Tuesday 30 April 2013

Perkembangan Jiwa Agama Pada Anak



Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh lingkungan, baik pengalaman atau pendidikan di sekolah.  Di rumah pengalaman kegamaan pada anak mengikuti pola keagamaan orang tua. Praktek keagamaan yang benar oleh orang tua akan menjadi keuntungan sendiri bagi anak perihal agamanya ketika
dewasa. Sebaliknya, keagamaan seorang anak tidak baik jika semasa kecilnya ia tidak di perkenalkan agama secara baik. Peran orang tua sangat menentukan keberagamaan anak.
Di sekolah, keagamaan anak ditentukan oleh guru agama. Dasar agama di lingkungan keluarga akan dikembangkan di sekolah sesuai tingkat pengetahuannya. Semakin bertambah umur mereka, semakin bertambah pula konsep agama yang mereka miliki. Semula mereka hanya mengenal tuhan melalui fantasi dan emosinya, ketika di sekolah ia akan mengenal tuhan secara formal sebagaimana diajarkan oleh guru mereka. Pada tahapan ini, mereka sangat tertarik untuk mempelajari agama. Sebagaimana dikatakan Jalaluddin dalam buku psikologi agama, anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan  yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.
Dengan demikian, penting kiranya pendidikan agama pada anak agar menjadi orang yang taat terhadap ajaran agama setelah ia dewasa. Makalah ini akan membahas lebih jauh pola keagamaan pada anak.

Timbulnya Keagamaan Pada Anak
Bahasa merupakan tahan awal seorang anak mengenal tuhan.[1] Semula nama tuhan dikenal secara acuh tak acuh. Selanjutnya ia akan merasakan kegelisahan setelah melihat orang-orang dewa menunjukkan rada kagum dan takut kepada tuhan. Ia akan gelisah dan ragu tentang adanya yang gaib yang tidak dapat dilihatnya. Ia akan mengikuti dengan mengulang-ulang apa yang dibaca oleh orang dewasa. Lambat laun, tanpa sadar, pemikiran tentang tuhan akan masuk dalam dirinya dan menjadi pembinaan kepribadiannya.[2]
Zakiah Derajat mengatakan, semula, tuhan bagi anak merupakan hal yang asing yang diragukan kebaikan niatnya. Hal ini disebabkan oleh pengalaman kesenagan atau kesusahan belum dirasakan oleh seorang anak. Namun setelah ia menyaksikan orang dewasa yang disertai emosi atau perasaan tertentu dalam memandang tuhan, perlahan-lahan perhatiannya terhadap tuhan mulai tumbuh. Bahkan pada tahap awal, pengalaman tentang tuhan merupakan hal yang tidak disenangi karena merupakan ancaman bagi integritas kepribadiannya. Itulah sebabnya, menurut Zakiah, seorang anak sering menanyakan tentang dzat, tempat dan perbuatan tuhan untuk mengurangi kegelisahannya.
Jawaban yang diterima oleh anak atas pertanyaan yang ia ajukannya dengan puas sepanjang jawaban itu serasi. Jawaban yang tidak serasi akan membawa pada keragu-raguan dan pandangan skeptis pada masa remaja. Oleh karena itu, apa yang dipercayai seorang anak tergantung pada apa yang diajarkan oleh orang tua di rumah dan seorang guru di sekolah.[3]

Tuhan sebagai keharusan moral
Disamping menjadi sandaran emosi, tuhan menjadi penolong moral yang berarti penolong anak-anak dalam menghadapi dorongan jahat yang timbul di hatinya. Pada masa akhir anak-anak terlihat perhatiannya yang sangat kepada tuhan karena ia penolong yang baik, menolong orang lemah, membalas orang yang aniaya. Gambaran tentang ini sangat menolong anak untuk menerima kesusahan dan penderitaan yang kadang-kadang meminta pengorbanan.[4]
Karena ini Zakiah Derajat mengatakan bahwa anak yang lebih besar, sembahyang dan doanya lebih sungguh-sungguh dari pada anak kecil. Ia mulai menyadari bahwa tuhan sebagai tempat penolong dan agama sebagai kebaikan tertinggi. Kejahatan yang paling besar pada anak usia 9 tahun adalah mencela agama. Nilai agama meningkat bersama nilai-nilai keluarga atau berarti moral keluarga mengikuti moral agama.
Allah semakin dekat kepada jika si anak karena anak makin dekat pula padanya. Ia mulai mendengar kata hatinya tentang akhlak dan Allah menjadi pantulan dari suara tersebut.[5]
Perkembangan Agama Pada Anak
Sebelum membahas perkembangan agama pada anak akan dikemukakan terlebih dahulu teori pertumbuhan agama pada anak itu sendiri. Teori mengenai pertumbuhan agama pada anak itu antara lain:[6]
1.      Rasa ketergantungan (Sense of Depende)
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu : keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2.      Instink Keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink di antaranya instink keagamaan. Belum terlihat tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna. Misalnya instink social pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius, baru berfungsi setelah mereka dapat bergaul dan berkembang untuk berkomunikasi. Jadi instink social itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian pula instink keagamaan.
Adapun perkembangan agama pada anak sebagaimana dikemukakan Ernes Harms dalam bukunya The Development of Religious Children, bahwa perkembangan anak melalui tiga tingkatan:[7]
1.              The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Konsep mengenai tuhan pada tingkat ini lebih banyak dipengaruhi oleh emosi dan fantasi. Seorang anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Pada fase ini, seorang anak banyak dipengaruhi oleh konsep fantasi yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Fase ini biasanya ketika seorang anak baru berumur 3-6 tahun.
2.      The Realistic Stage (Tingkatan Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga sampai ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini die ke Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul  melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak di dasarkan  atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdarkan hak itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan  yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.
3.      The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini akan telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan: Pertama konsep ke Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luas. Kedua, Konsep ke Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan). Ketiga, Konsep Ke Tuhanan yang bersifat humanistic. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh factor intern yaitu perkembangan usia dan factor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.
Perkembangan agama kepada anak yang paling dominan sejatinya karena pengaruh lingkungan. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan agama kepada anak. Zakiah derajat dalam buku Ilmu Jiwa Agama menjelaskan, guru agama di sekolah dasar menghadapi tugas yang tidak ringan dalam pengembangan agama pada anak. Sebab, seorang anak dalam satu kelas membawa sikap sendiri-sendiri dalama agamanya, sesuai dengan pengalaman agama yang diajarkan di rumah.
Selanjutnya guru disekolah memiliki tugas untuk mengembangkan jiwa keagamaan kepada anak secara sehat. Dia dapat memupuk anak yang pertumbuhan agamanya baik menjadi lebih baik dan yang kurang baik menjadi lebih baik sesuai dengan yang diharapkan.

Sifat Agama Pada Anak
Sesuai dengan ciri yang dimiliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outhority, ide keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh factor dari luar diri mereka. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.
Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak sebagaimana ditulis oleh Jalaluddin dalam buku Psikologi Agama dapat dibagi sebagai berikut:
1.      Unreflective ( Tiak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang jumlah konsep ke Tuhanan pada diri anak 73 % mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klaus memotong jenggotnya untuk membuat bantal. Dengan demikian anggapan mereka terhadap ajara agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian pada beberapa orang anak terdapat mereka yang memiliki ketajaman pikiran  untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
Penelitian Praff mengemukakan contoh tentang hal itu :
“Seorang anak perempuan diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakan sebuah gunung. Berdasarkan pengetahuan tersebut maka pada suatu kesempatan anak itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan gunung-gunung yang ada di daerah Washington ke laut. Karena keinginannya itu tidak terwujud maka semenjak itu ia tak mau berdoa lagi”
2.      Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang mendapat kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak-kanakan (childish) dan memiliki sifat ego yang rendah. Hal yang demikian menganggu pertumbuhan keagamaannya.
3.      Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ke Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya ke kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke Tuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan.
Melalui konsep yang berbentuk dalam pikiran mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat yang gelap.
Surge terletak di langit dan untuk tempat orang yang baik. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagai layaknya orang mengintai. Pada anak yang berusia 6 tahun menurut penelitian Praff, pandangan anak tentang Tuhan adalah bahwa Tuhan  mempunyai wajah seperti manusia, telinganya lebar dan besar. Tuhan tidak makan tetapi hanya minum embun.
Konsep ke Tuhanan yang demikian itu mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi masing-masing.

4.      Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghapal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu hal tersebut kurang ada hubungannya dengan perkembangan agama pada anak di masa selanjutnya tetapi menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama anak itu di usia dewasanya. Bukti menunjukkan bahwa banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa anak-anak mereka. Sebaliknya belajar agama di usia dewasa banyak mengalami kesuburan.
5.  Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan sholat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Pada ahli jiwa menganggap, bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap sejumlah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi menunjukkan, bahwa anak yang tidak mendapat pendidikan agama dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan menjadi pemilik kematangan agama yang kekal.
6.      Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan  yang terakhir pada anak.

Daftara Bacaan
Derajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Bulan Bintang: Jakarta), 1979

Jalaluddin, Psikologi agama, (PT RajaGarfindo Persada: Jakarta), 1998






[1] Zakiah Derajat, Ilmu Jiwa Agama, (Bulan Bintang: Jakarta, 1979), hal 48
[2] Ibid, hal. 49
[3] Ibid, hal. 50
[4] Ibid, hal. 64-65
[5] Ibid, hal 65.
[6] ……………………………………………………………….
[7] Jalaluddin, Psikologi agama, (PT RajaGarfindo Persada: Jakarta, 1998), hal 66

No comments: