Oleh: Heri Kuseri
Mahasiswa Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang
Pendahuluan
Al-Quran diturunkan kepada nabi Muhammad
SAW menggunakan bahasa arab. Kitab suci umat Islam ini diwahyukan oleh Tuhan
sebagai petunjuk dan pedoman dalam hidup pada abad ke-6 Masehi di Jazirah arab,
sekaligus menjadi karya sastra arab terbesar pada zamannya. Bahkan hingga
sekarang. Karena memang sudah semestinya kalam Tuhan itu sempurna dan tiada
tandingannya.
Dan itu memang terbukti, nyatanya hingga
saat ini belum ada karya sastra yang mengunggulinya. Baik dari segi bahasa
maupun kandungannya yang barang tentu benar menurut umat Islam. Dan sejauh ini
apa yang dinyatakan Al-Quran tidak pernah meleset dari science.
Namun diakui bahwa isi dari Al-Quran
tersebut tidak serta merta dapat kita pahami dengan utuh kebenarannya. Karena
ia bukanlah kalam insan seperti kita, melainkan kalam Tuhan yang dikirim dengan
balutan bahasa manusia untuk mengatur dan menunjuki jalan yang benar dalam
kehidupan manusia.
Apalagi Al-Quran ini diturunkan sebagai mu’jizat
nabi Muhammad SAW, jadi tentu memiliki kei’jazan terhadap apapun yang hendak
melawannya. Tak terkecuali mengenai keindahan uslub dan tata bahasanya yang
dapat mengalahkan seluruh syair-syair dan prosa karangan bangsa arab yang
terkenal tiada duanya pada masa itu. Sehingga dalam kondisi masyarakat yang
seperti itu, Al-Quran diturunkan kepada Muhammad sebagai bukti kebenaran
kenabiannya dengan nilai sastra yang sangat tinggi.[1]
Sayangnya, kita sebagai bangsa ‘ajam
tidak tahu menahu mengenai keindahan yang dikandung oleh Al-Quran. Karena
Al-Quran tidak diturunkan ke dalam bahasa Ibu kita, bahasa Indonesia. Oleh karena
itu, untuk menggalinya diperlukan pembelajaran secara khusus mengenai gaya
bahasa dan tata bahasa bangsa arab tersebut. Salah satunya yaitu dengan
memahami Metafora yang digunakan dalam Al-Quran sebagai gaya bahasa yang unik
dan bernilai tinggi yang mempengaruhi pembentukan makna dalam Al-Quran.
Pembahasan
A. Definisi Metafora
Secara bahasa, metafora ini diambil dari
terjemahan bahasa arab kata majaz yang menurut Kamus Bahasa Indonesia
sendiri artinya kiasan. Yaitu sebuah cara untuk melukiskan sesuatu dengan jalan
menyamakannya dengan sesuatu yg lain.
Metafora
sendiri memiliki arti pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang
sebenarnya (makna konotatif), melainkan sebagai lukisan yg berdasarkan
persamaan atau perbandingan, misal tulang punggung dl kalimat pemuda adalah tulang punggung Negara. Jadi, secara etimologi dalam bahasa
Indonesia kedua kata ini memiliki inti makna yang sama.
Orang yang pertama kali menggunakan
istilah majas ini adalah Al-Jahiz. Menurut Al-Jahiz, majas ini merupakan bagian
dari bentuk denotatif (haqiqah),
lebih tepatnya lawan dari
haqiqah. Ibnu Qutaibah (w. 276 H) terpengaruh oleh
pemikiran Al-Jahiz yang telah memberikan batasan segi-segi majas dan
berpendapat bahwa:
“Majas
meliputi peminjaman kata atau ungkapan (isti’arah), perumpamaan (tamtsil),
pembalikan (qalb), pendahuluan (taqdim), pengakhiran (ta’khir),
pembuangan (hadzf), pengulangan (tikrar), penyembunyian (ikhfa),
penampakan (idzhar), sindiran (ta’ridh), pemfasihan (ifshah),
kiasana (kinayah), penjelasan (izhah), kata tunggal (mufrad) untuk maksud
jamak , kata jamak (jam’) untik maksud tunggal, kata tunggal dan jamak
untuk makna dua orang (tatsniyah), kata khusus untuk makna umum, kata
umum untuk makna khusus dan lain-lain”.[2]
Namun pada dasarnya, kosa kata majaz tidak dapat ditemukan secara langsung
dalam al-Quran. Kata dasar atau akar kata j-w-z terdapat dalam Al-Quran dalam
bentuk kata jawaza dan tajawwaza yang berarti “memotong” dan “melewati”.
