Oleh Miftahul Arifin
A.
Pendahuluan
Setiap
agama memiliki pedoman untuk mengatur
seluruh aspek kehidupan pemeluknya. Pedoman itu tak lain adalah kitab suci yang diyakini kebenaran dan sakralitasnya. Dengan kata
lain, kitab suci merupakan pedoman utama yang menjadi landasan pemeluk agama
melakukan aktivitas, baik aktivitas yang berhubungan dengan tuhan (ubudiyah)
atau aktifitas yang berhubungan dengan sesama
manusia (muamalah). Semuanya diatur dalam kitab suci tersebut. Para
pemeluk agama meyakini bahwa kitab suci yang dimiliki bukan merupakan karangan
manusia atau seorang tokoh dalam agama tersebut. Sebuah kitab suci diyakini
sebagai wahyu tuhan yang diturunkan dari langit yang bertujuan menciptakan
manusia dapat hidup dengan benar.
Al
Qur’an adalah kitab suci bagi umat islam. Ia adalah wahyu tuhan yang diturunkan
kepada nabi muhammad sebagai nabi terakhir. Umat islam meyakini bahwa Al Qur’an
adalah kitab penuntun yang mengatur segala aktifitas umat. Maka, segala sesuatu
yang dilaksanakan oleh umat islam, tidak boleh tidak harus sesuai dengan apa yang
terdapat di dalam Al Qur’an. Jika, tidak, maka ia akan dianggap telah keluar
dari aturan-aturan yang ditentukan oleh tuhan.
Dalam
makalah ini fokus pembahasan penulis mengenai Al Qur’an ditinjau dari
pengertian, pengertian, akar kata, konsep pewahyuan dan perbincangan mengenai
kebaharuan dan keqadiman Al Qur’an
B.
Pembahasan
1.
Pengetian
Al Qur’an
Al
Qur’an adalah Allah yang bernilai mukjizat yang diturunkan kepada pungkasan
para nabi dan Rosul dengan perantaraan malaikat jibril a.s yang tertulis pada mushahif.
Diriwayatkan kepada kita dengan mutawatir. Membacanya bernilai ibadah. Diawali
dengan surat Al Fatihah dan ditutup dengan surat An-nas.[1]
Al
Qur’an merupakan kitab pedoman bagi umat manusia, baik hubunganya secara
vertikal dengan Allah maupun hubungan secara horizontal, sesama manusia.
Bagi umat islam, Al Qur’an adalah wahyu tuhan yang diyakini kebenarnnya
dan tidak ada satupun manusia yang dapat membuat semisal Al Qur’an. Sebagaimana
dijelaskan dalam salah satu ayat dalam Al qur’an surat bahwa sekalipun seluruh
makhluk di muka bumi dikumpulkan dan disuruh membuat semisal Al Qur’an nisacaya
ia tidak akan mampu membuatnya.
Allah
berfirman dala surat Al isra’ ayat 88:
قل
لئن اجتمعت الانس و الجن على ان يأ توا بمثل هذ القران لا يأ تون بمثله ولو كان
بعضهم لبعض ظهيرا. (الأسرء: 88)
Pemberian
nama Al Qur’an tentu saja memiliki alasan. Dr. Subhi Al Shaleh menjelaskan
dalam bukunya Membahas Ilmu-Ilmu Al Qur’an. Bahwa dilihat dari akar
katanya qira’ah: agar selalu diingat, Al Qur’an selalu tersimpan dalam dada
manusia.
Namun
demikian, secara lafadz, ulama berbeda pendapat mengenai Al Qur’an. Ada yang
mengatakan bahwa lafadz Al Qur’an dengan hamzah (dibaca Al Quran). Pendapat ini
dikemukaka oleh Asy-Syafi’ie, Al Farra, dan Al Asy’ari dengan penjelasan
sebagai berikut:[2]
a.
