Oleh Lestari Arum PutriMahasiswa Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang
Pendahuluan
Seperti yang kita ketahui, tanpa perlu melakukan penilitian
yang seksama, kita dapat melihat bahwa perempuan selama ini hanya memainkan
peran sosial ekonomi apalagi politik yang kecil kalau dibandingkan dengan
laki-laki. Sebaliknya peran domestik perempuan lebih menonjol. Tentu dalam
kasus-kasus individual tertentu tetap ada pegecualian, seperti Cory Aquino yang
pernah menjadi presiden Filipina, dan dalam dunia Islam sendiri Benazir Butho
dari Pakistan. Apa sebab laki-laki dominan dalam peran-peran publik, sementara
perempuan lebih banyak memainkan peran domestik di rumah tangga?[1]
Salah satu sebab mengapa laki-laki dominan dalam peran
publik sementara perempuan lebih banyak memainkan peran domestik di rumah
tangga menurut Ali Asghar Engineer adalah domestikasi perempuan itu memang berangkat
dari asumsi teologis bahwa perempun memang diciptakan lebih rendah dari
laki-laki sehingga sepantasnya laki-laki mendominasi kehidupan mereka. Dominasi
peran laki-laki itu dibenarkan leh norma-norma kitab suci yang ditafsirkan oleh
laki-laki untuk mengekalkan dominasi mereka. Termasuk Al-Qur’an yang secara
komparatif bersikap liberal dalam perlakuannya terhadap perempuan.[2]
Tidak ada metode penafsiran Al-Qur’an yang benar-benar
objektif. Setiap mufassir menetapkan beberapa pilihan subjektif. Uraian tafsir
mereka sebagian mencerminkan pilihan subjektif itu dan tidak selalu
mencerminkan maksud dari teks yang mereka tafsirkan.[3]
Karena itu, arti penting analisis tentang konsep Al-Qur’an
tentang perempuan harus diukur dari perspektif Al-Qur’an sendiri baik sebagai
kekuatan dalam sejarah, politik, bahasa, budaya, kecedekiawanan, dan
spiritualitas, maupun kitab suci umat manusia.[4]
Dalam makalah ini akan dibahas tentang pendekatan gender
dalam kajian tafsir. Bagaimana Al-Qur’an memandang perempuan serta feminisme
sendiri dalam kajian tafsir. Semoga bermanfaat.
Rumusan Masalah
- Apakah pengertian istilah gender?
- Bagaimana dinamika dan kelahiran gerakan feminisme?
- Bagaimana pandangan para feminis Muslim tentang ayat-ayat tentang perempuan yang menjadi tema-tema kajian?
- Bagaimana metode analisis gender dalam tafsir gender?
Pembahasan
- Pengertian Gender
Kata gender secara etimologi berasal dari bahasa Inggris, gender
yang berarti jenis kelamin.[5]Pengertian
ini lebih menekankan hubungan laki-laki dan perempuan secara anatomis. Dalam Webster’s
New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Definisi ini
lebih menekankan aspek kultural dibandingkan pemaknaan secara anatomis. Di
dalam Women’s Studies Encyclopedia
dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan dalam peran, perilaku, mentalitas, dan karakter emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[6]
Agar memudahkan dalam memberikan pegertian gender tersebut,
pengertian gender dibedakan dengan pengertian seks (Jenis Kelamin). Pengertian
jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia
yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu,
dengan (alat) tanda-tanda tertentu pula. Alat-alat tersebut selalu melekat pada
manusia selamanya, tidak dapat dipertukarkan, bersifat permanen, dan dapat
dikenali semenjak manusia lahir. Itulah yang disebut dengan ketentuan Tuhan
atau kodrat. Dari sini melahirkan istilah identitas jenis kelamin.[7]
Gender melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan,
dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan itu dikenal
lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, jantan perkasa. Ciri dari sifat itu merupakan sifat-sifat yang
dimiliki oleh kedua belah pihak. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah
lembut, dan keibuan. Sementara itu juga, ada perempuan yang kuat, rasional dan
perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu
dan dari tempat ke tempat yang lain. Dari sini melahirkan istilah identitas
gender.[8]
