Oleh: Miftahul Arifin
Mahasiswa Pascasarjana Etika Tasawuf UIN Walisongo Semarang 2017
Mahasiswa Pascasarjana Etika Tasawuf UIN Walisongo Semarang 2017
A. Pendahuluan
Perkembangan
pemikiran tidak bisa ditentukan oleh batasan waktu yang jelas. Karena itu sulit
untuk ditentukan secara tepat proses peralihan pemikiran dari masa ke masa
termasuk pemikiran tentang tasawuf. Demikian komentar Abu Al Wafa al Ghamini al
Taftazani dalam bukunya Madkhal Ila al-Tasawwuf al-Islam sebelum memulai
membahasa perkembangan tasawuf abad ke-III Hijriah.
Namun
demikian, lanjut Abu Al Wafa, pada abad ke III Hijriah bisa dilihat adanya
perlahan kongkrit pada asketisme Islam. Pada abad ini para asketis tidak tidak
lagi dikenal dengan gelar tersebut. Mereka lebih dikenal sebagai sufi. Demikian
perbincangan mereka yang sebelumnya tidak banyak dikenal, pada Abad ini para
sufi mulai menyusun sejumlah konsep-konsep yang bisa dipelajari. Pada kesempatan
yang sama banyak muncul karya-karya tasawuf,[1]
dan tentu karya tersebut menjadi rujukan setelahnya.
Berkaitan
dengan hal ini, Abu al-‘Ala Al ‘Affifi, sebagaimana dikutip Al Wafa berkata:
“Sejak itupun tasawuf memasuki periode baru yaitu periode intuisi, kasyaf, dan
rasa (dzauq. Periode ini terjadi pada abad-abad ketiga dan keempat hijriyah yang merupakan zaman keemasan
tasawuf dalam pencapaiannya yang paling luhur dan jernih.”
Harus
diakui berdasarkan fakta sejarah bahwa Abad ke-III H merupakan puncak keemasan
tasawuf. Dari sana banyak karya dan tokohnya yang terkenal lahir kemudian
menjadi rujukan pengkaji tasawuf atau pelaku tasawuf hari ini. Namun, demikian,
dibalik perkembangan yang cukup pesat tersebut tidak ditampik terjadi sebuah
pergolakan besar. Dari pergolakan itu juga lahir pemikiran baru yang memberikan
sumbangsih cukup besar dalam ilmu tasawuf khususnya sebagai disiplin ilmu.
Makalah
ini secara singkat akan memotret tasawuf pada Abad ke-III H berikut, dinamika
sekaligus perkembangannya yang dibagi ke dalam empat sub pembahasan: (1) Abad
ke-III, Puncak Kesempuranaan Tasawuf (2) Dua Mahdzab besar tasawuf (3)
Tokoh-tokoh penting tasawuf (4) Perbincangan dan corak tasawuf.
B. Puncak Kesempurnaan Tasawwuf
Abad
ke-III Hijriyah merupakan abad keemasan atau kesempurnaan tasawuf setelah
sebelunya masih berupa laku-laku para sufi dengan maksud dan mendekatkan diri
kepada Allah yang pelaksanaanya secara personal. Pada abad ke-III Hijriyah pula
tersusun ilmu tasawuf dalam arti luas dengan berbagam tema yang jelas
sebagaimana telah masyhur dalam bahasan tasawuf era sekarang. Kondisi ini
berlangsung hingga abad ke-IV Hijriyah.[2]
Terkait hal ini, Abu, al-’Ala, Abu Al Wafa berkomentar, pada kedua abad inilah
tasawuf telah mencapai kesempurnaan.
Kesempurnaan
tasawuf, tak dapat ditampik merupakan kelanjutan dari abad-abad sebelumnya,
yakni abad ke-I dan ke-II Hijriyah. Sebagaimana diungkapkan Prof. Dr Hamka
dalam buku Perkembangan Tasawuf dan
Pemurniannya, telah menunjukkan isinya yang dapat dibagi ke dalam kepada tiga
bagian, yaitu ilmu jiwa, ilmu akhlak, dan ilmu tentang yang ghaib (metafisika).[3]
Kehalusan
rasa yang dipertinggikan di abad pertama dan kedua telah mempetinggi
penyelidikan atas ketiga cabang ilmu itu, yang telah memenuhi seluruh kehidupan
sufi.[4]
Proses
perkembangan tasawuf dari awal hingga mencapai puncak kesempurnaan inilah yang
menjadi sebab adanya perbedaan makna tasawuf, setidaknya, adanya anggapan bahwa
tasawuf tak lain adalah akhlak. Karena pada abad pertama dan kedua hijriah tasawuf
boleh dikatakan hanya beredar di sekeliling budi dan asusila. Hamka menolak
pandangan ini dengan argumen bahwa memandang masyarakat atau alam seluruhnya
adalah dari segi ridha dan murka Allah dengan sebuah ungkapan bahwa “Aku
memandang makhluk sebab makluk itu sama-sama dengan daku di bawah perlindungan
Allah. Di sini, iradah lebih dahulu ditunjukkan kepada dzat. Kemudian menurun
ke makhluk.[5]
Hamka menegaskan:
Itulah sebab maka tasawuf Islam dipenuhi
oleh tiga soal: soal ketuhanan (metafisika). Soal diri sendiri (jiwa) dan soal
akhlak (mengenai masyarakat).[6]
Masih
senada dengan Hamka, Prof. Dr Aboe Bakar Atjeh dalam buku Pengantar Sejarah
Sufi dan Tasawuf menyampaikan perbedaan yang cukup signifikan antara tasawuf
pada abad ke-II dan III Hijriyah dan tasawuf abad ke-III Hijriyah. Jika ajaran
sufi pada abad ke I dan II (setidaknya akhir abad ke-II) merupakan kezuhudan
(askestis), maka pada abad ke-III orang sudah meningkat kepada wusul dan
ittihad dengan tuhan (mistikisme). Orang sudah ramai membicarakan tentang
lenyap dalam kecintaan, fana bil mahbub (bersatunya dengan kecintaan), ittihad
bil mahbub (kekal dengan tuhan, melihat tuhan), musyahadah (bertemu dengan
tuhan), liqa (menjadi satu dengan dia), ainul jama’.[7] Pada
masa ini pula dikenal istilah maqam, hal, ma’rifat, tauhid, fana, hulul, dan
istilah-istilah tasawuf yang lain. Diantara tokohnya adalah Ma’ruf Al Karkhi,
(w. 200), Abu Sulaiman Al Darani (w. 254 H), Dzun Nun Al Mishri (w. 245) H, dan
Junaid Al Bahgdadi (w. 297 H).[8]
Para
sufi yang memiliki pengalaman spiritual menyusun konsep misalnya tentang
moralitas, jiwa, tingkah laku, dan pembatasan arah yang harus ditempuh oleh
penempuh jalan menuju Allah dan metode-metodenya. Para sufi juga menyusun
prinsip teoritis, bahkan aturan-aturan praktis bagi tarekat mereka.[9]
Dengan
ini bahwa ilmu tasawuf tidak hanya dimiliki para sufi sendiri. Tetapi telah
diajarkan kepada yang lain yang memiliki minat di bidang tasawuf atau jalan
mendekatkan diri kepada tuhan. Bahkan tasawuf telah menjadi satu disiplin ilmu
yang secara objek, metode dan tujuan terpisah dai ilmu fiqih.[10]
Dari
sisi geografis, pertumbuhan tasawuf pada abad ke-III Hijriah juga semakin luas.
Jika pada abad ke- II hanya terkenal di Kufah dan Basrah, pada abad ke-III
Hijriyah tasawuf telah melebar sampai ke Kota Baghdad. Melebarnya ilmu tasawuf
menurut Hamka tidak lepas dari kondisi sosial, dimana kemewahan banyak
digandrungi masyarakat yang oleh hamka dibahasakan dengan “sangatan” dan adanya
krisis moral. Tasawuf tumbuh menjadi sebuah kekuatan hingga sampai ke Persia.
Bahkan di Pesia tasawuf memiliki kedudukan yang paling tinggi. Dari persia
kemudian merun ke Mesir, ke Syam, dan ke Jazirah Arab.[11]
Pada saat ini pula, menurut Hamka, hubungan antara guru (Syaikh) dan murid
semakin erat sehingga muncul banyak tokoh-tokoh tasawuf.[12]
Perkembangan
tasawuf ke daerah-daerah di luar Kufah dan Basrah ini tidak berarti sebelumnya
tidak ada tasawuf. Karena sebelum abad ke-III sudah muncul para sufi di
daerah-daerah tersebut. Sebutlah di daerah Mesir yang sejak abad I dan ke II
telah muncul banyak sufi seperti Salim Ibn ‘Atar At-Tajibi (w.75 H) atau
Abdullah Ibn Wahab (w. 197).[13]
Perkembangan yang dimaksud adalah tasawuf sebagai disiplin ilmu sekaligus laku
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena sebagaimana diungkapkan Rosihan
Anwar dalam buku Akhlak Tasawuf bahwa keberadaan aliran-aliran tasawuf pada
abad I atau ke II H memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan di abad
berikutnya,[14]
yakni abad ke-III H.
C. Dua Madzhab Besar Tasawuf
Apabila
dilihat secara cermat, sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan perkembangan
tasawuf pada abad ke-III berlangsung begitu pesat. Satu diantaranya adalah
pengaruh sosial politik dimana hal ini telah memunculkan setidaknya dua aliran
besar dalam dunia tasawuf.
Berdasarkan
tinjauan Abul Al Wafa Al Ghanimi, dua aliran besar tersebut yaitu: pertama,
aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat. Tasawuf mereka selalu
merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, tasawuf ini selalu
bertandakan timbangan syariah dengan ciri tasawufnya yang didominasi moral.
Kedua, aliran sufi yang terpesona kepada fana. Mereka sering mengucapkan
kata-kata ganjil. Mereka menumbuhkan konsep hubungan manusia dengan Allah
seperti penyatuan, hulul. Tasawuf mereka ini menurut Al Wafa bertandakan
beberapa kecenderungan metafisis.[15]
Demikian dicatat Rifay Siregar sebagaimana dikutip Zuherni AB,[16]
munculnya dua aliran tersebut tidak serta merta karena faktor agama dalam
sufisme. Melainkan juga karena faktor politik antara kaum Syi’ah dan Sunni. Saat
itu pula muncul istilah sufisme ortodoks sebagai tandingan dari sufi populer
yang didukung sepenuhnya oleh kaum Syi’ah.
Tasawuf
ortodoks atau tasawuf moderat sebagaimana diungkapkan Abu Al Wafa dirintis oleh
Harits Al Muhasibi dengan tujuan mengupayakan kembali tegaknya kembali warisan
sufi terdahulu dengan tetap mempraktekkan kehidupan lahiriyah. Usaha Al
Muhasibi dilanjutkan pengikut-pengikutnya dengan perumusan prinsip-prinsip
tertentu. Sufisme ini boleh dibilang merupakan gerakan pertama pembaharuan
sufisme dengan tema sentral rekonsiliasi antara teologi sufisme dengan teologi
ortodoks yakni teologi Ahlusunnah wal jama’ah.[17]
Kalangan ortodok menentang sufisme populer yang dianggap telah menyimang,
terutama dalam aspek tauhid dan teologi.[18]
Rekonsiliasi
yang dirintis al-Muhasibi dilanjutkan oleh al Kharraj dan al-Junaid dengan
tawaran konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara sufisme dengan kelompok
salafiyah. Tujuan gerakan ini mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan
syari’at Islam. Doktrin al-baqa (subsistensi) sebagai imbangan dan legalitas
al-fana merupakan salah satu hasil upaya yang dilakukan tokoh ini. Gerakan
sufisme ortodoks mencapai puncaknya pada abad lima hijriah melalui tokoh
monumental al-Ghazali (w.503H).[19]
Sedangkan
tasawuf populer merupakan aliran tasawuf yang dalam ungkapan-ungkapanya lebih
cenderung syatahiyat atau ganjil. Dalam istilah lain mereka dikenal dengan
tasawuf semi falsafi. Tokoh aliran tasawuf ini diantaranya Abu Yazid Al Bustami
dari Persia. Salah satu ajaran Abu Yazid adalah soal fana‟ (lebur atau
hancurnya perasaan), Liqa‟ (bertemu dengan Allah Swt) dan Wahdah al-Wujud
(kesatuan wujud atau bersatunya hamba dengan Allah Swt). Kemudian Al-Hallaj
dengan teori Hulul (inkarnasi Tuhan), Nur Muhammad dan Wahdat al-Adyan
(kesatuan agama-agama). Selian itu, para sufi lainnya pada kurun waktu ini juga
membicarakan tentang Wahdat al-Syuhud (kesatuan penyaksian), Ittishal
(berhubungan dengan Tuhan), Jamal wa Kamal (keindahan dan kesempurnaan Tuhan),
dan Insan al-kamil (manusia sempurna). Bagi aliran ini, kesemuanya itu tidak
akan dapat diperoleh tanpa melakukan latihan yang teratur (Riyadhah).[20]
D. Tokoh-Tokoh Tasawuf
Abad
ke-III H boleh disebut sebagai masa kesempurnaan tasawuf. Tentu, sebagai
konsekuensi logis dari hal tersebut, tasawuf semakin berkembang dan banyak
diminati. Muncullah tokoh-tokoh sufi dengan konsep dan pandangan yang beragam
sesuai dengan pengalaman masing-masing yang secara garis besar terwakili oleh
dua aliran besar di atas.
Selain
beberapa tokoh yang disinggung di atas, beberapa tokoh terkenal lain misalnya
Abdul Faidh Zin-Nun Al Mishri (w 245 H), yang oleh Hamka disebut sebagai puncak
kaum sufi karena karena ajarannya yang banyak sekali menambahkan jalan untuk
menuju Allah. Tujuan tasawuf Zun-Nun adalah “Mencintau Tuhan, membenci yang
sedikit, menuruti garis petintah yang diturunkan dan takut akan berpaling
jalan”.[21]
Zun-Nun juga dianggap sebagai sufi di Mesir yang membincangkan keadaan dan
tingkatan wali.[22]
Kemudian ada Abul Hasan Surri Assaqhi (w. 253 H), seorang sufi Baghdad yang
disebut sebagai orang pertama yang mempopulerkan istilah haqiqat dalam dunia
sufi. Selian itu, ada Yahya bin Ma’az, seorang sufi yang dikenal banyak
membahas masalah fana bagi seorang sufi. Dan banyak lagi tokoh tasawuf yang
muncul pada abad ke-III H yang tidak bisa dipaparkan dalam tulisan singkat ini.
Sesuai
dengan silabus, tokoh-tokoh tasawuf yang akan dibahas dalam makalah ini
meliputi lima tokoh yaitu Al Muhasibi, Al Junaid, Al Hallaj, dan Abu Yazid Al
Busthami. Pemikiran tasawuf keempat tokoh tersebut akan dibahas secara singkat
disamping kehidupannya.
Al
Muhasibi
Nama
lengkap Al Muhasibi adalah Abu Abdullah Al Harits Al Muhasibi (w.234). lahir di
Basrah dan menghabiskan sebagian hidupnya di Baghdad (w.243H/857M).[23]
Al
Muhasibi dianggap sebagai tokoh pelopor lahirnya tasawuf. Setidaknya oleh Abdul
Kadir Riyadi dalam bukunya Arkeologi Tasawuf: Melacak Pemikiran Tasawuf, dari
Al Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara[24].
Penilaian Abdul Kadir ini berdasarkan satu pandangan tasawud sebagai ilmu.
Bukan sebagai laku atau tasawuf praktis atau yang lebih dikenal dengan tarekat.
Sebelum Al Muhasibi, menurut Abdul Kadir, tasawuf hanya sebagai laku, bukan
merupakan sebuah ilmu. Al Muhasibi berusaha membangun dimensi moral dalam Islam
seperti kezuhudan untuk diwujudkan menjadi sebuah pengetahuan yang utuh
layaknya fiqih dan hadis yang sudah lebih awal terbentuk.[25]
Namun
demikian, masih menurut Abdul Kadir, upaya Al Muhasibi yang menggunakan
rasional dalam membangun tasawuf tidak disetujui oleh beberapa tokoh pada
masanya. Setidaknya, oleh Ahmad bin Hambal yang saat itu mewakili kelompok
literal dalam memahami Islam (fiqih). Al Muhasibi ditentang dan dituduh
melakukan perbuata bid’ah dan melenceng dari Al Qur’an dan Hadis.[26]
Ajaran
moral Al Muhasibi dimulai dari pondasi psikologis atau dalam istilah Khoirul
Faizin setelah meneliti .... yang merupakan karya Al Muhasibi psikologi moral. Konsep
kunci yang ditampilkan Al Muhasibi ialah khathir (pemikiran, gagasan, atau
lintasan hati) yang mendorong atau terbersit pada diri seseorang. Menurutnya
ada tiga sumber khatarat, yakni: hawa nafsu, setan atau iblis, dan Tuhan (melalui
wahyu Ilahi dan nalar manusia).
Analisis
al-Muhasibi mengenai khatarat hawa nafsu dan setan diungkapkan Khoirul, merupakan analisis paling terkenal di kalangan
kaum sufi. Namun, dia juga meyakini Allah sebagai sumber khatarat. Hal ini bisa
dimiliki oleh hamba hamba yang berpijak pada sunnah, sehingga benar-benar dapat
mendengar suara Tuhan dalam hatinya. Manusia semacam ini dapat mencapai
tatsabbut ketika memeriksa khatarat-nya dan menegaskannya bahwa hal tersebut
berpijak pada al-Qur‘an dan Sunnah, menolak segala bentuk perbuatan yang
terburu-buru yang bisa jadi didorong oleh egoisme dan setan. Inti pembahasan Al
Muhasibi mengenai khatarat yang muncul dari bisikan setan adalah sebagaimana
yang tercantum dalam surah terakhir (QS. Al-Nas [114]: 1-6):[27]
“Katakanlah:
Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai manusia, raja manusia,
sembahan manusia dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi, yang
membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan
manusia”.
2.
Al
Junaid
Hamka
menilai Al Junai sebagai sufi yang luar biasa. Al Junaid dikenal sebagai sufi
yang sangat teguh dalam menjalankan syariat. Ia memperdalam kenaikan jiwa
hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Namun, demikian Al Junaid tidak lupa untuk
sekedar mencari makan.[28]
Nama
lengkapknya Abu Al-Qasim Al Junaid bin Muhammad Al Khazzaz Al Qawariri. Lahir sekitar
tahun 210 H di Baghdad, Iraq. Al Junaid juga dikenal sebagai sufi yang
membicarakan dan menulis tentang ajaran-ajaran sufi. Salah satu ungkapannya
“tenggelam secara sufi memikirkan filsafat lebih baik dari pada tenggelam
memikirkan filsafat dalam kesufian”.[29]
Salah
satu potret kehidupan Al Junaid adalah setiap hari Al Junaid masuk pasar dan
membuka kedainya dalam waktu yang tidak lama. Dalam waktu yang bersama ia masih
mengajari murid-muridnya. Baru kemudian menutup kedainya lalu mengambil wudu
dan shalat sebanyak empat ratus rakaat. Al Junaid rajin mengerjakan shalat
sunnah disamping shalat fardu. Bahkan ketika dirinya sudah tidak bisa bangun
lagi karena sakit. [30]
Salah
satu muridnya Al Jurairi menceritakan, Al Junaid meninggal pada hari Jumat.
Sebelum meninggal ia masih membaca Al Qur’an. Al Jurairi lalu berkata:
Kasihanilah diri tuan, tuan sudah terlalu payah. Al Junaid kemudian berkata: Siapakah
yang lebih pantas dari pada aku berbuat begini. Disaat seperti yang aku hadapi
ini. Padahal shafat hidupku sudah hendak ditutup?” Al Junai meninggal tahun 298
H setelah dibacanya 70 ayat dari surat Al Baqarah.[31]
3.
Al
Hallaj
Al
Hallaj adalah salah satu tokoh tasawuf yang dinilai pernah menggemparkan dunia
tasawuf pada masanya. Al Hallaj termasuk tokok tasawuf yang ucapan-ucapannya
terus terang dalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan tuhan.[32]
Nama
lengkapnya Husin bin Mansur Al Hallaj. Lahir di Baidhaa, salah satu kota kecil
di Persia pada tahun 244 H dan besar di Wasith, dekat Baghdad. Usia 16 tahun
(tahun 260) Al Hallaj berguru pada Sufi terkenal Sahl bin Abdullah sekitar dua
tahun. Kemudian belajar Amar Al Maliki di Basrah hingga tahun 264 H. Setelah
itu berangkat ke Bagdad dan belajar pada Al Junaid. Kemudian mengembara dari satu negeri ke negri yang lain untuk
belajar tasawuf.[33]
Usia
53 tahun, Al Hallaj sudah banyak dikenal dan menjadi buah bibir di kalangan
ulama fiqih karena ungkapan-ungkapannya yang ganjil. Karena ungkapan-ungkapannya
itu, Ibnu Daud Al Asfahani mengeluarkan sebuah fatwa untuk memberantas
fahamnya. Fatwa penyesatan dikeluarkan oleh Ibnu Daud berkesan bagi banyak
orang termasuk khalifah sehingga Al Hallaj dipenjarakan. Al Hallaj melarikan
diri melalui sipir ke Wilayah Ahwas tanpa merubah pandangan-pandangannya. Ia
kembali ditangkap pada tahun 301 dan dipenjara selama sekitar 8 tahun. Al
Hallaj masih tetap dengan pendirian dan dan pandangan-pandangannya. Hingga
sekitar tahun 309, Al Hallaj di dibunuh setelah melalui sidang para ulama di
bawah Khalifah Al Muktadirbillah.[34]
Intisari
dari ajaran tasawuf Al Hallaj dicatat oleh Hamka, setidaknya meliputi tiga hal:
pertama, hulul, yaitu ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri manusia (nasut).
Kedua, Al Haqiqatul Muhammadiyah. Yakni Nur Muhammad sebagai asal-usul segala
kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, dan dengan perantara itulah
seluruh alam rasaya dijadikan. Ketiga, kesatuan segala agama. Baginya, nama
agama yang bermacama-macam hanya perbedaan nama dari hakikat yang satu.[35]
4.
Abu
Yazid Al Bustami
Anggapan
orang tentang sosok Abu Yazid Al Busthami bermacam-macam. Jika mengacu pada dua
madzhab besar tasawuf pada masanya, Abu Yazid kadang masuk pada madzhab pertama
(tasawuf falsafi), kadang pula bisa disebut tasawuf ortodoks. Hal ini
didasarkan pada kenyataan ungkapan-ungkapan atau ajaran-ajarannya yang
terkadang menggunakan ungkapan-ungkpan ganjil, namun kadang ia juga menekankan
kepada syariat.
Salah
satu ungkapannya dikutip oleh Hamka[36],
Abu Yazid berkata: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan
pekerjaan-pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun sanggup terbang ke
udara, maka jangan tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti suruhan
dan menghentikan dan menjaga batas-batas syariat”.
Dapat
dipahami dari sini bawah tasawuf Abu Yazid tidak keluar dari garis syara’.
Artinya tasawufnya sentiasa diukur dengan contoh teladan dari nabi dan tidak
memilih jalan sendiri di luar agama.[37]
Namun
demikian, selain ungkapannya sebagaimana tersebut di atas, ada
ungkapan-ungkapan Abu Yazid yang ganjil dan perlu pemahaman yang tinggi untuk
memahaminya. Dari ungkapan ini, Abu Yazid termasuk madzab yang dinamai hulul
atau berpadu. Satu diantara ungkapan Abu Yazid mengenai hal ini misalnya: Tidak
ada Tuhan melainkan saya, Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besar
kuasaku”.[38]
Abu
Yazid Al Busthami berasal dari Khurasan. Aboe Bakar Atjeh mencatat, sufi yang
dikenal dengan nama Taifur ini tak hanya seorang sufi atau ahli tasawuf. Abu
Yazih termasuk ahli agama, ahli fislafat, dan ahli syair. Imam Al Ghzali banyak
mempergunakan karangan-karangan Abu Yazid. Ajaran yang masyhur dari Abu Yazid
Al Bustami adalah tentang fana, yakni keluar dari tubuh yang kasar bersatu
perasaan dan kesatuan (dengan Allah). Ajaran tasawufnya dipengaruhi dengan
ajaran-ajaran Syi’ah.[39]
Dari
paparan Aboe Bakar, dapat dipahami mengapa Abu Yazid terkadang menggunakan
ungkapan ganjil. Bahwa ajaran-ajaran tasawufnya sebagain dipengaruhi oleh
ajaran Syiah yang tasawufnya saat itu banyak dicounter oleh sufi aliran
ortodoks.
E. Perbincangan dan Corak Tasawuf
Sebagaimana
diungkapkan oleh Hamka, tasawuf pada abad ke-III H merupakan abad kesempurnaan
yang secara materi pembahasannya meliputi tiga hal yaitu Ilmu jiwa, ilmu akhlak,
dan ilmu tentang yang ghaib (metafisika). Paparan yang lebih rindi mengenai hal
ini dapat ditemuka dalam Abu Al Wafa Al Ghanimi yang menjadi fokus pembahasan
pada bagian ini.
Setidaknya
ada lima hal yang dibahas Al Ghanimi untuk menggambarkan corak atau
perbincangan tasawuf pada abad ke-III H. Pembahasan Al Ghanimi yang cukup
panjang akan dipaparkan secara ringkas sebagai berikut:[40]
1. Ma’rifat
Ma’rifat
menjadi salah satu inti dari ajaran tasawuf. Orang yang mulai-mula
membincangkan masalah ini adalah Ma’ruf Al Kahkhi (w. 200 H). Al Karkhi
termasuk angkatan pertama para sufi yang mendefinisikan tasawuf: tasawuf ialah
menimba hakikat realitas-realitas dan berputus asa pada apapun yang di tangan
makhluk. Artinya, tasawuf ialah ilmu tentang hakikat realitas intutif yang
tersingkap dan kebalikan dari tata aturan agama.
Al
Karkhi mendasarkan tasawuf pada syariah dan tuntutan amal ibadah dan
ketaatannya. Tasawuf menafikan perbantahan teoritis tentang persoalan agama.
Sebaliknya, tasawuf lebih menekankan pelaksanaan ibadah. Ilmu harus berkaitan
dengan amal, sebagaimana dalam ungkapannya:
Jika seorang alim beramal dengan ilmunya, maka akan luruslah kalbu
orang-orang yang beriman dan dia akan dibenci oleh orang yang kalbunya sakit.
Selain
Al Karkhi, ada juga Abu Sulaiman Al Darani (w. 215). Menurutnya hakikat
berkaitan erat dengan syari’ah. Hal ini bisa dilihat dari salah satu
ungkapannya: selama beberapa waktu aku tertimpa dengan aliran ini (para sufi)
sementara aku tidak bisa menerimanya kecuali disertai dua saksi: Al Qur’an dan Hadis”.
Banyak
para tokoh tasawuf yang memperbincangkan masalah ini. Namun, yang paling
terkenal terdapat pada sosok Dzun Nun Al Mishri (w.245). Ia terkenal dengan
keluasan ilmu, kerendahan hati, dan budi pekertinya yang baik. Kedudukannya
paling tinggi di Mesir dan dialah orang pertama yang mebincangkan masalah wali
dan tingkatan-tingkatannya.
Sebagaimana
dua tokoh yang disebut sebelumnya, Dzun Nun selalu mengaitkan ma’rifat dengan syariah. Diatara ungkapannya
yang terkenal: Tanda seorang arif itu ada tiga: cahaya ma’rifatnya tidak
memudarkan cahaya kerendahatiannya, secara batiniah tidak mengukuhi ilmu yang
menyangkal hukum lahiriyah, dan banyaknya karunia Allah yang tidak menjadi
kanya melanggar larangannya.
2. Moral
dan Fase-Fase Menuju Allah
Semua
sufi pada abad-abad ke-III H (dan ke-empat hijriyah) menaruh perhatian terhadap
pembahasan moral atau hal-hal yang berkaitan dengannya seperti latihan jiwa,
taubat, kesabaran, riha, tawakkal, takwa, rasa takut, rasa cinta, heran, dan
lain-lain.
Yang
pertama kali membahas hal tersebut secara mendalam di kalangan sufi ialah
Al-Harits Ibn As’ad Al Muhasibi (w. 243). Ia adalah orang yang mengkompromikan
ilmu syariat dengan ilmu hakikat. Diberi julukan Al Muhasibi karena suka
melangsungkan interopeksi.
Mengenai
jalan menuju Allah serta hal yang berkaitan dengannya menurut Al Muhasibi ialah
menekankan kemampuan akal budi dalam memahami hikmah-hikmah perintah dan
larangan Allah. Namun demikian, akal budi itu harus dibarengi dengan moralitas.
Selain
Al Muhasibi, sufi lain berkaitan dengan moral dan jiwa, dan etika, ialah
al-Sirri al-Saqati. Menurutnya, ada empat moral bagi seorang hamba yaitu:
mengujikan kerendah hatiannya, meluruskan kehendaknya, melapangkan dadanya bagi
makhluk lain, dan memberikan nasehatnya kepada siapapun.
3. Fana
Pengertian
fana menurut sufi pada abad ke-III H beraneka ragam. Ada kalanya diartikan
sebagai keadaan moral yang luhur. Ada kalanya diartikan dengan kesirnaan
manusia dari kehendakanya, dan kekekalan kehendaknya dengan kehendak Allah.
Selian itu, fana diartikan sirna dari perhatian yang menimbulkan rangsangan
atau dengan kata lain sirna dari keinginan makhluk.
Abu
Wafa kemudian membaginya ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang
berpegang teguh pada syariat dan tidak beralih pada aliran yang secara lahiriah
bertentangan dengan tauhid. Kelompok kedua cenderung menyatakan berlangsungnya
persatuan atau hulul. Contoh pertama dapat ditemukan pada Abul Al Qasim Al
Junaid. Sedangkan kelompok kedua bisa dilihat pada Abu Yazid Al Busthami dan Al
Hallaj.
4. Ketentraman
Ketentraman
berarti kedamaian dan ketenangan kalbu. Demikian sufi abad ke-III H
mendefinisikan. Inilah salah satu karakteristik mereka. Kondisi tersebut
terjadi karena keadaan rohani yang tinggi yang hanya dicapai oleh orang yang
sehat secara akal-budi, kuat iman, dalam ilmu, bening ingatan, dan mapan
hakikatnya.
Ketentraman
kalbu sebagaimana menurut al Thusi dibagi ke dalam tiga bagian: pertama,
ketentraman kalbu orang awam. Yakni orang yang ketika diebut nama Allah hatinya
tentram. Kedua ketentraman kalbu golongan khusus. Yakni, ketentraman kalbu yang
dibarengi keridhaan terhadap ketentuan Allah, sabar atas bencananya, keihlasan,
ketaqwaan.
Ketiga,
ketentraman kalbu orang istimewa. Golongan ini tidak bisa tentram dengan Allah
atau bersamanya. Hal ini karena rasa pesona dan pengagungan mereka kepada
Allah. Keagungan dan kebesaran Allah membuat mereka fana dari mereka sendiri.
Hal ini membuat mereka tidak acuh kepada tindakan mereka sendiri atau segala
sesuatu karena mereka adalah milik Allah.
5. Pemakaian
Simbol dalam Ungkapan
Karakteristik
lain yang menajadi corak tasawuf abad ke-III ialah pemakaian simbol-simbol
dalam mengungkapkan hakikat realitas. Pemakaian ungkapan khusus sebagaimana
dikemukakan al Thusi untuk menyembunyikan konsep-konsepnya bagi kelompok lain
yang tidak sejalan. Selain itu dimaksudkan agar orang asing sulit memahami dan
agar rahasia mereka tidak berkembang di kalangan yang tidak patut
mengetahuinya.
Dari
sini Al Wafa memaparkan, dari ungkapan itu para sufi masa itu memiliki ungkapan
yang mempunya dua makna. Pertama makna yang bisa dipahami secara lahiriah.
Kedua, makna yang hanya bisa dipahami secara analisa dan pengkajian secara mendalam.
Bentuk ungkapan itu terkadang hanya dengan gerak bibir semata, kiasan, tanda,
gerak tubuh, dan lain-lain.
F.
Kesimpulan
Dari
pembahsan singkat mengenai tasawuf pada abad ke-III H dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Abad
ke-III H merupakan masa keemasan atau kesempurnaan tasawuf. Karena dari sana
banyak lahir tokoh-tokoh tasawuf. Namun, yang paling penting kesempuranaan ini
diukur berdasarkan konsep-konsep tasawuf yang kemudian menjadi disiplin ilmu
tasawuf yang termanifestasikan dalam karya-karya para sufi. Munculnya istilah
maqam, hal, ma’rifat, tauhid, fana, hulul, dan istilah-istilah tasawuf yang
lain yang kita kenal hari ini lahir dari rahim para sufi abad ini.
2. Tasawuf
tidak serta merta berkembang begitu saja tanpa adanya pergolakan besar yang
pada Abad ke-III H. Ini dibuktikan dengan lahirnya kelompok sufi yang dikenal
dengan sebutan ortodoks. Kelompok Sufi populer ini rata-rata dari kelompok
beraliran Syi’ah. Sedangkan kelompok ortodoks berasal dari aliran Sunni.
Kelahiran kelompok ortodoks merupakan respon atas sufi populer karena dianggap
melenceng dari gasis agama. Pergolakan tasawuf juga terjadi pada kelompok
literalis (fiqih). Hal ini bisa dilihat dari pergolakan yang terjadi pada Tokoh
Sudi Al Muhasibi, dimana dia mendapat pertentangan serius dari Ahmad bin Hambal
sebagai perwakilan dari kelompok fiqih.
3. Setiap
sufi memiliki pandangan dan konsep yang beragam mengenai tasawufnya. Misalnya
Al Muhasibi yang lebih dikenal dengan tasawuf yang lebih menekankan pada aspek
moral atau Abu Yazid Al Bustami yang dikenal menekankan kepada syariat, namun
dalam waktu bersamaan ia menampil ungkapan ganjil dan lebih cenderung pada
aliran tasawuf falsafi.
4. Banyak
sekali tema-tema perbincangan tema-tema tasawuf pada Abad ke-III H. Setidaknya
sebagaimana telah dibahas di atas meliputi lima aspek: ma’rifat, moral dan
fase-fase menuju Allah, fana, ketentraman, dan ungkapan-ungkapan ganjil para
sufi.
Daftar Pustaka
Atjeh,
Aboe Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf,
(Solo: CV Ramadani, 1984).
Anwar,
Rosihan, Akhlak Tasawuf, (Bandung:
Pustaka Setia, 2010)
Bagir,
Haidar, Buku Saku Tasawuf, (Bandung:
Mizan Pustaka, 2006).
Hamka,
Perkembangan Tasawuf dan Pemurniannya,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994).
Riyadi,
Abdul Kadir, Arkeologi Tasawuf: Melacak
Pemikiran Tasawuf, dari Al Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara, (Bandung:
Mizan, 2016).
Wafa,
Abu, Al Wafa al Ghamini al Taftazani, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, terj. Madkhal
Ila al-Tasawwuf al-Islam, (Bandung: Pustaka,1997)
Zuherni
AB, Jurnal Subtasia, Volume 13 No. 2 2011.
Masyhar,
Ali Tasawuf: Sejarah, Madzhab, dan Ajaran
Intinya, Jurnal Al A’raf Vol. XII,
No. 1, Januari – Juni 2015, IAIN Surakarta
Faizin,
Khoirul, Psikologi Moral Al Muhasibi,
Jurnal Al ‘Adalah, Volume 16 Nomor 1, Juni 2012 STAIN Jember.
[1] Abu Al Wafa al Ghamini al
Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman,
terj. Madkhal Ila al-Tasawwuf al-Islam,
(Bandung: Pustaka,1997) h. 91
[2] Ibid, h. 92.
[3] Hamka, Perkembangan Tasawuf dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1994), h. 88
[4] Ibid, h. 88
[5] Ibid, h. 88
[6] Ibid, h. 88
[7] Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf,
(Solo: CV Ramadani, 1984), h. 57
[8] Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2006), h. 100
[9] Abu Al Wafa, Ibid, h. 91
[10] Ibid, h 92.
[11] Hamka, Ibid, h. 90.
[12] Beberapa tokoh Sufi yang
disebutkan Hamka diantaranya sufi terkenal Abul Hasa Surry Assaqthi (w. 253 H).
Dikabarkan, Abul Hasan merupakan tokoh pertama yang yang mengupas Tauhid dari
sisi tasawuf dan yang mula-mula memperkenalkan istilah hakikat. Kemudian Abu
Hamzah Muhammad bin Ibrahim Ash Shifi (w. 269). Belia disebut-sebut sebagai
sufi yang memecahkan soal Isyq (kerinduan), dzikir (ingat), Jamuul Himma
(membulatkan cita-cita), Al Qurb (pendekatan), dan kata-kata lain terkenal di
kalangan sufi). Kemudian Ma’ruf Al Karakhi (w 201 H). Kemudian Abu Sulaiman Ad
Darani (w 215 H). Salah satu ajarannya bahwa cinta diantara hamba dan tuhan
hendaklah berbalasan atau tidak bertepuk sebelah tangan. Harus senantia kontak,
kalau di sini memanggil maka disana menjawab.
[13] Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,
2010), h. 166. Rosihan mencatat bahwa pada Abad ke I dan II H setidaknya sudah
ada empat aliran tasawuf yaitu: (1) Aliran Madinah dengan tokoh-tokohnya
sahabat nabi sendiri seperti Abu Bakar As-Shiddiq, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn
Affan, dan Ali Ibn Abi Thalib. Selain dari khulafaurrasyidin ada juga Abdzar Al
Ghifari (w. 22 H), Hudaifah Ibn Al Yaman (w. 38 H), Amr Ibn Yasir (w.37 H), dan
Miqdam Al-Aswad (33 H). (2) Aliran Basrah dengan tokohnya Al Hasan Al Bashry
(w. 110 H), Rabiah Al Adawiyah (w. 185 H), dan Malik Ibn Dinar (w.131 H). (3)
Aliran Kuffah dengan tokohnya Sufyan At-Tsaury (w. 161 H), Ar-Raby Ibn Khatsim
(w. 67 H), Sa’id Ibn Jubair (w 95 H) dan Thawus Ibn Kisan (w. 106 H) (4) Aliran
Mesi dengan tokohnya Salim Ibn Atar At-Tajibi (w. 75 H), Abdurrahman Ibn
Hujairah (w. 69 H), Al Laits Ibn Sa’ad (w 175), dan Abdullah Ibn Wahab (w.
197).
[14] Ibid, h. 165
[15] Abu Al Wafa, Ibid, h 95.
[16] Zuherni AB, Jurnal Subtasia, Volume 13 No. 2 2011, h. 252
[17] Salah satu rumusan
teologinya ialah Islam adalah
pengetahuan yang bersifat apriori dan simplisiter iman adalah pengetahuan
tentang Tuhan, tentang ketuhanannya yang bertempat di qalbu (hati), ma’rifat
adalah pengetahuan sejati tentang Tuhan yang berpusat dalam fuad (pusat hati),
dan pengakuan tentang keEsaan Tuhan dengan sifat-sifatnya adalah pengetahuan
tentang kesatuannya (unitasnya) yang mutlak dan tempatnya adalah sirrr (inti
qalbu). Lih. Zuherni AB, ibid, h. 253
[18] Ibid, h. 252
[19] Ibid, h. 253
[20] Ali Masyhar, Tasawuf: Sejarah, Madzhab, dan Ajaran
Intinya, Jurnal Al A’raf Vol. XII,
No. 1, Januari – Juni 2015, IAIN Surakarta
[21] Hamka, Ibid, h. 91
[22] Abul Wafa, Ibid, h. 97
[23] Khoirul Faizin, Psikologi Moral Al Muhasibi, Jurnal Al ‘Adalah,
Volume 16 Nomor 1, Juni 2012 STAIN Jember, h. 1
[24] Abdul Kadir Riyadi, Arkeologi Tasawuf: Melacak Pemikiran
Tasawuf, dari Al Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara, (Bandung: Mizan, 2016),
h. 1
[25] Ibid, h 1.
[26] Ibid, h. 1. Perlu dicatat bahwa pada masa Al Muhasibi ini, Fiqih
yang lebih awal lahir sebagai ilmu saat itu menjadi penentu diterimanya
ilmu-ilmu baru yang lahir dari rahim Islam. Al Muhasibi sendiri, menurut Abdul
Kadir, sebenarnya sudah berusaha memasukkan dimensi Fiqih dalam Tasawuf. Namun
pertentangan tidak bisa dihindari terutama ketika lahir tokoh-tokoh tasawuf
kontroversial seperti Abu Yazid Al Busthami dan Mansur Al Hallaj.
[27] Khorul Faizin, Ibid, h. 254-255
[28] Hamka, Ibid, h 97
[29] Aboe Bakar, Ibid, h. 283
[30] Hamka, Ibid, h. 97
[31] Ibid, 98.
[32] Aboe Bakar Atjeh, Ibid, h. 264
[33] Hamka, Ibid, h. 108
[34] Hamka, Ibid, h. 109
[35] Ibid, h. 102.
[36] Ibid, h. 94.
[37] Ibid, h. 94
[38] Ibid, h.94
[39] Aboe Bakar Atjeh, Ibid, h. 283.
[40] Al Wafa, Ibid, h. 96-139
No comments:
Post a Comment