Oleh Muhammad Assefudin
Mahasiswa Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang
a. Pendahuluan
Al-qur’an
adalah mu’jizat yang sangat besar diturunkan kepada nabi Muhammad SAW tidak ada
satu orang pun yang sanggup menandinginya. Selain karena bahasa arab memiliki
keistimewaan tersendiri juga bahasa dan redaksi yang digunakan dalam al-qur’an
bermakna luas dan penuh dengan ilmu. Terutama kebahagiaan mereka yang
mempelajari al-Qur’an bergantung pada pemahaman maknanya, pengetahuan rahasia –
rahasianya.
Al-qur’an
merupakan sumber ilmu pengetahuan yang tidak habis untuk kita gali. Mulai dari
ilmu tentang pemerintahan, ilmu kesehatan, ilmu hukum, keimanan, kisah-kisah,
ilmu tentang hal-hal ghaib seperti
akhirat dan pembalasan hari akhir dan masih banyak lagi yang terkandung dalam
al-qur’an karena setiap ayatnya adalah ilmu[1]. Kemampuan setiap orang dalam memahami lafadz dan ungkapan qur’an tidaklah sama, padahal ayatnya sama
dengan semua yang tersurat .
Sesudah Rosululloh SAW wafat barulah para
sahabat yang alim yang mengetahui rahasia-rahasia Al Qur’an dan yang mendapat
petunjuk langsung dari NAbi SAW sendiri, merasa perlu bangun menerangkan apa
yang mereka ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami tentang
maksud-maksud Al Qur’an[2]
“Tafsir,
dan Ta’wil” adalah pokok bahasan dalam makalah
ini. Pada upaya penyingkapan tabir akan rahasia-rahasia ayat dan makna maka
pentingnya diketahui ilmu tafsir ataupun ta’wil. Memahami al-Qur’an tidak hanya
berdasarkan apa yang tertera pada terjemahan saja akan tetapi pemahaman yang
lebih dalam lagi yaitu dikaji berdasarkan ilmu tafsir.
Harus
diakui, sampai saat ini masih ada usaha gigih dan terus menerus dalam mengkaji
berbagai hal tentang ilmu tafsir. Ada yang dimotivasi karena keinginan utnuk
membuktikan kebenaran al-qur’an ada juga yang beranggapan tentang misteri yang
menyelimuti al-Qur’an, maka pada makalah ini akan kami
terangkan tentang metode dalam memahami al-qur’an.
Pembahasan
a. Pengertian
1. Tafsir
Kata tafsir diambil dari kata
fassara yufassiru tafsiiran( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ
yang berarti keterangan atau uraian, Al-jurjani berpendapat bahwa kata tafsir
menurut pengertian bahasa al-kasyf[3]
wa al-izhar yang artinya menyingkap dan melahirkan .
Hal ini senada dengan pendapat yang mengatakan bahwa tafsir adalah menyingkapkan maksud dari lafadz yang sulit dalam Al-Qur’an, didalam Al-Qur’an disebutkan tentang makna tafsir :
اوَلَا يَأۡتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئۡنَـٰكَ بِٱلۡحَقِّ وَأَحۡسَنَ تَفۡسِيرً
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu perumpamaan, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS. 25:33)
Berikut ini adalah beberapa pengertian tafsir:
1. Secara etimologi kata tafsir dalam bahasa arab
berarti al-idlah (penjelasan) atau al-tabyin (keterangan)[4] selain itu tafsir bisa berarti: الاايضاح والبيان (penjelasan), الكشف
(pengungkapan)
dan المشكل كشف مرادعن الفظ (menjabarkan kata yang samar )[5]
2. Tafsir secara bahasa adalah mengikuti wazan “
taf’il” berasal dari akar kata al-fasr
yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna
yang abstrak.
3. Secara bahasa kata Tafsir ( تفســير )
berasal dari kata فَسَّرَ yang
mengandung arti: الإيضاح و البيان (keterangan dan penjelasan), yakni menyingkap dan menampak-kan
atau menerangkan makna yang abstrak. Kata الفســر berarti menyingkapkan
sesuatu yang tertutupi.
4. Tafsir secara Etimologis adalah penjelasan dan
mengungkapkan kata tafsir diambil dari kata fassara – yufassiru- tafsiran
yang berarti keterangan atau uraian. Pada dasarnya kata tafsir berdasarkan
bahasa tidak terlepas dari kandungan makna Al-Qur’an (Menjelaskan) Al- Bayan (
Menerangkan ) Al-Kasif ( Mengungkapkan ), Al-Azhar ( Menampakkan ) dan
Al-Ibanah ( Menjelaskan )
Adapun tafsir menurut istilah adalah terdapat banyak
pendapat :
- Tafsir menurut Al-Kilab Dalam At-tashil adalh
menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang
dikehendaki nash, isyarat atau tujuan.
- Menurut Syaikh Al-Jazairi tafsir pada hakikatnya
adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha
mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekatinya atau dengan jalan
mengemukakan salah satu dilalahnya.
- Menurut Abu Hayyan tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara penggunaan
lafadz-lafadz Qur’an tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik
ketika berdiri sendiri maupun
ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun
serta hal-hal lain yang melengkapinya[6].
- Menurut Al-Zarkasyi tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, serta menyimpulkan kandungan hokum dan hikmahnya.
- Kata Tafsir dalam Islam secara khusus menunjuk kepada masalah Penafsiran atau penjelasan mengenai ayat-ayat Al-Quran. Tafsir secara Terminologi. menurut badruddin Al-Zarkasyi :
السير : علم يعرف
به فهم كتب الله تعا لى النزل علىنبيه محمد صلى الله عليه وسلم ونيا ن معا نيه واستخراج
أحكمه
Tafsir ialah : ilmu yang dengannya
dapat dipahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W dan
dengannya dapat dijelaskan makna-maknaya serta dikeluarkan hukum-hukum dan
hikma-hikmanya.
Menurut Syeikh Thahir al-jazairi,
sebagaimana dinukil rifat syauqi Nawawi dam M.Ali Hasan serta Mashuri
sirojuddin Iqbal dan Al. Fudlali, dikatakan :
التفسير فى الحقيقة إنما
هو شرح اللفظ المستلغق عند السا مع بما هو أفصح عنده بما يراد فيه أوله دلالةعليه يا
حد ى الطرق الدلالا ت
Tafsir adalah hakekatnya ialah : menerangkan maksud
lafal yang sulit dipahami oleh para pendengar (penyimak) denga uraian yang
lebih yang lebih memperjelas maksudnya baik dengan mengemukakan sinonim atau
kata kata yang mendekati sinonim itu akan dengan mengemukakan uraian yang
mempunyai petunjuk kepadanya melalui jalan dalaah.
Sedangkan Abu Hayyan, seperti
dikemikakan oleh Manna’ Al-Qaththan, mengemukakan
االتفسير : علم
يبحث فيه عن كيفية النطق با لأ لفاظ القران ومد لولاتهاوأحكامها الأفرادية والتركيبية
والتركيبية ومعا نيها التى تحمل عليها حالة التركيب وتتمات لذا لك
Tafsir : ilmu membahas mengenai tata cara pengucapan
lafal-lafal Al-Quran, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri.
sendiri maupun ketika tersusun makna-makna yang diinginkan atsnya dalam keadaan
tersususun sreta hal-hal lain yang melengkapinya.
Maka berdasarkan rumus-rumus diats dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa
tafsir adalah : usaha yang bertujuan menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an atau
lafal-lafalnya agar hal-hal yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar
menjadi terang, yang sulit dipahami menjadi mudah di pahami, sehingga al-Qur’an
sebagai pedoman dalam hidup dan kehidupan sehari-hari agar tercapai kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat[7].
Dari rumusan-rumusan pengertian tafsir tersebut ada beberapa unsur pokok
yang dapat dikemukakan, yaitu :
a. Pada hakekatnya, tafsir itu
menjelaskan maksud ayat-ayat al-Qur-an, yang sebagian besar masih dalam bentuk
yang sangat global
b. Tujuan adalah untuk memperjelas
makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, sehingga apa yang
hendaki oleh Allah S.W.T. dalam firman-Nya itu dapat dipahami dan dihayati untuk diamalkan.
c. Sasarannya adalah agar
al-Qur'an sebagai pedoman hidup dan hidayah dari Allah benar-benar berfungsi
sebagaimana tujuan al-Qur'an diturunkan.
d. Sarana
pendukung dalam menafsirkan al-Qur'an meliputi berbagai ilmu yang
berhubungan dengan itu.
e. Upaya menafsirkan al-Qur'an bukan untuk memastikan, bahwa secara
pasti begitulah yang dikehendaki Allah dalam firman-Nya itu, namun pencarian makna itu hanyalah semata-mata untuk memperoleh kebenaran menurut kadar kemampuanmanusia
dengan segala keterbatasan ilmu yang dimilikinya.
