Sunday 1 February 2015

Belajar Malu dan Tawadlu'

Pendahuluan
Rasulullah adalah anutan yang sempurna dengan teladan-teladan tinggi yang melebihi semua keluhuran dan kebesaran manusia. Allah Ta’ala berfirman: “Allah lebih mengetahui dimana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Al-An’aam 124) Keagungan keteladanan yang sempurna hanya dimiliki Rasulullah SAW pembawa risalah abadi ini, kesempurnaannya menyeluruh dan universal, baik yang berhubungan dengan masalah ibadah ataupun kezuhudan, atau yang menyangkut kepatuhan maupun kesabaran atau yang berkaitan dengan kekuatan dan keberanian, atau dalam masalah politik dan keteguhannya terhadap prinsip-prinsip hidup.


Rasulullah s.a.w. sebagai insan kamil mempunyai sifat tawadhu’ dan bahkan sifat ini telah menjadi kebiasaannya sejak kecil, jauh sebelum masa kenabian beliau. Beliau juga memiliki sifat malu yang tinggi, abu Said Al-Khudri menggambarkan sifat nabi itu sebagaimana yang diriwayatka Bukhari dari Muslim, seperti lebih malu daripada gadis pingitan yang berada dibalik tirainya. Maka dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sifat tawadlu’ dan malu rasulullah.

Sifat malu rasulullah.
Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari perbuatan rendah, kurang sopan. Malu dapat meningkatkan derajat seseorang kepada kemuliaan. Orang yang tidak memiliki sifat malu maka akhlaknya akan rendah dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu. [1]

Sifat malu perlu ditampilkan seseorang dalam semua aktivitas kehidupan. Melaluinya seseorang dapat menahan diri dari sifat keji, tercela, dan hina. Melaluinya, orang akan menyesal jika ketiggalan melakukan kebaikan. Namun jika seseorang hilang sifat malunya, maka secara perlahan perilakunya akan menjadi buruk, rasulullah bersabda, “ sesungguhnya Allah SWT. Apabila hendak membinasakan seseorang, ia mencabut rasa malu dari orang itu. “ [2]

Apabila rasa malunya sudah dicabut, kamu tidak menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci, dicabutlah dari dirinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut, maka tidak akan didapati dirinya kecuali menjadi penghianat dan dikhianati. Kalau sudah menjadi penghianat, dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah dicabut, tidak akan kamu dapati dari dirinya kecuali terkutuk yang mengutuk. Apabila terkutuk yang mengutuk arinya sudah dicabut, maka dicabutlah ikatan keislamannya. “ ( H.R. Ibn Majjah ) [3]

Hakikat malu

Iman dan malu laksana dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahakan. Sebagaimana sabda Rasulullah, “ iman dan malu keduanya adalah dua sejoli, jika salah satu dari keduanya hilang, maka akan hilang pula pasangannya. “

Sifat malu dalam bahasa arab al-haya’, adalah sifat yang mampu menjaga si pemiliknya dari perbuatan-perbuatan yang dapat menghinakan pemiliknya baik dihadapan Allah , orang lain, atau dirinya sendiri. Orang yang memliki sifat malu tidak akan membiarkan dirinya melakukan perbuatan-perbuaa yang dapat menjerumuskan dirinya ke dalam jurang kehianaan. Maraknya perbuatan maksiat adalah karena hilangnya sift malu dari si pelaku.

Kata haya’ berasal dari kata hayyat  yang berarti hidup. Al-hayya termasuk dari perbuatan hati ( af’alul Qalbi ) artinya semakin hidup hati seseorang maka akan semakin besar sifat malu dari seseorang. Dan orang yang hatinya telah mati, ia tidak akan merasa berat untuk melakukan maksiat. Orang yang aling sempurna hidupnya adalah orang yang memiliki sifat malu. Hidup seseorang akan sangat bernilai jika ia mampu menumbuhkan sifat malu dalam dirinya. [4]

Macam-macam sifat malu yang perlu melekat pada diri seseorang :
  1. Malu kepada diri sendiri. Malu ketika sedikit melakukan amal sholeh kepada Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan ornag lain.
  2. Malu kepada manusia. Berfungsi agar tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran malunya buka karena Allah. Namun malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah Karena terpelihara dari perbuatan dosa.
  3. Malu kepada Allah. Malu yang terbaik dan dapat membawa kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah tidak akan berani melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini Allah selalu  mengawasinya. [5]

Tingkatan paling tinggi dari sifat malu adalah rasa malu kepada Allah, adapun bentuk-bentuk dari sifat malu tersebut :

