Oleh: Nikmatul Inayah
Mahasiswi Akidan dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang
A. Pendahuluan
Dunia yang lapang ini yang dipenuhi oleh
makhluk-makhluk, gunung-gunung besar menjulang tinggi, laut besar dan ombak,
semua itu tidak berdaya berhadapan dengan manusia. Demikianlah kepada manusia
ini diberikan beberapa keistimewaan. Diantaranya yaitu diberinya kemampuan
berfikir, yang dipergunakan untuk membukakan rahasia unsur-unsur kekuatan yang
tersembunyi di alam ini semuanya ini dijadikan untuk berkhidmat kepada manusia.[1]
Allah sama
sekali tidak akan menelantarkan manusia, tanpa memberikan kepadanya sebersit
wahyu, dari waktu ke waktu, yang membimbingnya ke jalan petunjuk sehingga
mereka dapat menempuh liku-liku hidup dan kehidupan ini atas dasar keterangan
dan pengetahuan.[2]
Kepada
Rosulullah diturunkan wahyu, dan dikuatkan dengan mu’jizat yaitu perbuatan luar
biasa dalam menegakkan hujjah bagi Rosul itu sendiri terhadap seluruh umat
manusia. Sehinggga orang-orang yang berada di hadapan Rosul itu mengakui bahwa
dia lemah. Mereka menganut agama yang dibawa oleh Rosul ini dan patuh mengikuti
perintah dan larangannya. Tapi akal manusia itu dalam perkembangannya permulaan
tumbuhnya itu tidak melihat satu juapun. Di sini manusia berpedoman pada kata
hati lebih kuat daripada mu’jizat segala yang ada di alam ini. Ada hal-hal yang
dapat dirasakan oleh kata hati, namun tidak terjangkau oleh otak manusia memikirkannya.untuk
memecahkan masalah ini maka oleh Allah diutusnya seorang Rosul.[3]
B. Pembahasan
1. Pengertian
I’jaz
I’jaz berarti menetapkan kelemahan. Kelemahan
menurut pengertian umum ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari
kemampuan. Apabila kemu’jizatan telah terbukti , maka nampaklah kemampuan
mu’jiz. Yang dimaksud dengan I’jaz dalam pembicaraan ini ialah menampakkan
kebenaran nabi dalam pengakuannya sebagai seorang rosul dengan menampakkan
kelemahan orang arab untuk menghadapi mu’jizatnya yang abadi, yaitu Qur’an, dan
kelemahan-kelemahan generasi sesudah mereka. Dan mu’jizat adalah sesuatu hal
luar biasa yang disertai tantangan dan selamat dari perlawanan.[4]
2. Aspek-aspek
kemu’jizatan Qur’an
Secara khusus
kemu’jizatan al-Qur’an terbagi menjadi dua aspek yaitu:
a. Hal-hal yang berhubungan dengan
metode-metodenya yang bersifat retorik. Yaitu tergambari dalam susunan
kata-kata dan rangkaiannya, yang tersusun di dalam susunannya yang kokoh dan
gemanya yang musical. Contoh: والصبح إدا تنفس " dan demi subuh apabila
fajarnya telah menyingsing” (attakwir:18)
Kata tanaffas tidak mungkin jika ditempati
dengan kata lain, karena tanaffas (menyingsing) mencakup 3 pengertian
· Kehidupan.
· Gerakan dan
kontinuitasnya .
· Terjadinya
kehidupan itu sedikit demi sedikit.
b. Hal-hal yang berhubungan dengan
metode-metodenya yang bersifat saintis. Yaitu mengupas kumpulan ayat-ayat yang
menjelaskan bagaimana al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip ilmu pengetahuan
yang berkaitan denagn pertumbuhan alam, penciptaan manusia dan alam-alam secara
keseluruhan dan bagaiamana ia menuntut kepada kita agar memikirkan dan
mempertimbangkan mengenai rahasia-rahasia dan hikmahnya.[5]
Secara umum
kemu’jizatan Al- Qur’an terbagi menjadi beberapa aspek yaitu:
Ø Abu Ishaq
Ibrahim an-Nizam dan pengikutnya dari kaum syiah seperti al-Murtada
berpendapat, kemu’jizatan al-Qur’an adalah dengan cara sirfah pemalingan).
Arti sirfah dalam pandangan an-Nizam adalah bahwa Allah memalingkan orang-orang
Arab untuk menantang Qur’an padahal sebenarnya mereka mampu menghadapinya. Maka
pemalingan inilah yang luar biasa (mu’jizat)……
Ø Satu golongan
ulama’ berpendapat, Qur’an itu mu’jizat dengan balaghohnya yang mencapai
tingkat tinggi dan tidak ada bandingnya.
Ø Segi
kemu’jizatan Qur’an itu ialah karena ia
mengandung badi’ yang sangat unik dan berbeda dengan apa yang telah dikenal
dalam perkataan orang arab, seperti fasilah dan maqta’.
Ø Kemu’jizatan
Qur’an itu terletak pada pemberitaannya tentang hal-hal gaib yang akan datang
yang tak dapat diketahui kecuali dengan wahyu, dan pada pemberitaannya tentang
hal-hal yang sudah terjadi sejak masa penciptaan makhluk, yang tidak mungkin
dapat diterangkan oleh seorang ummi yang tidak
pernah berhubungan dengan ahli kitab.
Ø Qur’an itu
mu’jizat karena ia mengandung bermacam-macam ilmu dan hikmah yang sangat dalam.[6]
3. Kadar
kemu’jizatan Qur’an
a. Golongan mu’tazilah berpendapat
bahwa kemu’jizatan itu berkaitan denagn keseluruhan Qur’an bukan dengan
sebagiannya atau dengan setiap surahnya secara lengkap.
b. Sebagian ulama’ berpendapat,
sebagian kecil atau sebagian besar dari Qur’an, tanpa harus satu surah penuh,
juga merupakan mu’jizat, berdasarkan firman Allah: “Maka hendaklah mereka
mendatangkan kalimat yang semisal Qur’an…” (at-Tur:34).
c. Ulama’ lain berpendapat,
kemu’jizatan itu cukup hanya dengan satu surah lengkap sekalipun pendek, atau
dengan ukuran satu surah, baik satu ayat atau beberapa ayat.[7]
4. Cara memahami
kemu’jizatan Qur’an
a. Kepribadian
Nabi Muhammad Saw
Membuktikan
kebenaran seorang nabi tidak harus melalui mu’jizat yang dipaparkannya tetapi
juga dapat dibuktikan dengan mengenal kepribadian, kehidupan keseharian, akhlaq
dan budi pekertinya bahkan juga air mukannya. Imam Al-Ghozali dalam konteks ini
menekankan bahwa apabila kita merasa ragu terhadap seseorang apakah dia anbi
atau bukan, tidak mungkin keraguan itu berubah menjadi keyakina, kecuali jika
kita mengetahui keadaannya, baik denagn melihat secar langsung maupun mendengar
beritanya melaului penyampaian sjumlah orang yang menurut adat mustahil mereka
berbohong. Atau jika itu tidak dapat, bisa juga dengan mempelajari
ucapan-ucapannya.[8]
b. Kondisi
masyarakat saat turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an
menamai masyarakat Arab sebagai masyarakat ummiyyin. Yaitu bentuk jamak dari
kata ummiy.yang terambil dari kata umm yang arti harfiahnya adalah ibu dalam
arti bahwa seorang ummiy adalah yang keadaannya sama dengan keadaan pada saat
dilahirkan ibunya dalam hal kemampuan membaca dan menulis. Sebagaimana dalam
hadis: “ kami umat yang ummiy, kami tidak pandai menulis, tidak juga pandai
berhitung. Bulan, begini, begini, begini ( beliau menggunakan jari-jari kedua
tangannya untuk mengisyaratkanangka dua puluh Sembilan atau tiga puluh hari).
Kelangkaan
alat tulis menulis dan ketidakmampuan menulis mengantarkan mereka untuk
mengandalkan hafalan. Kemampuan menghafal pada akhirnya menjadi tolok ukur
kecerdasan dan kemampuan ilmiah seseorang, sehingga tidak heran jika pentyair
yang bernama Zurrumah meminta seseorang yang mendapatinya sedang menulis, umtuk
tidak memberitahukan kepada orang lain tentang kemampuannya menulis. Dia
berkata “sesungguhnya kemampuan menulis di klangan akmi adalah aib”[9]
Masyarakat
Arab ketika itu juga tidak mahir berhitung.bahkan seperti yang di tulis
Az-Zarkhasyi dalam Al-Burhan, bahasa arab memperkenalkan apa yang dinamai wawu
atas-tsamaniyah yaitu huruf wawu yang digandengkan denagn angka delapan. Karena
angka yang yang sempurna bagi mereka adalah tujuh (seperti sepuluh bagi
kita). Karena itu, angka tujuh bagi
mereka bukan saja berarti bilangan yang diatas enam dan di bawah delapan,
melainkan juga berarti banyak.
