Thursday 19 February 2015

Indoensia dalam Cengkraman Politik Satu Dimensi

“One Dimension Man”,  sebuah buku yang ditulis Marcuse merupakan  satu buku yang telah menganalisis masyarakat industri modern seperti Amerika, Eropa, dan Uni Soviet.[1] Secara umum gagasan dalam buku tersebut adalah, bahwa masyarakat modern saat ini telah terkungkung oleh satu sistem yang dibuat oleh kelompok tertentu. 


Karena penelitian Marcuse berpijak pada masyarakat industri pada saat itu, maka hal ini berkaitan erat dengan pemilik modal. Mereka berusaha untuk menciptakan satu realitas masyarakat yang tidak keluar dari satu lingkaran yang dibuatnya. Sehingga kondisi dan kebebasan masyarakat akan terbaikan. Mereka harus mengikuti satu system tertentu. Laiknya sebuah mesin, gerak manusia direntukan oleh si penggerak. Ms Wibowo dalam salah satu tulisannya menyontohkan, bahwa ketika seorang buruh mengeluhkan gajinya tidak cukup karena persoalan tertentu seperti berobat, memebeli pakian atau memenuhi kebutuhan sehari-hari, satu solusi yang ditawarkan oleh perusahaan bukan kenaikan gaji sehingga kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Melainkan, perusahaan membentuk badan kesejahteraan sosial yang menagani kasus serupa. Dengan kata lain, kondisi masyarakat akan tetap dalam satu struktur yang telah dibuat dan sistem yang sama sekali tidak berubah.

Singkatnya, apa yang ingin disampaikan oleh Marcuce dalam hal ini adalah bahwa masyarakat modern di Negara-negara yang menjadi objek penelitiannya dibuat terbuai dengan salah satu prinsip kebebasan yang sebenarnya nihil. Kebebasan yang diberikan kepada mereka adalah kebebasan yang berada dalam kungkungan satu sisitem tertentu. Dengan dukungan teknologi, masyarakat secara tidak sadar akan mengamini segala hal yang dibentuk oleh perusahaan. Melaui sebuah media masyarakat digiring untuk memberikan satu pembenaran pada satu konsep yang sebenarnya didesign untuk kepentingan perusahan.

Namun demikian, Meskipun gagasan Marcuse, seperti yang telah penulis paparkan di atas, ditujukan kepada masyarakat modern di eropa dan sekitarnya, kita harus menyadari betul bahwa gagasan memiliki relefansi dengan realitas yang dihadapi oleh Negara-negara lain termasuk di Indonesia.

Politik Satu Dimensi
Di Indonesia, dapat kita lihat pada system politik pemerintahan. Setiap golongan dari partai-partai yang ada seolah menawarkan sebuah perbedaan. Namun, kalau kita menyadari, sebenarnya sama. Partai-partai politik yang ada hanya menginkan masyarakat menjadi bagian dari ide-ide yang diusung. Dan ide-ide tersebut tak lain hanya demi kepentingan golongan mereka sendiri. Betapa tidak? Kita tentu menyadari, berapa janji yang mereka obral? Namun adakah janji itu yang dapat terealisasi setelah masyarakat menaruh kepercayaan kepada mereka? Tak perlu waktu panjang untuk menjawabnya.

Namun, bersamaan dengan itu, anehnya, meskipun hal ini telah terjadi berulangkali, masyarakat tetap menaruh perhatian pada pelaku partai. Buktinya, hal semacam ini terus berlangsung ketika sampai pada waktunya. Pemilu sebagai ritual yang tak berefek apa-apa selain kegagalan memenuhi hajat orang banyak. Masyarakat telah dibuat tidak menyadari akan pengebirian yang terjadi kepada mereka. Pemikiran berdimensi satu secara sistematis telah menjalar pada para kepala politik dan penguasa. Mereka menguasai media massa. Manusia modern diindoktrinasi dengan slogan-slogan yang didekte begitu saja.[2] Politik satu dimensi adalah satu sistem politik yang didesign, baik dengan sengaja atau tidak, sama. Yang perlu digaris bawahi disini adalah bahwa rancangan politik yang ada itu bukan untuk mendukung terbentuknya sistem masyarakat yang sejahtera. Melainkan, sistem politik untuk kepentingan golongan tertentu.

Contoh lain, kita dapat melihat realitas pasar modern. Mall atau Supermarket sebagai bagian dari pasar modern yang telah dibentuk untuk menyatukan masyarakat kedalam satu dimensi. Disana, Hubungan antara penjual dan pembeli telah keluar dari sistem tradisional, dimana, mereka satu sama lain menginginkan sebuah kebebasan. Transaksi tawar menawar dalam jual beli yang merupakan bagian dari proses interaksi sosial telah hilang. Masyarakat, mau tidak mau harus menerima dengan lapang bahwa ketentuan harga yang ada adalah satu ketentuan yang paling apik dan tidak bisa diganggu gugat.

Menuju Masyarakat Baru
Dalam melancarkan segala misinya, para memilik modal memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi menjadi satu sarana penting dalam rangka mensosialisasikan gagasan-gagasan yang telah dirancang untuk mengelabihi masyarakat buruh. Jika demikian harus kah media dan ilmu pengetahuan itu dihentikan demi membentuk masyarakat baru yang memiliki kebebasan hakiki? Marcuse sebagai tokoh yang mengkritik realitas ini tidak demikian.

Marcuse masih memberi tempat pada ilmu pengetahuan dan teknologi berikut juga industri Modern. Bagi Marcuse, semua itu perlu bagi masyarakat yang akan datang. Sebab, dengan itulah baru dimungkinkan untuk mengurangi pekerjaan dan memuaskan segala kebutuhan[3]. Kita tak harus membuang teknologi. Melainkan yang terpenting adalah mengubah terknologi itu menjadi sesuatu yang memiliki nalai kualitas. Karena teknologi yang berkualitas itu akan melahirkan masyarakat yang berkualitas.

Selain itu, rasio manusia juga harus berfungsi yaitu, meninggalkan logika penguasaan dan memajukan seni hidup[4]. Paling tidak ada dua hal yang ditunjuk Marcuse dalam memperjuangkan masyarakat baru:[5] Pertama, dengan segala upaya, seseorang harus bisa mengurangi kekuasaan. Kedua, mengurangi perkembangan yang berlebihan. Disini peran seseorang dalam masyarakat sangat penting. Artinya, masyarakat harus bisa menolak kebutuhan-kebutuhan palsu yang secara arti dibangkitkan oleh sisitem produksi modern dan meniggalkan semua usaha untuk meningkatkan mutu kehidupan. Dengan kata lain, masyarakat, khususnya masyarakat marginal, menurut Marcuse, harus berani mengucapkan The Great Refusal (Penolakan Besar-besaran).

Dalam kontek ini, masyarakat Indonesia harus melakukan sebuah perlawanan secara besar-besaran terhadap laku politik yang selama ini kurang berpihak pada kepentingan dirinya.



[1] M.S. Wibowo  Herbert Marcuse; Manusia Satu Dimensi.htm. diambil dari Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman, K. Bertens, Gramedia, Jakarta, 2002
[2] M.S. Wibowo  Herbert Marcuse; Manusia Satu Dimensi.htm. Diambil dari Herbert Marcuse, Manusia Satu Dimensi, Bentang, Yogyakarta, 2000.
[3] Ibid
[4] Ibid.
[5] Ibid


Refrensi:
M.S. Wibowo  Herbert Marcuse; Manusia Satu Dimensi.htm. diambil dari Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman, K. Bertens, Gramedia, Jakarta, 2002
M.S. Wibowo  Herbert Marcuse; Manusia Satu Dimensi.htm. Diambil dari Herbert Marcuse, Manusia Satu Dimensi, Bentang, Yogyakarta, 2000

No comments: