Perkembangan
agama pada anak sangat ditentukan oleh lingkungan, baik pengalaman atau
pendidikan di sekolah. Di rumah
pengalaman kegamaan pada anak mengikuti pola keagamaan orang tua. Praktek
keagamaan yang benar oleh orang tua akan menjadi keuntungan sendiri bagi anak
perihal agamanya ketika
dewasa. Sebaliknya, keagamaan seorang anak tidak baik
jika semasa kecilnya ia tidak di perkenalkan agama secara baik. Peran orang tua
sangat menentukan keberagamaan anak.
Di sekolah,
keagamaan anak ditentukan oleh guru agama. Dasar agama di lingkungan keluarga
akan dikembangkan di sekolah sesuai tingkat pengetahuannya. Semakin bertambah
umur mereka, semakin bertambah pula konsep agama yang mereka miliki. Semula
mereka hanya mengenal tuhan melalui fantasi dan emosinya, ketika di sekolah ia
akan mengenal tuhan secara formal sebagaimana diajarkan oleh guru mereka. Pada
tahapan ini, mereka sangat tertarik untuk mempelajari agama. Sebagaimana
dikatakan Jalaluddin dalam buku psikologi agama, anak-anak tertarik dan senang
pada lembaga keagamaan yang mereka lihat
dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal)
keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.
Dengan
demikian, penting kiranya pendidikan agama pada anak agar menjadi orang yang
taat terhadap ajaran agama setelah ia dewasa. Makalah ini akan membahas lebih
jauh pola keagamaan pada anak.
Timbulnya
Keagamaan Pada Anak
Bahasa
merupakan tahan awal seorang anak mengenal tuhan.[1] Semula nama
tuhan dikenal secara acuh tak acuh. Selanjutnya ia akan merasakan kegelisahan
setelah melihat orang-orang dewa menunjukkan rada kagum dan takut kepada tuhan.
Ia akan gelisah dan ragu tentang adanya yang gaib yang tidak dapat dilihatnya.
Ia akan mengikuti dengan mengulang-ulang apa yang dibaca oleh orang dewasa.
Lambat laun, tanpa sadar, pemikiran tentang tuhan akan masuk dalam dirinya dan
menjadi pembinaan kepribadiannya.[2]
Zakiah
Derajat mengatakan, semula, tuhan bagi anak merupakan hal yang asing yang
diragukan kebaikan niatnya. Hal ini disebabkan oleh pengalaman kesenagan atau
kesusahan belum dirasakan oleh seorang anak. Namun setelah ia menyaksikan orang
dewasa yang disertai emosi atau perasaan tertentu dalam memandang tuhan,
perlahan-lahan perhatiannya terhadap tuhan mulai tumbuh. Bahkan pada tahap
awal, pengalaman tentang tuhan merupakan hal yang tidak disenangi karena
merupakan ancaman bagi integritas kepribadiannya. Itulah sebabnya, menurut
Zakiah, seorang anak sering menanyakan tentang dzat, tempat dan perbuatan tuhan
untuk mengurangi kegelisahannya.
Jawaban yang
diterima oleh anak atas pertanyaan yang ia ajukannya dengan puas sepanjang
jawaban itu serasi. Jawaban yang tidak serasi akan membawa pada keragu-raguan
dan pandangan skeptis pada masa remaja. Oleh karena itu, apa yang dipercayai
seorang anak tergantung pada apa yang diajarkan oleh orang tua di rumah dan
seorang guru di sekolah.[3]
Tuhan
sebagai keharusan moral
Disamping
menjadi sandaran emosi, tuhan menjadi penolong moral yang berarti penolong
anak-anak dalam menghadapi dorongan jahat yang timbul di hatinya. Pada masa
akhir anak-anak terlihat perhatiannya yang sangat kepada tuhan karena ia penolong
yang baik, menolong orang lemah, membalas orang yang aniaya. Gambaran tentang
ini sangat menolong anak untuk menerima kesusahan dan penderitaan yang
kadang-kadang meminta pengorbanan.[4]
Karena ini
Zakiah Derajat mengatakan bahwa anak yang lebih besar, sembahyang dan doanya
lebih sungguh-sungguh dari pada anak kecil. Ia mulai menyadari bahwa tuhan
sebagai tempat penolong dan agama sebagai kebaikan tertinggi. Kejahatan yang
paling besar pada anak usia 9 tahun adalah mencela agama. Nilai agama meningkat
bersama nilai-nilai keluarga atau berarti moral keluarga mengikuti moral agama.
Allah
semakin dekat kepada jika si anak karena anak makin dekat pula padanya. Ia
mulai mendengar kata hatinya tentang akhlak dan Allah menjadi pantulan dari
suara tersebut.[5]
Perkembangan
Agama Pada Anak
Sebelum
membahas perkembangan agama pada anak akan dikemukakan terlebih dahulu teori
pertumbuhan agama pada anak itu sendiri. Teori mengenai pertumbuhan agama pada
anak itu antara lain:[6]
1. Rasa ketergantungan (Sense of Depende)
Teori ini
dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya manusia
dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu : keinginan untuk
perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience),
keinginan untuk mendapat tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal
(recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu,
maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui
pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian
terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2. Instink Keagamaan
Menurut
Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink di antaranya
instink keagamaan. Belum terlihat tindak keagamaan pada diri anak karena
beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu
belum sempurna. Misalnya instink social pada anak sebagai potensi bawaannya
sebagai makhluk homo socius, baru berfungsi setelah mereka dapat bergaul dan
berkembang untuk berkomunikasi. Jadi instink social itu tergantung dari
kematangan fungsi lainnya. Demikian pula instink keagamaan.
Adapun
perkembangan agama pada anak sebagaimana dikemukakan Ernes Harms dalam bukunya
The Development of Religious Children, bahwa perkembangan anak melalui tiga
tingkatan:[7]
1.
The Fairy Tale Stage (Tingkat
Dongeng)
Konsep mengenai
tuhan pada tingkat ini lebih banyak dipengaruhi oleh emosi dan fantasi. Seorang
anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan
intelektualnya. Pada fase ini, seorang anak banyak dipengaruhi oleh konsep
fantasi yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Fase ini
biasanya ketika seorang anak baru berumur 3-6 tahun.
2. The Realistic Stage (Tingkatan Kenyataan)
Tingkat ini
dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga sampai ke usia (masa usia)
adolesense. Pada masa ini die ke Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep
yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan
pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada
anak di dasarkan atas dorongan
emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdarkan
hak itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga
keagamaan yang mereka lihat dikelola
oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal)
keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat
ini akan telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan
perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi
atas tiga golongan: Pertama konsep ke Tuhanan yang konvensional dan konservatif
dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh
pengaruh luas. Kedua, Konsep ke Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam
pandangan yang bersifat personal (perorangan). Ketiga, Konsep Ke Tuhanan yang
bersifat humanistic. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam
menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh factor
intern yaitu perkembangan usia dan factor ekstern berupa pengaruh luar yang
dialaminya.
Perkembangan
agama kepada anak yang paling dominan sejatinya karena pengaruh lingkungan.
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan agama
kepada anak. Zakiah derajat dalam buku Ilmu Jiwa Agama menjelaskan, guru
agama di sekolah dasar menghadapi tugas yang tidak ringan dalam pengembangan
agama pada anak. Sebab, seorang anak dalam satu kelas membawa sikap
sendiri-sendiri dalama agamanya, sesuai dengan pengalaman agama yang diajarkan
di rumah.
Selanjutnya
guru disekolah memiliki tugas untuk mengembangkan jiwa keagamaan kepada anak
secara sehat. Dia dapat memupuk anak yang pertumbuhan agamanya baik menjadi
lebih baik dan yang kurang baik menjadi lebih baik sesuai dengan yang
diharapkan.
Sifat Agama
Pada Anak
Sesuai
dengan ciri yang dimiliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti
pola ideas concept on outhority, ide keagamaan pada diri mereka
dipengaruhi oleh factor dari luar diri mereka. Orang tua mempunyai pengaruh
terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Bagi mereka
sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka
sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.
Berdasarkan
hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak sebagaimana ditulis oleh
Jalaluddin dalam buku Psikologi Agama dapat dibagi sebagai berikut:
1. Unreflective ( Tiak mendalam)
Dalam penelitian
Machion tentang jumlah konsep ke Tuhanan pada diri anak 73 % mereka menganggap
Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang
mengatakan bahwa Santa Klaus memotong jenggotnya untuk membuat bantal. Dengan
demikian anggapan mereka terhadap ajara agama dapat saja mereka terima dengan
tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup
sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang
kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian pada beberapa orang anak
terdapat mereka yang memiliki ketajaman pikiran
untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
Penelitian
Praff mengemukakan contoh tentang hal itu :
“Seorang
anak perempuan diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakan sebuah gunung.
Berdasarkan pengetahuan tersebut maka pada suatu kesempatan anak itu berdoa
selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan gunung-gunung yang ada di daerah
Washington ke laut. Karena keinginannya itu tidak terwujud maka semenjak itu ia
tak mau berdoa lagi”
2. Egosentris
Anak
memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya
dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran
akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka tumbuh keraguan pada rasa
egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan
hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya
dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya.
Seorang anak yang kurang mendapat kasih sayang dan selalu mengalami tekanan
akan bersifat kekanak-kanakan (childish) dan memiliki sifat ego yang rendah.
Hal yang demikian menganggu pertumbuhan keagamaannya.
3. Anthromorphis
Pada umumnya
konsep mengenai ke Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya ke kala
ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke Tuhanan
mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan.
Melalui
konsep yang berbentuk dalam pikiran mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan
itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang
berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat yang gelap.
Surge
terletak di langit dan untuk tempat orang yang baik. Anak menganggap bahwa
Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagai
layaknya orang mengintai. Pada anak yang berusia 6 tahun menurut penelitian
Praff, pandangan anak tentang Tuhan adalah bahwa Tuhan mempunyai wajah seperti manusia, telinganya
lebar dan besar. Tuhan tidak makan tetapi hanya minum embun.
Konsep ke
Tuhanan yang demikian itu mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi
masing-masing.
4. Verbalis dan Ritualis
Dari
kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian
besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghapal secara verbal
kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka
laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan kepada mereka.
Sepintas lalu hal tersebut kurang ada hubungannya dengan perkembangan agama
pada anak di masa selanjutnya tetapi menurut penyelidikan hal itu sangat besar
pengaruhnya terhadap kehidupan agama anak itu di usia dewasanya. Bukti
menunjukkan bahwa banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan
praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa anak-anak mereka. Sebaliknya
belajar agama di usia dewasa banyak mengalami kesuburan.
5. Imitatif
Dalam
kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan
oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan sholat misalnya
mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa
pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Pada ahli jiwa menganggap, bahwa
dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan
modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
Menurut
penelitian Gillesphy dan Young terhadap sejumlah mahasiswa di salah satu
perguruan tinggi menunjukkan, bahwa anak yang tidak mendapat pendidikan agama
dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan menjadi pemilik kematangan agama
yang kekal.
6. Rasa heran
Rasa heran
dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan
yang terakhir pada anak.
Daftara Bacaan
Derajat,
Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Bulan Bintang: Jakarta), 1979
Jalaluddin,
Psikologi agama, (PT RajaGarfindo Persada: Jakarta), 1998
No comments:
Post a Comment