Selain itu masyarakat
Arab juga memiliki pengetahuan antara lain dalam bidang:
a. Astronomi penggunaan bintang untuk
penunjuk jalan atau mengetahui jenis musim.
b. Meteorologi, untuk mengetahui keadaan
cuaca dan turunnya hujan.
c. Sedikit tentang sejarah umat
sekitarnya.
d. Pengobatan berdasarkan pengalaman.
e. Perdukunan dan semacamnya.
f. Bahasa dan sastra.[10]
c. Masa dan cara
kehadiran al-Qur’an
a. Kehadiran
wahyu al-Qur’an di luar kehendak Nabi Muhammad Saw.
Nabi Saw tidak
jarang membutuhkan penjelasan pada sesuatu yang sedang dihadapinya tetapi
penjelasan bagi sesuatu yang sedang dihadapinya tidak kunjung datang.
Setelah
sepuluh kali menerima wahyu tiba-tiba wahyu terputus kehadirannya sehingga
orang-orang musyrik mekkah mengejek beliau dengan berkata: “Tuhan telah
meninggalkan Muhammad dan membencinya”. Kegelisahan beliau berakhir ketika
turun wahyu kesebelas “ Demi adh-dhuha, dan malam ketiak hening. Tuhanmu tidak
meninggalkan kamu dan tidak pula membencimu. (Adh-Dhuha: 1-3).
Demikian
terlihat bahwa wahyu adalah wewenang Tuhan sendiri. Walaupun keinginan Nabi
Saw. meluap-luap menantikan kehadirannya, jika Tuhan tidak menghendaki, wahyu
tak akan datang. Ini membuktikan bahwa wahyu bukan merupakan hasil perenungan
atau bisikan jiwanya.[11]
b. Kehadirannya
secara tiba-tiba.
Ø Sahabat Nabi,
Ibnu Mas’ud berkata,” suatu ketika aku berjalan bersama Nabi Saw. Di kota
Madinah.
Beliau
bertelekan tongkat, dan berjalan melalui sekelompok orang-orang Yahudi.
Sebagian mereka berkata dengan sebagian yang lain.’seandainya kalian bertanya
kepadanya (menguji Muhammad).’ Maka mereka berkata kepada Nabi, ‘Sampaikanlah
kepada kami tentang ruh!’ maka sejenak beliau berhenti dan mengangkat
kepalanya. Ketika itu aku sadar bahwa beliau sedang menerima wahyu, demikian
sampai selesainya wahyu lalu beliau membaca ‘kulir-ruhu min amri Rabbiy wama
utiitum minal ‘ilmiilla qaliila’.
Ø Jawaban
al-Qur’an menyangkut ruh yang datang secara spontan lima belas abad yang lalu,
masih tetap relevan dan amat ilmiah hingga saat ini. Walaupun kehadirannya
datang secara tiba-tiba, ditemukan bahwa redaksinya sangat indah, teliti dan
kandungannya amat kaya dan jitu. Melebihi keindahan dan ketelitian hadis-hadis
beliau sendiri yang sesungguhnya di bawah “kekuasaan” beliau untuk mengucapkan
atau tidak mengucapkannya dan untuk memikirkan susunan redaksinya.