Menurut beberapa penelitian, pengertian dari kata majaz terseebut dapat dapat
ditemukan padanan katanya dalam Al-Quran. Kosa kata yang hampir memiliki arti
yang sepadan dengan majaz adalah al-matsal, yang derivasi katanya paling banyak
ditemukan dalam Al-Quran. Makna lain dari kata j-w-z adalah al-ta’ridh
(penampakan, penonjolan), dan akar kata’-r-dh ini ditemukan dalam al-Quran.
Sedangkan lawan dari ta’ridh adalah tasyrih (kejelasan, keterus-terangan) yang
makna dasarnya memiliki kedekatan arti dengan al-kinayah (metonymy).
Kosa kata lainnya adalah isti’arah, meskipun kata tersebut tidak secara
langsung , dalam bentuknya, disinggung dalam Al-Quran, melainkan hanya secara
substansial saja. Hal ini dikarenakan Al-Quran banyak sekali menggunakan
ungkapan-ungkapan metaforis. Kosa-kata yang bermakna metaforis tersebut adalah
kosa kata yang digunakan dalam
perkembangan teori dan kritik sastra arab sebagai kata kunci dari majaz.[3]
Beberapa data menunjukkan bahwa penafsiran-penafsiran murid Ibn Abbas
seperti Mujahid, al-Dhahhak, al-Suddi al-Kabir, dan yang lainnya, menyinggung
secara eksplisit konsep majaz dalam Al-Quran, dalam pengertian makna teks yang
melampaui batas-batas leksikalnya.
Dalam pengertian di atas, majaz, menurut Ibn Qutaibah, banyak ditemukan
dalam Al-Quran, terutama yang merupakan lawan kata dari haqiqah. Haqiqah dalam
hal ini diartikan sebagai makna leksikal, makna apa adanya. Contoh: burung
terbang, maksudnya adalah ada seekor burung yang sedang terbang. Sebaliknya,
contoh kalimat “burung bernyanyi”, itu bukan berarti ada burung yang bisa
berrnyanyi. Karena sungguh tidak ada burung yang bisa bernyanyi melainkan “berkicau”.
Itu artinya, kalimat tersebut melampaui batas-batas makna leksikal dari kata
tersebut.[4]
Tokoh gramatik dan ilmuwan bahasa lainnya yang memberikan kontribusi bagi
pengembangan kata majaz adalah al-Mubarrad (w. 286/899). Ternyata ia juga tidak jauh beda dalam
memberikan deifnisi dengan Ibn Qutaibah. Menurutnya, majaz bisa merupakan
hiasan dalam bertutur, serta berfungsi mengalihkan makna dari arti dasar yang
sebenarnya. [5]
B. Pertumbuhan dan
Perkembangan Metafora
Dalam kajian gaya bahasa Arab modern, istilah
metafor diidentikkan dengan konsep majaz, yang lazim digunakan oleh para
sarjana klasik sebagai lawan dari istilah haqiqat sebagaimana yang
diutarakan oleh Al-Jahiz (w. 255/868). Berkaitan dengan persoalan majaz, secara
historis setidaknya ada tiga kelompok berbeda pandangan, yang memposisikan
majaz sebagai lawan dari haqiqat. Pertama, Mu’tazilah, yang
secara dogmatis ajarannya banyak bersinggungan dengan majaz. Mereka menjadikan
majaz sebagai senjata untuk memberikan interpretasi terhadap teks-teks yang
tidak sejalan dengan pemikiran mereka. Kedua, Dzahiriyah, kelompok yang menolak
keberadaan majaz baik dalam bahasa maupun dalam al-Qur’an, dan sebagai
konsekuensi mereka juga menolak adanya ta’wil (interpretasi). Pada
intinya, mereka menentang dengan keras pemahaman terhadap teks yang melampaui
bahasa. Ketiga, Asy’ariyyah, yang mengakui adanya majaz dengan
persyaratan-persyaratan tertentu. Paling tidak mereka memposisikan diri secara
moderat di antara dua kelompok di atas.[6]
Hal yang paling penting dalam pembahasan metafora
ini ialah mengenai sumber bahasa itu sendiri. Karena tema mengenai metafora ini
akan berdampak pada perubahan makna yang ada dalam Al-Quran. Terutama mengenai
ayat-ayat yang berbicara mengenai Tuhan. Sehingga perdebatan mengenai konsep
metafora ini juga sampai ke dalam ranah teologis. Meminjam istilah
Komaruddin, secara garis besar terdapat tiga teori mengenai asal-usul bahasa,
yaitu; teologis, naturalis dan konvensionalis. Pendukung aliran teologis
mengatakan, manusia bisa berbahasa karena anugerah Tuhan, pada mulanya Tuhan
mengajarkan kepada Adam selaku nenek moyang seluruh manusia. Teori kedua,
naturalis, beranggapan bahwa kemampuan manusia berbahasa merupakan bawaan alam,
sebagaimana kemampuan untuk melihat, mendengar maupun berjalan. Teori ketiga,
konvensionalis, berpandangan bahwa bahasa pada awalnya muncul sebagai produk
sosial. Ia merupakan hasil konvensi yang disepakati dan kemudian dilestarikan
oleh masyarakat (Hidayat, 1996:29).[7]
Bertolak dari perbedaan tersebut, dalam pembahasan
historis perkembangan metafora (majaz) ini kita akan membahas periodesasi
berkembangnya konsep majaz ini. Sebagaimana penelitian Joseph van Ess
menunjukkan bahwa dalam abad pertama hijriah, kata majaz, dalam kerangka
argumentasi teologis, secara substantif telah dipergunakan. Pengerrtian
substantif yang dimaksud adalah pengertian majaz sebagai makna yang tidak
leksikal dan bukan arti yang sebenarnya. Salah satu contohnya adalah
interpretasi van Ess terhadap argumentasi-argumentasi teologis dari Hasan
Muhamad Ibn al-Hanafiyah (w/ 100/719) yang dilihat oleh van Ess sebaggai
pemahaman majazi alias pemahaman yang melampaui makna sesungguhnya.[8]
- Karya Abu ‘Ubaydah al-Musanna (w. 207/822) yang berjudul Majaz al-Quran, menurut banyak peneliti, karyanya dianggap sebagai karya yang paling awal, yang secara eksplisit memuat, serta menggunakan kata majaz. Menurut, Warsbrough, yang termasuk dalam istilah majaz yang digunakan Abu ‘Ubaidah di antaranya I) kalimat susunan balik (taqdim wa-ta’khir), II) eliptik atau penghilangan suku kata yang bervarian seperti ikhtisar ataupun mudhmar, III) pleonasme, dan IV) metonymi.[9]
- Karya kesarjanaan yang lain ialah derivasi dari kata majaz oleh Abu Ziyad al-Farra (w. 210/825). Al-Farra ini tidak menggunakan kata majaz sebagaimana yang lainnya seperti Abu ‘Ubaidah dalam karyanya Majaz al-Quran, akan tetapi ia menggunakan derivasinya, yaitu tajawwuz (melampaui). Yang dimaksud tajawwuz dalam karya tersebut ialah stilistik. Penggunaan kata tajawwuz oleh AL-Farra ditemukan dalam 2:16 “fa maa rabihat tijaaratuhum (maka tidaklah beruntung perniagaan mereka) di mana frasa tersebut dianggap sebagai bentuk tajawwuz olehnya. Kalimat dan frasa tersebut, menurut Al-Farra melampaui batas bahasa keseharian yang digunakan oleh bangsa arab. Hal ini karena penggunaan perniagaan yang menguntungkan itu tidaklah lazim, dan yang biasa digunakan adalah pedagang yang mendapatkan untuk dalam perniagaannya.[10]
