Pendahuluan
Al Qu’ran sebagai
kitab suci yang sangat didambakan sebagai pedoman, sudah barang tentu ia
diharapkan dapat mengaktualisasikan dirinya dengan berbagai persoalan zaman
yang dilaluinya. Karena Dinamika masyarakat senantiasa dari waktu ke waktu
berubah, sementara teks alquran tidak akan pernah berubah. Oleh karena itu,
penafsiran terhadap teks diharapkan harus selalu beriringan dengan perkembangan
zaman untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang ini.
Penafsiran ulama
dahulu ketika menafsirkan teks sesuai keadaan lingkungan dan kehidupan pada
masa itu dan dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang ada. Demikian pun juga
sekarang ini yang syarat akan perkembangan teknologi dan pesatnya pertumbuhan
ilmu pengetahuan, penafsiran terhadap teks pasti akan berubah sebagai akibat
perkembangan ini. Bagi seorang mufasir pengetahuan tentang aspek kesejarahan
suatu ayat menjadi salah satu modal utama di dalam kegiatan penafsiran alQuran,
disamping persyaratan-persyaratan lainnya.
Pesatnya perkembangan
teknologi sangat berpengaruh terhadap perubahan keadaan masyarakat, keadaan
sosial pun juga pasti akan ikut berubah dari mulai interaksi terhadap
lingkungan , sosialisasi dan sebagainya. Sebagai respon dari perubahan ini
munculah ilmu-ilmu yang berusaha untuk mempelajarinya yang disebut sebagai ilmu
sosial.
Dari disiplin ilmu
inilah, muncul berbagai perspektif mengenai kehidupan manusia dengan berbagai
persoalannya. Kemudian untuk mencari keselarasan penafsiran alquran dengan
zaman pun, akhirnya para penafsir menggunakan disiplin ini untuk menafsirkan teks
alquran terutama yang berkaitan erat dengan kondisi sosial masyarakat pada
zaman modern ini yang sangat kontras dengan masa lalu. Hal semacam ini
dilakukan dalam rangka menjadikan alquran tetap aktual dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari.
Alasan lain
mengapa para mufasir menggunakan pendekatan ini karena belum adanya sistematika
metodologi tafsir Alquran yang khusus mengkaji ayat-ayat ilmu pengetahuan,
salah satunya ilmu sosial ini. Sebagaimana ucapan dawam rahardjo dalam bukunya
“Paradigma Al-Quran metodologi tafsir dan kritik sosial”dia mengatakan
bahwasanya masa depan kaum muslim diraih melalui penafsiran terhadap alquran
yang senantiasa baru.[1]
Maka dari
itulah, fokus makalah pada kali ini akan membahas tentang ilmu-ilmu sosial
sebagai sebuah pendekatan dalam menfsirkan teks alquran dan berbagai hal yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat sekarang ini.
B. Pengertian
Tafsir Alquran Dan Ilmu Sosial
Tafsir, secara
etimologi berarti penjelasan dan perincian. Ungkapan tafsir ini digunakan untuk
menyingkap makna yang logis atau menyingkap makna yang masih tersembunyi. Dalam
terminologinya tafir adalah suatu ilmu yang di dalamnya di bahas tentang
keadaan-keadaan Alquran dari segi dalalahnya kepada apa yang dikehendaki Allah,
sebatas yang dapat disanggupi manusia.[2]
Makna kata
“sosial” dalam kamus besar bahasa indonesia berarti “berkenaan dengan
masyarakat”. Jadi, ilmu sosial adalah ilmu tentang sifat, perilaku, dan
perkembangan masyarakat baik secara individu maupun dalam suatu komunitas.[3]
Alasan mengapa
para mufasir menggunakan pendekatan ini didasarkan pada beberapa kenyataan
masalah berikut ini. Pertama, masih ditemukan adanya perbedaan pendapat
di kalangan ilmuwan dan mufasir tentang hubungan tafsir kitab suci dengan ilmu
pengetahuan. Kedua, filsafat sebagai metode berfikir tidak digunakan
semaksimal mungkin dalam ranah tafsir alquran. Ketiga, belum adanya
sistematika metodologi tafsir Alquran yang khusus mengkaji ayat-ayat ilmu
pengetahuan, salah satunya ilmu sosial ini.[4]
Alasan-alasan
diatas merupakan alasan yang bisa diterima. Bagaimana tidak, Alquran selain
persoalan ubidiyah yang dijelaskan panjang lebar oleh para mufasir, terdapat
pula teks yang berbicara tentang ilmu pengetahuan, sedangkan kita tahu
bahwasanya ilmu pengetahuan itu terus berkembang seiring dengan berkembangnya
zaman. Oleh karena itu, para mufassir dituntut untuk selalu berteman erat
dengan keadaan artinya harus selalu memahami keadaan sosial dan lingkungan dalam
membuat suatu penafsiran.
Karena salah
satu modal besar dalam melakukan penafsiran adalah mengetehui kondisi sosial
atau aspek historis saat ayat-ayat diturunkan. Dengan ini seorang mufassir akan
mampu menemukan hubungan logis antara satu ayat dengan ayat lainnya, dan
hubungan ayat-ayat itu dengan realitas sosial yang sedang bergerak.[5]
Asghar Ali pun
mengemukakan pendapatnya, bagi generasi mendatang, mereka punya hak untuk
menafsirkan alquran dengan cara mereka sendiri berdasarkan pengalaman dan
problematika yang sedang mereka hadapi. Permasalahan dan tantangan yang
dihadapi oleh generasi terdahulu tidaklah sama dengan masalah yang dihadapi
pada masa sekarang.[6]
Penafsiran dengan
menggunakan pendekatan ilmu sosial ini juga memiliki tujuan khusus, yakni; pertama,
fungsi al-tabyin yaitu menjelaskan teks alquran dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dimiliki oleh sang mufasirnya. Kedua fungsi i’jaz
yaitu pembuktian atas kebenaran teks alquran menurut ilmu pengetahuan dan
teknologi yang selanjutnya dapat memberikan stimulan atau dapat ditindak
lanjuti oleh para ilmuwan dalam meneliti dan observasi ilmu pengetahuan lewat
penafsiran teks-teks alquran. Ketiga, fungsi istihraj al-ilm yaitu
teks atau ayat-ayat alquran mampu melahirkan teori-teori ilmu pengetahuan dan
teknologi.[7]
Faktor lain
yang menjadikan ilmu sosial ini harus dipakai dalam pendekatan penafsiran
adalah bahwa dalam alquran dalam memberikan petunjuk tentang ilmu pengetahuan,
ternyata hanya secara global saja. Sedangkan untuk penjelasan secara rinci dan
mendalam, diserahkan sepenuhnya kepada ikhtiyar manusia; ikhtiar untuk mencari
dan menelusurinya sesuai dengan batas keahlian dan kemampuannya.[8]
Hal ini dijelaskan dalam beberapa ayat-ayat alquran, bahwasanya manusia telah dikarunia
otak untuk menunjang kemampuan berfikir, dalam memahai berbagai persoalan dan
menemukan pemecah masalahnya.
C. Macam-Macam
Ilmu Sosial
Ilmu sosial
merupakan disiplin ilmu yang sekarang ini telah menjadi santapan para ilmuan
sebagai salah satu cara untuk memahami keadaan sosial masyarakat. Secara garis
besar, cabang ilmu sosial ada beberapa macam yakni;[9]
- Antropologi (yang mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat),
- Psikologi (yang mempelajari tingkah laku dan proses mental), Ekonomi, (yang mempelajari produksi dan pembagian kekayaan dalam masyarakat).
- Sosiologi, (yang mempelajari masyarakat dan hubungan antar manusia di dalamnya),
- Politik, ( yang mempelajari pemerintahan sekelompok manusia (termasuk negara)).
D. Syarat-Syarat
Penafsir
Untuk mengaplikasikan
pendekatan ilmu sosial ini sebagai alat untuk menafsirkan ayat-ayat alquran maka seorang mufasir harus
berpegang teguh pada dua paradigma yaitu paradigma tafsir dan paradigma ilmu
pengetahuan.[10]
Paradigma
tafsir Al Qur’an.
Dalam
melakukan penafsiran, para mufasir harus memenuhi beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi. Seorang mufasir dituntut berpegang teguh pada etika dan
persyaratan dalam menafsirkan alquran.
Etika menafsirkan
alquran:
- Memiliki niat dan perilaku yang baik.
- Berlaku jujur dan teliti
- Taat dan beramal
- bersifat independen
- Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara sistematis, baik, dan benar
- Meyakini kebenaran teks alquran yang sedang ditafsirkannya dan terlepas dari keinginan subjektifitas pribadi.
- Mendahulukan penafsiran Qur’an dengan Qur’an, Sunnah dengan sunnah, Pendapat Sahabat, kemudian baru ijtihad.
- Memiliki kapabilitas yang memadai, seperti menguasai bahasa arab dengan segala cabangnya.
- Paradigma ilmu pengetahuan[11]
Seorang
mufasir yang hendak melakukan penafs-ayat mengenai iran terhadap ayat ilmu
pengetahuan, terlebih dahulu harus mengetahui hakikat ilmu pengetahuan, yakni
mengenai ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu pengetahuan
Setelah kita
mengetahui penjelasan bagaimana cara mengaplikasikan pendekatan ilmu sosial ini
dalam konteks dan persyaratan-persyaratannya, di bawah ini ada beberapa prinsip
analisis tafsir sosial yang harus diketaui oleh para penafsir[12]
- Prinsip keesaan Allah dalam alam,menyadari bahwa semuanya milik Allah dan akan kembali kepadaNya.
- Keyakinan terhadap realitas dunia eksternal, memahami adanya realitas-relitas lain yang berbeda dan tak bergantung dari pikiran kita.
- Keyakinan terhadap realitas sufrafisik dan keterbatasan pengetahuan manusia.
- Memahami filsafat ilmu terkait atas pembahasan yang sedang diteliti.
- Isyarat-isyarat ilmiah yang terdapat pada ayat alquran tidak termasuk untuk ayat yang berbicara secara langsung tentang akidah, dan ibadah.
- Ayat-ayat ilmu pengetahuan yang terdapat dalam alquran bertujuan supaya manusia dapat mempercayai adanya Allah.
- Isyarat ilmiah dalam alquran bersifat umum dan universal.
- Jika terjadi pertentangan antara dilalah nash yang pasti dengan teori ilmiah, maka teori harus ditolak karena nash adalah wahyu Tuhan yang ilmunya mencakup segala sesuatu.
- Mufasir tafsir ilmi tidak menjadikan penafsiran yang dikemukakanya sebagai ajaran aqidah qur’aniyyah (teologi) dan tidak bertentangan dengan prinsip atau ketentuan kaidah kebahasaan.
- Mengaktifkan rasio dan kemampuan di bidang spesialisasi ilmu yang dimilikinya atau yang akan ditafsirkannya guna mengetahui watak hubungan yang seimbang antara ayat alquran dengan premi-premis ilmiah demi mencari faedah dari corak atau orientasi baru dalam dunia tafsir alquran.
- Menyeimbangkan antara bidang spesialisasi ilmu yang dimilikinya dengan kemampuan dirinya dalam menafsirkan atau menjelaskan makna ayat yang memungkinkannya untuk menyingkap petunjuk yang dimaksud ayat alquran
- Berpegang teguh kepada esensi, substansi, dan eksistensi alquran,
- Landasan penasiran tasir ayatayat sosial secara berturut-turut adalah alquran sebagai pokok dan utama, kemudian hadis nabi.
- Memanfaatkan hakikat ilmiah yang fleksibel dengan indikasi adanya universalisme dan kontinuitas tanpa henti.
E. Contoh
Penerapan Ilmu Sosial Pada Penafsiran
Ada beberpa contoh dari masa pemerintahan umar
bin khattab yang bisa kita jadikan
sebagai acuan analisis masalah/problem sosial yang akan dibedah dengan
menggunakan pendekatan imu sosial. Salah satunya mengenai persoalan sebagai
berikut:
“Dihentikannaya hukum potong tangan bagi
pencuri karena pencurian dilakukan pada masa masyarakat sedang dilanda
“peceklik”(gagal panen), padahal alquran, sebagaimana diketahui dalam ayat 38
surat almaidah menegaskan bahwa “lelaki yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang telah mereka kerjakan, dan sebagai bagian
dari siksa Allah. danAllah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Ayat diatas merupakan dasar hukum potong
tangan bagi pencuri. Akan tetapi, mengapa umar menghentikan hukum potong tangan
bagi pencuri pada musim paceklik? Apakah keputusan itu bertentangan dengan ayat
di atas?
Kalau dilihat secara kontekstual, keputusan
khalifah ini bertentangan dengan ayat 38 surat al-Maidah diatas. Tetapi, jika
dilihat secara kontekstual, justru kepitusan khalifah ini sesuai dengan
prinsip-prinsip universalisme Alquran, yaitu prinsip memelihara dan
menyelamatkan jiwa manusia lebih utama daripada memenuhi tuntutan hukum. Sebab,
khalifah umar bukan menentang hukum potong tangan, melainkan mempertimbangkan
secara objektif kondisi sosial-masyarakat yang tidak kondusif untuk
melaksanakan hukum potong tangan tersebut. Argumrn umar didasarkan pada
kenyataan bahwa boleh jadi orang yang mencuri itu terdesak oleh keadaan hidup
yang teramat sulit sehingga dia terpaksa mencuri untuk mempertahankan hidup dan
keluarganya, jika tidak maka nyawa mereka akan melayang. Kalau kondisi sosial
seperti itu, apakah Allah Yang MahaBijak itu tega membiarkan hambaNya yang
mencuri dihukum dengan hukuman potong tangan, padahal mereka pencuri karena
kelaparan?[13]
Pada masa sekarang kita dapat mengambil contoh
mengenai bunga bank yang diusung oleh beberapa bank konvensional sekarang ini.
Mengenai hal ini Alquran akan mengatakan bahwasanya bunga bank itu termasuk
dalam riba. Riba yang dimaksud alquran disini adalah riba yang dapat merugikan
atau menyulitkan pelaku ekonomi.
Tetapi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
sekarang, bank konvensional sekarang ini banyak membantu kehidupan masyarakat
sekarang ini. Dari problem inilah ulama akan memberikan penjelasan mengenai
bunga bank ini dengan menggunakan pendekatan sosial untuk mengaktualisasikan
alquran dalam kehidupan modern ini.
Memang benar demikian riba memang haram tetapi
persoalannya sekarang ini adalah, apakah pertambahan atas modal (seperti bunga
bank) sama dengan riba? Illat pengharaman riba adalah sifatnya yang
eksploitatif atau dapat merugikan stakeholder pelaku ekonomi.
Dalam sistem ekonomi islam sendiri ada tiga
hal yang harus dihindari: masyir (ketidakjelasan), gharar(
penopuan), dan riba (bunga). Jadi, produk-produk bank konvensional
tertentu yang secara penuh memilki
sifat-sifat ekonomi islam atau tidak mengindikasikan mengandung ketiga faktor
diatas dapat saja produknya itu sesuai dengan sistem ekonomi islam.[14]
F. Kesimpulan
Dari pemaran
diatas bisa kita ambil kesimpulan bahwa dengan pesatnya perkembangan masyarakat
dan ilmu pengetahuan memicu para para mufasir untuk menafsirkan teks dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang hangat berdampingan dengan kondisi
sosial saat itu.
Hal ini untuk
menjadikan penafsiran agar tidak kaku, diharapkan mampu selalu beriringan
dengan zaman artinya dapat menjadikan alquran tetap aktual dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari.
Seorang
musafir juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu, tidak semua orang mampu
melakukan penafsiran. Terutama dalam menggunakan pendekatan sosial ini, para
mufasir harus mempunyai kemampuan ke-ilmu-an sosial ini. Dan diharapkan para
mufasir selalu tanggap dengan segala sesuatu yang muncul ketika itu, baik itu
bentuk permasalahannya dan bagaimana harus menafsirkan dengan tidak kaku,
supaya selalu mendapatkan hati di kehidupan masyarakat sehari-hari.
REFERENSI
M Dawam
Rahardjo, Paradigma Al-Quran metodologi tafsir dan kritik sosial,
jakarta: PSAP pusat studi agama dan peradaban
Hasbi ash
shiddieqy, ilmu-ilmu alquram, Semarang: pustaka rizki putra
Andi
Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial. Jakarta: Amzah
2007
Umar Shihab, Kontekstualitas
AlQuran kajian tematik atas ayat-ayat hukum dalam alquran. Jakarta:
Penamadani 2005
Asghar Ali
Enginer, Islam masa kini, Yogyakarta: Pustaka pelajar
Wikipidea
[1]
M Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Quran metodologi tafsir dan kritik sosial,
jakarta: PSAP pusat studi agama dan peradaban H 34
[2]
Hasbi ash shiddieqy, ilmu-ilmu alquram, Semarang: pustaka rizki putra H
208
[3]
Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial. Jakarta:
Amzah 2007 h 8
[4]
ibid h 9
[5]
Umar Shihab, Kontekstualitas AlQuran kajian tematik atas ayat-ayat hukum
dalam alquran. Jakarta: Penamadani 2005 h 10
[6]
Asghar Ali Enginer, Islam masa kini, Yogyakarta: Pustaka pelajar H 24
[7]
Andi, Metode Tafsir...ibid h 12
[8]
Umar, Kontekstualitas AlQuran...ibdi h 31
[9]
Wikipedia
[10]
Andi, Metode Tafsir...ibid h 48
[11]
ibid h 96
[12]
ibid h 146
[13]
Umar, Kontekstualitas AlQuran...ibid h 29
[14]
Andi, Metode Tafsir...ibid H 189
No comments:
Post a Comment