Asy-Syafi’ie
mengatakan, Lafadz Al Qur’an bukan
mustaq (bukan pecahan dari kaya apapun) dan bukan pula berhamzah. Lafadz
tersebut sudah lazim digunakan untuk pengertian kalamullah yang diturunkan
kepada nabi Muhammad saw. Menurut imam Asy Syafi’ie, lafadz tersebut bukan
berasal dari kata qa-ra-a. sebab kalau demikian, tentu setiap sesuatu
yang dapat dibaca dapat dimaknai Al Qur’an. Lafadz tersebut adalah lafad khusus
seperti penamaan terhadap kitab lain seperti taurat dan injil.
b.
Al
Farra berpendapat, Lafadz Al Qur’an adalah pecahan dari kata qara’in (kata
jamak dari qarinah) yang berarti: kaitan, karena ayat Al Qur’an satu sama lain
saling berkaitan. Karena itu, huruf nun pada akhir kalimat adalah huruf asli,
bukan tambahan.
c.
Al
Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan, lafadz Al Qur’an adalah musytaq dari
kata qarn. Ia mengemukakan contoh kalimat qarnusy-syai bisyyai (menggabungkan
sesuatu dengan sesuatu). Jadi kata qarn itu bermakna: gabungan atau
kaitan, karena surah-surah dalam al Qur’an berkaitan.
Adapun
yang berpendapat Al Qur’an dengan menggunakan hamzah adalah Az-zajjaj dan
Al-Lihyani. Az-zajjaj mengatakan, lafadz Al Qur’an ditulis dengan huruf hamzah
ditengahnya dengan pola kata fu’lan. Lafadz tersebut pecahan dari akar
kata qar’un yang berarti jam’un yang dalam bahasa indonesia
berarti “kumpul”. Alasannya Al Qur’an menghimpun kitab-kitab suci terdahulu.
Sementara Al Lihyani mengemukakan bahwa Al Qur’an dengan hamzah ditengah
berdasarkan pola ghufran dan merupakan pecahan dari kata qa-ra-a.
lafadz tersebut untuk menamai sesuatu yang bisa dibaca, yakni objek dalam
bentuk masdar.[3]
Pendapat
terakhir inilah, sebagaimana ditulis Subhi al-shalih, dinilai lebih kuat.
Karena dalam bahasa arab Al Qur’an Adalah bentuk masdar yang sinonim dengan qira’ah,
bacaan. secara geogerafis, al qur’an diturunkan di arab. sehingga hal ihwal
yang berkaitan dengan Al Qur’an termasuk mengenai lafadznya mesti ada kaitan
erat dengan bahasa arab.
Al
Qur’an juga mengisayaratkan hal yang sama. Seperti yang termaktub dalam surat
Al Qiyamah ayat 17-18 “atas tanggungan kami lah mengumpulkannya (ayat al
qur’an itu di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Maka, ikutilah bacaan
itu”
2.
Al
Qur’an Sebagai Wahyu
Umat
islam meyakini bahwa Al Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad adalah
wahyu. Secara teks, Al Qur’an yang hanya terdiri dari 6666 ayat, 114 surat dan
30 juz memuat banyak hal tentang kehidupan manusia dari berbagai aspeknya.
Penyebutan bahwa Al Qur’an dapat dipakai disetiap tempat dan waktu menunjukkan
bahwa Al Qur’an kaya akan makna. Tentu saja, tidak dapat dipercaya kalau al
qur’an disebut sebagai buatan manusia. Al Qur’an juga telah menegaskan, bahwa
sekalipun seluruh makhluk dimuka bumi ini berkumpul untuk membuat semisal Al
Qur’an, maka ia tak akan mampu membuatnya.
Disamping
itu, nabi muhammad bukanlah seorang rosul yang berbeda dari nabi sebelumnya. Ia
bukan nabi pertama yang berbicara atas nama wahyu. Sejak nabi Nuh muncul
orang-orang pilihan Allah, pribadi yang suci yang kesemuanya berbicara buakan
berlandaskan nafsu. Melainkan wahyu untuk disampaikan kepada manusia.[4]
Sebagaimana dijelaskan dalam surat an Nisa’ ayat 163 “sesungguhnya kami telah
mewahyukan kepadamu muhammad sebagaimana kami telah mewahyukan kepada Nuh dan
nabi berikutnya”.
