Oleh Umi Daris Salamah
Mahasiwa Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang
Pendahuluan
Sebagai masyarakat agama, umat islam disebut sebagai masyarakat
dengan peradaban teks ( hadlarat al-nash ) [1].
Struktur kehidupannya diletakkan di atas landasan teks, seperti Al-Qur’an,
Hadist, juga Kitab- Kitab fiqh, tafsir, teologi, dan sebagainya. Tapi yang
menjadi problem adalah semakin lama teks itu menjadi “ berhala “ dalam artian,
teks itu mengalami saklarisasi, tidak hanya pada Al-Qur’an maupun Hadist,
tetapi berlaku juga terhadap teks-teks tersier, seperti kitab tafsir Qur’an,
tafsir Hadist, kitab fiqh, teks-teks hasil pemikiran keagamaan orang-orang
terdahulu. Yang mengantarkan pada kungkungan skriptualisme yang cenderung
fundamentalistik dan radikal.
Dewasa ini, muncul upaya-upaya untuk mengaplikasikan hermeneutika
sebagai metode tafsir al-Quran menggantikan metode yang telah dirumuskan oleh
para ulama. Namun tentu saja, ide tersebut harus ditelaah dan dikritisi.
Makalah ini akan mambahas tentang peran hermeneutika dalam peafsiran al-Qur’an
Hermeneutika
Hermeneutika berasal dari bahasa yunani hermeneuein
yang berarti ‘menafsirkan’[2]atau
mengartikan, menerjemahkan, bertindak sebagai penafsir. Maka, kata benda hermeneia
secara harfiyah bisa di artikan dengan penafsiran atau interpretasi. Dalam
mitologi Yunani, dikenal dengan yang namanya Hermes. Tokoh yang mempunyai tugas
menyampaikan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olimpus dengan bahasa manusia. Dia
berperan sebagai penafsir kehendak dewa ke dalam bahasa manusia. Dia
digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kaki bersayap, dan lebih banyak
dikenal dengan Mercurius dalam bahasa latinnya. Mulai saat itu, hermes disebut
sebagai symbol seorang duta yang mendapat beban berupa misi tertentu. Berhasil
atau tidak misi tersebut tergantung bagaimana penyampaian pesan tersebut.
Menurut Richard E. Palmer Dalam proses
penafsiran atau penerjemahan terhadap pesan-pesan Tuhan mengandung tiga makna
hermeneutis yang mendasar. Pertama, mengungkapkan sesuatu yang tadinya
masih berada dalam pikiran melalui kata-kata (utterance, speaking) sebagai
medium penyampaian. Kedua, menjelaskan secara rasional (interpretation,
explanation) sesuatu yang sebelumnya masih samar-samar sehingga maksud dan
maknanya dapat dimengerti. Ketiga, menerjemahkan ( translating ) suatu
bahasa yang asing ke dalam bahasa yang lain yang dimengerti oleh pendengarnya.
Baik dalam bahasa Yunani ataupun bahasa Inggris , tiga pengertian Hermeneutika
diatas kemudian dirangkum dalam pengertian “ penafsir “. Hal ini karena segala
sesuatu yang masih membutuhkan pengungkapan secara lisan, penjelasan yang masuk
akal, dan penerjemahan bahasa pada dasarnya mengandug proses “ memberi
pemahaman “ atau dengan kata lain menafsirkannya.[3]
Dalam hal ini Richard E. Palmer juga
mamberikan peta hermeneutic sebagai berikut:
1. Hermeneutic
sebagai teori penafsiran kitab suci
2. Hermeneutic
sebagai sebuah metode filologi. Dimulai dengan rasionalisme dan hal-hal yang
berhubungan dengannya.
3. Hermeneutic
sebagai ilmu pemahaman linguistic
4. Hermeneutic
sebagai fondasi ilmu kemanusiaan. Kerangka dalam bentuk di awali oleh Wilhelm
Dilthey. Hingga di akhir perkembangan pemikirannya, ia berusaha menggunakan
psikologi dalam memahami dan menginterpratisasikan.
