Saturday 6 October 2018

Perkembangan Tasawuf Abad Ke-III Hijriyah

Oleh: Miftahul Arifin
Mahasiswa Pascasarjana Etika Tasawuf UIN Walisongo Semarang 2017


A.  Pendahuluan
Perkembangan pemikiran tidak bisa ditentukan oleh batasan waktu yang jelas. Karena itu sulit untuk ditentukan secara tepat proses peralihan pemikiran dari masa ke masa termasuk pemikiran tentang tasawuf. Demikian komentar Abu Al Wafa al Ghamini al Taftazani dalam bukunya Madkhal Ila al-Tasawwuf al-Islam sebelum memulai membahasa perkembangan tasawuf abad ke-III Hijriah.
Namun demikian, lanjut Abu Al Wafa, pada abad ke III Hijriah bisa dilihat adanya perlahan kongkrit pada asketisme Islam. Pada abad ini para asketis tidak tidak lagi dikenal dengan gelar tersebut. Mereka lebih dikenal sebagai sufi. Demikian perbincangan mereka yang sebelumnya tidak banyak dikenal, pada Abad ini para sufi mulai menyusun sejumlah konsep-konsep yang bisa dipelajari. Pada kesempatan yang sama banyak muncul karya-karya tasawuf,[1] dan tentu karya tersebut menjadi rujukan setelahnya.
Berkaitan dengan hal ini, Abu al-‘Ala Al ‘Affifi, sebagaimana dikutip Al Wafa berkata: “Sejak itupun tasawuf memasuki periode baru yaitu periode intuisi, kasyaf, dan rasa (dzauq. Periode ini terjadi pada abad-abad ketiga dan keempat  hijriyah yang merupakan zaman keemasan tasawuf dalam pencapaiannya yang paling luhur dan jernih.”
Harus diakui berdasarkan fakta sejarah bahwa Abad ke-III H merupakan puncak keemasan tasawuf. Dari sana banyak karya dan tokohnya yang terkenal lahir kemudian menjadi rujukan pengkaji tasawuf atau pelaku tasawuf hari ini. Namun, demikian, dibalik perkembangan yang cukup pesat tersebut tidak ditampik terjadi sebuah pergolakan besar. Dari pergolakan itu juga lahir pemikiran baru yang memberikan sumbangsih cukup besar dalam ilmu tasawuf khususnya sebagai disiplin ilmu.
Makalah ini secara singkat akan memotret tasawuf pada Abad ke-III H berikut, dinamika sekaligus perkembangannya yang dibagi ke dalam empat sub pembahasan: (1) Abad ke-III, Puncak Kesempuranaan Tasawuf (2) Dua Mahdzab besar tasawuf (3) Tokoh-tokoh penting tasawuf (4) Perbincangan dan corak  tasawuf. 

B.  Puncak Kesempurnaan Tasawwuf
Abad ke-III Hijriyah merupakan abad keemasan atau kesempurnaan tasawuf setelah sebelunya masih berupa laku-laku para sufi dengan maksud dan mendekatkan diri kepada Allah yang pelaksanaanya secara personal. Pada abad ke-III Hijriyah pula tersusun ilmu tasawuf dalam arti luas dengan berbagam tema yang jelas sebagaimana telah masyhur dalam bahasan tasawuf era sekarang. Kondisi ini berlangsung hingga abad ke-IV Hijriyah.[2] Terkait hal ini, Abu, al-’Ala, Abu Al Wafa berkomentar, pada kedua abad inilah tasawuf telah mencapai kesempurnaan.
Kesempurnaan tasawuf, tak dapat ditampik merupakan kelanjutan dari abad-abad sebelumnya, yakni abad ke-I dan ke-II Hijriyah. Sebagaimana diungkapkan Prof. Dr Hamka dalam buku  Perkembangan Tasawuf dan Pemurniannya, telah menunjukkan isinya yang dapat dibagi ke dalam kepada tiga bagian, yaitu ilmu jiwa, ilmu akhlak, dan ilmu tentang yang ghaib (metafisika).[3]

Kehalusan rasa yang dipertinggikan di abad pertama dan kedua telah mempetinggi penyelidikan atas ketiga cabang ilmu itu, yang telah memenuhi seluruh kehidupan sufi.[4]

Proses perkembangan tasawuf dari awal hingga mencapai puncak kesempurnaan inilah yang menjadi sebab adanya perbedaan makna tasawuf, setidaknya, adanya anggapan bahwa tasawuf tak lain adalah akhlak. Karena pada abad pertama dan kedua hijriah tasawuf boleh dikatakan hanya beredar di sekeliling budi dan asusila. Hamka menolak pandangan ini dengan argumen bahwa memandang masyarakat atau alam seluruhnya adalah dari segi ridha dan murka Allah dengan sebuah ungkapan bahwa “Aku memandang makhluk sebab makluk itu sama-sama dengan daku di bawah perlindungan Allah. Di sini, iradah lebih dahulu ditunjukkan kepada dzat. Kemudian menurun ke makhluk.[5] Hamka menegaskan:

Itulah sebab maka tasawuf Islam dipenuhi oleh tiga soal: soal ketuhanan (metafisika). Soal diri sendiri (jiwa) dan soal akhlak (mengenai masyarakat).[6]

Masih senada dengan Hamka, Prof. Dr Aboe Bakar Atjeh dalam buku Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf menyampaikan perbedaan yang cukup signifikan antara tasawuf pada abad ke-II dan III Hijriyah dan tasawuf abad ke-III Hijriyah. Jika ajaran sufi pada abad ke I dan II (setidaknya akhir abad ke-II) merupakan kezuhudan (askestis), maka pada abad ke-III orang sudah meningkat kepada wusul dan ittihad dengan tuhan (mistikisme). Orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan, fana bil mahbub (bersatunya dengan kecintaan), ittihad bil mahbub (kekal dengan tuhan, melihat tuhan), musyahadah (bertemu dengan tuhan), liqa (menjadi satu dengan dia), ainul jama’.[7] Pada masa ini pula dikenal istilah maqam, hal, ma’rifat, tauhid, fana, hulul, dan istilah-istilah tasawuf yang lain. Diantara tokohnya adalah Ma’ruf Al Karkhi, (w. 200), Abu Sulaiman Al Darani (w. 254 H), Dzun Nun Al Mishri (w. 245) H, dan Junaid Al Bahgdadi (w. 297 H).[8]
Para sufi yang memiliki pengalaman spiritual menyusun konsep misalnya tentang moralitas, jiwa, tingkah laku, dan pembatasan arah yang harus ditempuh oleh penempuh jalan menuju Allah dan metode-metodenya. Para sufi juga menyusun prinsip teoritis, bahkan aturan-aturan praktis bagi tarekat mereka.[9]
Dengan ini bahwa ilmu tasawuf tidak hanya dimiliki para sufi sendiri. Tetapi telah diajarkan kepada yang lain yang memiliki minat di bidang tasawuf atau jalan mendekatkan diri kepada tuhan. Bahkan tasawuf telah menjadi satu disiplin ilmu yang secara objek, metode dan tujuan terpisah dai ilmu fiqih.[10]
Dari sisi geografis, pertumbuhan tasawuf pada abad ke-III Hijriah juga semakin luas. Jika pada abad ke- II hanya terkenal di Kufah dan Basrah, pada abad ke-III Hijriyah tasawuf telah melebar sampai ke Kota Baghdad. Melebarnya ilmu tasawuf menurut Hamka tidak lepas dari kondisi sosial, dimana kemewahan banyak digandrungi masyarakat yang oleh hamka dibahasakan dengan “sangatan” dan adanya krisis moral. Tasawuf tumbuh menjadi sebuah kekuatan hingga sampai ke Persia. Bahkan di Pesia tasawuf memiliki kedudukan yang paling tinggi. Dari persia kemudian merun ke Mesir, ke Syam, dan ke Jazirah Arab.[11] Pada saat ini pula, menurut Hamka, hubungan antara guru (Syaikh) dan murid semakin erat sehingga muncul banyak tokoh-tokoh tasawuf.[12]
Perkembangan tasawuf ke daerah-daerah di luar Kufah dan Basrah ini tidak berarti sebelumnya tidak ada tasawuf. Karena sebelum abad ke-III sudah muncul para sufi di daerah-daerah tersebut. Sebutlah di daerah Mesir yang sejak abad I dan ke II telah muncul banyak sufi seperti Salim Ibn ‘Atar At-Tajibi (w.75 H) atau Abdullah Ibn Wahab (w. 197).[13] Perkembangan yang dimaksud adalah tasawuf sebagai disiplin ilmu sekaligus laku untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena sebagaimana diungkapkan Rosihan Anwar dalam buku Akhlak Tasawuf bahwa keberadaan aliran-aliran tasawuf pada abad I atau ke II H memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan di abad berikutnya,[14] yakni abad ke-III H.

C.  Dua Madzhab Besar Tasawuf
Apabila dilihat secara cermat, sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan perkembangan tasawuf pada abad ke-III berlangsung begitu pesat. Satu diantaranya adalah pengaruh sosial politik dimana hal ini telah memunculkan setidaknya dua aliran besar dalam dunia tasawuf.
Berdasarkan tinjauan Abul Al Wafa Al Ghanimi, dua aliran besar tersebut yaitu: pertama, aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat. Tasawuf mereka selalu merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, tasawuf ini selalu bertandakan timbangan syariah dengan ciri tasawufnya yang didominasi moral. Kedua, aliran sufi yang terpesona kepada fana. Mereka sering mengucapkan kata-kata ganjil. Mereka menumbuhkan konsep hubungan manusia dengan Allah seperti penyatuan, hulul. Tasawuf mereka ini menurut Al Wafa bertandakan beberapa kecenderungan metafisis.[15] Demikian dicatat Rifay Siregar sebagaimana dikutip Zuherni AB,[16] munculnya dua aliran tersebut tidak serta merta karena faktor agama dalam sufisme. Melainkan juga karena faktor politik antara kaum Syi’ah dan Sunni. Saat itu pula muncul istilah sufisme ortodoks sebagai tandingan dari sufi populer yang didukung sepenuhnya oleh kaum Syi’ah.
Tasawuf ortodoks atau tasawuf moderat sebagaimana diungkapkan Abu Al Wafa dirintis oleh Harits Al Muhasibi dengan tujuan mengupayakan kembali tegaknya kembali warisan sufi terdahulu dengan tetap mempraktekkan kehidupan lahiriyah. Usaha Al Muhasibi dilanjutkan pengikut-pengikutnya dengan perumusan prinsip-prinsip tertentu. Sufisme ini boleh dibilang merupakan gerakan pertama pembaharuan sufisme dengan tema sentral rekonsiliasi antara teologi sufisme dengan teologi ortodoks yakni teologi Ahlusunnah wal jama’ah.[17] Kalangan ortodok menentang sufisme populer yang dianggap telah menyimang, terutama dalam aspek tauhid dan teologi.[18]
Rekonsiliasi yang dirintis al-Muhasibi dilanjutkan oleh al Kharraj dan al-Junaid dengan tawaran konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara sufisme dengan kelompok salafiyah. Tujuan gerakan ini mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syari’at Islam. Doktrin al-baqa (subsistensi) sebagai imbangan dan legalitas al-fana merupakan salah satu hasil upaya yang dilakukan tokoh ini. Gerakan sufisme ortodoks mencapai puncaknya pada abad lima hijriah melalui tokoh monumental al-Ghazali (w.503H).[19]
Sedangkan tasawuf populer merupakan aliran tasawuf yang dalam ungkapan-ungkapanya lebih cenderung syatahiyat atau ganjil. Dalam istilah lain mereka dikenal dengan tasawuf semi falsafi. Tokoh aliran tasawuf ini diantaranya Abu Yazid Al Bustami dari Persia. Salah satu ajaran Abu Yazid adalah soal fana‟ (lebur atau hancurnya perasaan), Liqa‟ (bertemu dengan Allah Swt) dan Wahdah al-Wujud (kesatuan wujud atau bersatunya hamba dengan Allah Swt). Kemudian Al-Hallaj dengan teori Hulul (inkarnasi Tuhan), Nur Muhammad dan Wahdat al-Adyan (kesatuan agama-agama). Selian itu, para sufi lainnya pada kurun waktu ini juga membicarakan tentang Wahdat al-Syuhud (kesatuan penyaksian), Ittishal (berhubungan dengan Tuhan), Jamal wa Kamal (keindahan dan kesempurnaan Tuhan), dan Insan al-kamil (manusia sempurna). Bagi aliran ini, kesemuanya itu tidak akan dapat diperoleh tanpa melakukan latihan yang teratur (Riyadhah).[20]

D.  Tokoh-Tokoh Tasawuf
Abad ke-III H boleh disebut sebagai masa kesempurnaan tasawuf. Tentu, sebagai konsekuensi logis dari hal tersebut, tasawuf semakin berkembang dan banyak diminati. Muncullah tokoh-tokoh sufi dengan konsep dan pandangan yang beragam sesuai dengan pengalaman masing-masing yang secara garis besar terwakili oleh dua aliran besar di atas.  
Selain beberapa tokoh yang disinggung di atas, beberapa tokoh terkenal lain misalnya Abdul Faidh Zin-Nun Al Mishri (w 245 H), yang oleh Hamka disebut sebagai puncak kaum sufi karena karena ajarannya yang banyak sekali menambahkan jalan untuk menuju Allah. Tujuan tasawuf Zun-Nun adalah “Mencintau Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis petintah yang diturunkan dan takut akan berpaling jalan”.[21] Zun-Nun juga dianggap sebagai sufi di Mesir yang membincangkan keadaan dan tingkatan wali.[22] Kemudian ada Abul Hasan Surri Assaqhi (w. 253 H), seorang sufi Baghdad yang disebut sebagai orang pertama yang mempopulerkan istilah haqiqat dalam dunia sufi. Selian itu, ada Yahya bin Ma’az, seorang sufi yang dikenal banyak membahas masalah fana bagi seorang sufi. Dan banyak lagi tokoh tasawuf yang muncul pada abad ke-III H yang tidak bisa dipaparkan dalam tulisan singkat ini.
Sesuai dengan silabus, tokoh-tokoh tasawuf yang akan dibahas dalam makalah ini meliputi lima tokoh yaitu Al Muhasibi, Al Junaid, Al Hallaj, dan Abu Yazid Al Busthami. Pemikiran tasawuf keempat tokoh tersebut akan dibahas secara singkat disamping kehidupannya.

Al Muhasibi
Nama lengkap Al Muhasibi adalah Abu Abdullah Al Harits Al Muhasibi (w.234). lahir di Basrah dan menghabiskan sebagian hidupnya di Baghdad (w.243H/857M).[23]
Al Muhasibi dianggap sebagai tokoh pelopor lahirnya tasawuf. Setidaknya oleh Abdul Kadir Riyadi dalam bukunya Arkeologi Tasawuf: Melacak Pemikiran Tasawuf, dari Al Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara[24]. Penilaian Abdul Kadir ini berdasarkan satu pandangan tasawud sebagai ilmu. Bukan sebagai laku atau tasawuf praktis atau yang lebih dikenal dengan tarekat. Sebelum Al Muhasibi, menurut Abdul Kadir, tasawuf hanya sebagai laku, bukan merupakan sebuah ilmu. Al Muhasibi berusaha membangun dimensi moral dalam Islam seperti kezuhudan untuk diwujudkan menjadi sebuah pengetahuan yang utuh layaknya fiqih dan hadis yang sudah lebih awal terbentuk.[25]
Namun demikian, masih menurut Abdul Kadir, upaya Al Muhasibi yang menggunakan rasional dalam membangun tasawuf tidak disetujui oleh beberapa tokoh pada masanya. Setidaknya, oleh Ahmad bin Hambal yang saat itu mewakili kelompok literal dalam memahami Islam (fiqih). Al Muhasibi ditentang dan dituduh melakukan perbuata bid’ah dan melenceng dari Al Qur’an dan Hadis.[26]
Ajaran moral Al Muhasibi dimulai dari pondasi psikologis atau dalam istilah Khoirul Faizin setelah meneliti .... yang merupakan karya Al Muhasibi psikologi moral. Konsep kunci yang ditampilkan Al Muhasibi ialah khathir (pemikiran, gagasan, atau lintasan hati) yang mendorong atau terbersit pada diri seseorang. Menurutnya ada tiga sumber khatarat, yakni: hawa nafsu, setan atau iblis, dan Tuhan (melalui wahyu Ilahi dan nalar manusia).
Analisis al-Muhasibi mengenai khatarat hawa nafsu dan setan diungkapkan Khoirul,  merupakan analisis paling terkenal di kalangan kaum sufi. Namun, dia juga meyakini Allah sebagai sumber khatarat. Hal ini bisa dimiliki oleh hamba hamba yang berpijak pada sunnah, sehingga benar-benar dapat mendengar suara Tuhan dalam hatinya. Manusia semacam ini dapat mencapai tatsabbut ketika memeriksa khatarat-nya dan menegaskannya bahwa hal tersebut berpijak pada al-Qur‘an dan Sunnah, menolak segala bentuk perbuatan yang terburu-buru yang bisa jadi didorong oleh egoisme dan setan. Inti pembahasan Al Muhasibi mengenai khatarat yang muncul dari bisikan setan adalah sebagaimana yang tercantum dalam surah terakhir (QS. Al-Nas [114]: 1-6):[27]
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai manusia, raja manusia, sembahan manusia dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia”.

2.      Al Junaid
Hamka menilai Al Junai sebagai sufi yang luar biasa. Al Junaid dikenal sebagai sufi yang sangat teguh dalam menjalankan syariat. Ia memperdalam kenaikan jiwa hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Namun, demikian Al Junaid tidak lupa untuk sekedar mencari makan.[28]
Nama lengkapknya Abu Al-Qasim Al Junaid bin Muhammad Al Khazzaz Al Qawariri. Lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq. Al Junaid juga dikenal sebagai sufi yang membicarakan dan menulis tentang ajaran-ajaran sufi. Salah satu ungkapannya “tenggelam secara sufi memikirkan filsafat lebih baik dari pada tenggelam memikirkan filsafat dalam kesufian”.[29]
Salah satu potret kehidupan Al Junaid adalah setiap hari Al Junaid masuk pasar dan membuka kedainya dalam waktu yang tidak lama. Dalam waktu yang bersama ia masih mengajari murid-muridnya. Baru kemudian menutup kedainya lalu mengambil wudu dan shalat sebanyak empat ratus rakaat. Al Junaid rajin mengerjakan shalat sunnah disamping shalat fardu. Bahkan ketika dirinya sudah tidak bisa bangun lagi karena sakit. [30]
Salah satu muridnya Al Jurairi menceritakan, Al Junaid meninggal pada hari Jumat. Sebelum meninggal ia masih membaca Al Qur’an. Al Jurairi lalu berkata: Kasihanilah diri tuan, tuan sudah terlalu payah. Al Junaid kemudian berkata: Siapakah yang lebih pantas dari pada aku berbuat begini. Disaat seperti yang aku hadapi ini. Padahal shafat hidupku sudah hendak ditutup?” Al Junai meninggal tahun 298 H setelah dibacanya 70 ayat dari surat Al Baqarah.[31] 

3.      Al Hallaj
Al Hallaj adalah salah satu tokoh tasawuf yang dinilai pernah menggemparkan dunia tasawuf pada masanya. Al Hallaj termasuk tokok tasawuf yang ucapan-ucapannya terus terang dalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan tuhan.[32]
Nama lengkapnya Husin bin Mansur Al Hallaj. Lahir di Baidhaa, salah satu kota kecil di Persia pada tahun 244 H dan besar di Wasith, dekat Baghdad. Usia 16 tahun (tahun 260) Al Hallaj berguru pada Sufi terkenal Sahl bin Abdullah sekitar dua tahun. Kemudian belajar Amar Al Maliki di Basrah hingga tahun 264 H. Setelah itu berangkat ke Bagdad dan belajar pada Al Junaid. Kemudian mengembara  dari satu negeri ke negri yang lain untuk belajar tasawuf.[33]
Usia 53 tahun, Al Hallaj sudah banyak dikenal dan menjadi buah bibir di kalangan ulama fiqih karena ungkapan-ungkapannya yang ganjil. Karena ungkapan-ungkapannya itu, Ibnu Daud Al Asfahani mengeluarkan sebuah fatwa untuk memberantas fahamnya. Fatwa penyesatan dikeluarkan oleh Ibnu Daud berkesan bagi banyak orang termasuk khalifah sehingga Al Hallaj dipenjarakan. Al Hallaj melarikan diri melalui sipir ke Wilayah Ahwas tanpa merubah pandangan-pandangannya. Ia kembali ditangkap pada tahun 301 dan dipenjara selama sekitar 8 tahun. Al Hallaj masih tetap dengan pendirian dan dan pandangan-pandangannya. Hingga sekitar tahun 309, Al Hallaj di dibunuh setelah melalui sidang para ulama di bawah Khalifah Al Muktadirbillah.[34]
Intisari dari ajaran tasawuf Al Hallaj dicatat oleh Hamka, setidaknya meliputi tiga hal: pertama, hulul, yaitu ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri manusia (nasut). Kedua, Al Haqiqatul Muhammadiyah. Yakni Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, dan dengan perantara itulah seluruh alam rasaya dijadikan. Ketiga, kesatuan segala agama. Baginya, nama agama yang bermacama-macam hanya perbedaan nama dari hakikat yang satu.[35]

4.      Abu Yazid Al Bustami
Anggapan orang tentang sosok Abu Yazid Al Busthami bermacam-macam. Jika mengacu pada dua madzhab besar tasawuf pada masanya, Abu Yazid kadang masuk pada madzhab pertama (tasawuf falsafi), kadang pula bisa disebut tasawuf ortodoks. Hal ini didasarkan pada kenyataan ungkapan-ungkapan atau ajaran-ajarannya yang terkadang menggunakan ungkapan-ungkpan ganjil, namun kadang ia juga menekankan kepada syariat.
Salah satu ungkapannya dikutip oleh Hamka[36], Abu Yazid berkata: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan-pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun sanggup terbang ke udara, maka jangan tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas syariat”.
Dapat dipahami dari sini bawah tasawuf Abu Yazid tidak keluar dari garis syara’. Artinya tasawufnya sentiasa diukur dengan contoh teladan dari nabi dan tidak memilih jalan sendiri di luar agama.[37]
Namun demikian, selain ungkapannya sebagaimana tersebut di atas, ada ungkapan-ungkapan Abu Yazid yang ganjil dan perlu pemahaman yang tinggi untuk memahaminya. Dari ungkapan ini, Abu Yazid termasuk madzab yang dinamai hulul atau berpadu. Satu diantara ungkapan Abu Yazid mengenai hal ini misalnya: Tidak ada Tuhan melainkan saya, Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besar kuasaku”.[38]
Abu Yazid Al Busthami berasal dari Khurasan. Aboe Bakar Atjeh mencatat, sufi yang dikenal dengan nama Taifur ini tak hanya seorang sufi atau ahli tasawuf. Abu Yazih termasuk ahli agama, ahli fislafat, dan ahli syair. Imam Al Ghzali banyak mempergunakan karangan-karangan Abu Yazid. Ajaran yang masyhur dari Abu Yazid Al Bustami adalah tentang fana, yakni keluar dari tubuh yang kasar bersatu perasaan dan kesatuan (dengan Allah). Ajaran tasawufnya dipengaruhi dengan ajaran-ajaran Syi’ah.[39]
Dari paparan Aboe Bakar, dapat dipahami mengapa Abu Yazid terkadang menggunakan ungkapan ganjil. Bahwa ajaran-ajaran tasawufnya sebagain dipengaruhi oleh ajaran Syiah yang tasawufnya saat itu banyak dicounter oleh sufi aliran ortodoks.

E.  Perbincangan dan Corak Tasawuf
Sebagaimana diungkapkan oleh Hamka, tasawuf pada abad ke-III H merupakan abad kesempurnaan yang secara materi pembahasannya meliputi tiga hal yaitu Ilmu jiwa, ilmu akhlak, dan ilmu tentang yang ghaib (metafisika). Paparan yang lebih rindi mengenai hal ini dapat ditemuka dalam Abu Al Wafa Al Ghanimi yang menjadi fokus pembahasan pada bagian ini.
Setidaknya ada lima hal yang dibahas Al Ghanimi untuk menggambarkan corak atau perbincangan tasawuf pada abad ke-III H. Pembahasan Al Ghanimi yang cukup panjang akan dipaparkan secara ringkas sebagai berikut:[40]
1.      Ma’rifat
Ma’rifat menjadi salah satu inti dari ajaran tasawuf. Orang yang mulai-mula membincangkan masalah ini adalah Ma’ruf Al Kahkhi (w. 200 H). Al Karkhi termasuk angkatan pertama para sufi yang mendefinisikan tasawuf: tasawuf ialah menimba hakikat realitas-realitas dan berputus asa pada apapun yang di tangan makhluk. Artinya, tasawuf ialah ilmu tentang hakikat realitas intutif yang tersingkap dan kebalikan dari tata aturan agama.
Al Karkhi mendasarkan tasawuf pada syariah dan tuntutan amal ibadah dan ketaatannya. Tasawuf menafikan perbantahan teoritis tentang persoalan agama. Sebaliknya, tasawuf lebih menekankan pelaksanaan ibadah. Ilmu harus berkaitan dengan amal, sebagaimana dalam ungkapannya:  Jika seorang alim beramal dengan ilmunya, maka akan luruslah kalbu orang-orang yang beriman dan dia akan dibenci oleh orang yang kalbunya sakit.
Selain Al Karkhi, ada juga Abu Sulaiman Al Darani (w. 215). Menurutnya hakikat berkaitan erat dengan syari’ah. Hal ini bisa dilihat dari salah satu ungkapannya: selama beberapa waktu aku tertimpa dengan aliran ini (para sufi) sementara aku tidak bisa menerimanya kecuali disertai dua saksi: Al Qur’an dan Hadis”.
Banyak para tokoh tasawuf yang memperbincangkan masalah ini. Namun, yang paling terkenal terdapat pada sosok Dzun Nun Al Mishri (w.245). Ia terkenal dengan keluasan ilmu, kerendahan hati, dan budi pekertinya yang baik. Kedudukannya paling tinggi di Mesir dan dialah orang pertama yang mebincangkan masalah wali dan tingkatan-tingkatannya.
Sebagaimana dua tokoh yang disebut sebelumnya, Dzun Nun selalu mengaitkan  ma’rifat dengan syariah. Diatara ungkapannya yang terkenal: Tanda seorang arif itu ada tiga: cahaya ma’rifatnya tidak memudarkan cahaya kerendahatiannya, secara batiniah tidak mengukuhi ilmu yang menyangkal hukum lahiriyah, dan banyaknya karunia Allah yang tidak menjadi kanya melanggar larangannya.

2.      Moral dan Fase-Fase Menuju Allah
Semua sufi pada abad-abad ke-III H (dan ke-empat hijriyah) menaruh perhatian terhadap pembahasan moral atau hal-hal yang berkaitan dengannya seperti latihan jiwa, taubat, kesabaran, riha, tawakkal, takwa, rasa takut, rasa cinta, heran, dan lain-lain.
Yang pertama kali membahas hal tersebut secara mendalam di kalangan sufi ialah Al-Harits Ibn As’ad Al Muhasibi (w. 243). Ia adalah orang yang mengkompromikan ilmu syariat dengan ilmu hakikat. Diberi julukan Al Muhasibi karena suka melangsungkan interopeksi.
Mengenai jalan menuju Allah serta hal yang berkaitan dengannya menurut Al Muhasibi ialah menekankan kemampuan akal budi dalam memahami hikmah-hikmah perintah dan larangan Allah. Namun demikian, akal budi itu harus dibarengi dengan moralitas.
Selain Al Muhasibi, sufi lain berkaitan dengan moral dan jiwa, dan etika, ialah al-Sirri al-Saqati. Menurutnya, ada empat moral bagi seorang hamba yaitu: mengujikan kerendah hatiannya, meluruskan kehendaknya, melapangkan dadanya bagi makhluk lain, dan memberikan nasehatnya kepada siapapun.

3.      Fana
Pengertian fana menurut sufi pada abad ke-III H beraneka ragam. Ada kalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Ada kalanya diartikan dengan kesirnaan manusia dari kehendakanya, dan kekekalan kehendaknya dengan kehendak Allah. Selian itu, fana diartikan sirna dari perhatian yang menimbulkan rangsangan atau dengan kata lain sirna dari keinginan makhluk.
Abu Wafa kemudian membaginya ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang berpegang teguh pada syariat dan tidak beralih pada aliran yang secara lahiriah bertentangan dengan tauhid. Kelompok kedua cenderung menyatakan berlangsungnya persatuan atau hulul. Contoh pertama dapat ditemukan pada Abul Al Qasim Al Junaid. Sedangkan kelompok kedua bisa dilihat pada Abu Yazid Al Busthami dan Al Hallaj.

4.      Ketentraman
Ketentraman berarti kedamaian dan ketenangan kalbu. Demikian sufi abad ke-III H mendefinisikan. Inilah salah satu karakteristik mereka. Kondisi tersebut terjadi karena keadaan rohani yang tinggi yang hanya dicapai oleh orang yang sehat secara akal-budi, kuat iman, dalam ilmu, bening ingatan, dan mapan hakikatnya.
Ketentraman kalbu sebagaimana menurut al Thusi dibagi ke dalam tiga bagian: pertama, ketentraman kalbu orang awam. Yakni orang yang ketika diebut nama Allah hatinya tentram. Kedua ketentraman kalbu golongan khusus. Yakni, ketentraman kalbu yang dibarengi keridhaan terhadap ketentuan Allah, sabar atas bencananya, keihlasan, ketaqwaan.
Ketiga, ketentraman kalbu orang istimewa. Golongan ini tidak bisa tentram dengan Allah atau bersamanya. Hal ini karena rasa pesona dan pengagungan mereka kepada Allah. Keagungan dan kebesaran Allah membuat mereka fana dari mereka sendiri. Hal ini membuat mereka tidak acuh kepada tindakan mereka sendiri atau segala sesuatu karena mereka adalah milik Allah.
5.      Pemakaian Simbol dalam Ungkapan
Karakteristik lain yang menajadi corak tasawuf abad ke-III ialah pemakaian simbol-simbol dalam mengungkapkan hakikat realitas. Pemakaian ungkapan khusus sebagaimana dikemukakan al Thusi untuk menyembunyikan konsep-konsepnya bagi kelompok lain yang tidak sejalan. Selain itu dimaksudkan agar orang asing sulit memahami dan agar rahasia mereka tidak berkembang di kalangan yang tidak patut mengetahuinya.
Dari sini Al Wafa memaparkan, dari ungkapan itu para sufi masa itu memiliki ungkapan yang mempunya dua makna. Pertama makna yang bisa dipahami secara lahiriah. Kedua, makna yang hanya bisa dipahami secara analisa dan pengkajian secara mendalam. Bentuk ungkapan itu terkadang hanya dengan gerak bibir semata, kiasan, tanda, gerak tubuh, dan lain-lain.

F.   Kesimpulan
Dari pembahsan singkat mengenai tasawuf pada abad ke-III H dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Abad ke-III H merupakan masa keemasan atau kesempurnaan tasawuf. Karena dari sana banyak lahir tokoh-tokoh tasawuf. Namun, yang paling penting kesempuranaan ini diukur berdasarkan konsep-konsep tasawuf yang kemudian menjadi disiplin ilmu tasawuf yang termanifestasikan dalam karya-karya para sufi. Munculnya istilah maqam, hal, ma’rifat, tauhid, fana, hulul, dan istilah-istilah tasawuf yang lain yang kita kenal hari ini lahir dari rahim para sufi abad ini.
2.      Tasawuf tidak serta merta berkembang begitu saja tanpa adanya pergolakan besar yang pada Abad ke-III H. Ini dibuktikan dengan lahirnya kelompok sufi yang dikenal dengan sebutan ortodoks. Kelompok Sufi populer ini rata-rata dari kelompok beraliran Syi’ah. Sedangkan kelompok ortodoks berasal dari aliran Sunni. Kelahiran kelompok ortodoks merupakan respon atas sufi populer karena dianggap melenceng dari gasis agama. Pergolakan tasawuf juga terjadi pada kelompok literalis (fiqih). Hal ini bisa dilihat dari pergolakan yang terjadi pada Tokoh Sudi Al Muhasibi, dimana dia mendapat pertentangan serius dari Ahmad bin Hambal sebagai perwakilan dari kelompok fiqih.
3.      Setiap sufi memiliki pandangan dan konsep yang beragam mengenai tasawufnya. Misalnya Al Muhasibi yang lebih dikenal dengan tasawuf yang lebih menekankan pada aspek moral atau Abu Yazid Al Bustami yang dikenal menekankan kepada syariat, namun dalam waktu bersamaan ia menampil ungkapan ganjil dan lebih cenderung pada aliran tasawuf falsafi.
4.      Banyak sekali tema-tema perbincangan tema-tema tasawuf pada Abad ke-III H. Setidaknya sebagaimana telah dibahas di atas meliputi lima aspek: ma’rifat, moral dan fase-fase menuju Allah, fana, ketentraman, dan ungkapan-ungkapan ganjil para sufi.

  
Daftar Pustaka

Atjeh, Aboe Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: CV Ramadani, 1984).

Anwar, Rosihan, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)

Bagir, Haidar, Buku Saku Tasawuf, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006).

Hamka, Perkembangan Tasawuf dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994).

Riyadi, Abdul Kadir, Arkeologi Tasawuf: Melacak Pemikiran Tasawuf, dari Al Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara, (Bandung: Mizan, 2016).

Wafa, Abu, Al Wafa al Ghamini al Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Madkhal Ila al-Tasawwuf al-Islam, (Bandung: Pustaka,1997)

Zuherni AB, Jurnal Subtasia, Volume 13 No. 2 2011.

Masyhar, Ali Tasawuf: Sejarah, Madzhab, dan Ajaran Intinya, Jurnal Al A’raf  Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015, IAIN Surakarta

Faizin, Khoirul, Psikologi Moral Al Muhasibi, Jurnal Al ‘Adalah, Volume 16 Nomor 1, Juni 2012 STAIN Jember.



[1] Abu Al Wafa al Ghamini al Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Madkhal Ila al-Tasawwuf al-Islam, (Bandung: Pustaka,1997) h. 91
[2] Ibid, h. 92.
[3] Hamka, Perkembangan Tasawuf dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), h. 88
[4] Ibid, h. 88
[5] Ibid, h. 88
[6] Ibid, h. 88
[7] Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: CV Ramadani, 1984), h. 57
[8] Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 100
[9] Abu Al Wafa, Ibid, h. 91
[10] Ibid, h 92.
[11] Hamka, Ibid, h. 90.
[12] Beberapa tokoh Sufi yang disebutkan Hamka diantaranya sufi terkenal Abul Hasa Surry Assaqthi (w. 253 H). Dikabarkan, Abul Hasan merupakan tokoh pertama yang yang mengupas Tauhid dari sisi tasawuf dan yang mula-mula memperkenalkan istilah hakikat. Kemudian Abu Hamzah Muhammad bin Ibrahim Ash Shifi (w. 269). Belia disebut-sebut sebagai sufi yang memecahkan soal Isyq (kerinduan), dzikir (ingat), Jamuul Himma (membulatkan cita-cita), Al Qurb (pendekatan), dan kata-kata lain terkenal di kalangan sufi). Kemudian Ma’ruf Al Karakhi (w 201 H). Kemudian Abu Sulaiman Ad Darani (w 215 H). Salah satu ajarannya bahwa cinta diantara hamba dan tuhan hendaklah berbalasan atau tidak bertepuk sebelah tangan. Harus senantia kontak, kalau di sini memanggil maka disana menjawab.
[13] Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 166. Rosihan mencatat bahwa pada Abad ke I dan II H setidaknya sudah ada empat aliran tasawuf yaitu: (1) Aliran Madinah dengan tokoh-tokohnya sahabat nabi sendiri seperti Abu Bakar As-Shiddiq, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Thalib. Selain dari khulafaurrasyidin ada juga Abdzar Al Ghifari (w. 22 H), Hudaifah Ibn Al Yaman (w. 38 H), Amr Ibn Yasir (w.37 H), dan Miqdam Al-Aswad (33 H). (2) Aliran Basrah dengan tokohnya Al Hasan Al Bashry (w. 110 H), Rabiah Al Adawiyah (w. 185 H), dan Malik Ibn Dinar (w.131 H). (3) Aliran Kuffah dengan tokohnya Sufyan At-Tsaury (w. 161 H), Ar-Raby Ibn Khatsim (w. 67 H), Sa’id Ibn Jubair (w 95 H) dan Thawus Ibn Kisan (w. 106 H) (4) Aliran Mesi dengan tokohnya Salim Ibn Atar At-Tajibi (w. 75 H), Abdurrahman Ibn Hujairah (w. 69 H), Al Laits Ibn Sa’ad (w 175), dan Abdullah Ibn Wahab (w. 197).
[14] Ibid, h. 165
[15] Abu Al Wafa, Ibid, h 95.
[16] Zuherni AB, Jurnal Subtasia, Volume 13 No. 2 2011, h. 252
[17] Salah satu rumusan teologinya  ialah Islam adalah pengetahuan yang bersifat apriori dan simplisiter iman adalah pengetahuan tentang Tuhan, tentang ketuhanannya yang bertempat di qalbu (hati), ma’rifat adalah pengetahuan sejati tentang Tuhan yang berpusat dalam fuad (pusat hati), dan pengakuan tentang keEsaan Tuhan dengan sifat-sifatnya adalah pengetahuan tentang kesatuannya (unitasnya) yang mutlak dan tempatnya adalah sirrr (inti qalbu). Lih. Zuherni AB, ibid, h. 253
[18] Ibid, h. 252
[19] Ibid, h. 253
[20] Ali Masyhar, Tasawuf: Sejarah, Madzhab, dan Ajaran Intinya, Jurnal Al A’raf  Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015, IAIN Surakarta
[21] Hamka, Ibid, h. 91
[22] Abul Wafa, Ibid, h. 97
[23] Khoirul Faizin, Psikologi Moral Al Muhasibi, Jurnal Al ‘Adalah, Volume 16 Nomor 1, Juni 2012 STAIN Jember, h. 1
[24] Abdul Kadir Riyadi, Arkeologi Tasawuf: Melacak Pemikiran Tasawuf, dari Al Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara, (Bandung: Mizan, 2016), h. 1
[25] Ibid, h 1.
[26] Ibid, h. 1. Perlu dicatat bahwa pada masa Al Muhasibi ini, Fiqih yang lebih awal lahir sebagai ilmu saat itu menjadi penentu diterimanya ilmu-ilmu baru yang lahir dari rahim Islam. Al Muhasibi sendiri, menurut Abdul Kadir, sebenarnya sudah berusaha memasukkan dimensi Fiqih dalam Tasawuf. Namun pertentangan tidak bisa dihindari terutama ketika lahir tokoh-tokoh tasawuf kontroversial seperti Abu Yazid Al Busthami dan Mansur Al Hallaj.
[27] Khorul Faizin, Ibid, h. 254-255
[28] Hamka, Ibid, h 97
[29] Aboe Bakar, Ibid, h. 283
[30] Hamka, Ibid, h. 97
[31] Ibid, 98.
[32] Aboe Bakar Atjeh, Ibid, h. 264
[33] Hamka, Ibid, h. 108
[34] Hamka, Ibid, h. 109
[35] Ibid, h. 102.
[36] Ibid, h. 94.
[37] Ibid, h. 94
[38] Ibid, h.94
[39] Aboe Bakar Atjeh, Ibid, h. 283.
[40] Al Wafa, Ibid, h. 96-139

No comments: