Pendahuluan
Rasulullah
adalah anutan yang sempurna dengan teladan-teladan tinggi yang melebihi semua keluhuran
dan kebesaran manusia. Allah Ta’ala berfirman: “Allah
lebih mengetahui dimana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Al-An’aam 124)
Keagungan keteladanan yang sempurna hanya dimiliki Rasulullah SAW pembawa
risalah abadi ini, kesempurnaannya menyeluruh dan universal, baik yang
berhubungan dengan masalah ibadah ataupun kezuhudan, atau yang menyangkut
kepatuhan maupun kesabaran atau yang berkaitan dengan kekuatan dan keberanian,
atau dalam masalah politik dan keteguhannya terhadap prinsip-prinsip hidup.
Rasulullah
s.a.w. sebagai insan kamil mempunyai sifat tawadhu’ dan bahkan sifat ini telah
menjadi kebiasaannya sejak kecil, jauh sebelum masa kenabian beliau. Beliau juga
memiliki sifat malu yang tinggi, abu Said Al-Khudri menggambarkan sifat nabi
itu sebagaimana yang diriwayatka Bukhari dari Muslim, seperti lebih malu
daripada gadis pingitan yang berada dibalik tirainya. Maka dalam makalah ini
akan dibahas lebih lanjut mengenai sifat tawadlu’ dan malu rasulullah.
Sifat malu
rasulullah.
Malu adalah sifat atau perasaan yang
membentengi seseorang dari perbuatan rendah, kurang sopan. Malu dapat
meningkatkan derajat seseorang kepada kemuliaan. Orang yang tidak memiliki
sifat malu maka akhlaknya akan rendah dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu.
[1]
Sifat malu perlu ditampilkan seseorang dalam
semua aktivitas kehidupan. Melaluinya seseorang dapat menahan diri dari sifat
keji, tercela, dan hina. Melaluinya, orang akan menyesal jika ketiggalan
melakukan kebaikan. Namun jika seseorang hilang sifat malunya, maka secara
perlahan perilakunya akan menjadi buruk, rasulullah bersabda, “ sesungguhnya
Allah SWT. Apabila hendak membinasakan seseorang, ia mencabut rasa malu dari
orang itu. “ [2]
Apabila rasa malunya sudah dicabut, kamu
tidak menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci,
dicabutlah dari dirinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut, maka
tidak akan didapati dirinya kecuali menjadi penghianat dan dikhianati. Kalau
sudah menjadi penghianat, dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah
dicabut, tidak akan kamu dapati dari dirinya kecuali terkutuk yang mengutuk.
Apabila terkutuk yang mengutuk arinya sudah dicabut, maka dicabutlah ikatan
keislamannya. “ ( H.R. Ibn Majjah ) [3]
Hakikat malu
Iman dan malu laksana dua sisi mata uang yang
tidak bisa dipisahakan. Sebagaimana sabda Rasulullah, “ iman dan malu keduanya
adalah dua sejoli, jika salah satu dari keduanya hilang, maka akan hilang pula
pasangannya. “
Sifat malu dalam bahasa arab al-haya’, adalah
sifat yang mampu menjaga si pemiliknya dari perbuatan-perbuatan yang dapat
menghinakan pemiliknya baik dihadapan Allah , orang lain, atau dirinya sendiri.
Orang yang memliki sifat malu tidak akan membiarkan dirinya melakukan
perbuatan-perbuaa yang dapat menjerumuskan dirinya ke dalam jurang kehianaan.
Maraknya perbuatan maksiat adalah karena hilangnya sift malu dari si pelaku.
