Oleh: Miftahul
Arifin
NIM:
104111029
Pendahuluan
Setiap
agama memiliki pedoman untuk mengatur seluruh
aspek kehidupan pemeluknya. Pedoman itu tak lain adalah kitab suci yang diyakini kebenaran dan sakralitasnya. Dengan kata
lain, kitab suci merupakan pedoman utama yang menjadi landasan pemeluk agama
melakukan aktivitas, baik aktivitas yang berhubungan dengan tuhan (ubudiyah)
atau aktifitas yang berhubungan dengan sesama
manusia (muamalah). Semuanya diatur dalam kitab suci tersebut. Para
pemeluk agama meyakini bahwa kitab suci yang dimiliki bukan merupakan karangan
manusia atau seorang tokoh dalam agama tersebut. Sebuah kitab suci diyakini
sebagai wahyu tuhan yang diturunkan dari langit yang bertujuan menciptakan
manusia dapat hidup dengan benar.
Al
Qur’an adalah kitab suci bagi umat islam.Umat islam meyakini bahwa Al Qur’an
adalah kitab penuntun yang mengatur segala aktifitas umat. Maka, segala sesuatu
yang dilaksanakan oleh umat islam, tidak boleh tidak harus sesuai dengan apa
yang terdapat di dalam Al Qur’an. Jika, tidak, maka ia akan dianggap telah
keluar dari aturan-aturan yang ditentukan oleh tuhan.
Demikian
pula umat bagi agama lain seperti umat Hindu. Umat Hindu juga menyakini bahwa
kitab Veda lah sumber kebenaran yang
murni. Veda juga diyakini sebagai kitab suci yang diturunkan oleh tuhan kepada
seluruh umat manusia untuk menuntuh hidupnya.
Jika
demikian, dimanakah kitab yang paling benar? Wallahu ‘alam. Hanya tuhan lah
yang mengetahui hakikat kebenaran itu. Kita, sebagai manusia, hanya berusaha
untuk selalu mencapai, atau paling tidak mendekati, kebenaran yang dimaksudkan
oleh tuhan.
Dalam
tulisan ini, Analisa perbandingan Antara
Al Qur’an dan Veda, penulis tidak bermaksud untuk mencari kebenaran, kesalahan
atau celah yang ada dalam kedua kitab tersebut. Sebagai umat islam, penulis
menyakini dengan sepenuh hati bahwa Al Qur’an merupakan kitab yang paling benar
bagi penulis. Namun, demikian dalam perbandingan ini penulis akan berusaha
bersikap netral dan objektif. Sehingga, dapat diketahui letak perbedaan dan
persamaan antara keduanya. Maka, dalam tulisan ini, penulis hanya ingin
membanding kan antara keduanya.
Namun
demikian, karena luasnya pembahasan mengenai kedua kitab tersebut, penulis
hanya akan membatasinya pada tiga pokok persoalan; kitab Veda dan Al Qur’an
sebagai pedoman hidup yang berkembang, bagaimanakah proses pewahyuan keduanya,
dan akan bahas pula nama-nama lain dalam
kedua kitab tersebut.
Sebagai
refresh untuk menuju suatu analisa yang membandingkan antara keduanya,
akan diuraikan terlebih dahulu hal ihwal
mengenai kedua kita tersebut. Selamat membaca.
A. Kitab Al Quran
1.
Pengertian
Al
Qur’an adalah Allah yang bernilai mukjizat yang diturunkan kepada pungkasan
para nabi dan Rosul dengan perantaraan malaikat jibril a.s yang tertulis pada mushahif.
Diriwayatkan kepada kita dengan mutawatir. Membacanya bernilai ibadah. Diawali
dengan surat Al Fatihah dan ditutup dengan surat An-nas.[1]
Al
Qur’an merupakan kitab pedoman bagi umat manusia, baik hubunganya secara
vertikal dengan Allah maupun hubungan secara horizontal, sesame manusia.
Bagi umat islam, Al Qur’an adalah wahyu tuhan yang diyakini kebenarnnya
dan tidak ada satupun manusia yang dapat membuat semisal Al Qur’an. Sebagaimana
dijelaskan dalam salah satu ayat dalam Al qur’an surat bahwa sekalipun seluruh
makhluk di muka bumi dikumpulkan dan disuruh membuat semisal Al Qur’an nisacaya
ia tidak akan mampu membuatnya.
Allah
berfirman dala
surat Al isra’ ayat 88:
قل لئن اجتمعت الانس
و الجن على ان يأ توا بمثل هذ القران لا يأ تون بمثله ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا. (الأسرء:
88)
2.
Kedudukan
Al Qur’an
Kedudukan
Al Qur’an bagi umat islam sangat tinggi. Ia merupakan petunjuk yang menuntun
hidup manusia, baik hubungannya dengan tuhan maupun sesame manusia.
Yusuf
Al Qardawi menjelaskan, sedikitnya ada 7 tema-tema utama yang terdapat dalam Al
Qur’an.[2].
pertama, meluruskan aqidah dan kepercayaan. Kedua, menetapkan kemuliaan manusia
dan hak-haknya. Ketiga, menyembah Allah SWT. Dan bertaqwa kepadanya. Keempat,
membersihkan jiwa manusia. Kelima, membentuk keluarga dan berlaku adil kepada
kaum wanita. Keenam, membentuk umat yang menjadi saksi bagi manusia. Ketujuh,
mengajak membangun alam manusia yang saling menolong. Dengan kata lain, Al
Qu’an yang terdiri dari 30 jus itu memiliki kandungan makna yang lengkap dan
tak akan pernah habis sekalipun manusia berulang-ulang telah menggalinya. Hal
inilah yang menjadi alasan mengapa Al Qur’an disebut sebagai kitab sohih
likulli zaman wa makan.
Kedudukan
Al Qur’an bagi umat islam ialah sebagai sumber utama yang mengatur segala
aktifitas manusia. Ia adalah sumber utama hukum-hukum yang menjelaskan yang hak
dan yang batil. Sehingga apapun yang di lakukan umat islam harus sesuai dengan
isyarat-isyarat yang ada di dalamnya. Maka, seandainya ada hal-hal yang
seolah-olah bertentangan dengan Al Qur’an, baik itu datangnya dari hadis Nabi
atau sunnah sahabat atau sunnah orang muslim, yang harus didahulukan adalah Al
Qur’an. Hal itu mutlak karena taka da kebenaran yang lebih sempurna kecuali
kebenaran yang diajarkan Al Qur’an.
3.
Cara Al
Qur’an diturunkan
Sebagaimana
banyak dijelaskan dalam buku-buku ulumul Qur’an, bahwa secara garis besar Al
Qur’an diturunkan melaui dua tahap. Pertama, dari lauh al-Mahfuzh ke langit
dunia secara keseluruhan. Kedua, dari langit dunia kepada nabi Muhammad secara
terpisah. Sejarah telah mencatat bahwa proses pewahyuan Al qur’an secara
bertahap kepada Nabi Muhammad selama 23 tahun.
Imam
Suyuti menyebutkan bahwa Imam Qurthubi menukil sebuah hikayat ijmak atas
turunnya Al Qur’an secara keseluruhan dari lauh al-mahfuzd ke langit dunia. Hal
ini sebagai pertanda khusus perkara al Qur’an dan perihal rosul yang hendak
menerimanya dan sekaligus memberikan pengumuman kepada penduduk langit tujuh
bahwa Al Qur’an merupakan kitab terakhir yang diturunkan kepada nabi terakhir
untuk umat yang termulia.[3]
Sementara
turunnya Al Quran berangsur-angsur, sebagaimana dikatakan Syekh Muhammad Ali
Asa-Shabuni dalam bukunya Ikhtisar ulumul Qur’an Praktis sebagai
berikut:[4]
1.
Mengukuhkan hati Nabi
dalam menghadapi ulah orang-orang musyrik yang menyakitkan.
2.
Sebagai kasih saying
kepada nabi ketika turunnya wahyu.
3.
Sebagai tahapan ketika
mensyariatkan hokum-hukum syamawiyyah
4.
Memudahkan untuk
menghafal dan memahami Al Qur’an bagi kaum muslimin
5.
Sebagai petunjuk bagi
kepada dzat yang mengeluarkan Al Qur’an. Serta sesungguhnya ia diturunkan oleh
Allah yang maha bijaksana.
6.
Sebagai argumentasi
berbagai peristiwa dan kejadian dan sebagai peringatan ketika itu.
Penyampaian
Al Qur’an kepada nabi Muhammad beraneka ragam. Secara garis besar ada dua
macam.[5]
Pertama, melaui perantara, yaitu malaikat jibril as. Kedua, tanpa perantara.
1.
Penurunan Wahyu dengan Perantara.
Malaikat
jibril adalah utusan Allah yang secara khusus bertugas menyampaikan wahyu Allah
kepada para Rosul. Ada dua cara penyampain wahyu melalui malaikat jibril.
Pertama, datang kepadanya seperti gemerincing lonceng dan suara yang amat kuat.
Yang mempengaruhi factor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala
kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini dipandang paling berat dalam
proses penururnan wahyu. Apabila wahyu turun dengan cara ini, maka nabi
mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya.[6]
Kedua,
malaikat menjelma sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara ini
lebih ringan dari pada cara yang pertama karena danya kesesuaian antara si
pembicara dan si pendengar. Rasul merasa
senang sekali mendengarkan dari utusan pembawa wahyu itu, karena seperti
manusia yang berhadapan yang berhadapan dengan saudaranya.[7]
Keadaan
jibril menampakkan diri seperti seorang laki-laki tidak lah mengharuskan ia
melepaskan sifat kerohaniannya. Tetapi yang dimaksudkan ialah bahwa ia
menampakkan diri dalam bentuk manusia untuk menyenangkan Rosulullah sebagai manusia.[8]
Ketika
wahyu turun nabi selalu mengkonsentrasikan untuk menghafalnya. Beliau sering
mengulang membacanya bersama jibril dalam mempelajari Al Qur’an karena beliau
merasa khawatir kalau-kalau ada yang terlupa atau hilang. Allah pun
memerintahkan Nabi untuk mendengarkan baik-baik bila jibril membacakannya.[9]
2.
Penurunan wahyu tanpa
perantara
Penyampaian
wahyu tanpa melalui perantara ialah dengan mimpi yang benar-benar dalam keadaan
tidur. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh aisyah dikatakan bahwa
sesungguhnya apa yang telah terjadi kepada nabi adalah benar-benar mimpi dalam
waktu tidur. Beliau tidak melihat mimpi kecuali bagaikan terangnya pagi hari.[10]
Hal
tersebut merupakan persiapan bagi Rosul untuk menerima wahyu dalam keadaan
sadar, kecuali bagi orang yang mendakwakan bahwa surah kausar diturunkan
melalui mimpi karena ada satu hadis yang menjelaskan itu.[11]
Demikian
pula menurut pendapat yang paling sah, Allah pun telah berbicara secara
langsung kepada Rosul. Seperti pada malam isra’ mi’raj. Yang demikian ini
merupakan bagian kedua dari penyampain wahyu secara langsung oleh Allah. Tetapi
hal ini tidak terjadi pada proses penyampain Al Qur’an, tetapi terjadi pada
Nabi Musa as.[12]
Adapun
penurunan wahyu kepada jibril sebagaimana dijelaskan oleh Ali As Shabuny dalam
buku At-Tibyaan Fii Ulumil Qur’an ialah dengan cara diperdengarkan
kepada jibril. Ia mendengarkan ayat-ayat Allah kemudian disampaikan kepada
Rosulullah.
Makna
Inna Anzalnaahu Fii Lailatil qadri ialah “sesungguhnya kami telah
memperdengarkan dan memberikan pengertian kepada malaikat tentang Al Qur’an dan
kami menurunkannya apa yang telah mereka dengar”[13]
4.
Nama-nama
Al Qur’an
Al
Qur’an adalah kitab samawi yang tinggi dan luhur. Ia adalah kitab samawi yang
paling mulia yang diturunkan secara khusus kepada nabi penutup akhir zaman.
Karenanya, dinamai lah kitab samawi itu dengan Al Qur’an, Al Furqan, At-Tanzil,
Adz-Dzikir, Al Kitab. Penamaan tersebut bukan tanpa alasan, tetapi dengan
alasan-alasan tertentu sebagai berikut:[14]
1.
Alasan diberi nama Al
Qur’an ialah karena banyak terdapat dalam ayat-ayat. Misal, surat dalam surat
Qaaf ayat 1 yang artinya:
“Qaaf. Demi Al Qur’an yang
sangat mulia.”
Dalam surat Al Isra’ ayat 9
juga disebutkan.
Artinya: “Sesungguhnya Al
Qur’an ini memberi petunjuk pada jalan yang amat lurus”
2.
Alasan Al Qur’an diberi
nama Al Furqan juga dijelaskan dalam beberapa ayat di dalamnya seperti pada
surat Al Furqan ayat 1:
Artinya:” Mahasuci Allah
yang telah menurunkan Al Fur’qan kepada hambanya, agar dia menjadi pemberi
peringatan kepada seluruh alam”
3.
Alasan Al Qur’an diberi
nama At Tanzil tertera dalam surat Asy-Syu’ara’ ayat 192-193:
Artinya:”dan sesungguhnya
At-Tanzil ini (Al Qur’an ini) benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,
ia dibawa turun oleh Ar-ruh Al Amin (Jibril as.)”
4.
Alasan Al Qur’an diberi
nama Adz-Zikir tertera dalam surat Al Hijr ayat 9:
Artinya:”Sesungguhnya
kamilah yang menurunkan Adz-Zikir (Al Qur’an) dan sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya”
5.
Sedangkan pemberian nama
Al Kitab tertera dalam surat Ad-dukhan ayat 1-3:
Artinya:”Haa
miim. Demi kitab (Al-Qur’an) yang menjelaskan. Sesungguhnya kami menurunkannya
pada suatu malam yang diberkahi”
5.
Bahasa
Al Qur’an
Bahasa
Al Qur’an secara khusus adalah bahasa arab. tidak disebut Al Qur’an jika telah
tidak berbahasa arab meskipun hal tersebut merupakan salinan dari makna Al
Qura’an dalam bahasa arab. Hal ini disebabkan karena bahasa dalam al Qur’an
merupakan bagian dari wahyu itu sendiri. namun perlu di ingat, bahwa bahasa
arab dalam Al qur’antidak lah sama dengan bahasa orang-orang arab ketika Al
Qur’an itu turun. Bahasa Arab dalam Al Qur’an adalah bahasa khusus. Lebih
tepatnya bahasa Al Qur’an.
Sebagaimana
diketahui dalam sejarah peradaban islam, banyak para ahli yang telah menekuni
ilmu bahasa dengan beragam variasi. Mereka mengubah puisi dan prosa, kata-kata
bijak dan masal yang tunduk pada aturan bayan dan diekspresikan dalam
uslub-uslubnya yang memukau.[15] Namun,
dihadapan Al Qur’an ia menjadi
pecahan-pecahan kecil yang tunduk menghormat dan takut kepada uslub Al Qur’an.[16]
Sejarah
juga telah menyaksikan, ahli bahasa telah terjun ke dalam medan festifal bahasa
dan mereka memperoleh kemenagan. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang
mengalahi Al Qur’an.[17] Dengan
kata lain, kebahasaan dalam Al Qur’an adalah bagian dari Al Qur’an sediri. Oleh
karena itu, jika Al Qur’an telah diterjemahkan kedalam bahasa yang lain maka
tidak disebut Al Qur’an. Hal ini juga untuk menghindari campur tangan orang
islam sendiri. karena Allah sudah berjanji bahwa Dia Sendirilah yang akan
memelihara dan menjaga Al Qur’an.
انا نحن نز لنا الذ كر و انا له لحافظون (الحجر: 14)
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Al
Qur’an dan kami lah yang akan menjaganya”
A. Kitab Veda
1.
Pengertian
Veda
merupakan kitab suci dari agama Brahma/ hindu. Veda bermakana pengetahuan (knowlwdge).
Dari rumpun akar kata yang sama makna dapat di saksikan perkembangan kata
tersebut sebagai berikut: vedo (old slavonic), veit (old norse), videre
(latin), oida, (grik), woit (gothik), Weiss (jerman), dan wot
(inggris).[18]
I
Made Titib, dalam buku Veda, Sabda Suci pedoman praktis Kehidupan, menjabarkan
definisi Veda secara simantik. Secara simantik, Veda berarti
“pengetahuan suci”, “kebenaran sejati”, “pengetahuan tentang ritual”,
“kebijaksanaan tertinggi”, “pengetahuan ritual sejati tentang kebenaran abadi”,
dan ajaran suci atau kitab suci sumber ajaran agama Hindu.
Maharsi
Sayana mengatakan, kata Veda yang berasal dari akar kata Vid, yang
berarti untuk mengetahui, veda memiliki pengertian sebagai kitab suci yang
mengandung ajaran yang luhur untuk menuntun menuju kehidupan yang baik dan
menghindarinya dari berbagai bentuk kejahatan.[19]
Veda
terdiri dari empat Samitha (himpunan):
1.
Rig-veda, berisikan 1028
buah nyanyian keagamaan (hymns) terdiri atas 10.600 bait dan terpandang sebagai
himpunan paling tua diantara himpunan lainnya.
2.
Sama-Veda, berisikan
kumpulan nada bunyi-bunyian bagi mengiringi nyanyian keagamaan di dalam
rig-veda.
3.
Yajur Veda, berisikan
kumpulan nyanyian keagamaan beserta pengaturan upacara kebaktian.
4.
Atharva-Veda. Ia
dipandang sebagai samitha paling belakangan. Ia berisikan himpunan
mantra-mantra, guna-guna, nyanyian-nyanyian perkawinan yang disertai
pembahasan-pembahsan filosofis dan teologis.[20]
Pada
mulanya veda bukan merupakan kumpulan tertulis. Tetapi, berabad-abad lamanaya,
merupakan ajaran-ajaran yang terpandang suci, bersifat nyanyian kegamaan dan
diwariskan secara turun temurun, secara hafalan di luar kepala (oral veda).
Penulisan dilakukan sekitar pada abad ke-5 sebelum masehi.[21]
Pada
mulanya, kaum terpelajar tidak menerima terhadap Atharva veda sebagai
bagian dari kitab suci. Karena, mereka menganggap telah ada campur tangan dari
penyalin-penyalinnya. Tiga samhita yang diakui itu dikenal dengan sebutan
sruti.[22]
2.
Kedudukan
1. Sumber
Ajaran Agama Hindu
Sebagai
kitab suci agama hindu, ajaran veda diyakini sebagai satu-satunya sumber
bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari atau untuk
waktu waktu tertentu. Ia diyakini sebagai kitab suci karena sifat isinya dan
yang menurunkan adalah tuhan yang maha esa yang disebut dengan apauruseya. Apapun
yang diturunkan sebagai ajarannya kepada umat manusia adalah ajaran suci,
terlebih lagi bahwa isinya memberikan petunjuk-petunjuk atau ajaran-ajaran
untuk hidup suci.[23]
Dalam
kitab Veda mengalir ajaran yang merupakan kebenaran bagi agama hindu.
Veda menuntun tindakan umat sejak lahir sampai ia meninggal. Demikian pula,
ajaran veda tidak terbatas hanya sebagai tuntunan bagi individu. Melainkan juga hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[24]
Umat hindu menyakini
kebenaran yang datang dari kitab veda. Svami Sivanda, seorang yogi besar
menyatakan bahwa Veda Merupakan kitab tertua dari perpustakaan umat
manusia. Veda diwahyukan pada permulaan adanya pengertian waktu.[25]
2. Wahyu
Tuhan Yang Maha Esa
Sepertinya halnya setiap
agama lain, umat hindu menyakini veda sebagai wahyu yang diturnkan oleh
tuhan. Orang-hindu menyebutnya dengan sruti,
yaitu yang didengar. Veda sebagai kumpulan sabda berasal dari apauruseya
yang berarti bukan manusia. Para penerima wahyu dalam agama Hindu berfungsi
hanya sebagai sarana dari tuhan untuk menyampaikan kepada umat manusia.[26] Dalam
tradisi kuno, penyampaian wahyu kepada umat manusia dilakukan dengan tradisi
lisan melalui sebuah perguruan yang disebut “parampara”.[27]
Orang yang diutus
sebagai penyampai wahyu dari tuhan dilihat dari kesucian pribadinya. Dalam
agama hindu, orang tersebut disebut dengan Rsi. Rsi berasal dari kata drs yang
artinya “melihat atau memandang”.[28]
3.
Veda sebagai sumber hukum
bersifat memaksa
Adanya
banyak dalil dalam kitab veda yang menerangkan bahwa veda sebagai sumber hokum
dari agama hindu bersifat memaksa dan mutlak. Diantaranya sebagaimana
disebutkan dalam Manavadharmasastra II.2. sebagai berikut:
Kamatmata na prasasta na
caivehasya kamata, kamyo hi nedadhigamah karmayogasca vaidikah.
Artinya:
“berbuat hanya karena nafsu untuk meperoleh pahala tidaklah terpuji, namun
berbuat tanpa keinginan akan pahala tidak dapat kita jumpai di dunia ini karena
keinginan-keinginan itu bersumber dari mempelajari veda dank arena itu, setiap
perbuatan diatur oleh veda”
Manavadharmasastra
II.5 juga menyebutkan,
Tesu Samyang varttamano
gacchatya maralokatam
Yatha
samkalpitamsceha sarvan Kaman samasnute
Artinya:
“ketahuilah bahwa ia selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diatur
dengan cara yang benar, mencapai tingkat kebebasan yang sempurna kelak dan
memperoleh semua keinginan yang mungkin ia inginkan”
Disebutkan
pula dalam manavadharmasastra II.11,
Yo ‘vamanyeta te mule hetu
sastrasrayad dvijah, sa sadhubir bahiskaryo nastiko vedan indakah.
Artinya:
“setiap dvijati yang menggantikan dengan lembaga dialektika dan dengan
memandang rendah kedua sumber hokum (sruti-smrti) harus dijauhkan dari
orang-orang bajik sebagai seorang atheis dan yang menentang veda”
Masih
banyak pasal-pasal yang menekankan pentingnya veda, baik sebagai ilmu maupun
sebagai alat didalam membina masyarakat. Oleh karena itu berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut penghayatan veda sangat penting karena kan
bermanfaat bukan saja pada orag tersebut. Tetapi, juga kepada orang yang akan dibinanya.
4.
Cara
Pewahyuan
Karena
Veda, sebagaimana keyakinan umat hindu,
merupakan wahyu tuhan yang disampaikan kepada umat manusia, maka veda
sebagaimana kitab-kitab agama lain tentu saja memiliki ciri-ciri tersendiri
dalam proses pewahyuannya. Veda diturunkan oleh oleh Brahma sebagai dewa SABDA
kepada seorang Maharsi.
Sebenarnya
tidak ada satu uraian tepat bagaimana wahyu itu diturunkan kecuali melaui
penafsiran atau keterangan tak langsung dari berbagi ulasan yang dapat dihimpun
dari berbagai waktu. Perlunya menjelaskan hal tersebut karena veda adalah kitab
agama hindu yang tidak dapat dibantah lagi kebenarannya. Status veda sebagai
wahyu tuhan menjadi kewajaran bagi kita untuk mengetahui proses wahyu itu
diturunkan.[29]
Gede
Pudja dalam buku Pengantar agama Hindu menjelaskan bahwa ada 4 cara
wahyu itu disampaikan kepada para nabi (Maharsi) sebagai berikut:[30]
1.
Wahyu yang disampaikan
kepada maharsi dengan cara dimasukkan langsung ke dalam pikiran dan hatinya. Kata-kata itu memberi
kesan dan membentuk rupa atau keadaan yang kemudian menemukan bentuknya
berkembang dalam pikiran.
2.
Dewa memperlihatkan
dirinya dalam bentuk manusia biasa. Hal ini sebagaimana ditafsirkan dalam
uraian kitab purana. Wahyu itu membentuk kesannya dengan melalui contoh atau
perintah langsung yang dilakukan oleh para dewa. Ajaran dewa inilah yang
akhirnya dibukukan sebagai sabda tuhan (sabda Dewata, Daivi Vak).
3.
Wahyu turun seperti
gamang lonceng. Gema itu membentuk rupa yang dalam aksar dikenal dengan OMKARA
atau SVARA NADA. Suara nada ini merupakan gemerincingnya suara yang melahirkan
kata-kata yang memberi petunjuk mengenai arti dan makna suara itu sendiri.
demikian, cara ini di dianggap sebagai cara paling sulit dalam ilmu dank arena
ini pula dianggap sebagai paling rahasia.
4.
Para dewa memperlihatkan
dirinya kedalam bentuk yang mulia. Kejadian ini agak berbeda dengan proses yang
disebut dalam uraian nomer 2 di atas. Penggambaran turunnya wahyu melaui ini,
hanya dilukiskan sebagai manusia secara empiris secara langsung berhadapan
dengan Dewa yang akan menyampaikan pesan-pesannya kepada si penerima wahyu.
I
Made Titib juga menjelaskan dengan uraian yang sama namun ada beberapa bagian
yang sedikit berbeda.[31]
Pertama, Svaranada. Svaranada adalah gema yang diterima Rsi. Gema
tersebut kemudian berubah menjadi sabda atau wahyu tuhan. Wahyu itu kemudian
disampaikan kepada para siswa yang ada di dalam asrama (pasraman).
Kedua,
Upanisad, yaitu dimasukinya pikiran rsi oleh sabda Brahman sehingga pikiran
itu berfungsi sebagai sarana yang menghubungkan tuhan dengan para siswa. Sabda
guru adalah sabda Brahman yang disampaikan dalam suasana pendidikan. Dalam
praktiknya, para siswa duduk dekat dibawah guru untuk menerima ajarannya.
Ketiga,
Darsana atau Darsanam. Yaitu, Rsi atau orang suci berhadapan dengan
deva-deva. Seperti halnya arjuna yang berhadapan dengan Deva Indra atau Siva
dalam satu pandangan ghaib dengan mata rohani.
Ke
empat, Avatara. Yakni, Manusia berhadapan dengan Avataranya, seperti
halnya arjuna meneriman wejangan suci Bhagavadgita dari Sri Krisna, sang
purna Avatara.
5. Nama-Nama Lain Dari kitab Veda
Imade
Titib dalam bukunya Veda, Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan
menjelaskan ada 5 nama-nama lain dari kitab suci Veda sebagai berikut:
1.
Kitab Sruti. Kitab
Sruti menunjukkan bahwa isi kitab itu merupakan Wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang
diterima oleh para Maharsi. Seorang maharsi disebut Mantradastrai yang
artinya kerena kesucian diri pribadinya mampu merekam sabda tuhan yang disebut Apauruseya,
atau tuhan yang maha esa yang bukan berwujud manusia.
2.
Kitan Cetur Veda. Nama
dimaksudkan untuk menujukkan bahwa veda merupakan himpunan dari Rgveda,
yajut veda, sama veda dan atharvaveda. Tiga yang pertama diyakini
umurnya lebih tua.
3.
Kitab Rahasya. Kata
Rahasya artinya bahwa veda mengandung ajaran yang bersifat rahasia yakni ajaran
moksa atau kelepasan. Ajaran veda meliputi ajaran ketuhanan serta penciptaan
alam semesta yang penuh misteri dan selalu menjadi pertanyaan serta usaha untuk
bersatu dengannya merupakan tujuan tertinggi agama hindu.
4.
Kitab Agama.
Kitab agama menunjukkan bahwa kebenaran veda adalah mutlak dan harus diyakini
kebenarannya. Kata agama merupakan satu istilah pramana yaitu tiga cara untuk
menentukan kebenaran sesuatu, yaitu agama pramana, anumana pramana, dan
pratyaksa pramana yang masing-masing berarti kebenaran yang disampaikan oleh
orang-orang suci yang sangat diyakini kesucian pribadinya, kebenaran yang
berdasarkan pertimbangan analisis yang sistematis dan kebenaran berdasarkan
pengamatan.
5. Kitab
Mantra. Kitab mantra adalah nama lain dari kitab veda. Nama ii diberikan
karena veda memang berbentuk mantra atau puisi syair yang dapat dilagukan.
Mantra artinya ucapan yang keluar dari pikiran dan pikiran merupakan saluran
membentuk rupa atau wujud yang dapat dibayangkan. Seluruh kita sruti syairnya
pada umumnya disebut mantra meliputi kitab Samhita, Brahma, Aranyaka,
dan kitab-kitab Uppanisad. Diluar kitab-kitab itu, syair-syairnya
disebut sloka.
6.
Bahasa Veda
Bahasa
Veda adalah bahasa yang digunakan oleh masayarakat di tempat waktu veda itu
diturunkan. Dengan demikian, bahasa veda adalah bahasa sanskerta. Bahasa ini
tetap digunakan sampai perkembangan susastra.[32]
Istilah atau nama sansekerta sebagai nama bahasa ini dipopulerkan oleh seorang
maharsi yang bernama Panini. Ketika itu ia mencoba menulis sebuah kitab tata
bahasa yang sansekerta yang terdiri dari 8 Adhyaya (dalam bahasa
Indonesia Bab) yang lebih popular dengan Astadhhyayi yang mencoba
mengemukakan bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa deva-deva atau bahasa
devata.[33]
Selanjutnya
dalam perkembangannnya yang sangat pesat para ahli kemudian membedakan bahasa
sang sekerta menjadi 3 kelompok:
1.
Bahasa Sanskerta Veda (vedic
Sanskrit); bahasa sanskerta yang digunakan dalam veda yang umumnya jauh
lebih tua dibandingkan dengan bahasa sanskerta yang digunakan dalam berbagai
susastra hindu seperti purana, dan lainnya.
2.
Bahasa Sanskerta Klasik
(classical sankrit); bahasa sanskerta yang digunanakan dalam
susastra hindu seperti itihasa (Ramayana dan mahabhrata).
3.
Bahasa
Sanskerta campuran (Hybrida Sankrit);para ahli menyebut bahasa ini
dengan bahasa sanskerta kepulauan atau bahasa yang digunakan ditanah air. Kedua
bahasa ini tidak murni lagi seperti duan bahasa di atas karena sudah mendapat
pengaruh dari bahasa yang berkembang pada waktu itu.
Menurut
Imade Titib, dalam mempelajari veda dan susastra dalam hindu seseorang tidak
akan sempurna pemahamannya kecuali mengetahui bahasa sanskerta. Bagi hindu di
Indonesia, diperlukan juga memahami jawa
kono dan Bali.
B.
Al
Qur’an dan Veda: Sebuah Analisis Perbandingan
1.
Wahyu Tuhan Yang Selalu
Berkembang
Sebagai
kitab suci sebuah agama, Al Qur’an dan veda memiliki beberapa kesamaan
karakteristik. Secara sederhana, baik Al Qu’an atau pun Veda, keduanya
merupakan kitab suci yang dirunkan oleh tuhan yang maha esa, yang diperuntukkan
bagi umatnya dan di turunkan melaui para utusanya. Kalau dalam Islam utusan itu
disebut Nabi, sementara dalam agama hindu lebih dikenal dengan sebutan Rsi atau
maharsi. Nabi dan rsi diutus oleh tuhan untuk menyapaikan ajaran kepada
manusia. Antara Al Qur’an dan Veda, kuduanya, diyakini sebagai penuntun hidup
umat yang akan membawa keselamatan di dunia dan di akhirat. Ia tidak lekang
karena zaman karena ajarannya selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan.
Sebagaimana
dikemukan oleh I Made Titib, memahami kitab suci Veda, bagi umat Hindu, adalah
mutlak. Sebab, Veda merupakan wahyu tuhan dan sumber ajaran dan sumber hukum
agama Hindu. Dari Veda semua ajaran Hindu mengalir dan memberikan vitalitas
kepada umatnya. Dengan memahami Veda kita akan lebih mudah melihat perkembangan
agama Hindu selanjutnya. Ajaran Veda sesuai dengan sifatnya Anadi-ananta dan
Sanatana yakni, tidak berawal, tidak berakhir dan bersifat abadi, maka
ajaran Veda senantiasa relevan dengan lerkembangan zaman.[34]
Hal
ini jelas, sesuai dengan bunyi Rgveda VI. 24. 7:
Na
yam jaranti sarado na masa,
Na
dyava Indram avakarsayanti
“Tuhan yang maha Esa tidak menjadikan dia tua,
bulan dan demikian pula hari”
Umur
manusia boleh saja tua, tetapi ajaran suci veda seantiasa diikuti oleh
generasi-generasi berikutnya membuktikan bahwa veda tetap relevan sepanjang
zaman. Pada masa silam kitab Ramayana dan Mahabraharta telah lama
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno (Mangjawaken Valmikimata dan Vyasamata),
demikian pula kitab purana. Sayangnya, hanya satu purana berbahsa jawa kuna
yakni, Brahmanda Purana yang kita warisi. Sementara kitab Ramayana
(kakawin berbahasa jawa kuna) telah di susun pada abad ke VIII-IX di jawa
tengah, pada zaman dynasti Samjaya, sedang Mahabhrata pada zaman Dharmavamsa
Teguh di jawa timur dan tradisi penyususnan karya sastra ini berlangsung
terus hingga jaman Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu Nusantara terbesar
di Indonesia.[35]
Demikian
pula Al Qura’an. Sebagaimana telah banyak dijelaskan oleh para tokoh-tokoh
islam. Al Qur’an adalah kitab universal. Universalitas kandungan Al Qur’an
berimplikasi bahwa ia adalah kitab yang dapat menjawab segala tantangan zaman.
Tak hanya itu, ajaran dalam Al Qur’an sesuai dengan realitas sosial dimana Al
Qu’an itu diajarkan. Makanya, mayoritas umat islam menyebutnya dengan “sohiihun
lii kulli zaman wa makan”
Al
Qur’an bukanlah kitab yang diturunkan hanya untuk umat-umat terdahulu di zaman
nabi, tetapi untuk orang-orang dimasa mendatang. prinsip-prinsip universal Al
Qu’an bisa dijadikan pijakan untuk menjawab tantangan zaman yang bersifat
temporal dan particular.[36]
Problem-problem sosial keagamaan di era kontemporer akan dijawab oleh Al Qur’an
dengan cara melakukan kontekstualisasi penafsiran secara terus menerus.[37]
Makna
Universalitas Al Qur’an juga menunjukkan bahwa Al Qur’an tidak terbatas kepada
satu umat, atau kelompok tertentu. Pembicaraan Al Qur’an ditunjukkan, baik
kepada orang muslim maupun bukan muslim, termasuk orang kafir, musyrik, ahli
kitab yahudi dan nasrani.[38]
Lebih
jelas Al qur’an menyebutkan dalam surat Ali Imran Ayat 64 sebagai berikut:
Artinya: “Katakanlah hai Ahli kitab, marilah
pada suatu hari kiamat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu. Bahwa
tidak kami sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu
pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan
selain dari pada Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:
“saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada
Allah).”
Selain
itu, persaman Al Qur’an dengan Veda tanpak dalam beberapa hal yakni, proses penerimaan
wahyu tuhan dan nama-nama dalam kedua kitab tersebut.
2.
Sistem Pewahyuan
Dalam
proses penerimaan wahyu, Al Qur’an dan Veda juga memiliki bebrapa kesamaan.
Misal, wahyu diturunkan kepada nabi Muhammad seperti gemerincing lonceng dan
suara yang amat kuat. Dalam pewahyuan veda juga disebutkan demikian. Dalam
prosesnya, gamang lonceng atau Gema itu membentuk rupa yang dalam aksar dikenal
dengan OMKARA atau SVARA NADA. Suara nada ini merupakan gemerincingnya suara
yang melahirkan kata-kata yang memberi petunjuk mengenai arti dan makna suara
itu sendiri. demikian, cara ini di dianggap sebagai cara paling sulit dalam
ilmu dan karena ini pula dianggap sebagai paling rahasia. Dalam pewahyuan Al Qur’an,
cara ini dipandang paling sulit dan berat oleh Nabi. Sehingga, Apabila wahyu
turun dengan cara ini, maka nabi mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya
untuk menerima, menghafal dan memahaminya.
Selain
itu, dalam proses pewahyuan si penyampai wahyu merubah wujud seperti manusia. Baik
Hindu maupun islam mengakui proses pewahyuan yang demikian. Tetapi, di sini,
ada sedikit perbedaan. Jika di dalam islam yang merubah wujud adalah malaikat
jibril sebagai makhluk yang diutus oleh tuhan, maka di dalam pewahyuan Veda Rsi
atau orang suci berhadapan dengan deva-deva laiknya arjuna yang berhadapan
dengan Deva Indra atau Siva dalam satu pandangan ghaib dengan mata rohani.
Sebagaimana
ditafsirkan dalam uraian kitab purana, Wahyu itu membentuk kesannya dengan melalui
contoh atau perintah langsung yang dilakukan oleh para dewa.
Dalam
proses pewahyuan Veda juga, bahwa wahyu yang disampaikan kepada maharsi dengan
cara dimasukkan langsung ke dalam
pikiran dan hatinya. Kata-kata itu memberi kesan dan membentuk rupa atau
keadaan yang kemudian menemukan bentuknya berkembang dalam pikiran.
Dalam
islam pewahyuan yang demikian juga terjadi pada nabi. Dijelaskan oleh Manna
Khalil Al-Qattan, bahwa wahyu diturunkan ketika Nabi dalam keadaan sadar.[39] Hal
ini didasarkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh anas dalam sahih
Muslim.
“Ketika
Rasulullah s.a.w pada suatu hari berada berada di antara kami di dalam masjid,
tiba-tiba ia mendengkur, lalu mengankat kepala belia dalam keadaan tersenyum.
Aku tanyakan kepadanya: ‘apakah yang menyebabkan engkau tertawa wahai
Rasulullah?’ Ia menjawab: ‘Tadi aku telah turunn kepadaku sebuah surat.”
Mungkin
dalam keadaan mendengkur inilah, menurut Manna Khali al Qattan, keadaan yang dialami ketika wahyu turun.[40] Dalam
kedaan seperti ini, menurut penulis, turunnya wahyu dengan cara dimasukkan
secara langsung kedalam pikiran Nabi.
3.
Nama-nama Kitab
Tidak
hanya Al Qur’an, Veda juga memiliki banyak nama. Sebagaimana telah dikemukakan
dalam pembahasan di atas, veda memiliki nama-nama antara lain sruti, Cetur
Veda, Rahasya, kitab Agama dan mantra. Al Qu’an, dengan beberapa alasan juga telah
disebutkan nama-namanya antara lain, Al Furqan, Adz- Dzikr, At Tanzil dan Al
Kitab. Dengan kata lain, Al Qur’an dan veda tak terbatas hanya pada satu nama.
Melainkan ada beberapa nama sebagai penyebut lain selain kedua kitab tersebut.
Namun,
meski demikian, terdapat perbedaan antara keduanya. Jika nama-nama dalam Al Qu’an
secara mutlak didasarkan pada dalil-dalil yang terdapat dalam Al Quran, maka
pemberian nama-nama veda didasarkan pada esesnsi atau maksud dari kitab
tersebut. Misal, pemberian nama Kitab Rahasya. Pemberian nama ini
didasarkan kepada bahwa Veda mengandung ajaran yang bersifat rahasia yakni
ajaran moksa atau kelepasan.
Tetapi
sebagian ulama dalam islam, juga telah menafsiri bahwa pemberian nama-nama
terhadap Al Qur’an juga tidak lepas dengan esensi Al Qur’an sendiri. seperti
penamaan Al Qur’an dengan At-Tanzil yang artinya turun. Di sini tidak lepas
dari alasan bahwa sesunggunya al Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh tuhan
kepada Nabi Muhammad. Demikian Pula Adz-Dzikr yang berarti mengingat. Bahwa Al
Qur’an turun kemuka bumi sebagi peringatan bagi umat manusia.
Dengan
demikian, persoalan nama dalam kedua kitab, Al Qur’an dan veda memiliki
kesamaan dalam beberapa prosesnyaa memiliki perbedaan.
4.
Bahasa Kitab
Tidak
dijumpai persamaan antara bahasa Veda yang menggunakan bahasa sansekerta dengan
bahasa Al Quran yang menggunakan bahasa arab kecuali keduanya merupakan bahasa
kitab yang disampaikan sesuai dengan kitab itu diturunkan untuk memberikan
pemahaman bagi manusia, umat. Bahasa Al Qur’an diturunkan dengan menggunakan
bahasa arab karena Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad yang notabennya
adalah bangsa arab.
Allah
berfirman dalam surat Yusuf ayat 2 sebagai berikut:
انا انزلنا ه قرانا
عر بيا. (يوسف: 2)
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan
Al qur’an dengan berbahasa arab”.
Ayat
di atas memberi satu pengertian bahwa bahasa arab merupakan bahasa Al Qur’an.
Artinya, jika bahasa Al Qur’an sudah diterjemahkan kedalam bahasa yang lain,
maka ia tak dapa t disebut Al Qur’an. Melainkan, ia disebut dengan terjemahan
Al Qur’an.
Tetapi
perlu ditegaskan kembali, meskipun bahasa Al Qur’an menggunakan bahasa arab,
bahasa arab dalam Al Qur’an tidak bisa disamakan dengan bahasa arabnya
orang-orang arab pada waktu itu. Bahasa yang digunakan Al Quran adalah bahasa
khusus. Ia adalah bahasa wahyu.
Dalam
Veda, sebagaimana dikatakan oleh I Made Titib, bahwa bahasa Veda adalah bahasa
masyarakat dimana ia diturunkan. Dalam hal ini, veda menggunakan bahasa
sanskerta.
Berbeda
dengan Al Qur’an. Pada perkembangannya, Veda mengalami perkembangan dalam kebahasaan.
Seperti yang telah dijelaskan di muka, Veda terbagi kedalam tiga bahasa. Sementara
Al Qur’an tetap memposisikan diri seperti semula. Tak ada sedikitpun perubahan,
baik dari jumlah ayat, surat, huruf terlebih bahasa yang digunakan.
Jika
bahasa sebuah kitab mengikuti bahasa dimana agama itu berkembang, maka akan
berimplikasi sangat besar bagi kitab itu sendiri. seperti yang juga telah
terjadi pada kitab veda. Ada dua jenis bahasa Sanskerta, yakni Hybrida
dan Archipelago, yang telah mendapat campuran bahasa yang berkembang ketika
itu. Misal, di India bahasa Sanskerta mendapat pengaruh bahasa Bengali di
bagian timur dan bahasa Tamil di bagian selatan. Sedangkan di masa lampau, di
Indonesia, bahasa Sanskerta sudah
bercampur dengan unsur-unsur bahasa Nusantara.[41] Al
Qur’an tidak mengambil pengembangan itu pada tataran kebahasaan, melainkan pada
pemahaman isi kandungan teks-teks Al Qur’an itu sendiri.
Kesimpulan
Dari
beberapa penjabara di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan; pertama,
sebagai kitab suci, baik Veda maupun Al Qur’an, memilki kedudukan yang mulia
bagi pemeluknya. Ia adalah penuntun kehidupan umat. Umat Hindu meyakini bahwa
kitab Veda adalah kitab universal yang tidak lekang dengan zaman. demikian pula
Al Qur’an. Kedudukan Al Qur’an sebagai kitab sohiihun lii kulli zaman wa
makaan diyakini sebagai kitab yang dapat memperbaiki kehidupan manusia,
masyarakat, bangsa dan Negara, dimana pun dan kapan pun.
Kedua,
dalam konsep pewahyuan. Ketika seorang rsi atau nabi menerima wahyu tuhan, ia
selalu dihadapkan pada proses yang berbeda terutama sampainya wahyu kepada
utusan tuhan.
Ketiga,
bahasa. Tuhan maha mengetahui dan memahami. Makanya pun, ketika wahyu itu
diturunkan, Dia selalu memberikan yang termudah bagi manusia agar wahyu
tersebut dapat diterima dan dipahami dengan baik. Baik Al Qur’an maupun veda
diturunkan dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa masyarakat
dimana kitab itu diturunkan.
Akhirnya,
tak ada gading yang tak retak. Tulisan singkat ini tidak akan menjadi sempurna
kecuali mendapat saran-saran dari pembaca sebagai modal perbaikan bagi tulisan
selanjutnya. Mohon maaf atas segala kekeliruan. Trima kasih atas segala
perhatian.
Daftar
Bacaan
Ali, Muhammad Ash-Shabuny, Ikhtisar Ulumul Qur’an
Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001)
Ali, Muhammad Ash-Shabuny, Pengantar Studi Al Qur’an,
terj, (Bandung: Al Ma’arif, 1987)
Amanah St, Pengantar
Ilmu Al Qur’an dan Tafsir, (CV. Adhi Grafika: Semarang, 1993)
Al Qardawi Yusuf, Berinteraksi dengan Al Qur’an,
terj., (Jakarta: Gema Insani press, 1999)
Joesoef, Agama-Agama
Besar Di Dunia, (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1996)
Khalil Manna al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an, terj,
(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011)
Mustaqim Abdul, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta:
LKiS, 2011)
Pudja Puja, Pengantar agama Hindu III, (Surabaya:
Paramita, 1998)
Titib,
I Made, Veda: Sabda Suci pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita,
1998)
[1] Syekh Ali Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar
Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hal. 3
[2]
Yusuf Al Qardawi, Berinteraksi
dengan Al Qur’an, terj., (Jakarta: Gema Insani press, 1999), hal. 107-169.
[3]
Syekh Ali Muhammad Ali Ash-Shabuni,
Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hal. 45
[5]
Manna Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-ilmu Al Qur’an, terj, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), hal.
44
No comments:
Post a Comment