2. Dinamika gender dan kelahiran gerakan feminisme
Perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan
terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan
struktur di mana telah terjadi deskriminasi terhadap kaum perempuan dalam sistem
tersebut. Dalam konvensi penghapusan segala bentuk deskriminasi terhadap
perempuan telah dirumuskan pengertian deskriminasi.Deskriminasi terhadap
perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas
dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
mengahapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan HAM dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang plitik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau
apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka,
atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.[9]
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk
ketidakadilan, misalnya, yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi,
subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan
stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja
lebih panjang dan lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.[10]
Dengan demikian,
telah terjadi pergeseran relasi gender. Gender yang semula merupakan
interaksi sosial yang setara antara laki-laki dan perempuan bergeser menjadi
hegemoni laki-laki terhadap perempuan. Dalam proses historis yang panjang,
hegemoni laki-laki atas perempuan telah memperoleh legitimasi dari nilai-nilai
sossial, agama, hukum , dan sebagainya. Hegemoni ini tersosialisasi secara
turun temurun, dari generasi ke generasi. Secara sosiologis, masyarakat
patriarkal terbentuk dari pergeseran relasi gender tersebut. Laki-laki diposisikan
berkuasa tehadap perempuan di berbagai sektor kehidupan. Secara tradisional
manusia di berbagai belahan dunia menata diri atau tertata dalam bangunan
masyarakat patriarkal. Kondisi ini menggugah kesadaran perempuan untuk
mengambil hak-hak kemanusiaannya. Perjuangan untuk sebuah kesetaraan gender
telah melahirkan gerakan feminisme.[11]
Pada umumnya orang berprasangka bahwa Feminisme adalah
gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial
yang ada. Persoalannya feminisme itu sendiri, seperti juga aliran pemikiran dan
gerakan lainnya, bukan merupakan suatu pemikiran atau aliran yang tunggal,
melainkan terdiri atas pelbagai ideologi, paradigma serta teori yang dipakai
oleh mereka masing-masing. Meskipun datang dengan analisis dan dari idelogi
yang berbeda-beda, umumnya mereka memiliki kesamaan kepedulian, yakni
memperjuangkan nasib kaum perempuan.[12]
Pandangan para feminis Muslim tentang ayat-ayat tentang
perempuan yang menjadi tema-tema kajian:
1. Konsep Penciptaan Manusia
Dalam tradisi Islam dikenal dan diyakini empat macam cara
penciptaan mansuia: (1) Diciptakan dari tanah( penciptaan Nabi Adam AS); (2)
Diciptakan dari (tulang rusuk) Adam ( penciptaan Hawa); (3) Diciptakan melalui
seorang ibu dengan proses kehamilan tanpa ayah, baik secara hukum maupun secara
biologis ( penciptaan Nabi ‘Isa AS), dan (4) Diciptakan melalui kehamilan
dengan adanya ayah secara biologis dan hukum, atau minimal secara biologis
semata (penciptaan manusia selain Adam, Hawa, dan ‘Isa).[13]
Ayat-ayat yang dijadikan rujukan untuk keempat macam cara
penciptaan manusia diatas antara lain adalah:
....................................................................................................................................
Ketiga surat diatas menunjukkan penciptaan manusia pertama
dari tanah. Sedangkan untuk proses penciptaan Hawa adalah surat Al-A’raf 189
dan Az-Zumar 6. Untuk penciptaan ‘Isa dijelaskan dalam surat Maryam 19-22, dan
yang menerangkan tentang proses reproduksi manusia lewat rahim ibu terdapat
dalam surat Al-Mukminun 12-14.[14]
Berbeda dengan ketiga macam caara penciptaanya yang lain, ayat-ayat
tentang penciptaan Hawa tidak menyebutkan secara jelas dan terperinci mekanisme
penciptaan Hawa. Dalam ketiga ayat tersebut hanya disebutkan bahwa dari
padanya(nafs wahidah-Adam) Dia menciptakan istrinya (Zaujaha-Hawa). Redaksi
seperti itu sangat potensial untuk ditafsirkan secara kontroversial. [15]
Kata nafs digunakan secara umum dan teknis. Walaupun seara
umum kata ini diterjemahkan sebagai diri dan jamaknya anfus sebagai diri-diri,
namin Al-Qur’an tidak pernah menggunakannya untuk menunjuk pada diri makhluk
selain manusia. Secara teknis, kata nafs
dalam Al-Qur’an merujuk pada asal semua manusia secara umum. Meskipun manusia
berkembang biak di muaka bumi dan membentuk bermacam-macam negara, suku, dan bangsa
yang berlainan bahasa dan warna kulit, namun mereka semua berasal dari sumber
yang sama. [16]
Secara gramatikal, nafs adalah feminin, dan merupakan
anteseden dari kata sifat atau kata kerja feminin. Namun, secara konseptual,
nafs tidak maskulin maupun feminin, dan menjadi bagian esensial dari setiap
orang, laki-laki maupun perempuan. Karena itu, kata ini juga dapat (dan memang)
mempunyai anteseden maskulin. Menurut kisah Al-Qur’an tentang penciptaan, Allah
tidak pernah berencana memulai penciptaan manusia dengan seorang lakilaki; Dia
juga tidak pernah merujukkan asal mula manusia pada Adam. Al-Qur’an bahkan
tidak menyebutkan bahwa Allah memulai penciptaan manusia dengan nafs Adam,
laki-laki. Ketiadaan penyebutan tentang hal ini patut diperhatikan, sebab versi
Al-Qur’an tentang pencipaan manusia tidak diungkapkan dalam istilah-istilah
gender.[17]
Dalam surat An-Nisa’ ayat 1 tidak disebutkan secara
eksplisit nama Adam dan Hawa, tapi diungkapkan dengan kata nafs wahidah dan
zaujaha. Namun dengan bantuan ayat-ayat lain dan hadits-hadita Nabi, umumnya
para mufassir memahami dan meyakini bahwa yang dimaksud dengan nafs wahidah dan
zaujaha dalam ayat itu adalah Nabi Adam dan Hawa yang dari keduanya terjadi
perkembanganbiakan umat manusia. Kontroversi sesungguhnya bukan pada siapa yang
pertama, tetapi pada penciptaan Hawa yang dalam ayat diungkapkan dengan kalimat
khalaqa minha zaujaha. Apakah Hawa diciptakan dari tanah sama seperti
penciptaan Adam atau diciptakan dari bagian tubuh Adam itu sendiri. Kalimat
minha menunjukan bahwa untuk Adam diciptakan istri dari jenis yang sama dengan
dirinya, atau diciptakan dari diri Adam sendiri.[18]
Amina tidak menolak penafsiran bahwa yang dimaksud dengan
nafs wahidah adalah Adam dan zawjaha adalah Hawa. Tetapi dia menegaskan bahwa
kenyataan historis itu tidaklah menunjukkan Allah memulai enciptaan manusia
dari jrnis kelamin laki-laki. Menurut catatan Al-Qur’an, Allah tidak pernah
merencanakan untuk memulai penciptaan manusia dalam bentuk seorang laki-laki,
dan tidak pernah pula merujuk bahwa asal-usul umat manusia adalah Adam. Tentang
teknk penciptaan Hawa, Amina tidak mengemukakan pendapatnya secara tegas. Dia
hanya menjelaskan bahwa kata min dalam bahasa Arab, pertama, dapat digunakan
sebagai kata depan”dari”untuknya”, kedua, dapat digunakan untuk menyatakan sama
macam atau jenisnya. Bila min pada kalimat minha dalam An-Nisa ayat 1 digunakan
fungsinya yang pertama maka maknanya Hawa diciptakan dari Adam, sebaliknya bila
kedua maka maknanya Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam. Amina
tidak secara tegas memilh salah satu dari kedua kemunginan adi. Namun terkesan
dia tidak menyukai kemungkinan pertama, sekalipun tidak secara tegas memilih
yang kedua.[19]
2. Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga
Konsep kepemimpinan suami atas istri, sebagai mana yang
diyakini oleh umat Islam umumnya itu, berasal dari pemahaman terhadap firman
Allah SWT dalam surat AnNisa’ ayat 34, maka para feminis Muslim
setidak-tidaknya Asghar Ali Engineer dan Amina Wadud Muhsin berupaya untuk
melakukan penafsiran kembali terhadap ayat tersebut tentu saja setelah
membongkar penafsiran lama yang mereka nilai bias gender. Ini merupakan ayat
tersebut seutuhnya,
.....................................................................................................................................
34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.[20]
Berdasarkan ayat diatas Zamakhsyari, Alusi dan Sa’id Hawwa
sepakat menyatakan bahawa suami adalah pemimpin terhadap istrinya dalam rumah
tangga. Menurut Asghar Ali Engineer penafsiran dalam ayat tersebut tidak boleh
dipahami lepas dari konteks sosial pada waktu ayat itu diturunkan. Keunggulan
laki-laki dalam pandangan Asghar bukanlah keunggulan jenis kelamin, tapi
keunggulan fungsional karena laki-laki mencari nafkah dan membelanjakan
hartanya untuk perempuan. Asghar menyatakan bahwa pernyataan ar-rijal qawwamun
‘ala an-nisa’ bukanlah pernyataan normatif, tapi pernyataan kontekstual. Sedangkan
Amina Wadud dapat menyetujui laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan dalam
rumah tangga jika disertai dua keadaan: (1) jika laki-laki punya atau sanggup
membuktikan kelebihannya;(2)jika laki-laki mendukung perempuan dengan
menggunakan harta bendanya. Bagi Amina, kelebihan laki-laki yang dijamin oleh
Al-Qur’an hanyalah warisan.[21]
3. Konsep Kesaksian dan Kewarisan Perempuan
Pertimbangan lain dalam pembahasan kontemporer tentang isu
perempuan dalam Al-Qur’an berfokus pada potensi perempuan dalam kesaksian.
Menurut ayat yang terkait dengan hal ini, ketika suatu perjanjian utang
dituliskan, maka “persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh)seorang lelaki dan dua
rang perempuan dari saksi-saksi yang kamu rida, supaya jika seorang perempuan
lupa maka seorang lagi(perempuan) mengingatkannya. (QS. 2: 282)”. Menurut
susunan kata ayat ini, kedua perempuan ditunjuk sebagai “pengingat” bagi yang
satunya lagi. Dia bertindak sebagi penguat. Meskipun ada dua, tiap-tiap
perempuan berbeda fungsinya.[22]
Menurut Asghar, formula 2:1 hanya berlaku khusus untuk kasus
transaksi bisnis saja. Tidak dapat dideduksikan menjadi satu aturan umum yakni
satu saksi laki-laki setara nilainya dengan dua orang saksi perempuan.
Menurutnya karena perempuan pada masa ayat itu diturunkan tidak berpengalaman
dalam persoalan bisnis sehingga mempunyai kemungkinan untuk lupa. Jika yang
satu lupa yang lain mengingatkan.[23]
Dalam masalah waris ini, Asghar tidak meniai ketentuan ini
bersifat deskriminatif terhadap perempuan. Menurutnya, selain mendapatkan
bagian dari warisan, nanti setelah anak perempuan itu kawin, maka ia akan
mendapat tambahan harta berupa mas kawin dari suaminya. Padahal disamping itu
dia tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menafkahi dirinya sendiri dan
anak-anaknya, karena semuanya sudah menjadi tanggung jawab suaminya. Cuma yang
dikritik Asghar adalah penafsiran yang menjadikan ketentuan warisan ini sebagai
alasan untuk menganggap anak perempuan lebih rendah nilainya dibandingkan anak
laki-laki.[24]
Amina sendiri berpendapat, perkara warisan mencakup
pertimbangan-pertimbangan berikut: (1) pembagian kepada famili laki-laki dan
perempuan yang masih hidup, (2) sebagian harta dapat diwariskan, (3) harus
mempertimbangkan keadaan orang yang ditinggalkan, manfaat orang yang
ditinggalkan bagi almarhum, dan manfaat dari harta yang diwariskan.[25]
Metode analisis gender dalam tafsir gender:
- Teori Psikoanalisa atau Identifikasi. Teori ini mewarnai karya tafsir gender seputar pembahasannya tentang poligami. Alasan kebolehan poligami yang dikemukakan adalah istri tidak mampu memberiakan kepuasan kepada suaminya secara seksual. Dalam hal ini suami diberikan dua pilihan, yaitu menceraikan istrinya atau tetap mempertahankan istrinya lalu menikah dengan itri kedua. Oleh sebagian tafsir gender yang membolehkan poligami, pilihan kedua inilh yang dianggap lebih manusiawi karena meskipun suami memiliki istri kedua, dia tetap dapat memberikan kasih sayang dan bantuan finansial kepada anak-anak dan istri pertamanya. Intinya adalah bahwa sebagian tafsir gender di Indonesia dan Mesir menjadikan faktor seksual sebagai legitimasi kebolehan poligami.[26]
- Teori Struktural-Fungsional. Teori ini banyak dipakai dalam analisis gender terutama dalam pembahasannya seputar pro dan kontra tentang kepemimpinan perempuan. Tidak sedikit mufassir yang berbeda penafsiran satu sama lain.[27]
- Teori Konflik. Sebagian tafsir gender menolak hubungan suami istri dalam bentuk struktur yang vertikal dan mengusulkan struktur horizontal sehingga tercipta hubungan companionship seperti yang dikehendaki penganut teori konflik. Persoalan kepemimpina rumah tangga dirujuk dalam QS. An-Nisa/4:34 dengan menggunakan teori konflik untuk memahami ayat ini dalam rangka menggugurkan pandangan ulama klasik bahwa kepemimpinan tidak mutlak pada tangan suami. Kata qawwamun yang menjadi sumber perdebatan dalam ayat ini diusahakan untuk menghindari makna bias gender dengan memaknai bukan dengan makna “pemimpin”. Metode lain adalah kata rijal dan nisa yang tidak mutlak dimaknai dengan laki-laki dan perempuan dalam pengertian biologis tapi dapat diartikan dalam makna gender.[28]
Kesimpulan
Perbedaan penafsiran antara para mufassir dan feminis Muslim
terjadi disebabkan oleh latar belakang pemikiran masing-masing individu. Para
feminis Muslim menggunakan perspektif feminisme dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an, sedang para mufassir tidak melakukan hal yang sama. Metodologi yang
mereka gunakan juga berbeda.
Pada dasarnya inti ajaran setiap agama, khususnya Islam
adalah menganjurkan dan menegakkan prinsip keadilan. Al-Qur’an sebagi
prinsip-prinsip dasar atau pedoman moral tentang keadilan tersebut mencakup
pelbagai anjuran untuk menegakkan keadilan ekonomi, keadilan politik, kultural
termasuk keadilan gender. Dalam hal ini diperlukan metode penafsiran terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an yang bisa digunakan untuk memahami bagaimana ajaran moral
agama yang bersifat prinsipl mesti membutuhkan analisa sosial.[29]
Daftar Pustaka
Ilyas, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafir Al-Qur’an
Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)
Wadud, Amina , Qur’an Menurut Perempuan, Penerj:
Abdullah Ali, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006)
Wojowasito, S dan Wasito W, Tito Kamus Lengkap
Inggris-Indonesia Indonesia-Inggris, (Bandung: Angkasa Offset, 1980)
Kadarusman, M.Ag, Agama, Relasi Gender, & Feminisme,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005)
Ch, Mufidah Rekonstruksi Kesetaraan dan Keadilan Gender
dalam Konteks Sosial Budaya dan Agama,
file PDF
Fakih, Mansour , Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar)
[1] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. M.A. , Feminisme dalam Kajian Tafir
Al-Qur’an klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), Hlm. 1
[2] Ibid, hal: 2-3
[3] Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, Penerj: Abdullah Ali,
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), Hlm. 16
[4] Ibid, hal: 13-14
[5] Prof. S. Wojowasito dan Drs. Tito Wasito W, Kamus Lengkap
Inggris-Indonesia Indonesia-Inggris, (Bandung: Angkasa Offset, 1980),
Hlm.66.
[6] Kadarusman, M.Ag, Agama, Relasi Gender, & Feminisme,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005),Hlm. 20
[7] Mufidah Ch, Rekonstruksi Kesetaraan dan Keadilan Gender
dalam Konteks Sosial Budaya dan Agama,
file PDF, Hlm. 2
[8] Ibid, hal:3
[9] Kadarusman, M.Ag, Hlm. 22
[10] DR. Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar), Hlm. 12-13
[11] Kadarusman, M.Ag, Hlm. 22-23
[12] DR. Mansour Fakih, Hlm. 78-79
[13]Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. M.A. ,Hlm.6 1-62
[14] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. M.A., Hlm. 62
[15] Ibid
[16] Amina Wadud, Hlm. 42
[17] Ibid, Hlm. 43
[18] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. M.A., Hlm. 64
[19] Ibid, Hlm. 70-72
[20] QS. An-Nisa 34
[21] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. M.A., Hlm.73-85
[22] Amina Wadud, Hlm. 146-147
[23] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. M.A., Hlm. 95-96
[24] Ibid, Hlm. 103
[25] Amina Wadud, Hlm. 151
[26] Dr. Hamka Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh
Indonesia dan Mesir, (Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI), Hlm.
143
[27] Ibid, Hlm. 146
[28] Ibid, Hlm. 154
[29] DR. Mansour Fakih, Hlm.135-136
No comments:
Post a Comment