Oleh Miftahu Arifin
A.
Pendahuluan
Islam adalah agama yang memperjuangkan hak-hak
kemanusiaan. Al Qur’an sebagai kitab suci dari agama islam berisikan petunjuk
dan pedoman-pedoman bagaimana manusia hidup, baik hubungannya dengan tuhan
maupun sesama manusia. Dalam konteks kemanusiaan ajaran al qur’an tidak tidak
terbatas. Ia memberikan petunjuk bagaimana manusia hidup bermasyarakat dan
memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari. Sehingga dapat dikatakan, permasalahan-permasalahan kemanusiaan, apapun itu bisa dicarikan jawabannya dalam islam. Lantas bagaimana islam berbicara kemiskinan?
sehari. Sehingga dapat dikatakan, permasalahan-permasalahan kemanusiaan, apapun itu bisa dicarikan jawabannya dalam islam. Lantas bagaimana islam berbicara kemiskinan?
Disisi lain memang, Al Qur’an menyebut
nabi-nabi, sebagaimana dikemukakan oleh pemikir Islam Ali Syariati berasal dari
kalangan masyarakat biasa, bahwa mereka bukan bagian dari kelompok yang mapan
atau pemimpin yang berkuasa (Kecuali Nabi Daud dan Nabi Sulaiman).[1]
Dengan tegas Al Qur’an menyebutkan, “Dialah yang mengutus diantara orang-orang
yang buta huruf seorang rosul dari kalangan mereka sendiri” (62:2). Dengan,
demikian, sebenarnya Al Qur’an berdiri di pihak golongan masyarakat yang lemah.
Terutama ketika berhadapan dengan para penindas. Al Qur’an juga menegur
orang-orang yang tidak mau menolong mereka yang teraniaya.[2]
Asghrar Engineer dalam kata pengantar
buku Islam dan Teologi Pembebasan mengatakan, bahwa kedatangan
islam merupakan sebuah revolusi yang selama berabad-abad telah berperan
secara signifikan dalam panggung sejarah kehidupan manusia. Namun, demikian,
setelah Nabi wafat terjadi perebutan kekuasaan yang berorientasi pada
kepentingan pribadi. Dari sini,
banyak sekali orang-orang yang menginginkan status quo yang menyebabkan
islam kehilangan kekuatan revolusionernya. Semenjak itulah perhatian umat
tercurah pada masalah-masalah teologi. Dalam
hal ini, teologi islam yang sebenarnya sangat dekat dengan keadilan sosial,
mulai mengalihkan perhatiannya pada masalah eskatologi dan masalah yang
bersifat duniawi.
Satu hal
yang patut dicermati yaitu bahwa, pada
dasarnya, kemunculan suatu teologi tertentu senantiasa terkait dengan upaya merespon
permasalahan umat yang terjadi pada saat itu. Latar belakang sosial, politik,
dan budaya memiliki faktor penting dalam memahami pertumbuhan dan perkembangan
teologi Islam. Teologi Islam tidak berhenti sampai di tangan al-Ghazali.[3]
Kini di tangan para cendekiawan muslim teologi Islam dihadapkan pada problem
sosial yang baru, misal pluralism, kemiskinan dan masalah-masalah sosial baru
yang lain.
Jika pada masa Al Asy’ari hingga Al
Ghazali teologi hanya dipandang sebagai pengetahuan tentang ketuhanan, maka
para cendikiawan muslim saat ini menginginkan teologi dapat menjawab tantangan
umat islam yang hadir belakangan.
Karena masalah yang muncul amat beragam,
maka dalam makalah yang singkat ini penulis hanya akan membatasi pada masalah masyrarakat
miskin dimana pada faktanya mereka selalu diposisikan sebagai kaum tertindas.
Penulis ingin mengetahui lebih jauh bagaimana sesungguhnya islam berbicara kaum
miskin sebagai kaum yang lemah dan tertindas, baik secara kontek historis
maupun pernyataan tegas yang terdapat dalam Al Qur’an.
B.
Paradigma Teologi Islam
Agama sebagai doktrin dan nilai
memberikan pengaruh besar terhadap masyarakat.[4]
Pemahaman keagamaan masyarakat akan memberi warna tersendiri bagi kehidupan
sosialnya. Hal ini juga diakui oleh para pemikir seperti Robert N. Bellah dan
Jose Casanova. Mereka mengakui pentingnya peran agama dalam kehidupan sosial
politik masyarakat dunia. Agama bukan hanya pelengkap tetapi menjadi salah satu
komponen penting yang cukup berpengaruh didalam berbagai proses globalisasi.
Karena itu, maka perlu kiranya kita memahami sejauh mana posisi agama dalam
merespon berbagai persoalan kemasyarakatan.[5]
Dalam menjawab tantangan globalisasi
terhadap masyarakat masyarakat miskin yang tertindas di Indonesia, Mansour
Fakih membagi paradigma umat islam di Indonesia menjadi empat bagian:[6]
1.
Pradigma Tradisionalis
Paradigma Tradisionalis percaya bahwa
permasalahan kemiskinan kaum tertindas adalah ketentuan dan rencana tuhan.
Mereka meyakini bahwa hanya tuhan yang maha tahu apa arti dan hikmah dibalik ketentuan
tersebut. Mereka tidak tahu tentang gambaran besar sekenario tuhan dari
perjalanan panjang umat manusia. Masalah kemiskinan sering kali adalah “ujian”
atas keimanan.
Akar teologi ini bersumber dari teologi
tradisional yang sering dikenal dengan golongan Ahlussunnah. Sebagaimana
dicatat dalam sejarah tologi islam, ia merupakan aliran tertua yang bersumber
dari pemikiran abu Hasan Al Asy’ari.
2. Paradigma Medernis
Pemikiran kaum medernis tentang
kemiskinan dan keterbelakangan kaum tertindas, sepaham dengan pemikiran
modernisasi sekuler. Mereka percaya bahwa masalah yang dihadapi kaum tertindas
berakar pada persoalan “karena ada yang salah dari sikap mental, budaya ataupun
teologi mereka”. Mereka menyerang teologi sunni yang dijuliki sebagai kaum
fatalistik.
Pemikiran ini berakar pada pemikiran
para reformis islam sebelumnya seperti para teolog mu’tazilah dan gerakan
neo-Mu’tazilah seperti Muhammad Abduh di Mesir atau Mustafa Kamal di Attarurk
Turki. Di Indonesia pernah mempengaruhi pemikiran Muhammadiyah.
3. Paradigma revivalis
Pemikiran revivalis melihat bahwa baik
factor internal maupun factor eksternal sebagai persoalan kemiskinan dan
ketebelakangan kaum tertindas. Bagi mereka, kemiskinan kaum tertindas lebih
disebabkan karena semakin banyaknya kaum tertindas terutama umat islam yang
justru mamakai idiologi lain atau isme lain sebagai dasar pijakan dari pada
menggunakan Al Qur’an sebagai acuan dasar. Mereka berkeyakinan bahwa
sesungguhnya al qur’an telah komplit dalam mengatur seluruh aspek kehidupan.
4. Paradigma
Transformatif
Paradigma ini merupakan paradigma
alternative terhadap ketiga paragigma di atas. Mereka mempercayai bahwa
kemiskinan kaum tertindas disebabkan oleh adanya sistem dan struktur ekonomi,
politik dan kultur yang tidak adil, yang hanya menguntungkan sebagian kecil
umat manusia. Oleh karena itu agenda mereka adalah melakukan transformasi
terhadap struktur melalui penciptaan relasi yang secara fundamental baru dan
lebih adil dalam bidang ekonomi, politik dan kultur.
Bagi kalangan ini, pemihakan terhadap
kaum tertindas diilhami oleh semangat Al Qur’an dan sunnah Nabi, tetapi juga
hasil dari analisa kritis terhadap struktur yang ada. Islam bagi mereka
dipahami sebagai agama pembebasan terhadap kaum tertindas.
C.
Islam Dan Tantangan Kemiskinan
Jika agama hendak menciptakan kesalehan
sosial dan menghindarkan diri dari hanya sekedar menjadi pelipur lara dan
tempat berkeluh kesah, agama harus mentransformasikan diri menjadi alat yang
canggih untuk melakukan perubahan sosial, menjadi sebuah agen yang secara aktif
melakuan perubahan terhadap tatatanan sosial yang telah usang yang dengan
sendirinya telah memiliki mekanisme sosial-legal dan politik ekonomi yang
digunakan untuk mempertahankan hak-hak dan kekuasaan “kasta yang tinggi” dan
kelas atas.[7]
Karena sebenarnya, meskipun teologi
berasal dari teks skriptual yang diwahyukan oleh Tuhan, sebagian bersifat situasional-konteksual
dan normatif-metafisis. Ruhnya yang militan tampak ketika teologi tetap
mengidentifikasikan dirinya dengan kaum tertindas. Namun, karakter
metafisis-spekulatif akan terlihat semakin menonjol manakala teologi
mengidentifikasikan dirinya dengan kemapanan yang kemudian bersatu dengan
gerakan keagamaan.[8]
Menurut Asghar Ali Engineer, diskusi
ihwal islam dan tantang kemiskinan sangat menarik manakala kita telah memahami
pendekatan yang dipakai Al Qur’an dalam membahas masalah tertentu yang
berkaitan dengan hal tersebut. Adapun pendekatan yang dipakai oleh Al Qur’an
ialah dengan menggambarkan para penguasa, pemimpin dan meraka yang di atas
sebagai orang mustakbirin (sombong, mabuk kekuasaan) dengan menyebut
rakyat jelata dengan mustadafiin (lemah dan tertindas). Nabi-nabi selalu
berasal dari golongan orang yang lemah dan berjuang demi membebaskan mereka
dari cengkraman para penindas. Bagaimana kita tahu nabi Musa. Dia melawan
fir’un yang kuat demi membebaskan bangsa Israel yang tertindas. Bagaimana kita
lihat nabi Nuh yang ditolak oleh pemuka masyarakat ketika menyebarkan
dakwahnya.[9]
Dan banyak nanbi-nabi yang lain yang mendapat tantangan keras ketika
menyebarkan dakwahnya termasuk nabi sang penutup, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Peristiwa sejarah yang dikupas oleh al
Qur’an di atas dapat kita jadikan kiasan. Bahwa ketertindasan bukanlah
merupakan takdir tuhan yang jika dinginkan perubahan hanya dengan menerima
takdir semata tanpa ada gerakan dan upaya untuk menghindarinya. Secara tidak
langsung, tuhan, melaui nabinya, menginginkan manusia menjadi makhluk yang
aktif. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan teologi yang dianut oleh faham
jabariyah yang memercayakan segalanya kepada tuhan. Kaum jabariah berkeyakinan
bahwa segala sesuatu yang terjadi pada dirinya merupakan kehendak dan perbuatan
tuhan.
Al Qur’an dengan jelas dan tanpa
ragu-ragu berdiri dipihak golongan masyarakat lemah dalam menghadapi para
penindas. Teologi Qur’ani tidak hanya dengan keras mengecam eksploitasi, arogansi
kekuasaan dan penindasan terhadap kaum lemah. Namun, juga, memerintahkan kepada
orang-orang yang beriman untuk memerangi orang jahat demi menyelamatkan mereka
yang tertindas.[10]
Rosul membenci kemiskinan dan
kelaparan. Hadis yang diriwayatkan oleh Nissi menyebutkan, “Ya tuhan, aku
berlindung kepadamu dari kemiskinan, kekurangan dan kehinaan, dan aku
berlindung kepadamu dari keadaan teraniaya dan perilaku aniaya terhadap orang
lain”.[11]
Yang perlu dicermati dari hadits di atas, setelah mereka kaum lemah bebas dari
ketertindasan, maka mereka juga berlidung dari menjadi seorang penindas.
Ibaratnya, lupa daratan.
D.
Dakwah: Alat Transformasi Sosial
Transformasi bagi kaum tertindas
merupakan suatu proses secara fundamental untuk menciptakan hubungan yang baru
dan lebih baik. Dengan batasan seperti ini, maka sesungguhnya keseluruhan
proses transformasi itu bagi teologi kaum tertindas merupakan proses dakwah.[12]
Menurut Mansour Fakih, dakwah dalam pengertian dasarnya adalah “ajakan” dan
kata dakwah senantiasa dihundungkan dengan kata “dengan bijaksana”. Hal ini
menunjukkan bahwa sesungguhnya dakwah merupakan perintah Allah kepada manusia
untuk melakukan transformasi sosial demi kepentingan manusia sendiri dan
menjadi hak manusia untuk merekonstruksinya[13].
Karena struktur masyarakat senantiasa
berubah dan berkembang, maka intuisi, metodologi, dan pendekatan dalam dakwah
juga harus berkembang. Itulah relevansinya mengapa dakwah harus dilakukan
secara bijaksana.[14]
Dalam sebuah hadits rosulullah bersabda: “sesungguhnya aku diutus kedunia
adalah untuk menyempurnakan akhlak”
Akhlak dalam konteks transformasi
berarti menciptakan hubungan antar manusia, alam dan manusia serta manusia
dengan tuhan yang secara fundamental baru dan lebih baik. Sementara dalam
konteks structural dan simantik harus diartikan sebagai struktur ekonomi,
politik, budaya, gender dan alam yang tidak dominative, tidak eksploitatif dan
tidak menindas. Dengan kerangka seperti itu, maka semua aksi kegiatan
untuk mengupayakan terjadinya proses
perubahan menuju penciptaan kearah dunia yang secara mendasar baru dan lebih
baik, juga harus dipahami sebagai ibadah.[15]
Ada dua tawaran dari Mansour Fakih yang
harus diberikan kepada kaum tertindas.[16]
Pertama, membangun kesadaran
kritis mereka. Kesadaran disini tidak berarti kesadaran yang dibentuk oleh
kepercayaan magis. Melainkan kesadaran kritis yang selalu melihat sistem dan
struktur sebagai sumber masalah. Kedua, melakukan advokasi kebijakan
publik. Advokasi lebih merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk
mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara
bertahap dan maju.
E.
Penutup: Kesimpulan
Dari beberapa pemhasan diatas, kita
dapat menarik beberapa hal sebagai berikut;
1.
Pada dasarnya Al Qur’an memihak kepada orang yang lemah
terutama ketika ia ditindas oleh orang-orang mustakbirin, para penguasa
yang sombong.
2.
Sejarah kenabian dalam islam dapat dijadikan sebagai
inspirasi dan pegangan bahwasanya ketertindasan itu memang harus dilawan.
3.
Perlunya penyuluhan teologi baru bagi fakir miskin yang
tertindas. Teologi yang lama hanya telah menjadikan mereka tidak bertindak
aktif dalam menghidari kemiskinan dan ketertindasan.
4.
Sebagai cendikiawan dan orang-prang islam yang faham
realitas ini, maka perlunya memberikan pemahaman baru kepada mereka.
Sumber Bacaan
Engineer,
Asghar Ali, Islam Dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000)
Tasmin,
Teologi Kaum Tertindas,Kajian Atas Pemikiran Mansour Fakih (Kediri-Jawa
Timur: STAIN Press, 2009)
Sang
Profesor.htm
[1] Asghar Ali Engineer, Islam Dan
Teologi Pembebasan, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2000), hal. 90
[2] Ibid hal. 91
[3] Sang Profesor.htm
[4] Tasmin, Teologi Kaum Tertindas, (STAIN
Press: Kediri-Jawa Timur, 2009), hal. 111
[5] Ibid, hal. 111-112
[6] Ibid hal. 112-128
[7] Asghar, hal. 89
[8] Ibid. hal. 90
[9] Ibid. hal. 90-91
[10] Ibid. hal. 92
[11] Ibid hal. 99
[12] Tasmin,,,hal. 153 diambil dari pendapat
Mansour Fakih.
[13] Ibid
[14] Ibid, hal. 154
[15] ibid
[16] Ibid hal. 160-165
No comments:
Post a Comment