2. Takwil
Secara
etimologi, menurut sebagian ulama', kata tawil memiliki makna yang sama dengan kata tafsi[8]r, yakni
"menerangkan" dan
"menjelaskan"." Ta'wil berasal dari kata "aul". Kata
tersebut dapat berarti: Pertama, al-ruju'(kembali,
mengembalikan) yakni, mengembalikan makna pada proporsi yang
sesungguhnya. Kedua, al-sharf(memalingkan) yakni memalingkan suatu
lafal yang mempunyai sifat khusus dari makna lahir kepada makna batin lafal
itu sendiri karena ada ketepatan atau
kecocokan dan keserasian dengan
maksud yang dituju. Ketiga, al-siydsah (mensiasati)
yakni, bahwa lafal-lafal atau
kalimat-kalimat tertentu yang mempunyai sifat khusus memerlukan
"siasat" yang tepat untuk menemukan makna yang dimaksud. Untuk itu
diperlukan ilmu yang luas dan
mendalam.
Selanjutnya pemaknaan ta’wil menurut
terminologi dapat dikemukakan sebagai berikut :
التأويل : صرف
اللفظ عن معناه الظاهرإلى معن يحتمله إلى معنى يحتمله إذاكان للمحتمل الذى يراه
موافقا للكتا ب والسنه
Ta’wil ialah : memalingkan lafal
dari maknanya yang tersurat kepada makna lain (batin) yang dimiliki lafal itu,
jika makna lain tersebut dipandang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan
Sunnah.
Sebagaimana, seperti Ahmad al-Marahiy mengemukakan :
اماالتأويل : فهوأن يكون للاية عدة معا ن محتملة فمهما ذكرت
للسا مع معنى ثم معنى وقف وقفه للمتردد في اختيار أقربهاإلى نفسه ومن ثم كان التأويل
أكثرما يستعمل فى جا نب المتشا بها ت
Adapun ta’wil ialah ayat yang
memiliki kemungkinan sejumlah makna yang terkandung di dalamnya, maka manakala
dikemukakan makna demi makna kepada pendengar, ia menjadi sangsi dan bingung
mana yang hendak dipilihnya, karena itu, ta’wil lebih banyak digunakan untuk ayat-ayat
musasyahibat.
Muhammad Ali al-Shabuniy mendefenisikan ta’wil sebagai
berikut :
التاويل : فهو
ترجيح بعض المعانى المحتملة من الايا ت الكريمة التى تحتمل عدة معا ن
Ta’wil ialah : memandang kuat sebagian dari
makna-makna tertentu yang terkandung di dalam ayat al-Qur’an dari sekian banyak
kemungkinan makna yang ada.
Menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an
berarti “membelokkan “atau”memalingkan” lafal-lafal atau ayat-ayat al-Qur’an
dari maknanya yang tersurat kepada yang tersirat dengan maksud mencari makna
yang sesuai dengan ruh al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW[9].
Sasaran ta’wil umumnya adalah menyangkut ayat-ayat Mutasyabiyat atau ayat-ayat
yang mempunyai sejumlah kemungkinan makna yang terkandung di dalamnya.
1. Dalil Takwil
Menurut para Ulama’, ada
bentuk dalil-dalil yang digunakan untuk merajihkan makna estoris (makna marjuh)
darpada makna zhahir
a. Nash Al Qur’an dan As Sunnah, seperti firman Allah SWT
tentang keharaman bangkai (hewan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah)
dalam Q.S Al MAidah: 3. Ayat ini menerangkan keharaman segala sesuatu dari
bangkai, termasuk kulitnya. Namun ada hadith bahwasannya Rosulullah SAW
bersabda kepada sahabatnya tentang kambing milik Maiimunah R.A yang mati dan
akan dibuang, “Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan
manfaatkan?”, para sahabat menjawab, “Tapi ini bangkai?”, beliau menjawab,
“Yang diharamkan dari bangaki hanyalah memakannya”, Dalil dari Hadith ini
mengalihkan sebuah lafadz dari makna Zhahirnya.
b. Ijma’, seperti firman Allah SWT dalam QS. Al Jumu’ah: 9,
mengenai perintah shalat Jum’at, secara zhahir ayat ini berlaku kepada semua
orang beriman baik laki-laki, perempuan, orang merdeka, budak, maupun
anak-anak. Tetapi ijma’ mengecualikan anak-anak yang belum baligh.
c. Qiyas; diantara para ulama ada yang mensyaratkan harus
dengan qiyas jaly, seperti Qiyas budak laki-laki dan budak perempuan dalam hal
pembebasannnya, sedangkan Qiyas fariq tidak berlaku. Hikmah Tasyri’ dan
kaidah-kaidah dasar syari’at; seperti kewajibanzakat dari empat puluh ekor
kambing dengan satu ekor. Menurut Ulama’ syafi’iyyah, membayar dengan seekor
kambing sesuai dengan zhahir lafadz hadith dan tidak boleh menggantinya dengan
uang (ikhrajal-qiymah) karena lafaznya jelas, khusus, qath’i. Sedangkan menurut
ulama Hanafiyah, boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiyamah) karena
hikmah dari mengeluarakn zakat adalah mencukupi kebutuhan orang-orang faqir dan
uang lebih bermanfaat untuk mencukupi segala kebuthab mereka serta lebih sesuai
dengan keinginan syariat.
2. Kaitan Takwil dengan Makna
Dalam kaitannya dengan masalah
makna, seorang mujtahid ketika akan mengalihkan lafadz dari makna yang kuat
kepada makna yang lemah harus memperhatikan hal-hal berikut;
a. Makna lughawi bahasa Arab, seperti kata shalat
yang berarti do’a, zakat yang berarti penyucian, dan shaum yang berarti
menahan.
b. Istilah-istilah syar’I, kata yang memiliki
pengertian khusus dalam syar’I, sehingga makna kata tersebut harus dikembalikan
kepada makna syar’I bukan kepada makna lughawi atau bahasa.
c. Istilah dalam urf (kebiasaan), baik urf yang
bersifat umum seperti kata al-adabah untuk yang berkaki empat (melata) atau
kata al-ghoit untuk kotoran, maupun urf yang bersifat khusus seperti
istilah-istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith dan ilmu-ilmu lainnya.
Selain memperhatian tiga hal
di atas, dalam mengalihkan lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah
juga harus mengembalikan kepada makna yang dekat atau berdasar dalil.
3. Bentuk-bentuk Takwil
Para Ulama
ushul merupakan kelompok yang paling mendalamaikajian ayat-ayat Al Qur’an, bila
dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan
untuk kepentingan pengambilan hokum (istimbath al-hakam). Sehingga kajian para
ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari
pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk Takwil,
diantaranya mengkhususkan lafazh yang masih umum (takhshishal-umum), membatasi
lafazh yang mutlak (taqyid Al Mutlaq), mengalihkan lafzh dari maknanya yang
hakiki kepada majazi, atau dari makna yang mengandung wajib menjadi makna yang
sunnah.
4. Ruang lingkup Takwil
Allah Azza
wa Jalla menurunkan Alqur’an dengan dua macam ayat, muhkamat dam mutasyabihat.
Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Sedangkan
mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak
dapat ditentukan arti makna yang dimaksud kecuali setelah dselidiki secara
mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti
ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara-perkara gaib misalnya seperti
ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surge , neraka dan lain-lain[10].
Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat merupakan objek kajian Takwil (majaal
Takwil)
Lebih spesifik lagi Muhammad bin Umar bin salim Bazmul dalam
syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Ibnu Taimiyah yang dikutip Abdurrahman MArdafi
menyatakan bahwa, mantuq memiliki lima macam; nash, zhahir, muawwal, dalalah
iqtidha’ dan dalalah isharah adalah bagian dari pembahasan Takwil.
As Sahukani dalam Irsyadul Fuhul yang dikutip Abdurrahman
Mardafi menjelaskan bahwa ada dua ruang lingkup Takwil (majaal al-Takwil); yang
Pertama, kebanyakan dalam masalah furu’, yakni dalam nash-nash yang berkaitan
dengan hukum-hukum syariah. Takwil dalam ruang lingkup ini tidak
diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama. Kedua’ dalam
masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah-masalah
aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah
memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu termasuk juga huruf
muqattha’ah di permulaan surat-surat.
b. Perbedaan Tafsir dengan Takwil
Tentang perbedaan Tafsir dan takwil ini banyak
ulama mengeluarkan berbagai pendapat, tentunya pendapat-pendapat Ulama itu ada
yang tidak sama bahkan ada yang jauh berbeda satu sama lain, diantara
pendapat-pendapat tersebut adalah:
· Ibnu faris
yang dikutip dari Abduraahman Mardafi menyatakan bahwa maksud sebuah ungkapan tidak
akan bisa lepas dari tiga hal: makna , tafsir dan takwil. Meskipun berbeda dari segi istilah, namun
maksud dari ketiganya saling berdekatan dan terkait. Makna adalah maksud dan
tujuan dari sebuah perkataan. Sedangkan Tafsir, menyingkap maksud yang
tersembunyi dari sebuah ayat. Adapun Takwil, mengalihkan lafadz dari suatu
makna kepada makna lain yang dikandungnya[11].
· Ar-Raghib Al-Ishfani yang dikutip Abdurrahman Mardadi mengatakan,
“Tafsir lebih umum dari takwil. Tafsir lebih banyak digunakan lafadz-lafdz,
sedangkan Takwil juga lebih banyak digunakan kepada makna-makna, seperti Takwil
mimpi. Takwil juga lebih banyak digunakan dalam kitab-kitab suci, sedang Tafsir
banyak digunakan untuk menemukan makna kata-kata dalam sebuah ucapan.
· Abdurrahman Mardafi menambahkan dari pendapat Az Zarkasyi bahwa, tafsir
dalam istilah para Ulama adalah menyingkap atau menemukan makna-makna Al Qur’an
dan menjelaskan maksudnya, ia lebih umum dari Takwil yang hanya sekedar membahas lafadz-lafdz yang ambigu atau makna
yang zhahir atau permasalahan lainnya[12]. Tafsir lebih banyak digunakan dalam
kalimat-kalimat. Selain itu, tafsir juga membahas lafadz-lafadz yang asing.
Sedangkan takwil, terkadang menggunakan lafadz umum dan terkadang lafadz
khusus. Seperti kata kufur yang terkadang diartikan ingkar dalam arti umum,
terkadang juga digunakan untuk pengingkaranan terhadap Allah Azza Wa Jallla
dalam arti khusus, dan kata iman yang terkadang diartikan mempercayai (tashdiq)
dalam arti umum, terkadang juga diguanakan untuk membenarkan kebenaran, baik
dalam lafadz ambigu yang memiliki beberapa makna.
· Al-bajili yang dikutip Abdurrahman Mardafi mengatakan bahwa Tafsir
berkaitan dengan riwayah (riwayat) sedangkan Takwil berkaitan dengan dirayah
(ilmu pengetahuan). Abdurrahman Mardafi menambahan hal serupa dinyatakan oleh
Abu NAshr Al-Qushairy, “ Tafsir terbatas hanya pada mengikuti dan mendengar
(riwayat), sedangkan istimbath (kesimpulan) merupakan bagian dari Takwil. Ini
juga pendapat Abu Mansur Al mAturidy, sehingga ia juga menyimpulkan bahwa
Tafsir berlaku untuk para sahabat sedangkan Takwil untuk para Fuqoha’ (ulama).
Sebab, para sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu dan
mendengar langsung dari Nabi Muhammad SAW serta mereka tidak akan berbicara tanpa
Ilmu.
· Menurut Abdurrahman Mardifi sendiri Takwil adalah hakekat luar (haqiqah
kharijiyah) dari sebuah ayat, sedangkan mengetahui tafsir dan maknanya adalah
mengetahui gambaran sebuah ayat secara ilmiah, jarena Allah Azza wa Jalla
menurunkan Al Qur’an agar mudah dipahami, dimengerti, direnungkan dan
dipikirkan baik ayat muhkamat maupun yang mutasyabihat meskipun tidak diketahui
takwilnya.
Jika dilihat dari
pengertian tafsir dan takwil maka dapa dibedakan atas :
Ta’wil :
1.
Takwil adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka makna
“tafsir dan “takwil” adalah dua kata yang berdekatan atau sama maknanya.
2.
Takwil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka takwil dari talab
(tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri dan takwil dari khabar
adalah esensi yang diberitakan.
Tafsir :
3.
Dikatakan tafsir adalah apa yang telah jelas didalamnya kitabullah atau
tertentu pasti) dalam sunnah yang sohih karena maknanya telah
jelas dan gamblang.
4.
Dikatakan pula tafsir lebih banyak digunakan dalam menerangkan lafadz
dan mufrodat (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak dipakai
dalam menjelaskan makna dan susunan kalimat.
Atas dasar ini maka perbedaan antara
keduanya cukup besar, sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu
perkataan. Sedangkan ta’wil ialah esensi dari suatu yang berada dalam realita
(bukan dalam pikiran). Ta’wil memerlukan renungan dan pemikiran dalam membuka
tabir/makna yang terkandung didalamnya. Dengan menggunakan istidlal dapat
menyeleksi makna yang lebih kuat, sifatnya tidak pasti sebab kalau makna
tersebut dipastikan maka berarti manusia telah menguasai al-qur’an sedang
ditegaskan dalam kitabullah :
وما يعلم تأ ويله إلا الله (الأ
يه, والله اعلم)
Misalnya:
ان ربك لب المرصا د (الفجر
: 14(
Artinya :Sesunguhnya tuhanmu benar-benar
mengawasi (QS al-fajr:89:14).
Penafsiran ayat di atas adalah
bahwa Allah senantiasa mengintai (mengawasi) hamba-Nya, sedangkan takwilnya
adalah bahwa Allah selalu mengingatkan hamba-Nya dari kemungkinan mengabaikan
perintah-perintah-Nya serta melupakan atau melalaikan semua itu dari
kemungkinan mempersiapkan hal-hal yang di anggap perlu.[13][9]
Tafsir dan ta’wil keduanya memiliki
kontribusi yang sama dalam memahami al-Qur’an.
Tafsir merupakan penjelas dari apa yang dimaksudkan oleh Allah dan tidak
akan diperoleh secara pasti kecuali dari para rosulullah atau dari para sahabat.
Sedangakan ta’wil merupakan kerja tarjih yang bersandar kepada ijtihad. Tarjih
akan sulit dilakukan atau bahkan mustahil tanpa ada penelusuran kosa kata arab,
keterkaitan ayat sebelumya dan sesudahnya, khas dan ‘am, mujmal dan muqayyad
dan lainya. Dalam hal ini tafsir merupakan perpanjangan dari ilmu tafsir dan
tafsir berfungsi menyiapkan perangkat-perangkat ta’wil.(Abu Zaid)[14][10]
Penutup
a. Kesimpulan
Takwil
merupakan bagian dari tafsir, jika tafsir menyingkap tabir makna dari sebuah
lafadz, maka Takwil menemukan makna dari Lafadz yang ambigu setelah tabir
tersingkap. Jadi, Takwil dapat berarti pendalaman makna (intensification of
meaning) dari Tafsir. Tafsir menyingkap tabir makna dari lafadz yang tersirat
(implisit) sedangkan Takwil menemukan makna batin (esetoris) dari lafazh yang
eksplisit (tersurat) atau ambigu (mutasyabihah)
b.
Daftar Pustaka
1. Rifa’at Syauqi, M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu
Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
2. Ash-Shiddieqy, Muhammad
Hasbi Teungku, Ilmu-ilmu Al Qur’an, (semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002)
3. Manna’ khalil Al-qattan, Studi ilmu-ilmu
al-qur’an (Jakarta, Litera Antar Nusa, 2011
4. Muhammad Ali al-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘ulumul
al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Irsyad, 1970),
5.
Adz-Dzahabi,
at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an
6. Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009)
7. Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka
Setia, 2000)
8. Rifa’at Syauqi, M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu
Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
9. Mashuri Sirajuddin Iqbal, A. Fudlali, Pengantar
Ilmu Tafsir, (Bandung: Angkasa, 1987)
[1] Rifa’at Syauqi, M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1988)
[2] Ash-Shiddieqy, Muhammad
Hasbi Teungku, Ilmu-ilmu Al Qur’an, (semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002)
[3] Manna’ khalil Al-qattan, Studi ilmu-ilmu al-qur’an (Jakarta,
Litera Antar Nusa, 2011
[4] Muhammad Ali al-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘ulumul al-Qur’an, (Beirut: Dar
al-Irsyad, 1970),
[5] Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits
fi Ulumi al-Qur’an
[6] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009)
[7] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
[8] Muhammad Ali al-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘ulumul al-Qur’an, (Beirut: Dar
al-Irsyad, 1970), h. 74
[9] Rifa’at Syauqi, M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1988),
[10] Mashuri Sirajuddin Iqbal, A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung:
Angkasa, 1987)
[11] Manna’ khalil Al-qattan, Studi ilmu-ilmu al-qur’an (Jakarta,
Litera Antar Nusa, 2011) hlm. 459
[12] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
No comments:
Post a Comment