau musyrik. Oleh karena itu Allah dapat mengampuninya. Karena perbuatan aksiat selain kufur dan syirik tidak bertentangan dengan iman dan makrifat kepada Allah.[40]
Pendapat tersebut sejalan dengan Al Asy’ary bahwa orang yang mempunyai iman adalam mukmin. Apabila fasik disebut tidak mukmin dan tidak kafir berarti ia tidak mempunyai iman dan dan juga tidak kafir. Dan hal ini mustahil menurut Al Asy’ary.[41]
C.      Kesimpulan
Seperti yang telah dijelaskan diatas, al Baqillani merupakan salah satu dari pemuka asy’ariyah yang memiliki pegetahuan yang luas. Dengan pengetahuan yang itu, meskipun ia adalah golongan Asy’ariyah, namun bukan berarti ia selalu sependapat dengan Al Asy’ari.
Dari sini, penulis dapat menyimpulkan mengenai al baqillani setidaknya dalam tiga hal: Petama, Al Baqillani secara tegas menolak pendapat-pendapat mu’tazilah. Kedua, dalam sisi tertentu semisal tentang janji dan ancaman tuhan Al Baqillani sejalan dengan pendapat Al Asya’ari. Di sini Al Baqillani hanya memberikan tambahan terhadap pendapat-pendapat Al Asyari. Ketiga, Al Baqillani dalam hal tertentu menolak pandanngan Al Asy’ary.

Daftar Bacaan
·         Abbas Nukman, Al Asy’ary, misteri perbuatan manusia dan takdir Tuhan, Erlangga: Jakarta, 2002.

·         Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al Baqillani: Studi tentang Persamaan dan Perbedaannya dengan Al Asy’ari, PT Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, 1997.

·         Nasution Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press: Jakarta, 2002.


[1] Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al Baqillani: Studi tentang Persamaan dan Perbedaannya dengan Al Asy’ari, (PT Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, 1997), hal. 13
[2] Ibid. hal. 15
[3] Ibid.
[4] Ibid
[5] Ibid hal. 23
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid 25
[9] Ibid
[10] Ibid hal. 29
[11] Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al Baqillani: Studi tentang Persamaan dan Perbedaannya dengan Al Asy’ari, (PT Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, 1997), hal. 101
[12] Ibid.
[13] Ibid
[14] Ibid 103
[15] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press: Jakarta, 2002), hal. 73
[16] Nukman Abbas, Al Asy’ary, misteri perbuatan manusia dan takdir Tuhan, (Erlangga: Jakarta, 2002), hal. 126
[17] Ibid hal. 127
[18] Ibid
[19] Nukman Abbas, Al Asy’ary, misteri perbuatan manusia dan takdir Tuhan, (Erlangga: Jakarta, 2002), hal. 133
[20] Ibid
[21] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press: Jakarta, 2002), hal. 73
[22] Nukman Abbas, Al Asy’ary, misteri perbuatan manusia dan takdir Tuhan, (Erlangga: Jakarta, 2002), hal. 134
[23] Ibid hal. 136
[24] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press: Jakarta, 2002), hal. 82. Dikutip dari Al Milal Wannihal, I/42
[25] Ibid
[26] Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al Baqillani: Studi tentang Persamaan dan Perbedaannya dengan Al Asy’ari, (PT Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, 1997), hal. 114
[27] Ibid
[28] Ibid
[29] Ibid.
[30] Ibid
[31] Ibid
[32] Ibid
[33] Ibid
[34] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press: Jakarta, 2002), hal. 56
[35] Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al Baqillani: Studi tentang Persamaan dan Perbedaannya dengan Al Asy’ari, (PT Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, 1997), hal. 118
[36] Ibid hal 119.
[37] Ibid
[38] ibid
[39] Ibid hal. 120
[40] Ibid
[41] ibid

No comments: