Pendahuluan
Dalam perbincangan ini,
kapitalisme tentu saja tidak lepas dari pembicaraan tentang tenaga kerja atau
buruh dalam satu industialisasi. Sebagai objek pemilik modal, buruh menjadi
lahan empuk untuk diekspoitasi dalam rangka meningkatkan profit yang
sebesar-besarnya. Ciri umum sebuah industri kapitalis adalah tidak adanya
koherensi antara pendapatan pemilik modal dengan buruh sebagai
mesin industri.
Dari sini, strategi mulai
dimainkan oleh pemilik modal. Ekspolitasi terhadap buruh dirancang sedemikian
rupa sehingga tak tanpak sebagai bentuk eksploitasi, baik dengan iming-iming
jaminan kesehatan maupun yang lainnya. Dalam hal tertentu, para pemilik modal
memanfaatkan kaum perempuan sebagai mesin penunjang industri. Perempuan
dipandang sebagai sosok manusia yang lemah dan tidak mudah memberontak atas
kebijakan pemilik industri.
Berdasarkan fakta di lapangan,
ternyata, tercatat sejak sekitar dua puluh tahun yang lalu terdapat
kecendrungan feminisasi tenaga kerja yang ditandai dengan meningkatnya Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan dari 32,7 persen pada tahun 1980
menjadi 39,2 persen pada tahun 1990. Atau meningkatnya partisipasi pencari pekerjaan
perempuan dari tahun ketahun semakin tinggi.[3]
Menigkatnya pekerja wanita
tersebut tak lain merupakan bagian dari spirit wanita bahwa ia tak ingin hanya dianggap
pandai dalam urusan domestik. Kaum perempuan ingin menujukkan bahwa ia juga memiliki
kelebihan sebagaimana halnya seorang laki-laki.
Hanya saja, menurut Susi Eja
Yuarsi[4],
wanita seringkali ragu-ragu dalam mengembangkan diri karena ada norma norma
yang memojokkan wanita. Pun wanita, lanjut Susi, seringkali dibingunkan oleh
peran gandanya. Mengutip Laela Budiman,[5]
susi menyatakan bahwa kemungkinan yang dicapai wanita itu sangat luas. Hanya karena keterbatasan kebiasaan, norma
dan nilai yang hidup dimasyarakat itulah yang dapat menghambat berbagai
kemungkinan untuk merealisasikan potensinya. Inilah yang kemudian mencoba
didobrak oleh para aktifis gender.
Sementara itu, gencarnya aktivis
gender menyarakan kesamaan perempuan dengan laki-laki tidak kurang memberi efek
bagi pekerja industri di era modern. Perempuan yang bergelut di bidang industri
tidak sepenuhnya mendapatkan haknya secara layak. Wanita sering di nomor duakan
dalam hal kerja. Padahal, disatu sisi, wanita dipandang sebagai sosok yang
memiliki jari yang terampil dan luwes. Tapi mengapa dalam hal upah ia selalu
lebih rendah dengan pekerja laki-laki? Pertanyaan inilah yang mencoba akan
diuraikan oleh penulis dalam makalah ini.
Perempuan Dan Industri
Ada tiga perspektif yang
dikemukakan oleh Ken Suratiyah[6]
untuk menerangkan kaitan wanita dengan kesempatan kerja. Pertama, perspektif
integrasi yang beranggapan bahwa pembangunan dapat memberikan peluang kerja
bagi wanita. Jika wanita diberi kesempatan dalam kehidupan sosial, politik atau
pun ekonomi maka ia akan sejajar dengan seorang laki-laki. Kedua, perspektif
marjinalisasi, mengacu pada paham bahwa pembangunan kapitalis akan menggusur
wanita dari kegiatan inti ekonomi bahkan mereka akan didepak sama sekali dari
hubungan produktif. Ketiga, perspektif ekspolitasi, beranggapan bahwa
eksploitasi adalah produk modernisasi yang mengedepankan akomodasi modal oleh
para kapitalis.
Yang disebut terakhir inilah,
menurut Ken, yang menyebabkan upah buruh rendah, kondisi tenaga kerja dan
jaminan sosial wanita rendah. Pendapat ini didukung oleh Diane Wolf atas dasar
penelitiannya di beberapa industri yang ada di ungaran, jawa tengah. Bahwa upah
upah buruh wanita rendah disbanding dengan upah buruh laki-laki. Selain itu,
kondisi kerja kurang layak, fasilitas minim bahkan sebagian buruh masih
menopang pada keluarga.[7]
Bersamaan dengan hal tersebut, bekerja
di area industri makin menjadi cita cita banyak perempuan muda karena memberi
kesempatan untuk memperluas pergaulan dan dan aktualisasi diri.[8] Hal ini dikung oleh beberapa pabrik industri
yang mempekerjakan ratusan bahkan ribuan pekerja dengan menciptakan komunitas
buruh yang memungkinkan mereka untuk saling berinteraksi.[9]
Menurut Indrasari,[10] kondisi dan kesempatan yang
muncul bersamaan dengan pengintegrasian perempuan pabrik ini adalah bukti
peluang pembebasan akibat dari perkembangan berwajah kapitalis. Karena, lanjut
Indra, pertumbuhan kapitalisme memiliki sifat yang kontradiktif. Pada saat yang
sama mengekspoitasi sekaligus memberi peluang pembesan.
