Oleh Miftahul Arifin
Judul dalam tulisan ini bertitik tolak pada kenyataan dimana agama,
walau dalam keadaan bagaimanapun akan selalu eksis dalam kehidupan manusia
sepanjang zaman. Dimana ada manusia disitulah agama akan tetap hidup menjadi
bagian dari padanya. Tak peduli benturan yang menghantam. Modernisasi sebagai
tanda dari bangkitnya materialisme tak dapat membendung eksistensi agama.
Justru agama akan selalu menjadi pijakan dasar dimana mansia itu hidup.
Sadarkah manusia bahwa ia butuh agama? Ya, karena agama berada pada nalar
psikologis di dalam alam terdalam dari manusia.
Agama terbentuk dari keyakinan akan kuasa ilahi. Ini lah konsep
dasar jika kita kita ingin medikusikan Rodolf Otto. Pertanyaan yang paling
mendasar sebelum kita berbicara lebih jauh adalah mengapa manusia tidak bisa
lepas dan selalu bergantung pada agama. Banyak sekali para atheis yang tidak
mengakui keberadaan agama, lebih-lebih keberadaan tuhan itu sendiri. Namun
dalam hal tertentu tanpa di sadari ia akan mengakui akan keberadaan sesuatu
diluar dirinya yang lebih kuat ketika dihadapkan pada masalah tertentu yang
logika tidak dapat memecahkannya. Salah satu contoh yang paling lekat kita
kenal adalah firaun menyeru kepada tuhan pada waktu akan mati tenggelam.
Rudolf Otto dalam hal ini menyebutnya dengan the Holy atau yang
“kudus”. Ada kekuatan di dalam diri manusia yang mengendalikan manusia itu
sendiri. Agama atau kepercayaan menyatakan bahwa dunia ini dipersiapkan dan
bergantung pada penyelenggaraan Ilahi. Ada suatu sisi lain yang tidak tampak
pada manusia. Munculnya kesadaran dalam diri manusia mengandaikan suatu
keterbukaan akal budi manusia pada kenyataan.
Rudollf Otto mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada struktur
apriori yang dapat memahami terhadap keberadaan tuhan. Nah, keterbukaan itu lah
yang menjadi dasar mengapa orang beragama. Untuk tahapan selanjutnya, keyakinan
ini diungkapkan dalam berbagai kegiatan religius seperti doa dan ibadat. tuhan
menjadi dasar dan tujuan setiap agama dan kepercayaan.
Pengalaman hidup menjadi titik tolak hidup religius atau beragama.
Tidak hanya sekarang orang-orang menghadapi kenyataan hidup yang tidak dapat
ditangkap secara rasional. yang terjadi karena adalah melampaui daya nalar
manusia. Misteri tersebut tidak sama dengan teka-teki. Ia adalah misteri besar
yang tidak pernah dimengerti, namun tidak dapat disangkal kebenarannya dalam
pengalaman manusia.
Perasaan Nominous
Rudolf Otto mengatakan mengapa rasa dalam diri manusia hingga ia
tidak bisa lepas dari agama. Hal tersebut di sebabkan oleh adanya perasaan
numininous. Perasaan numinous bersifat irrasional, tersembunyi dan membentuk
suatu keadaan psikologi yang pali dasar dalam jiwa. Perasaan nominuos berbeda
dengan perasaan yang mungkin membingungkan.
Perasaan nominuos yang memiliki ciri rasionalitas menunjukkan bahwa
setiap pengalaman religius tidak bisa dikonsepkan, tidak dalam rasionalitas,
tetapi dipahami walau demikian adanya. [1]
ada dua aspek dalam perasaan nominous: pertama, perasaan takut yang religius yang
kemudian disebut dengan tremendum. Kedua, perasaan terpesona yang
kemudian disebut dengan fascinans.
Dalam hal tersebut, keberadaan yang kudus atau yang ilahi merupakan
misteri. ia serentak tampak sebagai kekuatan yang menakutkan dan mengagumkan.
Hal itu terjadi karena Ia berlainan sama sekali dari manusia. [2]
Sedangkan perasaan Numinous yang menampakkan diri memunculkan perasaan
gentar/takut dari manusia terhadap-Nya.
Menurut Otto, rasa takut dan gentar yang terdapat dalam jiwa
manusia bukanlah bersumber dari murka Yang Ilahi melainkan realitas Yang Kudus,
yang tidak dapat dimasuki. Yang Kudus itu dialami sebagai sesuatu yang berkuasa
atas segala sesuatu. Ia tampak sebagai yang mulia. Di hadapan kemuliaan Yang
Kudus tersebut, kita hanya bisa sujud dan hormat karena kita merasa lemah dan
kecil.[3]
Namun demikian, meskipun Yang Kudus melebihi manusia dan berada di
luar lingkup yang biasa, Ia tidak dialami sebagai yang asing. Manusia dapat
mengenal dan mengerti serta merasa dekat dengan-Nya. Secara tidak rasional yang kudus dialami sebagai sesuatu yang
menarik. Yang Kudus dilihat sebagai suatu wujud yang penuh kebaikan, kegaiban,
belas kasihan, dan rahmat. Rasa kagum dan terpesona tersebut mendorong manusia
untuk menjalin relasi yang akrab dengan-Nya.
Yang Kudus
Menyebut
beragama berarti menyembah kekuatan-kekuatan yang diyakini lebih tinggi dari
hidup, karena menguasai hidup atau sebagian dari hidup. Dalam beragama secara
demikian, orang zaman purbakala bukan hanya mengungkapkan keyakinan tentang
adanya yang maha tinggi, melainkan juga tentang manusia dan tentang alam yang
menjadi ungkapan hidup manusia.[4]
Berbicara
tentang yang kudus maka sangat luas cakupannya. Akan tetapi dalam kontek
pengertian yang umum, Yang Kudus dapat dipahami ke dalam dua pemahaman:
pemahaman dalam arti luas dan dalam arti
sempit. Secara luas yang kudus adalah sesuatu yang terlindung dari pelanggaran,
pengacauan atau pencemaran. Dalam pengertian yang sempit, Yang kudus hanya
dilihat dalam konteks agama. Yang Kudus dilihat sebagai sesuatu yang suci dan
keramat.[5]
Dalam
pengertian yang lebih luas juga, Yang Kudus dipahami sebagai sesuatu yang
dihormati, dimuliakan, dan tidak dapat dinodai. Maka, yang kudus tidak hanya
terbatas pada agama tetapi banyak objek, baik yang bersifat keagamaan maupun
bukan.
Maka, sejatinya apa yang dikatakan oleh kalangan atheis bahwa ia
tidak butuh terhadap tuhan ataupun agama dipenuhi dengan keegoisan dan hanya
eksistensi belaka agar ia dikenal oleh orang. Sebenaranya, di dalam kedalaman
hati mereka mengakui adanya kekuatan diluar dirinya yang setiap waktu
mendampingi dan mengendalikannya.
No comments:
Post a Comment