Kata haya’ berasal dari kata hayyat
yang berarti hidup. Al-hayya termasuk
dari perbuatan hati ( af’alul Qalbi ) artinya semakin hidup hati
seseorang maka akan semakin besar sifat malu dari seseorang. Dan orang yang
hatinya telah mati, ia tidak akan merasa berat untuk melakukan maksiat. Orang
yang aling sempurna hidupnya adalah orang yang memiliki sifat malu. Hidup
seseorang akan sangat bernilai jika ia mampu menumbuhkan sifat malu dalam
dirinya. [4]
Macam-macam sifat malu yang perlu melekat
pada diri seseorang :
- Malu kepada diri sendiri. Malu ketika sedikit melakukan amal sholeh kepada Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan ornag lain.
- Malu kepada manusia. Berfungsi agar tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran malunya buka karena Allah. Namun malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah Karena terpelihara dari perbuatan dosa.
- Malu kepada Allah. Malu yang terbaik dan dapat membawa kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah tidak akan berani melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini Allah selalu mengawasinya. [5]
Tingkatan paling tinggi dari sifat malu
adalah rasa malu kepada Allah, adapun bentuk-bentuk dari sifat malu tersebut :
- Malu dihadapan Allah jika melakukan maksiat,
- Malu dihadaan Allah jika tidak maksimal melakukan ibadah,
- Malu dihadapan Allah jika tidak bersyukur atas nikmat yang diberikan, dan tidak mampu mendayagunakan nikmat tersebut,
- Malu dihadapan Allah ketika ia menaati perintah Allah, dan tidak membangkang kepadanya, seperti ketika Rasulullah malu untuk memohon pengalihan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke ka’bah,
- Malu kepada Allah ketika mencintai Allah. Seorang hamba akan menangis saat ia malu, dan seluruh tubuhnya tunduk kepada Allah. [6]
Malu
itu adalah fitrah dan tabiat di dalam jiwa manusia, malu itu akan bertambah
dengan akhlak dan usaha, dan malu itu berkurang dengan meremehkan terhadap
perintah-perintah agama dan aturan-aturan syari‟at. Sungguh telah datang dari
sunnah Bukhori dan Muslim mengenai hal itu, yaitu Rasulullah SAW.. mengatakan
masalah malu.
Dari Abu Hurairah ra. dia telah berkata
sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda: “Iman itu terdiri dari 70 atau 60
cabang. Yang paling utama dari cabang itu adalah ucapan: laa ilaa ha
illallah, dan yang paling rendah dari cabang iman itu adalah menyingkirkan
duri di jalan dan malu itu adalah cabang dari iman.”
Dari Ibnu „Umar ra. Sesungguhnya Rasulullah
telah melewati seorang laki-laki dari kaum Anshar, sedangkan lelaki itu
menasehati saudaranya mengenai sifat malu. Maka bersabda Rasulullah SAW..
“Biarkanlah dia!” karena sesungguhnya malu itu adalah sebagian dari iman (HR.
Bukhari dan Muslim).
Sifat malu adalah pembawaan dalam diri
seseorang yang mendorongnya untuk menjauhi perbuatan buruk, meninggalkan
tingkah laku yang tak pantas dan kurang layak, serta mencegah dari pada
kelalaian memenuhi hak dan kewajiban. Sehubungan dengan itu, maka nabi bersabda
: “ malulah kalian akan Allah dengan sebenar-benar malu.”[7]
Para Shahabat menjawab, “ Alhamdulillah, kami memanh malu kepada Allah ya
Rasulullah.”
Nabi menegaskan lagi, : “ bukan itulah yang
kumaksudkan. Malu kepada Allah ialah menjaga kepala dan apa yang ditampungnya.