Karena
Al Qur’an diturunkan kedalam hati nabi muhammad maka jelas bahwa Al Qur’an
adalah wahyu, yauitu suatu lafadz yang mengandung keseragaman makna wahyu yang
diturunkan kepada semua nabi.[5]
Wahyu
menurut bahasa adalah bentu masdar dari wahaa, yahii, wahyan. Manaa Al
Qattan mendefinisikan banyak tentang wahyu: Ilham kepada manusia, ilham kepada
binatang, isyarat yang cepat, godaan/ bisikan syaithan.[6]
Secara
istilah wahyu sebagaimana di definisikan
Al Zurkarni adalah pemberitahuan tuhan kepada hambanya yang dipilihnya, akan
segala sesuatu yang ia kehendaki untuk menampakannya dari berbagai dan pengetahuan
dengan jalan rahasia yang tidak biasa bagi manusia.[7]
Kata hamba yang dipilih dalam pengertian di atas tak lain adalah seorang nabi,
dalam pewahyuan Al Qur’an jelas adalah Muhammad.
Namun
berbeda dengan Abduh. Abduh mendefinisikan wahyu lebih umum. Ia mengatakan:
“wahyu
adalah pengetahuan yang didapat seseorang dalam dirinya disertai keyakinan bahwa
hal tersebut dari sisi Allah baik dengan perantara atau tanpa perantara”
Dari
definisi di atas seolah-olah Abduh ingin mengatakan, bahwa siapapun orangnya
jika mendapat pengetahuan dari dalam dirinya dan ia yakin pengetahuan itu dari
tuhan, maka ia bisa dinamakan wahyu.
3.
Konsep
Pewahyuan Al Qur’an
Sebagaimana
banyak dijelaskan dalam buku-buku ulumul Qur’an, bahwa secara garis besar Al
Qur’an diturunkan melaui dua tahap. Pertama, dari lauh al-Mahfuzh ke langit
dunia secara keseluruhan. Kedua, dari langit dunia kepada nabi Muhammad secara
terpisah. Sejarah telah mencatat bahwa proses pewahyuan Al qur’an secara
bertahap kepada Nabi Muhammad selama 23 tahun.
Imam
Suyuti menyebutkan bahwa Imam Qurthubi menukil sebuah hikayat ijmak atas
turunnya Al Qur’an secara keseluruhan dari lauh al-mahfuzd ke langit dunia. Hal
ini sebagai pertanda khusus perkara al Qur’an dan perihal rosul yang hendak
menerimanya dan sekaligus memberikan pengumuman kepada penduduk langit tujuh
bahwa Al Qur’an merupakan kitab terakhir yang diturunkan kepada nabi terakhir
untuk umat yang termulia.[8]
Sementara
turunnya Al Quran berangsur-angsur, sebagaimana dikatakan Syekh Muhammad Ali
Asa-Shabuni dalam bukunya Ikhtisar ulumul Qur’an Praktis sebagai
berikut:[9]
1.
Mengukuhkan
hati Nabi dalam menghadapi ulah orang-orang musyrik yang menyakitkan.
2.
Sebagai
kasih sayang kepada nabi ketika turunnya wahyu.
3.
Sebagai
tahapan ketika mensyariatkan hukum-hukum syamawiyyah
4.
Memudahkan
untuk menghafal dan memahami Al Qur’an bagi kaum muslimin
5.
Sebagai
petunjuk bagi kepada dzat yang mengeluarkan Al Qur’an. Serta sesungguhnya ia
diturunkan oleh Allah yang maha bijaksana.
6.
Sebagai
argumentasi berbagai peristiwa dan kejadian dan sebagai peringatan ketika itu.
Subhi
Al Shalih menambahkan, Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur akan
memperteguh kepercayaan di dalam hati, memperkuat inayah kepada rosul yang
menerimanya dan menambah sering datangnya jibril kepada Rosulullah. Dengan
demikian hubungan Rosulullah dengan jibril akan selalu baru.[10]
Penyampaian
Al Qur’an kepada nabi Muhammad beraneka ragam. Secara garis besar ada dua
macam.[11]
Pertama, melaui perantara, yaitu malaikat jibril as. Kedua, tanpa perantara.
1.
Penurunan
Wahyu dengan Perantara.
Malaikat
jibril adalah utusan Allah yang secara khusus bertugas menyampaikan wahyu Allah
kepada para Rosul. Ada dua cara penyampain wahyu melalui malaikat jibril.
Pertama, datang kepadanya seperti gemerincing lonceng dan suara yang amat kuat.
Yang mempengaruhi factor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala
kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini dipandang paling berat dalam
proses penururnan wahyu. Apabila wahyu turun dengan cara ini, maka nabi
mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan
memahaminya.[12]
Kedua,
malaikat menjelma sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara ini
lebih ringan dari pada cara yang pertama karena danya kesesuaian antara si
pembicara dan si pendengar. Rasul merasa
senang sekali mendengarkan dari utusan pembawa wahyu itu, karena seperti
manusia yang berhadapan yang berhadapan dengan saudaranya.[13]
Keadaan
jibril menampakkan diri seperti seorang laki-laki tidak lah mengharuskan ia
melepaskan sifat kerohaniannya. Tetapi yang dimaksudkan ialah bahwa ia
menampakkan diri dalam bentuk manusia untuk menyenangkan Rosulullah sebagai
manusia.[14]
Ketika
wahyu turun nabi selalu mengkonsentrasikan untuk menghafalnya. Beliau sering
mengulang membacanya bersama jibril dalam mempelajari Al Qur’an karena beliau
merasa khawatir kalau-kalau ada yang terlupa atau hilang. Allah pun
memerintahkan Nabi untuk mendengarkan baik-baik bila jibril membacakannya.[15]
Keterangan amanah dalam bukunya Pengantar Ilmu Al Qur’an dan Tafsir
dikatakan bahwa jibril kadangkala memperlihatkan bentuknya yang asli, tapi hal
ini jarang terjadi.
2.
Penurunan
wahyu tanpa perantara
Penyampaian
wahyu tanpa melalui perantara ialah dengan mimpi yang benar-benar dalam keadaan
tidur. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah dikatakan bahwa
sesungguhnya apa yang telah terjadi kepada nabi adalah benar-benar mimpi dalam
waktu tidur. Beliau tidak melihat mimpi kecuali bagaikan terangnya pagi hari.[16]
Hal
tersebut merupakan persiapan bagi Rosul untuk menerima wahyu dalam keadaan
sadar, kecuali bagi orang yang mendakwakan bahwa surah kautsar diturunkan
melalui mimpi karena ada satu hadis yang menjelaskan itu.[17]
Demikian
pula menurut pendapat yang paling sah, Allah pun telah berbicara secara
langsung kepada Rosul. Seperti pada malam isra’ mi’raj. Yang demikian ini
merupakan bagian kedua dari penyampain wahyu secara langsung oleh Allah. Tetapi
hal ini tidak terjadi pada proses penyampain Al Qur’an, tetapi terjadi pada
Nabi Musa as.[18]
Adapun
penurunan wahyu kepada jibril sebagaimana dijelaskan oleh Ali As Shabuny dalam
buku At-Tibyaan Fii Ulumil Qur’an ialah dengan cara diperdengarkan
kepada jibril. Ia mendengarkan ayat-ayat Allah kemudian disampaikan kepada
Rosulullah.
Makna
Inna Anzalnaahu Fii Lailatil qadri ialah “sesungguhnya kami telah
memperdengarkan dan memberikan pengertian kepada malaikat tentang Al Qur’an dan
kami menurunkannya apa yang telah mereka dengar”[19]
3.
Al
Qur’an, Hadis atau Qadim?