Pemilihan perempuan sebagai
tenaga kerja oleh pabrik karena mereka sangat memenuhi syarat dalam strategi
penekanan biaya produksi. Dalam posisi ini, kapitalisme telah mereduksi peran
perempuan sebagai hanya menjadi pelekasan dan pemegang domistik. Fungsi ekonomi
perempuan dihapuskan dengan menonjolkan fungsi reproduktifnya.[11]
Menurut Heyzer, sebagaimana juga dikutip oleh Indra, anggapan itu terbentuk
karena dua hal: pertama, Familiy wage, yaitu sebuah keyakinan bahwa
lelaki adalah penghasil nafkah keluarga dan sebagai kepala keluarga. Kedua, continuity
of work (keberlangsungan kerja) yang menaggap bahwa perempuan akan selalu
mengundurkan diri dari pekerjaannya pada saat tertentu. Hal ini, jelas tidak
ada jaminan kontinuitas kerja.[12]
Eksploitasi Perempuan: Kritik
Atas Aktivis Gender
Pendapat Heyzer yang kedua sangat
logis menjadi alasan mengapa kaum perempuan dipandang sebelah mata oleh
kalangan pemilik modal. Peran ganda perempuan, di satu sisi, benar-benar telah
menjadi penghambat kebebasan perempuan dalam dunia ekonomis. Perempuan tak
memberi jaminan dalam kontinuitas kerja. Tentu saja merupakan kerugian
tersendiri bagi sebuah perusahaan menghargai perempuan sebanding dengan pekerja
laki-laki.
Gencarnya aktifis gender
menyuarakan kesamaan antara laki-laki dan perempuan kurang memiliki alasan yang
kuat jika dihadapkan dengan dunia industri. Dalam hal ini jelas bahwa perempuan
kurang menjanjikan terhadap keberlanjutan pabrik industri yang menjanjikan.
Walaupun di satu sisi, memang ada
unsur yang sangat berperan yaitu kapitalisme memiliki kecendrungan untuk
mengeksploitasi para buruh. Yakni anggapan bahwa perempuan tak lebih seperti
apa yang dikatakan Heyzer yakni Family wage: sebuah keyakinan bahwa
laki-laki adalah pencari nafkah, bukan perempuan. Tugas besar bagi aktifis gender
untuk menghilangkan stigma tersebut.
Disisi lain, pemahaman tentang
arti kebebasan bagi perempuan untuk berkelindan dengan dunia ekonomi telah
dimanfaatkan oleh kalangan kapitalis (pemilik modal). Kebebasan berkomonikasi
dan aktualisasi diri dengan lingkungan telah dimanfaatkan oleh pemilik modal
untuk mengekploitasi para pekerja perempuan. Sebagaimana, pembahasan dimuka, di
satu sisi perempuan diberi hak untuk menjalin hubungan dalam dunia kerja, di
sisi lain hal tersebut menjadi media yang samar untuk mengelabuhi.
Inilah kritik penulis terhadap
aktifis gender. Bahwa upaya pembesan terhadap kaum wanita untuk ikut andil
dalam peran-peran tertentu ternyata dimanfaatkan oleh kaum kapitalis untuk
mendapatkan profit yang besar.
Jelas kalangan perempuan tak
menyadari akan hal ini. Pun andaikan mereka menyadarinya, mereka tak akan dapat
berbuat apa-apa. Sebab, kemampuan melawan mereka memang lebih rendah dari pada
kaum laki-laki. Lihat saja berapa benyak kaum perempuan yang menjadi lahan
empuk kapitalis dalam dunia industri. Apa yang bisa mereka lakukan?
Reference
Haris Abdul, dkk, Sangkan
Paran Gender, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)
[1]
Makalah disajikan dalam diskusi mingguan,
Asrama mahasiswa Fakultas Ushuluddin Program Khusus Iain Walisongo Semarang.
[3] Indrasari Tjandraningsih, Buruh Perempuan
Menguak Mitos, dalam buku Sangkan Paran Gender, (Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 1997), hal. 255
[6] Ken Suratiyah, Pengorbanan Wanita Pekerja
Industri, dalam buku Sangkan Paran Gender, hal. 221. Kensuratiyah adalah
Dosen Fakultas Pertanian UGM dan Peneliti pada pusat penelitian kependudukan
UGM. Banyak berkecipung dalam studi wanita dan studi ekonomi rumah tangga.
[7] Ibid hal. 222. Dikutip dari Danie
Wolf, Factory Daughther: Gender, Household Dynamic and Rulal
Industrialization in Java, (Barkeley: University of California Press, 1992)
[10] Nama Lengkapnya adalah Indrasari
Tjandraningsih. Alumnus Jurusan Antropologi Unpad Tahun 1989, bekerja pada LSM
Akatiga Bandung. Beliau banyak menulis dan meneliti tentang buruh wanita.
No comments:
Post a Comment