Oleh Miftahul Arifin
A.
Pendahuluan
Dalam
sejarah aliran-aliran dalam tologi islam, Al Baqillani dikenal sebagai salah
seorang tokoh pemuka dari golongan Asy’ariyah. Selain karena pengakuannya akan
adanya sifat-sifat Allah, pendapat-pendapatnya juga memiliki kesamaan dengan
Imam Al Asy’ari. Ia juga banyak menolak terhadap ajaran-ajaran yang dibawa oleh
golongan mu’tazilah.
Pandangan-pandangan
dari al Asy’ri ia dapat
kan dari kedua gurunya yaitu, Ibnu Mujahid dan Abu Al
Hasan al Bahili. Keduanya merupakan murid Al Asy’ari. Namun, meski demikian, Al
Baqillani tidak selalu sependapat dengan Al Asy’ari. Disatu sisi ia menerima
terhadap faham Asy’ariah dan disisi lain ia menolaknya. Secara umum Al
Baqillani sependapat dengan Al Asy’ari dan menolah terhadap pandangan
Mu’tazilah.
Dalam
Makalah yang sikat ini, penulis berusaha mencari persamaan dan perbedaan
pandangan antara mu’tazilah, Al Asy’ari dan al Baqillani. Namun penulis hanya
akan membatasi pada empat pokok permasalahan: pertama, mengenai perbuatan
Manusia. Kedua, Fungsi Akal Dan wahyu. Ketiga, Janji dan ancaman tuhan. Konsep
iman dan hari akhir.
B.
Pembahasan
1.
Riwayat
Hidup
Nama
Asli Al Baqillani adalah al-Qadi Abu Bakar Muhammad Ibn al-Tayyib Ibn Muhammad
Ibn Ja’far Ibn Al-Qasim Abu Bakar al Baqillani. Lahir di Basrah tetapi tidak
ada keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahirannya. Namun,
karena ia lahir pada pemerintahan Al Buwaihi (w.372 H), maka ia diperkirakan
lahir pada paroh kedua abad ke empat Hijriah.[1]
Ibnu
Asakir menjelaskan, bahwa Syaikh Abu al Qasim ibnu Burhan al Nawawi Memandang
al Baqillani sebagai pemuka Asy’ariah
yang paling utama di masanya. Bagus pemikirannya dan tangkas di dalam
memberikan penjelasan. Setelah seorang mendengar penjelasannya, tidak merasa
enak lagi mendengar keterangan orang lain. Selain itu ia juga terkenal sebagai
pemuka asy’ariah yang mampu membungkam lawan-lawannya. Ketika ia pernah mendatangi
sebuah pertemuan, ibn al Muallim, pemuka dari golongan Rafida kepada
pengikutnya: “Telah datang kepadamu setan”. Mendengar penghinaan itu, al
Baqillani kemudian mendatangi nya dan berkata, qaala ta’ala:anna arsalna
al-syayaatina ‘ala al kafirina Tauzzuhum azza (QS. 19: 83). Dengan
perkataan lain: “Jika saya setan maka kamulah kafinya dan saya diutus kepadamu”[2]
Al
Baqillani adalah seorang dari madzhab maliki yang memiliki banyak murid.[3]
Diantaranya adalah Abu Muhammad al Abd al-Wahhab ibn Nasr al-Maliki, Ali Ibn
Muhammad al Harbi, Abu Ja’far al-Sammani, Abu Abdallah al-Azdi dan Abu Imran al
Fasi. Disamping itu juga, ia memiliki banyak karya tulis. Setiap malam ia
menulis tiga puluh lima lembar tulisan. Pada waktu ba’da subuh, ia membagikan
tulisan-tulisannya agar mereka membacanya dan memberikan sumbangan pemikiran di
dalamnya.
Masa
kehidupan al Baqillani merupakan masa kecemerlangan Mu’tazilah meski tidak
secemerlang pada masa pemerintahan al Ma’mun[4].
Pertentangan antar golongan pun tidak setajam ketika ketika itu. Hal ini dapat
dilihat, ketika itu, hubungan mu’tazilah dengan kaum Syi’ah cukup baik.
Hubungan tersebut membawa mu’tazilah memperoleh kekuatan besar yang memperoleh
naungan dari pemerintahan Buwaihi. Bahkan, sebagian pendapat mengatakan bahwa
mu’tazilah sesuai dengan faham syiah ketika itu. Pada saat itu juga , mereka
dapat menyampaikan ajarannya secara terang-terangan di hadapan
lawan-lawannya.
Al
Baqillani wafat pada hari sabtu, tanggal 27 Zulka’dah 403 Hijriyah, bertepatan
dengan tanggal 6 Juni 1931 Masehi. Ia di kebumikan di daerah Majusi. Kemudian
di pindah ke pemakaman korban perang.
2.
Karya
Al
Baqillani merupakan salah seorang pemuka dari faham Asy’ariyah yang banyak
meninggalkan karya. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Al Baqillani, setiap
malam menghasilkan tiga puluh lima lembar tulisan yang disajikan kepada seluruh
sahabat-sahabatnya. Ilhamuddin, dikutip dari Zuhdi Jar, dalam bukunya al
Mu’tazilah mengatakan bahwa diantara karya al Baqillani yang bisa ditemukan
sekarang antara lain: I’jaz Al Qur’an. Al Tamhid, Al Hidayat, Al Bayan, Al
Manaqib al Aimmat, dan Al Insaf.
3.
Beberapa
masalah pokok dalam islam di sekitar kehidupan Al Baqillani
Al
Baqillani hidup pada masa pemerintahan Bani Buaihi. Bani Buaihi berasal dari
suku Dailam, yaitu suku bangsa pegunungan yang garang dari daerah sebelah barat
daya laut Kaspia. Sejak pemerintahan umar ibn Khattab daerah tersebut sudah di
masuki islam.[5]
Ali, Al Hasan dan Ahmad merupakan tiga bersaudara yang telah meletakkan dasar
bagi bagi dinasti bani Buaihi.
Dalam
pada itu sedikitnya ada dua masalah pokok dalam teologi islam yang berkembang
ketika itu. Pertama, masalah kafir. Kata kafir yang disebutkan dalam Al qur’an
ialah kebalikan dari kata iman, dan ditujukan bagi orang-orang di luar islam.
Tetapi dalam paham khawarij, kalangan islam pun telah ada yang kafir seperti
orang yang telah melakukan arbitrase dalam kasus politik antara ali dan
Mu’awiyah.[6]
Kafir dalam hal itu menurut mereka berarti murtad, alias keluar dari agama
islam dan wajib dibunuh.
Pandangan
diatas kemudian mendapat tantangan dari kalangan murji’ah. Menurut mereka,
mukmin yang berbuat dosa besar tetaplah mukmin. Sedangkan penilaian akhir
ditunda dan diserahkan kepada Allah. Para pemimpin yang melakukan disa besar
juga tidak bisa disebut kafir, tetap harus ditaati.[7]
Dalam
perdebatan mengenai hal tersebut mu’tazilah juga tampil sebagai golongan yang
tidak sependapat dengan kedua golongan di atas. Menurut Mu’tazilah, sebagai
mana dikatakan Watsil bin Ata, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi fasiq. Predikat kafir tidak dapat diberikan kepada
mukmin pelaku dosa besar karena ia juga tetap mengucapkan syahadat dan mengerjakan amal-amal baik.[8]
Berbeda
pula dengan kalangan Asy’ari dan al Maturidi, baik Samarkand maupun Bukhara.
Mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak pula berada
pada dua tempat seperti yang dikatakan Mu’tazilah. Mereka berpandangan, jika
orang tersebut meninggal maka nasibnya di akhirat terserah Allah.[9]
Kedua,
Mengenai kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan. Menurut Mu’tazilah, kehendak dan
kekuasaan mutlak tuhan terbatas. Keterbatasan itu terjadi oleh adanya
pembatasan yang diciptakannya sendiri, yaitu dengan memberi kebebasan berbuat
bagi manusia. Sementara itu, menurut kalangan al asy’ari tuhan tetap memiliki
kehendak dan kekuasaan mutlak. Segala kebaikan dan kejahatan terjadi menurut
kehendaknya.
Namun,
berbeda dengan Maturidiyah Samarkand. Karena ia memberi penghargaan yang tiggi
terhadap akal, maka pendapatnya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah. Menurut mereka,
yang membatasai kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan adalah kebebasan yang
diberikan-Nya kepada Manusia.[10]
Pada
situasi itulah Al baqillani Hadir sebagai bagian dari golongan Asy’ariyah.
Namun, meski demikian, Al baqillani tidak serta merta menerima terhadap
pemikiran Al Asy’ari. Ada beberapa dari pemikiran Al Asy’ari yang tidak
diterima oleh al Baqillani. Beberapa hal tersebut akan kami jabarkan pada
pembahasa selanjutnya.
4.
Pemikiran
Al Baqillani : Studi Perbandingan dengan pemikiran Al Asy’ari dan Mu’tazilah
Al
Baqillani merupakan salah satu pemuka dari golongan Asy’ariyah yang memiliki
keilmuan yang luas. Meski demikian, al Baqillani tidak serta merta menganut
faham yang telah dirumuskan oleh Al asy’ari. Dengan kemampuannya itu, ia
berusaha memfilter setiap ajaran asy’ariyah yang dianggap benar dan
menyingkirkan faham asy’ariyah yang tidak sesuai dengan pemahamannya. Tidak
hanya itu, ia juga lawan dari golongan mu’tazilah yang berkembang pada waktu
itu, yang juga merupakan lawan berat dari kaum Asy’ariyah.
Dalam
pembahasan ini paling tidak ada tiga hal yang menjadi pokok pembahasan penulis:
pertama, tentang perbuatan manusia. Kedua, Fungsi akal dan wahyu. Ketiga, Janji
dan ancaman tuhan.
1.
Perbuatan
Manusia
Kaum
Mu’tazilah meyakini bahwa secara hakiki manusialah yang menciptakan
perbuatannya[11]
Apabila Allah yang menciptakan perbuatan manusia, maka perbuatan manusia buan
merupakan perbuatan bagi mereka. Oleh karena itu, batallah taqlif, dan
batallah janji maupun ancaman Allah. Bagaimana Allah akan menghisab
hamba-hambanya di akhirat jika perbuatan mereka merupakan ciptaan Allah.[12]
Kaum
Mu’tazilah berpandangan jika tuhan menciptakan perbuatan manusia tidak ada
gunanaya ia mengutus Rosul-Nya, sebab ia tidak bebas dalam mengikuti
petunjukknya. Kaum Mu’tazilah berpendirian bahwa didalam perbuatan manusia ada
kekafiran, kebohongan dan kedzaliman. Jika Allah menciptakan perbuatan manusia
tentu perbuatan buruk itu merupakan perbuatannya sebab siapa yang berbuat
sesuatu maka perbuatan itu didasarkan kepadanya.[13]
Dengan begitu, tidak dapat dikatakan bahwa perbuatan manusia itu diciptakan
oleh allah.
Kaum
Asy’ariyah menolak terhadap pandangan Mu’tazilah di atas. Pandangan tersebut,
menurut Al Asy’ary bertentangan dengan firman Allah “sesunggunya tuhanmu
maha pelaksana atas segala sesuatu yang ia kehendaki” (QS. 11:107). Bagi Al
Asy’ari, manusia tidak memiliki pilihan di dalam perbuatannya karena semua yang
dilakukan manusia berdasarkan ketentuan tuhan. Demikian juga mengenai kakafiran
itu buruk dan keimanan itu baik. Sekiranya tuhan tidak menciptakan kekafiran
itu buruk tentulah manusia memandang kekafiran itu menjadi baik kerena
keinginan mereka. Perbuatan manusia bagi al asy’ari adalah kasb dan
tidak ada fail bagi kasb kecuali Allah.[14]
Al Asy’ari meyakini bahwa Perbuatan Manusia Adalah ciptaan tuhan seluruhnya[15]
Untuk
membuktikan bahwa allah lah yang menjadikan atau menciptakan semua perbuatan
manusia, Al Asy’ari mengemukakan contoh seperti dua macam gerak yang terjadi
pada manusia yaitu gerak idhthirar dan gerak iktisab. Sebagaimana
gerak idthirar memerlukan waktu dan tempat begitu pula gerak iktisab. [16]
Gerak
idthirar terjadi secara paksa pada manusia dan tidak melepaskan dari
padanya sekalipun manusia telah berusaha seperti gemetarnya orang sakit atau
demam. Sementara gerak iktisab ada usaha manusia untuk melakukan atau
tidak walaupun yang menjadikan bergerak atau tidak adalah Allah.[17]
Berbeda
dengan Al Baqillani. Menurut Al Baqillani, manusia memiliki sumbangan efektif
dalam mewujudkan perbuatannya. Yang diwujudkan tuhan adalah gerak yang terdapat
dalam diri manusia; adapun bentuk yang dihasilkan dari gerak itu adalah
perbuatan manusia. Dengan kata lain, gerak dalam diri manusia mengambil
berbagai bentuk: duduk, berdiri, berbaring dan lain-lain. Manusialah yang
menciptakan bentuk dari gerak yang diciptakan tuhan itu sendiri.[18]
Menurut
Al Baqillani, Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan perbuatan yang
diinginkannya. Tetapi kebebasan manusia dalam berbuat itu tidak seperti
kebebasan yang dipahami oleh Mu’tazilah.[19]
Manusia hanya berbuat dengan qudrah atau daya yang diciptakan tuhan. Hal
ini dapat dibuktikan dengan perbuatan seseorang yang hanya bisa berbuat dalam
satu waktu namun, tidak dapat berbuat pada waktu yang lain.[20]
Dengan
demikian, kasb dalam pengertian Al Asy’ari tidak memiliki efek,
sementara menurut Al Baqillani memiliki efek.
Qudrat yang ada pada manusia, menurut Al
Baqillani, tidak tetap. Kemampuan manusia hanya ada bersamaan dengan perbuatan.
Apabila manusia telah memiliki kemampuan sebelum terjadi perbuatan, maka pada
waktu terjadinya perbuatan ia tidak lagi membutuhkan tuhan. Dan ini mustahil.[21]
Adapun
mengenai daya yang diberikan tuhan kepada manusia, menurut Al Baqillani,
bersamaan dengan terlaksananya perbuatan, sebagaimana air memancar keluar
bersamaan dengan terjeburnya batu kedalam sebuah bejana. Untuk menegaskan
pendapat tersebut Al Baqillani mengutib ayat Al Qur’an dalam surat At Talaq
ayat 7:[22]
لا يكلف الله نفسا الا ما اتها
”
Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuan
yang diberikan oleh Allah”
Dalam
menaggapi pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia bukan
ciptaan tuhan, al Baqillani mengemukakan bahwa Allah adalah pencipta semua
perbuatan manusia sebab Allah berkuasa terhadap apa yang ia lakukan. Hal ini
sesuai dengan firman Allah: “dan dialah yang menciptakan manusia dan
perbuatannya”(Qs. Al-shaffat: 96). Perbuatan manusia dikatakan perbuatan
tuhan karena manusia diberi daya untuk berbuat ketika terjadinya perbuatan.[23]
2.
Fungsi
Akal dan Wahyu
Golongan
Mu’tazilah merupakan golongan yang sangat menjunjung tinggi akal. Bagi Mu’tazilah,
segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, dan
kewajiban-kewajiban dapat diketahui melalui akal. Dengan demikian, berterima
kasih kepada tuhan sebelum datangnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib
diwajib diketahui melaui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan
menjahui yang jahat adalah wajib.[24]
Menurut
al-Syahrastani, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kewajiban mengetahui dan
berterima kasih kepada tuhan dan kewajiban menegerjakan yang baik dan menjahui
yang buruk dapat diketahui oleh akal. Sudah barang tentu bahwa Sesuatu hal
adalah wajib, orang harus terlebih dahulu mengetahui hakikat hal itu sendiri.
Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterima kasih kepada tuhan dan
kewajiban berbuat baik dan menjahui yang jahat, orang harus terlebih dahulu
mengetahui tuhan dan mengetahui baik dan buruk.[25]
Oleh karena itu, bagi orang yang berakal sehat, muda ataupun tua berkewajiban
mengetahui tuhan. Al-Nadzdzam memberikan batasan yang dimaksud muda adalah anak
yang telah bisa memikirkan bahwa dirinya dan alam semesta ini ada yang
menciptakan.[26]
Apa gunanya rosul di utus? Abu Al Huzail dan Abu Ali sepakat mengatakan bahwa
rosul diutus untuk memberitahukan ketentuan hukum seperti shalat lima waktu,
puasa ramadlan dan lain-lain.[27]
Sementara
kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak dapat mengetahui kewajiban
sebelum turunnya wahyu. Semua kewajiban menurutnya ialah berdasarkan wahyu.
Akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan keburukan. Demikian pula mengenai pemberian
pahala atau siksa berdasarkan wahyu, bukan akal.[28]
Demikian pula mengenai kewajiban bersyukur atas nikmat Allah. Pendapat tersebut
diperkuat oleh sebuah ayat “Kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutus
seorang Rosul”(QS. 17:15). Al Asy’ari berpandangan bahwa kewajiban beriman
bagi seseorang baru datang mana kala telah sempurna akalnya.[29]
Dalam
hal ini, Al Baqillani menolak pandangan mu’tazilah yang mengatakan bahwa segala
yang baik dan buruk dapat diketahui oleh akal. Menurut Al Baqillani, yang
menentukan baik dan buruk adalah wahyu.[30]
Ia memberikan alasan bahwa orang yang berakal tidak pernah sependapat dalam
menentukan baik dan buruk.[31]
Dengan demikian kalau akal dijadikan tolo ukur dalam menentukan baik dan buruk
maka tidak akan ada keseragamaan mengenai baik itu sendiri.
Selanjutnya,
mengenai baik dan buruk, Al Baqillani membaginya kepada tiga kelompok[32].
Pertama,berkaitan dengan kesempurnaan dan kekurangan sifat seperti
berilmu itu baik sedangkan bodoh itu buruk. Semua orang sepakat bahwa hal itu
dapat diketahui oleh akal. Kedua, berkaitan dengan perbedaan
kepentingan, seperti seorang yang mati adalah baik bagi musuhnya tapi buruk
bagi keluarganya. Ketiga, berkaitan dengan pahala dan siksa. Menurut al
Baqillani, informasi mengenai hal tersebut hanya dapat diketahui melaui wahyu.
Dalam hal ini akal tidak memiliki peran.
Penggolongan
mengenai baik dan buruk seperti yang dikemukakan oleh al Baqillani diatas
memberi pengertian bahwa meskipun sebagai pemuka dari golongan Asy’ariyah yang
ber-madzhab pada imam al Asy’ary, Al Baqillani tidak serta-merta menerima dan
mengkonsumsi secara total pendapat Asy’ariyah. Al Baqillani melihat bahwa akan
dalam satu sisi memang memiliki potensi untuk menilai bahwa sesuatu itu dapat
dikatakan baik atau buruk.
Berdasarkan
penjelasan di atas tanpaknya kelemahan akan dalam pandangan al Baqillani hanya
pada masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan pahala dan siksa. Selain itu
akal masih dapat berperan. Dalam hal ini misalnya, meskipun akal tidak dapat
mengetahui secara spontan mana makanan yang sehat atau terdapat racun, akan
dapat mengetahuinya berdasarkan eksperimen.[33]
3.
Janji
Dan Ancaman Tuhan
Janji
dan ancaman merupakan salah satu dari kelima ajaran pokok Mu’tazilah. Kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak dapat disebut adil, jika ia tidak
memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang
yang berbuat buruk. Keadilan tuhan menghendaki supaya orang yang bersalah
diberi hukuman dan orang yang berbuat baik diberi upah sebagaimana dijanjikan
oleh tuhan.[34]
Menurut kaum mu’tazilah, janji dan ancaman Allah pasti terjadi. Bahkan pelaku
dosa besar yang tidak bertaubat akan kekal di dalam neraka. Namun, Adzab yang
diterimanya lebih ringan dari pada orang kafir.[35]
Mengenai
janji dan ancaman ini, Asy’ari dan Al Baqillani memiliki pandangan yang sama.
Mereka berpendapat bahwa perbuatan baik tidak wajib mendapat pahala dari Allah
dan orang yang berbuat maksiat tidak wajib menerima hukuman. Menurutnya,
apabila Allah hendak bermaksud menyiksa seluruh penduduk bumi, maka Allah tidak
dapat dikatakan dzalim kepada manusia.[36]
Pendapat ini tentu sangat bertentang dengan faham mu’tazilah yang lebih
mengedepan rasional.
Selanjutnya,
menurut Al Asy’ari, Allah adalah pemberi kewajiban maka tidak ada satupun yang
wajib terhadapnya. Berdasarkan akal, tidak dapat dikatakan bahwa Allah wajib
menerima taubat seseorang yang berdosa besar. Sesuai dengan petunjuk wahyu dan
hadits, Allah akan mengabulkan taubat orang yang bertaubat dan mengabulkan doa
orang yang dalam keadaan terpaksa.[37]
Albaqillani memperkuat pendapat Al Asy’ari diatas dengan mengatakan bahwa
pemeberian pahala merupakan kewajiban bagi tuhan adalah buruk menurut akal.
Karena, tidak mustahil bagi Allah jika mengampuni dan memasukkan orang yang
berbuat maksiat ke dalam neraka.[38]
Dalam artian perbuatan Allah tidak dapat dikatakan tidak adil dalam hal apapun
karena segala sesuatu yang ada di alam ini merupakan ciptaan Allah. Allah
memiliki kebebasan atas semua itu.
Namun
meski demikian, Menurut Al Baqillani, sesuai dengan firman allah “Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun dan Penyayang” (QS. 64: 87), Allah akan mengampuni
orang yang berbuat jahat. Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah boleh
mengampuni semua atau sebagian yang berdosa dan menyiksa sebagian yang lain.
Akan tetapi sesuai dengan ketentuan Nabi Muhammad dan ijma’ kaum muslimin,
Allah tidak akan mengampuni seorangpun diantara orang kafir.[39]
Bagi
Al Baqillani, pelaku dosa besar atau fasik tidak termasuk kafir atau musyrik.
Oleh karena itu Allah dapat mengampuninya. Karena perbuatan aksiat selain kufur
dan syirik tidak bertentangan dengan iman dan makrifat kepada Allah.[40]
Pendapat
tersebut sejalan dengan Al Asy’ary bahwa orang yang mempunyai iman adalam
mukmin. Apabila fasik disebut tidak mukmin dan tidak kafir berarti ia tidak
mempunyai iman dan dan juga tidak kafir. Dan hal ini mustahil menurut Al
Asy’ary.[41]
C.
Kesimpulan
Seperti
yang telah dijelaskan diatas, al Baqillani merupakan salah satu dari pemuka
asy’ariyah yang memiliki pegetahuan yang luas. Dengan pengetahuan yang itu,
meskipun ia adalah golongan Asy’ariyah, namun bukan berarti ia selalu
sependapat dengan Al Asy’ari.
Dari
sini, penulis dapat menyimpulkan mengenai al baqillani setidaknya dalam tiga hal:
Petama, Al Baqillani secara tegas menolak pendapat-pendapat mu’tazilah. Kedua,
dalam sisi tertentu semisal tentang janji dan ancaman tuhan Al Baqillani
sejalan dengan pendapat Al Asya’ari. Di sini Al Baqillani hanya memberikan
tambahan terhadap pendapat-pendapat Al Asyari. Ketiga, Al Baqillani dalam hal
tertentu menolak pandanngan Al Asy’ary.
Daftar
Bacaan
·
Abbas
Nukman, Al Asy’ary, misteri perbuatan manusia dan takdir Tuhan, Erlangga:
Jakarta, 2002.
·
Ilhamuddin,
Pemikiran Kalam Al Baqillani: Studi tentang Persamaan dan Perbedaannya dengan
Al Asy’ari, PT Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, 1997.
·
Nasution
Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press:
Jakarta, 2002.
[1] Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al Baqillani:
Studi tentang Persamaan dan Perbedaannya dengan Al Asy’ari, (PT Tiara
Wacana Yogya: Yogyakarta, 1997), hal. 13
[11] Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al Baqillani:
Studi tentang Persamaan dan Perbedaannya dengan Al Asy’ari, (PT Tiara
Wacana Yogya: Yogyakarta, 1997), hal. 101
[15] Harun Nasution, Teologi Islam,
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press: Jakarta, 2002), hal.
73
[16] Nukman Abbas, Al Asy’ary, misteri
perbuatan manusia dan takdir Tuhan, (Erlangga: Jakarta, 2002), hal.
126
[19] Nukman Abbas, Al Asy’ary, misteri
perbuatan manusia dan takdir Tuhan, (Erlangga: Jakarta, 2002), hal.
133
[21] Harun Nasution, Teologi Islam,
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press: Jakarta, 2002), hal.
73
[22] Nukman Abbas, Al Asy’ary, misteri
perbuatan manusia dan takdir Tuhan, (Erlangga: Jakarta, 2002), hal.
134
[24] Harun Nasution, Teologi Islam,
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press: Jakarta, 2002), hal.
82. Dikutip dari Al Milal Wannihal, I/42
[26] Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al Baqillani:
Studi tentang Persamaan dan Perbedaannya dengan Al Asy’ari, (PT Tiara
Wacana Yogya: Yogyakarta, 1997), hal. 114
[34] Harun Nasution, Teologi Islam,
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press: Jakarta, 2002), hal.
56
[35] Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al Baqillani:
Studi tentang Persamaan dan Perbedaannya dengan Al Asy’ari, (PT Tiara
Wacana Yogya: Yogyakarta, 1997), hal. 118
No comments:
Post a Comment