  1. Malu dihadapan Allah jika melakukan maksiat,
  2. Malu dihadaan Allah jika tidak maksimal melakukan ibadah,
  3. Malu dihadapan Allah jika tidak bersyukur atas nikmat yang diberikan, dan tidak mampu mendayagunakan nikmat tersebut,
  4. Malu dihadapan Allah ketika ia menaati perintah Allah, dan tidak membangkang kepadanya, seperti ketika Rasulullah malu untuk memohon pengalihan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke ka’bah,
  5. Malu kepada Allah ketika mencintai Allah. Seorang hamba akan menangis saat ia malu, dan seluruh tubuhnya tunduk kepada Allah. [6]


Malu itu adalah fitrah dan tabiat di dalam jiwa manusia, malu itu akan bertambah dengan akhlak dan usaha, dan malu itu berkurang dengan meremehkan terhadap perintah-perintah agama dan aturan-aturan syari‟at. Sungguh telah datang dari sunnah Bukhori dan Muslim mengenai hal itu, yaitu Rasulullah SAW.. mengatakan masalah malu.

Dari Abu Hurairah ra. dia telah berkata sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda: “Iman itu terdiri dari 70 atau 60 cabang. Yang paling utama dari cabang itu adalah ucapan: laa ilaa ha illallah, dan yang paling rendah dari cabang iman itu adalah menyingkirkan duri di jalan dan malu itu adalah cabang dari iman.”

Dari Ibnu „Umar ra. Sesungguhnya Rasulullah telah melewati seorang laki-laki dari kaum Anshar, sedangkan lelaki itu menasehati saudaranya mengenai sifat malu. Maka bersabda Rasulullah SAW.. “Biarkanlah dia!” karena sesungguhnya malu itu adalah sebagian dari iman (HR. Bukhari dan Muslim).

Sifat malu adalah pembawaan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk menjauhi perbuatan buruk, meninggalkan tingkah laku yang tak pantas dan kurang layak, serta mencegah dari pada kelalaian memenuhi hak dan kewajiban. Sehubungan dengan itu, maka nabi bersabda : “ malulah kalian akan Allah dengan sebenar-benar malu.”[7] Para Shahabat menjawab, “ Alhamdulillah, kami memanh malu kepada Allah ya Rasulullah.”

Nabi menegaskan lagi, : “ bukan itulah yang kumaksudkan. Malu kepada Allah ialah menjaga kepala dan apa yang ditampungnya. “ sabda beliau lagi, “ sifat malu tidak akan membawa melainkan pada kebaikan. “ sebab itu, maka Rasulullah sangat pemalu. Sejalan dengan kuat dan teguhnya dalam dada, sampai-sampai abu Said Al-Khudri menggambarkan sifat nabi itu sebagaimana yang diriwayatka Bukhari dari Muslim, seperti lebih malu daripada gadis pingitan yang berada dibalik tirainya.[8]

Sifat malu Nabi Muhammad SAW

Rasa malu termasuk akhlaq mulia. Orang yang tidak memiliki rasa malu adalah orang yang tidak memiliki kebaikan sama sekali, sebab malu adalah sebagian dari iman. Hakikat malu adalah perubahan yang disebabkan oleh disebabkan oleh rasa khawatir atas perkataan dan perbuatan yang dibenci atau dicelanya. Tandanya biasa terlihat dari perubahan ekspresi wajah atau meninggalkan apa yang dikhawatirkan akan dicela atau dibenci. [9]

Dalam hal ini rasulullah bersabda “ malu itu sebagian dari iman.”, “ malu itu semuanya baik.” “ rasa malu tidak mendatangkan kcuali kebaikan.”

Diantara coctoh-contoh  sikap malu yang dimiliki rasulullah adalah sebagai berikut;
  • “ sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu ( untuk menyuruh kamu keluar ) dan Allah tidak malu menerangkan yag benar.” ( QS. Al-Ahzab: 53 )

  • Ini adalah kesaksian Allah akan adanya rasa malu pada diri Rasulullah.
  • Karena sifat malunya yang besar Rasulullah tidak pernah memandang sesorang lekat-lekat. Beliau juga selalu menggunakan sindiran jika terpaksa harus bicara tentang apa yang tidak disukainya.
  • Ucapan Aisyah r.a.,” aku tidak pernah melihat aurat Rasulullah dan Rasulullah juga tidak pernah melihat auratku.”


Rasa malu itu menahannya dari menyebut seseorang dengan sesuatu yang ia benci, dan beliau akan menyebut dengan selainnya. [10]

Dalam sebuah riwayat lain, dikatakan bahwa apabila ada sesuatu yang membuat beliau marah atau ada sesuatu yang kurang berkenan dihati beliau maka akan tampak jelas diwajahnya. Dan karena rasa malu beliau, maka beliau tidak akan mengeluarkan kata-kata yang akan menyinggung perasaan orang lain. Tetapi bila memang itu sangat diperlukan, maka beliau akan menggunakan kata-kata sindiran, atau menyuruh sahabat  menyampaikan apa yang perlu di benarkan kepada yang bersalah tersebut secara terang-terangan.  [11]

Anjuran Berperilaku Malu

Rasulullah SAW. menganjurkan berperilaku malu bagaikan budi pekerti yang agung dan merupakan salah satu cabang iman, beliau bersabda: “Jika kamu tidak malu maka berbuatlah sekehendakmu.” Maksudnya bahwa jika kamu tidak memiliki rasa malu yang menahanmu berbuat kejelekan maka lakukanlah perbuatan jelek itu sesuai keinginanmu sendiri dan ini merupakan sebuah ancaman.

Atau perintah hadits itu menunjukkan kepada sebuah kebolehan, karena makna hadits tersebut yaitu jika kamu hendak melakukan sesuatu yang tidak dipandang malu oleh syara‟ walaupun dipandang adat dianggap sebuah aib, maka lakukanlah sekehendakmu.

Rasulullah SAW. tidak terus-menerus menatap mata seseorang, Rasul berpaling dari orang yang bicaranya tidak baik dan mengalihkan pembicaraan yang tidak diinginkan.

Sayyidah Aisyah r.a. berkata: “Apabila ada sesuatu yang dibenci datang kepada Rasulullah SAW., beliau tidak mengatakan, “Apa maksud si fulan mengatakan begini dan begitu?” Tetapi beliau berkata, “Apa maksud orang-orang mengatakan begini dan begitu?” Beliau melarangnya tapi tidak menyebutkan nama pelakunya.”

Rasulullah SAW. akan menyampaikan sesuatu yang dikehendakinya dengan sindiran kepada sesuatu yang terpaksa harus diungkapkan jika hal itu tidak pantas untuk diungkapkan secara langsung.

Mengenai sifat malu di kalangan sahabat nabi SAW. Utsman bin Affan telah disifati sebagai seorang pemalu yang malaikatpun malu kepadanya, begitulah perkataan Rasulullah tentangnya. Dari Aisyah r.a., ia berkata: Abu Bakar meminta izin kepada Rasulullah SAW. dan aku bersamanya pada satu tempat Rasul pun memberikan izin kepada Abu Bakar maka Abu Bakar menunaikan keperluannya dengan kondisi Rasulullah dalam keadaan seperti itu, kemudian Umar pun meminta izin kepada Rasulullah dan Rasul pun mengizinkannya maka Umar pun menunaikan keperluannya dengan kondisi Rasulullah dalam keadaan seperti itu, kemudian Utsman meminta izin kepada Rasulullah, beliau pun membereskan pakaiannya dan langsung duduk, lalu Utsman pun memenuhi keperluannya kemudian keluar.

Sesungguhnya pada diri Rasulullah berkumpul sifat malu dan berani, dan banyak yang meneladani sifat beliau yang kontradiktif ini.

Budaya malu

Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda, “ apabia kamu sudah tidak punya perasaan malu, maka lakukanlah apapun yang kamu mau. “ haist ini menerangkan bahwa malu adalah prasyarat dari ketakwaan, dalam artian ketika ingin melakukan suatu kesalahan atau maksiat dan perasaan malu ada dalam hati, maka keinginan untuk melakukannya menjadi hilang.

Malu yang dimaksudkan Rasulullah disini diartikan sebagai malu yang memiliki orientasi kepada: pertama, malu kepada Allah. Karena setiap yang kita lakukan sekecil apapun, tidak akan lepas dari muraqabatullah, saat Allah membenci setiap perbuatan hambanya, saat itulah hamsa haruslah sadar bahwa kemurkaan Allah akan menghampirinya disaat ia terus-menerus melakukannya. [12]

Kedua, malu kepada manusia, bukan berarti dimaknai sebagai menuhankan manusia, tetapi ini dimaksudkan sebagai perasaan malu ketika orang lain mengetahui suatu hal yang kita lakukan. Sebab secara manusiawi, manusia tidak ingin kesalahan yang ia lakukan diktahui orang lain, tidak lain ia akan menyembunyikan perbuata tersebut. Karena hati kecil manusia sesungguhnya selalu dan ingin selalu mengajak kepada perbuatan mulia. [13]