Sejarah
islam mencatat, telah terjadi perdebatan serius mengenai Al Qur’an sebagai
wahyu yang disampaikan oleh Allah kepada nabi yang statusnya adalah manusia.
Hal ini dapat kita lihat sebuah tragedi kelam dalam sejarah yang sampai
menyeret Imam Ahmad ibn Hanbal ke dalam penjara khalifah al-Ma’mun lantaran ia
tidak mau mengakui bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Dengan berbagai argumen masing-masing kelompok
mempertahankan pendapatnya.
Pembahasan
mengenai qadim atau hadisnya kalam Ilahi merupakan pembahasan teologi yang
dipandang paling rumit dan selalu menjadi pembahasan dalam sepanjang sejarah
Islam. Pembahasan ini tidak hanya dibahas oleh umat islam, tetapi juga telah
dikaji sebelumnya oleh para penganut agama Kristen.[20]
Sedikitnya
ada empat Aliran yang memiliki persepsi yang berbeda mengenai hadis atau
qadimnya Al Qur’an sebagai berikut:[21]
1.
Mazhab
Hanbali
Imam hambali dan
pengikutnya berpandangan bahwa kalam Ilahi (Al Qur’an) berasal dari suara dan
huruf yang ada dalam zat Allah. Karena itu ia termasuk qadim. Adapun
dalil yang mereka kemukakan adalah "Pertama, bahwa zat Allah itu qadim,
dan kedua bahwa kalam itu sebagai sifat Allah. Sifat bagi zat yang qadim harus
juga qadim karena apabila sifat bagi zat qadim itu adalah hadis
(baru-tercipta) maka akan menyebabkan perubahan pada zat qadim. sedangkan
perubahan pada zat Allah adalah mustahil.[22]
Qadhi 'Adhiduddin menilai
akidah Hanbali tersebut batil dengan alasan bahwa kalam adalah sebuah keadaan
yang gradual (sedikit demi sedikit) yang antara satu huruf dengan huruf yang
lain tercipta saling kebergantungan. Hal ini menunjukkan bahwa kalam itu hadis.
Kalam yang tersusun dari peristiwa tersebut maka pasti juga bersifat baru. Lebih
lanjut ia mengatakan, kalam adalah sebuah eksistensi yang berawal dan berakhir,
oleh karena itu ia bersifat baru.[23]
2.
Aliran
Karamiyah
Berbeda dengan Hambali,
Aliran karamiyah meyakini bahwa kalam ilahi itu terdiri dari suara dan huruf.
Karena itu ia bersifat bahari atau hadis. Namun dimikian mereka
mengatakan bahwa tidak masalah sekalipun menggandengkan sifat hadis pada yang qadim.
Tetapi kemudian, pendapat ini dibantah oleh Allamah Hilli dengan pernyataan
bahwa bagi Allah yang wajib Al Wujud tidak menerima sifat hadis.
Ada tiga alasan yang
dikemukakan oleh Allamah:[24]
pertama, ke-hadis-an pada zat Allah menyebabkan perubahan yang bersifat reaktif
dalam diri-Nya. Hal ini sangat berkontradiksi dengan zat Wajib al-Wujud, karena
setiap perubahan itu merupakan sifat bagi benda-materi dan Allah bukanlah
materi dan benda.
Kedua, jika Allah swt.
dipandang sebagai sebab dari sifat yang hadis ini, maka sifat yang hadis itu
pun harus azali, karena sebabnya adalah azali. Ketiga, hadis itu jika termasuk
sifat kamaliyah (sifat kesempurnaan) maka mustahil sifat tersebut tidak
termasuk dalam jajaran sifat-sifat Tuhan, karena Tuhan niscaya memiliki seluruh
sifat kesempurnaan dan apabila hadis itu merupakan sifat cacat dan kekurangan
maka mustahil Tuhan memiliki sifat tersebut.
3.
Aliran
Asy’ariyah
Imam Al Asy’ari pendiri
aliran ini mengatakan dalam Al- milal wa al-Nihal : "Allah
berbicara dengan kalam, dan kalam-Nya itu bersifat qadim, karena raja memiliki
kekuasaan pada rakyat, dan penguasa senantiasa memerintah dan melarang
rakyatnya, maka dia adalah penguasa. Penguasa apakah memerintahkan sesuatu yang
qadim atau memerintahakan sesuatu yang hadis. Jika hadis maka apakah dia akan
menyatu dan eksis pada zat Allah itu sendiri? Hadis mustahil menyatu dan eksis
pada zat Allah karena akan menyebabkan zat Allah sebagai wadah bagi hadirnya
sesuatu yang baru. Dan hal ini pasti mustahil. Demikian pula, mustahil kalam
itu menyatu dan eksis pada wadah yang lain, karena akan menyebabkan wadah
tersebut memiliki sifat kalam dan akan disebut sebagai mutakkalim. Demikian
pula, mustahil eksis pada wadah selain zat Allah, oleh karena itu kalam Allah
itu bersifat qadim dan eksis pada zat Allah serta menjadi sifat Allah".[25]
Kalam dalam pandangan
Asy’ariah sebagaimana dinilai Shahrastany, adalah maknanya yang menyatu dan
eksis pada jiwa sang mutakallim, tetapi tidak menyatu dengan lafadz dan ibarat.
Ibarat adalah indikaasi-indikasi dari kalam manusia. Oleh karena itu,
mutakallim adalah seseorang yang menyatu dengan kalam dan eksis pada dirinya.[26]
Dalam akidah Asy’ariah
kalam itu akan terwujud secara berangsur-angsur dan hadis dalam bentuk ibarat
dan lafaz. Ibarat dan lafaz itu tidak menyatu dengan zat Allah dan tidak bisa
dikatakan hakikat kalam Allah, tetapi mereka meyakini bahwa kalam hakiki Allah
adalah makna dari kata-kata yang dilafazkan yang bersifat qadim dan menyatu
serta eksis pada zat Allah Swt.[27]
4.
Akidah
Imamiah dan Mu’tazilah
Imamiah dan mu’tazilah
berpandangan bahwa kalam tuhan itu
hadis. Ia seperti kalam manusia yang terdiri dari huruf dan suara. Hal ini
mengindikasikan sebuah makna khusus yang
berada di lauh al-mahduz atau di hati jibril. Perbedaannya adalah manusia
ketika hendak mengungkapkan kalam membutuhkan lidah dan mulut serta tempat
keluarnya huruf-huruf (makharij al-huruf), sementara Allah tidak membutuhkan
hal tersebut. Oleh karena itu, kalam memiliki eksistensi gradual dan sistematik
yang berarti hadis.[28]
Syekh Mufid ketika menjawab
pertanyaan berikut, bagaimana Allah berdialog dengan Nabi Musa As? Beliau
menjawab: dialog Allah dengan Nabi Musa As adalah dengan cara Allah menciptakan
kalam pada sebatang pohon yang kemudian dengan perantaraannyalah sampai kepada
Nabi Musa As, kalam tidak mengharuskan adanya perubahan kualitas pada
pembicara, akan tetapi hanya membutuhkan tempat untuk pengejewantahannya.[29]
Perdebatan tentang hadis
atau qadim-nya kalam tak lain dikarena perbedaan persepsi. Semuanya
bertujuan untuk mensucikan tuhan sebagai pencipta jagat dari sifat ketidak
sempurnaan atau sifat yang dapat mengotori zat tuhan. Imam Ahmad bin hambal
misalnya, lebih memposisikan kalam lebih dekat, yakni sebagai sifat tuhan.
Mengaggap kalam hadis, bagi pengikut hambali tentu saja akan dinilai
buruk karena telah menyamakan sesuatu yang merupakan bagian dari tuhan dengan
sebutan hadis. Demikian pula dengan pandangan Al Asy’ari.
Golongan Mu’tazilah
menganggap kalam sebagai sesuatu yang berbeda dan jauh dengan tuhan. Tidak mungkin kalam itu
qadim, sementara ia terdiri dari suara dan huruf yang bisa dicerna oleh manusia
yang baru. Maka dalam hal ini penulis sepakat dengan pernyataan syaikh Mufid.
Tuhan telah mengubah kalamnya menjadi sesuatu yang dapat dipahami oleh manusia.
Dengan berpandangan sebelum kalam itu diletakkan pada sebuah pohon, ia bersifat
qadim.
Dengan demikian, maka
sesungguhnya kedua perbedaan pandangan tersebut dapat dikompromikan satu sama
lain. kalam itu bisa disebut qadim ketika ia masih disisi tuhan, belum
terejawantah menjadi sebuah suara atau huruf-huruf. Ia adalah bagian dari sifat
yang melekat pada diri tuhan yang qadim. Sebaliknya, kalam tuhan itu bisa
disebut hadis karena ia telah diwujudkan dengan bentuk yang lain yang
dapat dipahami oleh manusia yang baru.
C.
Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan
maka dapat ditarik sebua keimpulan sebagai berikut.
1.
Perbedaan
pengertian terhadap makna Al Qur’an akan melahirkan perbedaan makna pula.
2.
Secara
garis besar Al Qur’an memiliki dua alasan mengapa ia disebut wahyu. Pertama
dilihat secara teks Al Qur’an itu sendiri yang memiliki keistimewaan dan memuat
banyak hal sepanjang perjalanan umat manusia. Kedua, ia diturunkan kepada
seorang nabi sebagaimana nabi-nabi sebelumnya juga diberi wahyu.
3.
Pewahyuan
Al Qur’an berbeda dengan pewahyuan kitab-kitab sebelumnya seperti taurat dan
injil yang diturunkan secara sekaligus. Ada hikmah yang diberikan oleh Allah
dengan menurunkan Al Qur’an secara berangsur-angsur.
4.
Perdebatan
mengenai hadis dan qadim-nya kalam (Al Qur’an) hanya perbedaan
pandangan yang kesemuanya bertujuan untuk mensucikan tuhan dari sifat tercela
dan ketidak sempurnaan.
D.
Daftar
Bacaan
Ali Muhammad, Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an
Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001)
Amanah, Pengantar ilmu Al Qur’an dan Tafsir, (CV. Asy
Syifa’: Semarang, 1993)
Ali Muhammad, Ash Shabuny, Pengantar Studi Al Qur’an,
terj, (Bandung: Al Ma’arif, 1987)
Khalil, Manna, al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an, terj,
(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011).
Subhi, Al Shaleh, Membahas Ilmu-Ilmu Al Qur’an,
(Pustaka Firdaus: Jakarta, 1990).
[1] Syekh
Ali Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2001), hal. 3
[7]
Definisi ini menurut Al Zurkani sebagaimana dikutip oleh Amanah dalam buku Pengantar
ilmu Al Qur’an dan Tafsir, (CV. Asy Syifa’: Semarang, 1993), hal. 26.
[8] Syekh
Ali Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2001), hal. 45
[11] Manna
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an, terj, (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2011), hal. 44
[20] http://muhammadarabiyah.blogspot.com/2011/12/apakah-al-quran-qadim-atau-hadis.html
(Maret, 19 Maret 2013 pukul 11.55).
[22] Keterangan tersebut dapat dijumpai dalam
kitab syarh al-Mawaqif, jilid 8,Hal. 92. Shirat al-Haq, jilid 1, hal.
294
[24] Keterang tersebut dapat dijumpai dalam kitab
Kasy al-muraad fi syarh tajrid al i'tiqad, hal. 228
[25] http://muhammadarabiyah.blogspot.com/2011/12/apakah-al-quran-qadim-atau-hadis.html
(Maret, 19 Maret 2013 pukul 11.55).
[29] Keterangan tersebut diambil dari Mushannifaat
Syaikh Mufid, jilid 6. Al-Masa'il al-'akbaariyyat, hal. 43
No comments:
Post a Comment