- Selanjutnya, pengembangan konsep dan istilah majaz kemudian dilakukan oleh Al-Jahiz (w. 255/868), teolog dan kritikus sastra berhaluan Mu’tazilah. Ia, dalam banyak karya kesarjanaannya menggembangkan teori bahasa, dan bahkan pada peringkat tertentu, filsafat bahasa. Karya berjudul al-Bayan wa al-Tabyin dan al-Hayawan, merupakan karya ensiklopedik yang amat kaya dengan bahasan, meski tidak sistematis. Akan tetapi analisis dan teori bahasa yang digunakannya sangat kentara mencerminkan pemikiran teologi Mu’tazilahnya.[11]
- Dan masih banyak lagi tokoh yang mengulas, mengembangkan dan berkontribusi dalam kajian majaz secara bahasa maupun yang berkaitan dengan Al-Quran. Seperti generasi Mu’tazilah berikutnya, al-Qadhi Abd al-Jabbar (w. 417/1026), Sarjana Sunni yang brilian, ‘Abd al-Qahir al-Jurjani (w. 471/ 1078), teolog Sunni Ibn Qutaibah (w. 276/889), dan al-Mubarrad (w. 286/899).
Dari seluruh uraian mengenai majaz, tampak bahwa
al-Jurjani lah yang dapat memberikan penjelasan secara jelas dan sistematis.
Berbeda jauh dengan apa yang telah diutarakan oleh sarjana-sarjana pendahulunya
seperti Abu ‘Ubaidah, al-Farra, al-Jahiz, Ibn Qutaibah, dan yang lainnya.[12]
Perbedaan selanjutnya yaitu pada terletak pada
sistematisasi konsep majaz ala al-Jurjani yanng membagi lagi model majaz
menjadi dua, yakni majaz dalam pemahaman (majaz fi al-‘aql) dan majaz
dalam bahasa (majaz fi al-lughoh). Yang pertama menurut pandangan
al-Jurjani adalah majaz dalam penetapan (majaz fi al-itsbat), yang kedua
majaz yang ditetapkan (majaz fi al-mutsbat), dan yang ketiga adalah
majaz dalam penetapan dan yang ditetapkan seecara bersamaan (fi al-itsbat wa
al mutsbat jamii’an). Ketiga model dan jenis majaz tersebut merupakan
varian yang berfungsi sebagai hiasan bertutur atau gaya bahasa. untuk itulah
al-Jurjani kemudian dalam beberapa bagian karyanya membahas bentuk-bentuk majaz
yang lain seperti isti’arah, pleonasme, tasybih, dan linnya secara intensif.[13]
Namun terlepas dari perbedaan pandangan mengenai
definisi dan pemahaman mengenai majaz dalam Al-Quran. Pada kenyataannya tidak
dapat kita pungkiri bahwa dalam ayat Al-Quran banyak gaya dan tata bahasa yang
tidak lazim digunakan oleh bangsa arab sebelumnya, yang itu menjadi kekhasan
dan keindahan tersendiri dalam AL-Quran yang kita pahami sebagai bagian dari
mu’jizat Al-Quran dari segi bahasa.
C. Tujuan
Metafora
Al-quran banyak mendidik manusia melalui
penggunaan laras bahasa yang santun dan indah, seperti perumpamaan ataupun
majaz. Sebagaimana yang sudah kita ketahui, bahwa kajian majaz ataupun
perumpamaan ini adalah merupakan bagian dari ilmu bayan (salah satu elemen
retorik arab) yang memamerkan ciri-ciri keindahan dan keunikan dalam ungkapan
ayat. Ahli-ahli retorik arab sering menggunakan gaya bahasa ini dalam
komunikasi mereka dalam tujuan tertentu. Begitu juga dengan Al-Quran yang sudah
barang tentu memiliki maksud dan tujuan tertentu.
Sebenarnya, penampilan laras dan bahasa majaz
dalam Al-Quran mempunyai pesan dan maksud yang bukan saja hanya untuk
menggambarkan keindahan dan keunggulan penggunaan bahasa yang tiada tolok
bandingannya, bahkan mempunyai tujuan yang amat agung, yang lebih memupukkan
kepada perkara-perkara mengenai aqidah, keagamaan, pendidikan, kehidupan,
kemasyarakatan, kepemimpinan, dan
sebaggainya yang merangkum aspek keduniaan dan keakhiratan.[14]
Secara mendasar, tujuan dan maksud majaz dalam Al-Quran
itu dibagi menjadi dua bagian, pertama tujuan secara umum dan yang kedua tujuan
secara khusus.[15]
1. Tujuan Umum Majaz dalam AL-Quran
a) Mendekatkan objek perbandingan kepada pendengar.
Perumpamaan ini bertujuan membuka mata dan pandangan sesorang yang tidak
mengetahui atau sulit dalam memahami secara keseluruhan mengenai teks tertentu
sehingga membutuhkan uraian lebih lanjut yang mudah dipahami. Contoh jelas
dapat dilihat pada majaz yang menggambarkan paras rupa bidadari elok yang
berada di dlam surga. Allah menyifatkannya pada firmannya surat al-Waqi’ah
ayat 22-23.
b) Memberikan keyakinan terhadap sesuatu isu.
Keyakinan yang dihasilkan dari sebuah pemahaman logika dari majaz kadangkala
dapat mencapai tahap sebagai bahan bukti dan hujjah.[16] Banyak
ayat Al-Quran yang menyentuh hal tersebut, seperti dengan kajian aqidah
menggunakan logika majaz yang lebih mengena. Sehingga dapat lebih memantapkan
hati.
c) Mengajak kebaikan dan menghindari kejahatan.
Kebaikan dan kejahatan ini merupakan dua hal yang saling berlawanan dan sering
dilakukan oleh setiap individu dari kita. Dalam tujuan ini, Al-Quran mencoba
menggambarkan dan menyuguhkannya kepada kita dengan cara membandingkan keduanya
dengan segala konsekuensi dari masing-masing segi. Sebagaimana dalam surat
Ibrahim, 14: ayat 14 dan ayat 26.[17]
d) Memberikan motivasi dan peringatan. Melalui tujuan
ini, seseorang dapat dirangsang untuk melakukan segala keinginan dan menggambil
sikap berhati-hati dalam masalah yang sedang dibahas. Tujuan ini lebih bersifat
mendidik dan melatih untuk melakukan dan meninggalkan sesuatu perbuatan.
Misalnya dalam surat al-Baqarah, 2: ayat 261.[18]
e) Memberikan pujian dan celaan. Salah satu dari
maksud majaz ini juga termasuk memuji dan mencela seseorang yang memang pantas
untuk menerima hal itu.[19]
Tujuan ini untuk membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Sehingga yang
jahat akan merasa malu dan meninggalkan keburukannya tersebut. Majaz dengan
tujuan ini dapat dilihat pada surat al-Fath, 48: ayat 29.[20]
f) Memacu dan menggerakkan daya berpikir kreatif.
Tumpuan dari tujuan ini dialamatkan kepada para ahli ilmu dan orang bijak
pandai, karena ia tentu memerlukan kecerdikan mental dan dan kekuatan daya
pikir yang mampu menghasilkan natijah yang baik.[21]Contohnya
dalam surat al-Hasyr, 59: ayat 21.
2. Tujuan Majaz seccara Khusus
a) Perumpamaan keadaan dari orang-orang yang beriman
sebagai pelajaran dan teladan yang harus ditiru sebagai seorang yang mengaku
Islam. Misla dalam surat al-An’am, 6: ayat 22.
b) Menggambarkan sifat dan kelakuan-kelakuan orang
kafir supaya kita tidak menirunya. Misal dalam surat al-Baqarah, 2: ayat
171.
c) Penggambaran
sifat dan kelakuan orang-orang munafik. Seperti pada surat al-Baqarah,
2: ayat 17.
d) Dan berbagai macam majaz dalam rangka
penggambaran-penggambaran yang dapat kita petik hikmahnya. Dalam hal ini majaz
bermaksud memberi nasihat kepada orang beriman dan memberikan pelajaran
terhadap orang-orang kafir.[22]
Contohnya pada surat al-Ra’d, 13: ayat 35.
D. Bentuk-Bentuk
Metafora
Dalam kajian ilmu bayan ini, penulis
menemukan beberapa perbedaan mengenai bentuk dari majaz. Menurut penulis, hal
ini lebih karena perbedaan penerjemahan makna majaz ke dalam bahasa lain. Misalnya,
dalam buku Perumpamaan Al-Quran karya Azhar Muhammad (2008). Di situ yang
dijadikan kata induk (kata yang lebih umum) adalah perumpamaan (Mitsal),
bukan majaz. Sehingga pembagian bentuknya meliputi: Simile (Tasybih),
Perlambangan (al-Majaz), Metafora (al-Isti’arah), dan peringkasan
dan penguraian (al-‘ijaz wal al-Itnab). Sedangkan dalam karyanya Agus
Tricahyo, M. A dalam bukunya Metafora dalam Al-Quran membaginya menjadi tiga
bentuk. Meliputi Tasybih, Majaz, dan Kinayah. Dan yang ketiga
ialah dalam karya M. Nur Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar yang
menyebutkan bahwa bentuk dari majaz adalah Isti’arah, seni perbandingan (tasybih),
Parabel (Matsal) dan persamaan (tamtsil), dan metonomie
(Kinayah).
Namun, berdasarkan definisi penulis di awal. Yaitu
mengenai definisi metafora merupakan padanan dari majaz. Maka penulis lebih
memilih penjelasan pembagian bentuk majaz yang ketiga oleh M. Nur Kholis
Setiawan dan mengkomparasikan dengan definisi yang lain.
- Isti’arah. Para sarjana bahasa mendefinisikannya secara tradisional sebagai gambaran-gambaran retoris yang paling penting. Menurut pandangan dan kesimpulan ahli klasik, isti’arah ini mengacu pada perbandingan yang disederhanakan atau penggantian sesuatu yang sejatinya dengan ungkapan lain yang “tidak sejatinya” berdasarkan ukuran atau kriteria-kriterria persamaan ataupun kemiripan.[23]
- Tasybih. Tasybih ini merupakan ungkapan yang menyatakan bahwa sesuatu itu mempunyai persamaan dengan sesuatu yang lain dengan menggunakan penanda persamaan atau perbandingan. Menurut ahli terminologi, tasybih berarti:
- "Menyamakan suatu hal kepada hal yang lain dalam suatu makna dengan menggunakan perabot yang diketahui".[24]
- Matsal dan Tamtsil. Konsep matsal dan tamtsil merupakan bentuk majaz selanjutnya sebagai pembangunan seni puitik secara umum. Kata amtsal ini sangat banyak dalam Al-Quran. Berdasarkan pembahasan mengenai bentuk-bentuk majaz, matsal ini memiliki kekhususan dibanding dengan tasybih, isti’arah, dan kinayah. Karena matsal merupakan sebuah konsep tertentu dan matsal ini juga merupakan bentuk lain dari perbandingan yang pemakaiannya terrpengaruh oleh pemakaian dalam Al-Quran.[25]
- Kinayah. Kinayah secara bahasa ialah lafal yang biasa digunakan orang berbicara dan mempunyai maksud yang lain. Sedangkan menurut terminology para ahli ilmu bayan, kinayah adalah lafal yang biasa dipahami berdasarkan kelaziman maknanya, serta dibenarkan memahaminya berdasarkan makna hakikinya.
- Dengan demikian, hubungan antara makna hakiki dengan makna majaz dalam kinayah adalah karena kelaziman sedangkan dalam isti’arah karena aspek keserupaan.[26]
Kesimpulan
Al-Quran
sebagai kalam Tuhan benar-benar telah hadir untuk kita sebagi pedoman untuk
hidup. Salah satu kemu’jizatannya adalah mengenai struktur dan tata bahasanya
yang bernilai sastra tinggi. Bahkan tiada yang sanggup untuk menandinginya.
Tapi
perlu diketahui, bahwa metafora (majaz) sebagai kandungan yang menjadi unsur
daya tarik keindahan bahasa dan tingginya nilai sastra tersebut bukanlah
satu-satunya tujuan yang dikehendaki Allah SWT. Namun masih ada maksud dan
tujuan-tujuan tersirat yang lain sebagaimana dijelaskan di atas.
Jadi,
dari sini penulis dapat menyimpulkan bahwa bahasa Al-Quran bukanlah sekedar
bahasa yang dikenal dengan nilai kemu’jizatan secara bahasa saja. Namun itu
juga merupakan sebuah trik untuk berkomunikasi dan mentransformasikan bahasa
Tuhan sehingga kita dapat memahaminya dengan mudah. Kendatipun kita tahu bahwa
tidak ada orang yang berhak mengatasnamakan kebenaran Tuhan, truth Claim. Namun
setidaknya kita punnya petunjuk sebagai landasan untuk mendekati maksud Tuhan
yang terkandung dalam Al-Quran.
Daftar Pustaka
Tricahyo, Agus, Metafora dalam Al-Quran: Melacak Ayat-Ayat
Metaforis dalam Al-Quran, 2009, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press.
Hamid Abu Zaid, Nashr, Menalar Firman
Tuhan: Wacana Majas dalam Al-Quran Menurut Mu’tazilah, Terjemahan dari
Al-Ittijah Al-‘Aqli fi At-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Quran
‘Inda AL’Mu’tazilah oleh Abdurrrahman Kasdi dan Hasan Hamka , 2003,
Bandung: Mizan.
Kholis Setiawan, M. Nur, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar, 2005,
Yogyakarta: eLSAQ Press.
http://www.jurnallingua.com/edisi-2009/10-vol-1-no-1/78-gaya-bahasa-metafor-dalam-al-quran.html . Diunduh tanggal 25 Maret 2013.
Muhammad, Azhar, Perumpamaan Al-Quran,
2008, Kuala Lumpur: Universitas Teknologi Malaysia.
[1] Agus Tricahyo, M. A,
Metafora dalam Al-Quran: Melacak Ayat-Ayat Metaforis dalam Al-Quran, 2009,
Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, hal. 2.
[2] Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar
Firman Tuhan: Wacana Majas dalam Al-Quran Menurut Mu’tazilah, Terjemahan dari
Al-Ittijah Al-‘Aqli fi At-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Quran
‘Inda AL’Mu’tazilah oleh Abdurrrahman Kasdi dan Hasan Hamka , 2003,
Bandung: Mizan. Hal 136.
[3] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Quran
Kitab Sastra Terbesar, 2005, Yogyakarta: eLSAQ Press, hal. 182-183.
[4] Ibid, hal. 195.
[5] Ibid, hal. 197.
[6] http://www.jurnallingua.com/edisi-2009/10-vol-1-no-1/78-gaya-bahasa-metafor-dalam-al-quran.html . Diunduh tanggal 25 Maret 2013.
[7] Ibid.
[8] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Quran
Kitab Sastra Terbesar, hal. 183.
[9] Ibid, hal. 187.
[10] Ibid, hal. 188-189.
[11] Ibid, hal. 191.
[12] Ibid, hal. 203.
[13] Ibid, hal. 203-204.
[14] Azhar Muhammad, Perumpamaan Al-Quran,2008, Kuala
Lumpur: Universitas Teknologi Malaysia, hal. 70.
[15] Ibid.
[16] Ibid, hal. 71.
[17] Ibid, hal. 74.
[18] Ibid, hal. 77.
[19] Ibid, hal. 82.
[20] Ibid, hal. 86.
[21] Ibid, hal. 87.
[22] Ibid, hal. 105.
[23] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar, hal. 208.
[24] Agus Tricahyo, M. A,
Metafora dalam Al-Quran: Melacak Ayat-Ayat Metaforis dalam Al-Quran,hal.
13-14.
[25] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar, hal. 235.
[26] Agus Tricahyo, M. A, Metafora dalam Al-Quran: Melacak
Ayat-Ayat Metaforis dalam Al-Quran,
hal. 58.
No comments:
Post a Comment