Bahwa beliau
tidak sepenuhnya menguasai diri ketika wahyu datang dijelaskan oleh sahabat
Ubadah bin Ash-Shamit yaitu tampak perubahan padaair muka beliau, tunduk kepala
beliau dan sahabat di sekitarnyapun menundukkan kepala.[12]
c. Ayat-ayat
Teguran
Teguran
–teguran kepada Nabi Saw. yang ditemukan dalam Qur’an ada yang keras dan tegas
dan ada pula yang ringan lagi halus. Contohnya adalah:
v Suatu ketika Nabi
Saw. Sedang berkumpul bersama pemuka-pemuka musyrik di makkah untuk menjelaskan
ajaran Islam kepada mereka. Tiba-tiba datang seorang buta Abdullah bin Ummi Maktum
sambil bersuara keras “Muhammad, Muhmmad ajarkanlah aku sebagian yang diajarkan
Tuhan kepadamu.” Kemudian muka Nabi kusut dan berpaling tidak menghiraukan
kedatangannya. Sikap ini dinilai oleh Allah tidak wajar yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad Saw., dan karena itu turun teguran Tuhan yang diabadikan oleh Al-
Qur’an, yakni dalam firmanNya Qs. Abasa: 1-12)
v Dalam
peperangan badar, Nabi membicarakan sikap yang harus diambil dalam menghadapi
para tawanan perang. Umar bin Khotob mengusulkan agar mereka dibunuh, tapi Abu
Bakar mengusulkan agar mereka dimaafkan
atau dibebaskan dengan tebusan. Nabi memilih ini. Namun Tuhan menegur beliau di
dalam firmanNya:
“Tidak wajar
bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya
dimuka bumi. Kami menghendaki harta duniawi sedangkan Allah menghendaki
(pahala) akhirat (untuk kamu).dan Allah maha perkasa lagi maha bijksana. Kalau
sekiranya tidak ada ketetapan terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan
yang besar, karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah dari sebagian ramasan
perang yang telah kamu ambil itu,
sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. (Al-Anfal:67-69)
Adakah seorang
pemimpin yang rela kesalahan-kesalahannya dipaparkan bahkan diabadikan dalam
catatan resmi. Di sini Al-Qur’an telah mengabadikan hal itu, karena al-Qur’an
memang bukan karangan Muhammad Saw.
Di dalam Qur’an
surat Al-Anfal ayat 67-69 terdapat uraian yang silih berganti antara kecaman,
ancaman, dan pengampunan, serta anugrah itu tidak mungkin muncul dari diri
seorang manusia yang sedang diliputisuatu kondisi tertentu. Bisakah berhimpun
antara kesenangan dan kesusahan, amarah dan cinta, kecaman dan pujian dalam
saat yang sama. Kalaupun bisa, pasti yang kedua menghapus yang pertama, tapi
disini keduanya ditampilkan bersamaan. Hal ini membuktikan bahwa Qur’an bukan
hasil karya Nabi. [13]
5. Bukti- bukti kemu’jizatan al-Qur’an
a. Bahasa
Sastranya yang unik dalam susunan, kata-kata, gaya bahasa dan dalam menyalah aturan-aturan
orang Arab dalam fashohah dan sastra mereka yang mereka banggakan
keunggulannya, karena al-Qur’an bukanlah syair, prosa ataupun sajak tetapi
karena ia adalah metode yang berdiri sendiri
dalam keindahan ungkapan-ungkapannya yang segar menawan, konteks-konteks
pengertian-pengertiannya yang tinggi yang orang Arab sebelumnya belum pernah
menjumpai yang sepadan sehingga para sastrawan mereka selalu tidak mengetahui
dari aspek apakah al-Qur’an menguasai akal mereka.[14]
Rosulullah meminta orang arab menandingi
Qur’an dalam uslub umum yang meliputi orang arab sendiri dan orang lain, manusia
dan jin. Dengan tantangan yang mengalahkan mereka.[15]
Rosulullah telah meminta orang arab menandingi
Qur’an dalam tiga tahapan:
v Menantang
mereka dengan seluruh Qur’an dalam uslub umum yang meliputi Orang arab sendiri
dan orang lain, manusia dan jin, dengan tantangan yang mengalahkan kemampuan
mereka secara padu melalui firman-Nya dalam Qur’an surat al-Isra’: 88.
v Menantang
mereka dengan sepuluh surah saja dari Qur’an (Qs. Hud:13-14).
v Menantang
mereka dengan satu surah saja dari Qur’an (Qs. Yunus:38 & al-Baqoroh:23).[16]
Al-Qur’an, dimana orang Arab tidak mampu
menandinginnya. Jalinan huruf-hurufnya serasi, ungkapannya indah, uslubnya
manis, ayat-ayatnya teratur serta memperhatikan situasi dan kondisi dalam
berbagai macam bayannya.