Tawadlu’ ( Rendah Hati ) Rasulullah

Rasulullah s.a.w. sebagai insan kamil banyak mempunyai sifat tawadhu’ dan bahkan sifat ini telah menjadi kebiasaannya sejak kecil, jauh sebelum masa kenabian beliau. Apabila kita tengok dalam Sirah Nabawiyah, akan jelas sekali terbukti betapa harum nama beliau di kalangan kaumnya, karena sifat beliau. Beliu terkenal sekali sebagai “Al-Amin” (yang terpercaya). Sifat tawadhu’ inilah yang telah mengangkat diri Rasulullah sebagi orang yg berbudi luhur dan ber-akhlaq mulia dalam bentuknya yg sempurna dan maha tinggi. Aisyah r.a. yang sehari-hari hidup mendampingi Rasulullah menyimpulkan bahwa akhlaq beliau adalah Al-Qur’an. Tidak hanya itu. Allah sendiri pun memuji akhlaq beliau, sebagaimana diabadikan dalam Surat Al-Qalam ayat 4: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

Tawadhu’ dan rendah diri kepada kaum mukminin merupakan sifat terpuji yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Karenanya barangsiapa yang tawadhu niscaya Allah akan mengangkat kedudukannya di mata manusia di dunia dan di akhirat dalam surga. Karenanya tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sekecil apapun, karena negeri akhirat beserta semua kenikmatannya hanya Allah peruntukkan bagi orang yang tidak tinggi hati dan orang yang tawadhu’ kepada-Nya.

Dan dalam hal ini -sebagaimana dalam sifat terpuji lainnya-, Rasulullah merupakan suri tauladan terbaik. Bagaimana tidak sementara Allah Ta’ala telah memerintahkan beliau untuk merendah kepada kaum mukminin. Karenanya beliau senantiasa tawadhu’ dan bergaul dengan kaum mukminin dari seluruh lapisan, dari yang kaya sampai yang miskin, dari orang kota sampai arab badui. Beliau duduk berbaur bersama mereka, menasehati mereka, dan memerintahkan mereka agar juga bersifat tawadhu’. Kedudukan beliau yang tinggi tidak mencegah beliau untuk melakukan amalan yang merupakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Karenanya sesibuk apapun beliau, beliau tetap menyempatkan untuk mengerjakan pekerjaan keluarganya di rumah.

Ketawadlu’an Rasulullah telah mencapai derajat yang sangat tinggi. Beliau tidak ingin di bedakan dari orang lain tentang segala sesuatu. Beliau tidak ingin orang berdiri karena menghormati kedatangan beliau. Beliau juga tidak ingin umatnya berlebihan dalam memuji beliau, atau menyanjungnya sebagaimana umat-umat nabi lain yang menyanjung nabi mereka karena ibadah dan risalah yang dibawanya. [14]

Rasulullah juga memebersihkan rumah, mengikat unta, minum air hujan, makan bersama pembantu, membuat adonan roti, bersama istri beliau dan membawa barang-barang keperluannya dari pasar. [15]


Reference
Jabir , Abu Bakar Al-Jazair. , 2008. My Bleoved Prophet, Jakarta : Qisthi Press

M Rofiqi dkk, dalam Papernya Sifat Malu

Alwi , Sayyid Muhammad Al-Maliki. 1999. Insan Kamil, Sosok Keteladanan Muhammad, Surabaya : Dunia Ilmu

Ali , Abul Hasan Al-Husaini. 2001. Sirah Nabawiyah, terj. Oeh Muhammad 
Halabi Hamdi, Yogyakarta : Mardliyyah Press

Fatani , Abdul Halim. 2008. Ensiklopedia Hikmah, Yogyakarta : Darul Hikmah,



[1] Abdul Halim Fatani, Ensiklopedia Hikmah, Yogyakarta : Darul Hikmah, 2008, hlm. 412
[2] Ibid, hlm. 413
[3] Ibid.
[4] Abdul Halim Fatani, Ensiklopedia Hikmah, Yogyakarta : Darul Hikmah, 2008, hlm. 223
[5] Ibid, hlm. 413
[6] Ibid, hlm 223
[7] Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki, Insan Kamil, Sosok Keteladanan Muhammad, Surabaya : Dunia Ilmu, 1999, hlm. 135
[8] Ibid, hlm.
[9] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, My Bleoved Prophet, Jakarta : Qisthi Press, 2008, hlm. 646
[10] Abul Hasan Ali Al-Husaini,  Sirah Nabawiyah, terj. Oeh Muhammad Halabi Hamdi, Yogyakarta : Mardliyyah Press, 2001, hlm. 541
[11] Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki, Insan Kamil, Sosok Keteladanan Muhammad, Surabaya : Dunia Ilmu, 1999, hlm. 136
[12] Abdul Halim Fatani, Ensiklopedia Hikmah, Yogyakarta : Darul Hikmah, 2008, hlm. 86
[13] Ibid.
[14] Abul Hasan Ali Al-Husaini,  Sirah Nabawiyah, terj. Oeh Muhammad Halabi Hamdi, Yogyakarta : Mardliyyah Press, 2001,, hlm. 539
[15] Ibid, hlm. 541

No comments: