Pembahasan
mengenai “Kebenaran” dan “metode” yang diusung oleh Hans-Georg Gadamer akan
benar-benar memeberikan satu kontribusi penting dalam pengembangan ilmu
pengetahuan jika kita mampu menerapkannya dengan apik. Kenyataan yang ada
selama ini, anggapan tentang sebuah kebenaran adalah jika hasil pencarian
terhadap ilmu pengetahun sesuai dengan metode yang ada.
Namun berbeda dengan
pembahasan gadamer dalam karya monomentalnya itu. Gadamer menganggap bahwa
untuk mendapatkan sebuah kebenaran, seseorang harus bisa keluar dari cengkraman
sebuah metode. Seseorang disini diharapkan agar bisa meleburkan diri kedalam
proses dialektis. Gadamer menganggap, kadangkala, sebuah metode justru
menghalangi seseorang untuk mendapatkan sebuah kebenaran. Hal inilah yang
banyak ditemui dalam dunia modern. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
memaksa manusia untuk selalu tunduk terhadap metode-metode yang ada. Padahal, sejalan
dengan berkembangnya pengetahuan pula, metode itu semakin tidak menemukan
kesesuaian. Dengan kata lain, suatu metode membutuhkan pula perubahan karena
telah mengalami ketidak cocokan dengan realitas yang ada.
Gadamer
menganggap bahwa pernyataan ilmu modern yang memiliki posisi dominan dalam
penjelasan dan pembenaran filosofis terhadap pengetahuan dan kosep kebenaran
sebagai suatu pernyataan yang tidak sohih. Fenomena pemahaman tidak hanya
mencakup semua hubungan manusia dengan lingkungannya. Ia juga memiliki kebenaran
sendiri dalam ilmu pengetahuan dan mempertahankan setiap usaha untuk
mengubahnya kedalam sebuah metode ilmu pengetahuan.[1]
Gadamer memandang
bahwa proses dilektika dan penafsiran memiliki peran penting dalam menemukan
sebuah ilmu pengetahuan. Namun demikian dalam proses dilektika dan penafsiran
terhadap satu teks seseorang tidak boleh tidak harus memiliki empat hal: Pertama, bildung. Bildung adalah pembentukan jalan pikiran.
Dalam proses pemahaman atau penafsiran, jika seseorang membaca sebuah teks,
maka seluruh pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut akan ikut berperan.
Dengan demikian, penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan,
usia, dan tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam kontek
pembacaan terhadap teks kitab suci (Al qur’an atau Hadits), tida heran jika
para fuqoha’ seperti imam hanafi, maliki, hambali dan syafi’ie memiliki
pemahaman yang berbeda. Salah satunya, dapat kita lihat dalam pemahaman mereka dalam
menentukan rukun wudhu.
Dalam proses penafsiran, bildung sangat penting. Sebab,
tanpa bildung, orang tidak akan dapat memahami ilmu-ilmu tentang hidup atau
ilmu-ilmu kemanusiaan. Singkatnya, orang tidak dapat menginterpretasi ilmu-ilmu
tersebut dengan caranya sendiri. Dalam proses bildung ini tidak ada sesuatu (tradisi)
yang dihilangkan, tetapi segala sesuatu dipertahankan.
Bildung Lebih menggambarkan hasil dari pada proses. Disini
perubahan itu sangat jelas karena hasil dari bildung tidak dicapai dengan cara
melakukan konstruksi teknis, tapi tumbuh dari proses pembentukan dan pemahaman
batin.[2]
Kedua, sensus communis atau pertimbangan praktis yang baik
atau pandangan yang mendasari komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek
sosial atau pergaulan sosial. Para filsuf zaman dulu menyebutnya dengan
“kebijaksanaan”. Istilah mudahnya adalah “suara hati”. Misalnya, sejarawan
sangat memerlukan sensus communis untuk memahami latar belakang yang mendasari
pola sikap manusia. sensus communis adalah akar dangkal dari panca indera luar,
yaitu kemampuan untuk menggabungkan panca indera, yang membuat pertimbangan tentang apa yang
diberikan, sebuah kemampuan yang diberikan terhadap semua manusia. Adalah
perasaan tentang yang benar dan kebaikan umum yang ditemukan pada semua
manusia, sebuah perasaan yang diperoleh melalui kehidupan di dalam komunitas
dan ditentukan oleh struktur dan tujuan-tujuannya. Satu hal yang utama adalah
bahwa sensus communis jelas tidak berarti kemampuan umum pada semua manusia,
tetapi pemahaman yang menemukan komunitas. Menurut Vico, sesuatu yang
memberikan arah pada kehendak manusia bukanlah
keumuman akal budi absatrak tetapi keumuman konkret yang merepresentasikan
komunita dari sebuah kelompok, masyarakat, bangsa, atau seluruh ras manusia.[3]
Ketiga, pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-hal yang
khusus atas dasar pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan
sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan. Faktor ini memang
sulit untuk dipelajari dan diajarkan. Faktor ini hanya dapat dilakukan sesuai
dengan kasus-kasus yang ada. Faktor ini menjadi pembeda antara orang pintar dan
orang bodoh. Orang bodoh yang miskin pertimbangan tidak dapat menghimpun
kembali apa yang telah dipelajari dan diketahuinya sehingga ia tidak dapat
mempergunakan hal-hal tersebut dengan benar. Pertimbangan hanya diperoleh melalui
praktek dari satu masalah ke masalah lain, dan ini leboh condong kepada
pengasahan kemampuan daripada perasaan. Akal sehat dalam pertimbangan dijadikan
patokan untuk memilih mana yang benar dan mana yang salah, yang tepat dan yang
tidak tepat, yang ia buat. Dalam pertimbanagn kalau melihat sesuatu dilihat
dari sudut pandang yang baik dan masuk akal.
Keempat, taste atau selera, yaitu sikap subjektif yang
berhubungan dengan macam-macam rasa atau keseimbangan antara insting pancaindra
dan kebebasan intelektual. Gadamer
menyamakan selera dengan rasa. Dalam operasionalnya, selera tidak memakai
pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas sesuatu, kita
tidak tahu penyebabnya. Selera adalah sebuah kemampuan
Intelektual dalam melakukan diferensiasi. Namun demikian, meskipun selera
berjalan secara subjektif, tidak berarti ia menyerahkan secara buta pada
nilai-nilai popular dan memilih model-model dan hanya menirunya. Selera, dalam
hal ini area slera estetik, model dan pola memiliki fungsi masing-masing.[4]
Referensi:
No comments:
Post a Comment