5. Hermeneutic
sebagai fenomena das sein dan pemahaman eksistensial.
6. Hermeneutic
sebagai system penafsiran,[4]
Kalangan ilmuan klasik dan modern telah
sepakat tentang pengertian hermeneutic. Yaitu sebagai proses mengubah sesuatu
dari situasi ketidak tahuan menjadi mengerti. Pengertian tersebut merupakan
peralihan dari sesuatu yang abstrak, ke dalam ungkapan yang jelas dengan bentuk
bahasa yang mampu di pahami manusia[5]
Pada dasarnya hermeneutic berhubungan erat
dengan bahasa. Kita berbicara dengan bahasa, kita berpikir melalui bahasa, kita
menulis juga dengan behasa, bahkan seni yang tidak menggunakan suatu bahasapun,
berkomunikasi dengan seni lain dengan bahasa. Melalui bahasa kita berkomunikasi
tetapi melalui bahasa pula kita bisa salah paham dan salam tafsir. Arti atau
makna dapat kita peroleh tergantung dari banyak factor: siapa yang berbicara,
keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat, atau situasi yang mewarnai
arti sebuah peristiwa bahasa. Sebagai contoh, pemahaman dan penafsiran pada
anak terhadap kata-kata, sedikit banyak tergantung pada latar belakang anak itu
sendiri. Arti dari suatu istilah antara orang yang tinggal di pedesaan
terkadang berbeda dengan orang perkotaan, sekalipun istilah yang mereka gunakan
sama persis.
Hermeneutika adalah cara baru untuk “
bergaul” dengan bahasa. Bila “ mengerti “ selalu dikaitkan dengan bahasa, maka
bahasa juga membatasi dirinya sendiri. Kita meyadari hal ini, namun semua buah
pikiran kita harus di ungkapkan dengan bahasa yang ada sesuai aturan tata
bahasanya yang berlaku. Kita harus menyesuaikan diri dengan kupasan-kupasan
linguistic dan terpaksa pula mengadakan pembaharuan yang relative sangat kecil
kemugkinannya. [6]
Fungsi Hermeneutika
Sebagai teknik untuk memperoleh pemahaman
yang benar, hermeneutika berguna dan berfungsi untuk :
a.
Membantu mendiskusikan bahasa
yang digunakan teks.
Bahasa menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari aktifitas hermeneutika. Lingkup bahasa yang membantu hermeneutika dapat
mencakup masalah bahasa, makana kata, masalah semantik, semiotik, pragmatik,
masalah expression dan indikation serta
masalah logika yang terkandung dalam teks.
b.
Membantu mempermudah menjelaskan
teks, termasuk teks kitab suci.
Membantu mengandaikan hubungan teks dengan
waktu, hubungan teks dengansituasi atau lingkungan di mana teks disusun.
Masalah lain adalah masalah teks dengan teks yang lain yang sudah ada dan sudah
didiskusikan tema tertemtu. Masalah ini memunculkan persoalan mengenai ciri
khas yang membedakan seorang pengarang dengan pengarang yang lain yang membahas
tema yang sama.
c.
Memberi arahan untuk masalah yang
terkait dengan hukum.
Poin ini menjelaskan bahwa penafsiran
terhadap teks hukum dapat dilakukan secara hermeneutika bagi mereka yang
memiliki dasar dan penguasaan terhadap masalah hukum. Sedangkan analisis hukum
atau teks hukum tetap diambil dari kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam
tradisi hukum islam. [7]
Aliran-aliran Hermeneutika
Joseph Bleicher di dalam bukunya membagi
hermeneutika kontemporer menjadi tiga aliran; yaitu :
ü Hermeneutika
teori (Hermeneutical Theory)
ü Hermeneutika
Filsafat( hermenneutic Philoshophy )
ü Hermeneutika
kritik (Critical hermeneutics)[8]
Hermeneutika teori menfokuskan perhatian pada
masalah teori umum penafsiran sebagai sebuah metodologi untuk ilmu-ilmu tentang
manusia termasuk ilmu sosial. Hermeneutika teori menempatkan hermenetik dalam
ruang epistimologi, yakni, hermenetik di tempatkan sebagai metode penafsiran
terhadap pemikiran orang lain. Betti mengharapkan pemikiran orang lain (
the mind of other) dapat dipahami seobyektif munkin. Oleh aliran ini
hermenetik diupayakan akan menemukan fondasi yang dibutuhkan bagi penelitian
ilmiyah. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Schleiermacher, Droysen, Dilthey dan
Emilio Betti.
Hermeneutika Filsafat justru menolak upaya
menemukan fondasi dan kemungkinan diperoleh pemahaman yang obyektif melalui
proses atau metode penafsiran. Pokok pandangan Hermeneutika Filsafat ini
menyatakan bahwa ilmuwan atau penafsir berada dalam ikatan sebuah tradisi yang
membuatnya telah memiliki pre understanding (pemahaman awal), terhadap obyek
yang dikaji dan dengan demikian dia tidak berangkat dari pikiran yang netral.
Hermeneutika Filsafat tidak bertujuan untuk mencapai pengetahuan yang obyektif
tetapi bertujuan hendak menjelaskan fenomena Human Desain.
Tokoh-tokohnya adalah Heidegger, Gadamer, Ricoeur.
Hermeneutika Kritik lahir lahir dari latar
belakang dua aliran diatas. Habermas melihat dua aliran Hermeneutik yang ada,
tidak mempertimbangkan faktoh extra linguistic sebagai kondisi
yang punya pengaruh terhadap pemikiran atau perbuatan seseorang, misalnya,
tekanan ekonomi yang dirasakan berat, berpengaruh pada temperatur seseorang dan
ini berpeluang menjadi faktor eksternal yang berpengaruh pada tata pikir dan
prilaku seseorang. Hermeneutika Kritik sering dikaitkan sebagai cara
pandang kaum idealis yang memiliki tingkat kesadaran yang mencapai level
tertentu dalam menganalisis secara kritis kondisi politik, ekonomi, dan budaya
namun tetap mendasarkan diri pada data atau bukti-bukti materiel yang memadahi,
dan mereka memiliki kasadaran melakukan pembebasan seperti model psikologis
Penerapan Hermeneutik
Disiplin ilmu yang pertama yang banyak
menggunakan hermenetik adalah ilmu tafsir kitab suci. Seperti injil, taurot,
kitab-kitab veda, Upanishad. Dikatakan bahwa awal kemunculan hermeneutic banyak
dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dengan kitab suci injil dalam
menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia. Model ini dikenal dengan ilmu tafsir
kitab suci.[9]
Hermeneutic tidak hanya mutlak milik kaum
penafsir Kitab Suci, ia berkembang pesat
dalam pelbagai disiplin keilmuan yang luas. Kajian tentang ini juga dilakukan
pada teks-teks klasik Yunani dan Romawi. Bentuk kajian hermeneutic seperti
diatas mulai berkembang pada abad 17 dan
18.[10]
Di kalangan ilmuan gereja yang terlibat dalam debat mengenai otentitas Bibel
mulai menggunakan Hermeneutika. Dalam hal ini hermeneutika juga mereka gunakan
sebagai cara memperoleh kejelasan dan pemahaman yang benar atas Bibel. Pada
masa ini hermeneutika diklasifikasikan menjadi dua kategori, pertama, hermeneutika
saklar yang merujuk kepada kitab suci, kedua, hermeneutika profane yang
merujuk pada teks-teks biasa seperti teks sastra, hukum dan sebagainya. [11]
Pada abad 20, Hermeneutika tidak hanya
digunakan dalam penafsiran kitab Suci, maupun kitab-kitab klasik Yunani. Ia
memiliki peranan yag cukup luas dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Sejarah, hukum,
agama, filsafat, seni, kasusastran, maupun linguistic, atau semua yang
berkaitan dengan Geisteswissenschaften atau ilmu-ilmu pengetahuan
kemanusiaan atau ilmu pengetahuan tentang kehidupan memerlukan hermeneutik (Wilhelm
Dilthey ) [12]
Teks sejarah yang di tulis dalam bahasa yang
rumit yang beberapa abad tidak dipedulikan oleh para pembacanya, tidak dapat
dipahami dalam kurun waktu seseorang tanpa penafsiran yang benar.
Istilah-istilah yang di pakai mungkin ada kesamaannya, tetapi arti atau makna
istilah-istilah itu bisa berbeda.
Hermeneutika dalam pemikiran Islam
Sebagai masyarakat agama, umat islam disebut
sebagai masyarakat dengan peradaban teks ( hadlarat al-nash ) [13].
Struktur kehidupannya diletakkan di atas landasan teks, seperti Al-Qur’an,
Hadist, juga Kitab- Kitab fiqh, tafsir, teologi, dan sebagainya. Tapi yang
menjadi problem adalah semakin lama teks itu menjadi “ berhala “ dalam artian,
teks itu mengalami saklarisasi, tidak hanya pada Al-Qur’an maupun Hadist,
tetapi berlaku juga terhadap teks-teks tersier, seperti kitab tafsir Qur’an,
tafsir Hadist, kitab fiqh, teks-teks hasil pemikiran keagamaan orang-orang
terdahulu. Yang mengantarkan pada kungkungan skriptualisme yang cenderung
fundamentalistik dan radikal.[14]
Al-qur’an, tekt
Al-qur’an adalah bentuk teks terbuka yang
menerima berbagai bentuk eksploitasi seperti, penafsiran, pembacaan,
penerjemahan, hingga pengambilannya sebagai rujukan. Kelahiran teks al-qur’an
di tengah umat islam telah melahirkan pusat wacana keislaman yang tak pernah
berhenti dan menjadi pusat inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran
dan pengembangan makna ayat-ayatnya. ( Qomaruddin Hidayat, memahami bahasa
agama : sebuah kajian hermeneutic , Jakarta : Paramadina, 1996 hlm. 15 ). Maka
dapat dikatakan bahwa al-qur’an hingga kini masih menjadi teks inti dalam
peradaban islam.
Hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi
untuk memahami pesan al-Qur’an agar subtilitas intellegendi ( ketepatan
pemahaman ) dan subtilits ecspilcandi ( ketapatan penjabaran ) dari
pesan Allah bisa di telusuri secara komprehensif.
Salah satu penekanan dalam pendekatan
hermeneutika adalah bagaimana mengapresiasi pesan dari Allah yang tersimpan
dalam teks al-Qur’an tidak hanya secara tekstual, tetapi juga secara
kontekstual dan menyeluruh dengan mengaitkan suasana batin dan cultural ketika
terjadi proses pewahyuan.
Yang pertama-tama memerkenalkan hermeneutika
dalam khazanah pemikiran islam adalah Hasan Hanafi dalam karya-karyanya. Dimana
penggunaannya hanya merupakan eksperimentasi metodologis untuk melepas diri
dari positivism dalam teoritasi hukum islam dan Ushul Fiqh. Sampai
disitu, respon terhadap tawaran ats hermeneutika hampir-hampir tidak ada. [15]
Satu hal yang menonjol dari hermeneutika
hasan hanafi dan pemikirannya secara umum adalah muatan ideologisnya yang
syarat muatan praktis. Tipikal pemikiran revolusioner semacam ini, justru
sangat beda dengan mainstream umat islam yan masih terkungkung oleh
lembaga-lembaga tradisionalisme dan ortodoksi. [16]
Dalam pandangan Hasan Hanafi, hermeneutika
tidak sekedar ilmu interpretasi atau sekedar
teori pemahaman, tetapi juga ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu
sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingat kanyataan, dan lugas sampai
praksis serta juga tampaknya wahyu dan pemikiran Tuhan kepada kehidupan
manusia.
Hermeneutika sebagai metode penafsiran
al-Qur’an
Apa yang ditawarkan hermeneutic dalam
kajian-kajian agama itu dalam penafsiran al-qur’an belum bisa diterima semua
pihak dalam ligkungan pemikiran islam. Farid Esach mengatakan bahwa kata “
hermeneutic “ termasuk istilah baru di kalangan umat islam, meskipun praktiknya
sudah dilakukan. Akan tetapi banyak pemikir. islam yang mengkritiknya.[17]
Setelah paul recour mangalihkan tradisi
hermeneutic dari objek kajian studi
bible kembali, kalangan agamawan juga banyak yang menggunakan hermeneutic yang
sebelumnya dikembangkan di dunia saintis untuk kepentingan penafsiran kitab
sucinya. Dan bagaimana jika ini sigunakan untuk penafsiran al-qur’an? Sebab
didalam islam juga terdapat metode-metode penafsiran kitab sucinya. Para
pemikir kontemporer seperti hasan hanafi, fazlurrahman, arkoun dll, telah
memulai dalam penggunaan hermeneutic sebagai landasan metodologinya untuk
memahami al-Qur’an. [18]
Istilah hermeneutika dalam wacana keilmuan
islam, memang tidak ditemukan. Tapi dikatakan bahwa, ada istilah yang mirip
dengan hermeneutika. Menurut M. Plegger, Hermeneutika sama dengan kata هرمس ( dibaca : Hirmis, Harmas, atau Harmis )
yang terdapat dalam kitab al-Ulf karya Abu Mansyur dengan istilah hermetisme
yang ada dalam tradisi filsafat yunani. Dikatakan, M.Pleggner bahwa Hirmis
dalam Islam dikenal denganالمثلث بالحكمة yang
berarti aliran pemikiran yang berasal dari tiga individu :
a. Hermes yang identik dengan
Akhnukh (Enoc ) dan Idris. Ia hidup di Mesir sebelum ada pembangunan pyramid
b. Diidentikkan dengan al-babili
dari Babilonia yang hidup setelah Piramid dibangun.
c. Berasal dari tulisan tentang ilmu
pengetahuan dan ketrampilan yang disusun setelah pyramid dibangun.[19]
Term yang lebih dekat dengan istilah
hermeneutika dalam tradisi keilmuan islam adalah Tafsir, tafsir merupakan
suatu disiplin ilmu yang sudah memeiliki epistemology yang jelas. Padanan kata
lain yag biasa digunakan adalah ta’wil yang dimaknai dengan mengalihkan
makna lafadz yang rajah kepada makna yang di marjuh karena dalil
yang mengikutinya.[20]
Dalam perkembangan dari tafsir maupun ta’wil
sendiri masih memerlukan pengkajian ulang. Karena keduanya di nilai masih
mengabaikan aspek kontekstualisasi. Dan ini menimbulkan laju perkembangan
pemikiran islam kehilangan vitalitasnya, Sholi li kulli zaman wal makan.
Selangkah kedepan dari perspektif ilmu
tafsir, ketika hermeneutika digunakan sebagai metodologi dalam mendekati
al-Qur’an maka al-Qur’an akan di tempatkan sebagai lahan kajian ilmah
sebagaimana layaknya obyek lapangan penelitian dunia ilmu. Ia disiikapi sebagai
teks warisan masa lalu yang pernah muncul di tengah-tengah pergulatan sejarah
hidup sekelompok manusia tertentu. Al-Qur’an menjadi bukti sejarah yang apabila
dicetak asal-usulnya akan menjadi jendela penghubung antara dunia kini dan 14
abad yang lalu. Penelusuran asal-usul al-Qur’an yang dimaksud tentu tidak
sampai membicarakan pemilik teks yang berada di wilayah jangkauan indra dan
akal manusia. Dalam tartan historisitas pemilik al-qur’an dapat diwakili oleh pribadi Nabi Muhammad yang turut serta
dalam proses terwujudnya teks al-Qur’an. Symbol-simbol bahasa manusia tidak
akan dapat menggambarkan proses transformasi wahyu dari dunia batin ke dunia
batin. [21]
Problem hermeneutika yang meuncul kemudian
adalah, Karena al-Qur’an hanya sebuah teks yang tersusun dimasa lampau maka ia
tidak familiar atau asing dengan pembaca sekarang. Ia tidak akan ada yang
mengetahui secara persis maksud di balik teks kecuali pemilik teks sendiri,
sementara pemilik teks tidak ada sehingga tidak dapat dikonfirmasi. Sedangkan
dalam hermeneutic seorang pembaca diharuskan dapat menyelami psikologi pemilik
teks agar dapat memahami maksud penulis teks. Merupakan problem paling utama,
bagamimana untuk mengatasi keterrasingan ini. jika hermeneutika umum digunakan dalam
menyelesaikan problem hermeneutika ini. maka ada tiga hal yang harus
diperhatikan. Yakni, pesan ( tanda atau teks), penafsir ( mediator ) , dan para
audiens yang ada dalam al-Qur’an. [22]
Khazanah Ulumul Qur’an sebagai sebentuk
metodologi untuk menggarap wilayah penafsiran dan pemaknaan al-qur’an memiliki
tigkat sofistikasi yang luar biasa. Sifat luar biasa dari hazanah Ulumul Qur’an
ini terbukti dari berlimpahnya karya tafsir al-Qur’an dengan berbagai pola,
mulai tahlili sampai maudlu’I dan mulai
yang sekedar menafsirkan dengan mencari sinonim kata dan ayat hingga
yang melakukan ta’wil dengan intuisi dan menafsirkan secara ilmiah. Kenyataan
ini mau tidak mau telah membuktikan kekomprehensifan Ulumul Qur’an tersebut
dalam menjembatani jarak antara mufasir dengan al-qur’an sehingga melahirkan
berbagai hazanah tafsir. Hingga orang kemudian akan menyimpulkan bahwa
sebenarnya dengan islam memiliki Ulumul qur’an sebagai sarana ilmiyah
penafsiran al-qur’an itupun sudah cukup, tanpa perlu lagi metodologi tambahan
seperti hermeneutika.[23]
Dalam sebuah penafsiran perlu diperhatikan
adanya kontekstualisasi, dan bukan hanya teks dan konteks. Yaitu bagaimana agar
teks yang diproduksi dan berasal dari masa allu bisa dipahami dan bermanfaat
untuk masa kini. Dalam kaitannya dengan
pembahasan ini, pertanyaannya mungkin, bagaimana al-Qur’an bisa applicable
untuk segala ruang dan waktu? Dan tidak hanya compatible untuk ruang dan waktu
ketika teks tersebut muncul pertama kali.
Salah satu sumbangan berharga hermeneutic
dalam penafsiran al-Qur’an adalah berbagai tawaran teori dan konsep pemahaman
yang berasal dari para tokoh filosofis dan kritis. sumbangan tersebut, secara
umum adlaah kesadaran akan adanya berbagai determenasi yang turut menentukan
sebuah proses pemahaman , baik determenasi tersebut berasal dari wilayah
sosial, budaya, politik, maupun psikologis. Determenasi-determenasi tersebut
pada akhirnya, akan mengeliminasi setiap pemahaman dan penafsiran yang merasa
sebagai ‘ objektive’ dan ‘tanpa kepentingan’ serta ‘ pasti benar’.[24]
Disinilah hermeneutika memberikan pelajaran
bahwa sebenarnya setiap ide, pemikitran maupun penafsiran itu sangat
dipengaruhi oleh konteks dan misi serta kepentingan dari sang penafsir.
Sehingga sangat tidak bijaksana untuk menyalahkan ‘yang lain’ dan membenarkan
dirinya sendiri secara apriori, karena bagaimanapun pkiran itu sangat
tergantung pada konteks masing-masing.
Hermeneutika menawarkan sesuatu yang sangat
menarik dalam wacana penafsiran kitab suci. Pola penafsiran yang di tawarkannya
si satu sisi mengungkap asumsi-asumsi metodologis yang manusiawi karena tidak hanya memperhatikan isi teks. Tetapi juga
mempertimbangkan keberadaan konteks sosial. Di sisi lain, hermeneutika membuka jalan bagi upaya kontekstualisasi kitab suci
sehingga dapat berdialog dan operasional- fungsional dalam berbagai ruang dan waktu yang berbeda , sebagaimana yang
diidamkan dan dipegangi secara apologis
oleh banyak kalangan umat beragama terhadap kitab sucinya masing-masing.
Daftar pustaka
Zayd, Nasr
Hamd Abu. 2001. Tekstualitas Al-Qur’an. Yogyakarta : LKiS
Sumaryono,
E. 2001. Hermeneutika Sebuah Metode Filsafa. Yogyakarta : Kanisius
Burhanuddin,
Mamat S. 2006. Hermeneutika al-Qur’an
ala Pesantren. Yogyakarta: UII Press
Syamsudin,
Sahiron. 2003. Hermeneutika Al-Qur’an Madzhab Yogya, Yogyakarta :
Islamaika
Faiz, Fahruddin. 2005. Hermeneutika Al-Qur’an
, Yogyakarta : eLSAQ Press
[1] Nasr Hamd Abu Zayd, Tekstualitas
Al-Qur’an, Yogyakarta : LKiS, 2001, hlm. 1-2
[2] E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode
Filsafat,Yogyakarta : Kanisius, 1999, hlm. 23
[3] Ibid
[4] Mamat S. Burhanuddin, Hermeneutika
al-Qur’an ala Pesantren, Yogyakarta: UII Press, 2006, hlm. 62-69
[5] Sahiron Syamsudin, Hermeneutika Al-Qur’an
Madzhab Yogya, Yogyakarta : Islamaika, 2003, hlm. 54
[6] E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode
Filsafat,Yogyakarta : Kanisius, 1999, hlm. 27
[8] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an , Yogyakarta :
eLSAQ Press, 2005, hlm. 7
[9] Shahiron syamsuddin dkk, Hermeneutika
Al-Qur’an Madzhab Yogya, Yogyakarta : Islamaika, 2003, hlm.
[10]Ibid,
hlm. 53
[11] Rusmadi, dalam skripsinya Hermeneutika
Fazlurrahman, hlm. 27
[12]Ibid,
hlm. 28
[13] Nasr Hamd Abu Zayd, Tekstualitas
Al-Qur’an, Yogyakarta : LKiS, 2001, hlm. 1-2
[14] Rusmadi, dalam skripsinya Hermeneutika
Fazlurrahman, hlm.
[15] Syahiran Syamsuddin, dkk, Hermeneutika
Al-Qur’an Madzhab Yogya, Yogyakarta : Islamaika, 2003, hlm. 60
[16] Ibid.
[17]ibid, hlm. 61
[18] Mamat S. Burhanuddin, Hermeneutika
al-Qur’an ala Pesantren, Yogyakarta: UII Press, 2006, hlm. 76
[19] Ibid
[20] Ibid, hlm. 77
[21] Ibid, hlm. 80
[22] Ibid
[23] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an , Yogyakarta :
eLSAQ Press, 2005, hlm. 18
[24] Ibid, hlm. 22
No comments:
Post a Comment