“ sabda beliau lagi, “ sifat malu tidak akan membawa melainkan pada kebaikan. “
sebab itu, maka Rasulullah sangat pemalu. Sejalan dengan kuat dan teguhnya
dalam dada, sampai-sampai abu Said Al-Khudri menggambarkan sifat nabi itu
sebagaimana yang diriwayatka Bukhari dari Muslim, seperti lebih malu daripada
gadis pingitan yang berada dibalik tirainya.[8]
Sifat malu Nabi Muhammad SAW
Rasa malu termasuk akhlaq mulia. Orang yang
tidak memiliki rasa malu adalah orang yang tidak memiliki kebaikan sama sekali,
sebab malu adalah sebagian dari iman. Hakikat malu adalah perubahan yang
disebabkan oleh disebabkan oleh rasa khawatir atas perkataan dan perbuatan yang
dibenci atau dicelanya. Tandanya biasa terlihat dari perubahan ekspresi wajah
atau meninggalkan apa yang dikhawatirkan akan dicela atau dibenci. [9]
Dalam hal ini rasulullah bersabda “ malu
itu sebagian dari iman.”, “ malu itu semuanya baik.” “ rasa malu tidak
mendatangkan kcuali kebaikan.”
Diantara coctoh-contoh sikap malu yang dimiliki rasulullah adalah
sebagai berikut;
- “ sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu ( untuk menyuruh kamu keluar ) dan Allah tidak malu menerangkan yag benar.” ( QS. Al-Ahzab: 53 )
- Ini adalah kesaksian Allah akan adanya rasa malu pada diri Rasulullah.
- Karena sifat malunya yang besar Rasulullah tidak pernah memandang sesorang lekat-lekat. Beliau juga selalu menggunakan sindiran jika terpaksa harus bicara tentang apa yang tidak disukainya.
- Ucapan Aisyah r.a.,” aku tidak pernah melihat aurat Rasulullah dan Rasulullah juga tidak pernah melihat auratku.”
Rasa malu itu menahannya dari menyebut
seseorang dengan sesuatu yang ia benci, dan beliau akan menyebut dengan
selainnya. [10]
Dalam sebuah riwayat lain, dikatakan bahwa
apabila ada sesuatu yang membuat beliau marah atau ada sesuatu yang kurang
berkenan dihati beliau maka akan tampak jelas diwajahnya. Dan karena rasa malu
beliau, maka beliau tidak akan mengeluarkan kata-kata yang akan menyinggung
perasaan orang lain. Tetapi bila memang itu sangat diperlukan, maka beliau akan
menggunakan kata-kata sindiran, atau menyuruh sahabat menyampaikan apa yang perlu di benarkan
kepada yang bersalah tersebut secara terang-terangan. [11]
Anjuran Berperilaku Malu
Rasulullah SAW. menganjurkan berperilaku malu
bagaikan budi pekerti yang agung dan merupakan salah satu cabang iman, beliau
bersabda: “Jika kamu tidak malu maka berbuatlah sekehendakmu.” Maksudnya bahwa
jika kamu tidak memiliki rasa malu yang menahanmu berbuat kejelekan maka
lakukanlah perbuatan jelek itu sesuai keinginanmu sendiri dan ini merupakan
sebuah ancaman.
Atau perintah hadits itu menunjukkan kepada
sebuah kebolehan, karena makna hadits tersebut yaitu jika kamu hendak melakukan
sesuatu yang tidak dipandang malu oleh syara‟ walaupun dipandang adat dianggap
sebuah aib, maka lakukanlah sekehendakmu.
Rasulullah SAW. tidak terus-menerus menatap
mata seseorang, Rasul berpaling dari orang yang bicaranya tidak baik dan
mengalihkan pembicaraan yang tidak diinginkan.
Sayyidah Aisyah r.a. berkata: “Apabila ada
sesuatu yang dibenci datang kepada Rasulullah SAW., beliau tidak mengatakan,
“Apa maksud si fulan mengatakan begini dan begitu?” Tetapi beliau berkata, “Apa
maksud orang-orang mengatakan begini dan begitu?” Beliau melarangnya tapi tidak
menyebutkan nama pelakunya.”
Rasulullah SAW. akan menyampaikan sesuatu
yang dikehendakinya dengan sindiran kepada sesuatu yang terpaksa harus
diungkapkan jika hal itu tidak pantas untuk diungkapkan secara langsung.
Mengenai sifat malu di kalangan sahabat nabi
SAW. Utsman bin Affan telah disifati sebagai seorang pemalu yang malaikatpun
malu kepadanya, begitulah perkataan Rasulullah tentangnya. Dari Aisyah r.a., ia
berkata: Abu Bakar meminta izin kepada Rasulullah SAW. dan aku bersamanya pada
satu tempat Rasul pun memberikan izin kepada Abu Bakar maka Abu Bakar
menunaikan keperluannya dengan kondisi Rasulullah dalam keadaan seperti itu,
kemudian Umar pun meminta izin kepada Rasulullah dan Rasul pun mengizinkannya
maka Umar pun menunaikan keperluannya dengan kondisi Rasulullah dalam keadaan seperti
itu, kemudian Utsman meminta izin kepada Rasulullah, beliau pun membereskan
pakaiannya dan langsung duduk, lalu Utsman pun memenuhi keperluannya kemudian
keluar.
Sesungguhnya pada diri Rasulullah berkumpul
sifat malu dan berani, dan banyak yang meneladani sifat beliau yang
kontradiktif ini.
Budaya malu
Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda, “
apabia kamu sudah tidak punya perasaan malu, maka lakukanlah apapun yang kamu
mau. “ haist ini menerangkan bahwa malu adalah prasyarat dari ketakwaan, dalam
artian ketika ingin melakukan suatu kesalahan atau maksiat dan perasaan malu
ada dalam hati, maka keinginan untuk melakukannya menjadi hilang.
Malu yang dimaksudkan Rasulullah disini
diartikan sebagai malu yang memiliki orientasi kepada: pertama, malu
kepada Allah. Karena setiap yang kita lakukan sekecil apapun, tidak akan lepas
dari muraqabatullah, saat Allah membenci setiap perbuatan hambanya, saat
itulah hamsa haruslah sadar bahwa kemurkaan Allah akan menghampirinya disaat ia
terus-menerus melakukannya. [12]
Kedua, malu kepada manusia, bukan
berarti dimaknai sebagai menuhankan manusia, tetapi ini dimaksudkan sebagai
perasaan malu ketika orang lain mengetahui suatu hal yang kita lakukan. Sebab
secara manusiawi, manusia tidak ingin kesalahan yang ia lakukan diktahui orang
lain, tidak lain ia akan menyembunyikan perbuata tersebut. Karena hati kecil
manusia sesungguhnya selalu dan ingin selalu mengajak kepada perbuatan mulia. [13]
Tawadlu’ ( Rendah Hati ) Rasulullah
Rasulullah
s.a.w. sebagai insan kamil banyak mempunyai sifat tawadhu’ dan bahkan sifat ini
telah menjadi kebiasaannya sejak kecil, jauh sebelum masa kenabian beliau.
Apabila kita tengok dalam Sirah Nabawiyah, akan jelas sekali terbukti betapa
harum nama beliau di kalangan kaumnya, karena sifat beliau. Beliu terkenal
sekali sebagai “Al-Amin” (yang terpercaya). Sifat tawadhu’ inilah yang telah
mengangkat diri Rasulullah sebagi orang yg berbudi luhur dan ber-akhlaq mulia
dalam bentuknya yg sempurna dan maha tinggi. Aisyah r.a. yang sehari-hari hidup
mendampingi Rasulullah menyimpulkan bahwa akhlaq beliau adalah Al-Qur’an. Tidak
hanya itu. Allah sendiri pun memuji akhlaq beliau, sebagaimana diabadikan dalam
Surat Al-Qalam ayat 4: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung.”
Tawadhu’
dan rendah diri kepada kaum mukminin merupakan sifat terpuji yang dicintai oleh
Allah dan Rasul-Nya. Karenanya barangsiapa yang tawadhu niscaya Allah akan
mengangkat kedudukannya di mata manusia di dunia dan di akhirat dalam surga.
Karenanya tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan
sekecil apapun, karena negeri akhirat beserta semua kenikmatannya hanya Allah
peruntukkan bagi orang yang tidak tinggi hati dan orang yang tawadhu’
kepada-Nya.
Dan
dalam hal ini -sebagaimana dalam sifat terpuji lainnya-, Rasulullah merupakan
suri tauladan terbaik. Bagaimana tidak sementara Allah Ta’ala telah
memerintahkan beliau untuk merendah kepada kaum mukminin. Karenanya beliau
senantiasa tawadhu’ dan bergaul dengan kaum mukminin dari seluruh lapisan, dari
yang kaya sampai yang miskin, dari orang kota sampai arab badui. Beliau duduk
berbaur bersama mereka, menasehati mereka, dan memerintahkan mereka agar juga
bersifat tawadhu’. Kedudukan beliau yang tinggi tidak mencegah beliau untuk
melakukan amalan yang merupakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga.
Karenanya sesibuk apapun beliau, beliau tetap menyempatkan untuk mengerjakan
pekerjaan keluarganya di rumah.
Ketawadlu’an Rasulullah telah mencapai
derajat yang sangat tinggi. Beliau tidak ingin di bedakan dari orang lain
tentang segala sesuatu. Beliau tidak ingin orang berdiri karena menghormati
kedatangan beliau. Beliau juga tidak ingin umatnya berlebihan dalam memuji
beliau, atau menyanjungnya sebagaimana umat-umat nabi lain yang menyanjung nabi
mereka karena ibadah dan risalah yang dibawanya. [14]
Rasulullah juga memebersihkan rumah, mengikat
unta, minum air hujan, makan bersama pembantu, membuat adonan roti, bersama
istri beliau dan membawa barang-barang keperluannya dari pasar. [15]
Reference
Jabir , Abu
Bakar Al-Jazair. , 2008. My Bleoved Prophet, Jakarta : Qisthi Press
M Rofiqi
dkk, dalam Papernya Sifat Malu
Alwi ,
Sayyid Muhammad Al-Maliki. 1999. Insan Kamil, Sosok Keteladanan Muhammad, Surabaya
: Dunia Ilmu
Ali , Abul
Hasan Al-Husaini. 2001. Sirah Nabawiyah, terj. Oeh Muhammad
Halabi
Hamdi, Yogyakarta : Mardliyyah Press
Fatani ,
Abdul Halim. 2008. Ensiklopedia Hikmah, Yogyakarta : Darul Hikmah,
[1]
Abdul Halim Fatani, Ensiklopedia Hikmah, Yogyakarta : Darul Hikmah,
2008, hlm. 412
[2]
Ibid, hlm. 413
[3]
Ibid.
[4]
Abdul Halim Fatani, Ensiklopedia Hikmah, Yogyakarta : Darul Hikmah,
2008, hlm. 223
[5]
Ibid, hlm. 413
[6]
Ibid, hlm 223
[7]
Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki, Insan Kamil, Sosok Keteladanan Muhammad, Surabaya
: Dunia Ilmu, 1999, hlm. 135
[8]
Ibid, hlm.
[9]
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, My Bleoved Prophet, Jakarta : Qisthi Press,
2008, hlm. 646
[10]
Abul Hasan Ali Al-Husaini, Sirah
Nabawiyah, terj. Oeh Muhammad Halabi Hamdi, Yogyakarta : Mardliyyah Press,
2001, hlm. 541
[11]
Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki, Insan Kamil, Sosok Keteladanan Muhammad, Surabaya
: Dunia Ilmu, 1999, hlm. 136
[12]
Abdul Halim Fatani, Ensiklopedia Hikmah, Yogyakarta : Darul Hikmah,
2008, hlm. 86
[13]
Ibid.
[14]
Abul Hasan Ali Al-Husaini, Sirah
Nabawiyah, terj. Oeh Muhammad Halabi Hamdi, Yogyakarta : Mardliyyah Press,
2001,, hlm. 539
[15]
Ibid, hlm. 541
No comments:
Post a Comment