Demikian pula kemu’jizatan ditemukan dalam
sifatnya yang dapat memuaskan akal dan menyenangkan perasaan. Qur’an dapat
memenuhi kebutuhan jiwa manusia, pemikiran maupun perasaan, secara sama dan
berimbang. Kekuatan pikir tidak akan menindas kekuatan rasa dan kekuatan
rasapun tidak akan pula menindas kekuatan pikir.
b. Al-Qur’an mengandung banyak
kisah-kisah para Nabi, para Rosul dan berita-berita tentang umat-umat terdahulu
dengan segala keadaan mereka melalui ungkapan yang sesuai dengan hal-hal yang
benar dan dikonfirmasikan yang ditegaskan dalam kitab-kitab Yahudi dan Nasrani
sebagai ahli kitab, padahal Nabi Saw tumbuh sebagai seorang yang ummi, tidak
bisa membaca dan menulis.
c. Al-Qur’an juga menyebutkan tentang
persoalan-persoalan yang akan terjadi pada masa yang akan datang dan
kejadiannya secara praktis sudah benar-benar terjadi.
d. Keagamaan yang dikandung oleh
al-Qur’an yang bangsa Arab sama sekali belum mengetahuinya seperti akidah
tauhid, beriman kepada yang gaib, hari kiamat hari perhitungan dan pembalasan
perbuatan manusia, surga, neraka dan malaikat serta masalah-masalah lain yang
khusus berkenaan dengan perundang-undangan.
e. Allah mengumpulkan dalam ayat-ayat
banyak penjelasan-penjelasan yang mengandung realitas-realitas ilmiah yang
mempunyai tujuan akhir di dalam akar dan tipikal mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan kosmos, apa yang datang tentang penciptaan manusia dan
perkembangannya baik dalam fisik maupun akal, kemudian tentang tumbuh-tumbuhan,
hewan dan serangga-serangga.
f. Al-Qur’an dari sejak diturunkan
sampai sekarang tidak nampak dalam teks-teks, pengertian-pengertian atau dalam
rumusan-rumusannya suatu noda, kontradiksi atau kekacauan mengenai kehidupan
dunia dengan segala seluk beluknya yang diungkapnya.[17]
C. Kesimpulan
Al-Qur’an adalah undang-undang yang sempurna mengatur kehidupan manusia
dalam bentuk yang lebih baik dan lebih tinggi nilainya. Dan melindungi peraturan-peraturan
lain berkaitan dengan tidak mampu ditandingi oleh ilmu pengetahuan dan oleh
bahasa untuk selama –lamanya. Tidak seorangpun yang membantah bahwa Al-Qur’anlah
yang membuat berita-berita di alam ini bukan sejarah.
Referensi
Qathan, Mana’ul,
Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, terj. Halimuddin, Jakarta:PT Rineka Cipta,
1995
al-Qattan, Manna’
Khalil, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir, Bogor: Pustaka
Lintera anatar Nusa, 2009
Ibrahim, Muhammad
Ismail, Sisi Mulia Al-Qur’an, terj. Aly Abu Bakar Basalamah, Jakarta:
Rajawali, 1986
Shihab, M.
Quraish, Mukjizat Al-Qur’an, PT Mizan Pustaka: Bandung, 2007
[1] Mana’ul Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an,
terj. Halimuddin, Jakarta:PT Rineka Cipta, 1995, hal: 68
[2] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
al-Qur’an, terj. Mudzakir, Bogor: Pustaka Lintera anatar Nusa, 2009,
hal:369
[3]
Halimuddin, hal: 68-69
[4] Mudzakir, hal: 371
[5]
Muhammad Ismail Ibrahim, Sisi Mulia Al-Qur’an, terj. Aly Abu Bakar
Basalamah, Jakarta: Rajawali, 1986,,hal:25-28
[7]
Ibid, hal: 378 -379
[8]
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, PT Mizan Pustaka: Bandung, 2007,
hal: 67
[9]
Ibid, hal: 74-75
[10]
Ibid, hal: 75-76
[11]
Ibid, hal:77-79
[12]
Ibid, hal: 84-85
[13]
Ibid, hal: 80 - 83
[14] Muhammad Ismail Ibrahim, hal: 20
[15]
Ibid, hal: 371
[16]
Ibid, hal:372
No comments:
Post a Comment