Saturday 20 April 2013

Memahamai konsep Kewahyuan Al Qur’an


Oleh Miftahul Arifin

A.   Pendahuluan
Setiap  agama memiliki pedoman untuk mengatur seluruh aspek kehidupan pemeluknya. Pedoman itu tak  lain adalah kitab suci yang diyakini  kebenaran dan sakralitasnya. Dengan kata lain, kitab suci merupakan pedoman utama yang menjadi landasan pemeluk agama melakukan aktivitas, baik aktivitas yang berhubungan dengan tuhan (ubudiyah) atau aktifitas yang berhubungan dengan sesama 
manusia (muamalah). Semuanya diatur dalam kitab suci tersebut. Para pemeluk agama meyakini bahwa kitab suci yang dimiliki bukan merupakan karangan manusia atau seorang tokoh dalam agama tersebut. Sebuah kitab suci diyakini sebagai wahyu tuhan yang diturunkan dari langit yang bertujuan menciptakan manusia dapat hidup dengan benar.
Al Qur’an adalah kitab suci bagi umat islam. Ia adalah wahyu tuhan yang diturunkan kepada nabi muhammad sebagai nabi terakhir. Umat islam meyakini bahwa Al Qur’an adalah kitab penuntun yang mengatur segala aktifitas umat. Maka, segala sesuatu yang dilaksanakan oleh umat islam, tidak boleh tidak harus sesuai dengan apa yang terdapat di dalam Al Qur’an. Jika, tidak, maka ia akan dianggap telah keluar dari aturan-aturan yang ditentukan oleh tuhan.
Dalam makalah ini fokus pembahasan penulis mengenai Al Qur’an ditinjau dari pengertian, pengertian, akar kata, konsep pewahyuan dan perbincangan mengenai kebaharuan dan keqadiman Al Qur’an
B.   Pembahasan
1.   Pengetian Al Qur’an
Al Qur’an adalah Allah yang bernilai mukjizat yang diturunkan kepada pungkasan para nabi dan Rosul dengan perantaraan malaikat jibril a.s yang tertulis pada mushahif. Diriwayatkan kepada kita dengan mutawatir. Membacanya bernilai ibadah. Diawali dengan surat Al Fatihah dan ditutup dengan surat An-nas.[1]
Al Qur’an merupakan kitab pedoman bagi umat manusia, baik hubunganya secara vertikal dengan Allah maupun hubungan secara horizontal, sesama  manusia.  Bagi umat islam, Al Qur’an adalah wahyu tuhan yang diyakini kebenarnnya dan tidak ada satupun manusia yang dapat membuat semisal Al Qur’an. Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu ayat dalam Al qur’an surat bahwa sekalipun seluruh makhluk di muka bumi dikumpulkan dan disuruh membuat semisal Al Qur’an nisacaya ia tidak akan mampu membuatnya.
Allah berfirman  dala surat Al isra’ ayat 88:
قل لئن اجتمعت الانس و الجن على ان يأ توا بمثل هذ القران لا يأ تون بمثله ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا. (الأسرء: 88)
Pemberian nama Al Qur’an tentu saja memiliki alasan. Dr. Subhi Al Shaleh menjelaskan dalam bukunya Membahas Ilmu-Ilmu Al Qur’an. Bahwa dilihat dari akar katanya qira’ah: agar selalu diingat, Al Qur’an selalu tersimpan dalam dada manusia.
Namun demikian, secara lafadz, ulama berbeda pendapat mengenai Al Qur’an. Ada yang mengatakan bahwa lafadz Al Qur’an dengan hamzah (dibaca Al Quran). Pendapat ini dikemukaka oleh Asy-Syafi’ie, Al Farra, dan Al Asy’ari dengan penjelasan sebagai berikut:[2]
a.       Asy-Syafi’ie mengatakan, Lafadz Al Qur’an  bukan mustaq (bukan pecahan dari kaya apapun) dan bukan pula berhamzah. Lafadz tersebut sudah lazim digunakan untuk pengertian kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Menurut imam Asy Syafi’ie, lafadz tersebut bukan berasal dari kata qa-ra-a. sebab kalau demikian, tentu setiap sesuatu yang dapat dibaca dapat dimaknai Al Qur’an. Lafadz tersebut adalah lafad khusus seperti penamaan terhadap kitab lain seperti taurat dan injil.
b.      Al Farra berpendapat, Lafadz Al Qur’an adalah pecahan dari kata qara’in (kata jamak dari qarinah) yang berarti: kaitan, karena ayat Al Qur’an satu sama lain saling berkaitan. Karena itu, huruf nun pada akhir kalimat adalah huruf asli, bukan tambahan.
c.       Al Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan, lafadz Al Qur’an adalah musytaq dari kata qarn. Ia mengemukakan contoh kalimat qarnusy-syai bisyyai (menggabungkan sesuatu dengan sesuatu). Jadi kata qarn itu bermakna: gabungan atau kaitan, karena surah-surah dalam al Qur’an berkaitan.
Adapun yang berpendapat Al Qur’an dengan menggunakan hamzah adalah Az-zajjaj dan Al-Lihyani. Az-zajjaj mengatakan, lafadz Al Qur’an ditulis dengan huruf hamzah ditengahnya dengan pola kata fu’lan. Lafadz tersebut pecahan dari akar kata qar’un yang berarti jam’un yang dalam bahasa indonesia berarti “kumpul”. Alasannya Al Qur’an menghimpun kitab-kitab suci terdahulu. Sementara Al Lihyani mengemukakan bahwa Al Qur’an dengan hamzah ditengah berdasarkan pola ghufran dan merupakan pecahan dari kata qa-ra-a. lafadz tersebut untuk menamai sesuatu yang bisa dibaca, yakni objek dalam bentuk masdar.[3]
Pendapat terakhir inilah, sebagaimana ditulis Subhi al-shalih, dinilai lebih kuat. Karena dalam bahasa arab Al Qur’an Adalah bentuk masdar yang sinonim dengan qira’ah, bacaan. secara geogerafis, al qur’an diturunkan di arab. sehingga hal ihwal yang berkaitan dengan Al Qur’an termasuk mengenai lafadznya mesti ada kaitan erat dengan bahasa arab.
Al Qur’an juga mengisayaratkan hal yang sama. Seperti yang termaktub dalam surat Al Qiyamah ayat 17-18 “atas tanggungan kami lah mengumpulkannya (ayat al qur’an itu di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Maka, ikutilah bacaan itu
2.   Al Qur’an Sebagai Wahyu
Umat islam meyakini bahwa Al Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad adalah wahyu. Secara teks, Al Qur’an yang hanya terdiri dari 6666 ayat, 114 surat dan 30 juz memuat banyak hal tentang kehidupan manusia dari berbagai aspeknya. Penyebutan bahwa Al Qur’an dapat dipakai disetiap tempat dan waktu menunjukkan bahwa Al Qur’an kaya akan makna. Tentu saja, tidak dapat dipercaya kalau al qur’an disebut sebagai buatan manusia. Al Qur’an juga telah menegaskan, bahwa sekalipun seluruh makhluk dimuka bumi ini berkumpul untuk membuat semisal Al Qur’an, maka ia tak akan mampu membuatnya.
Disamping itu, nabi muhammad bukanlah seorang rosul yang berbeda dari nabi sebelumnya. Ia bukan nabi pertama yang berbicara atas nama wahyu. Sejak nabi Nuh muncul orang-orang pilihan Allah, pribadi yang suci yang kesemuanya berbicara buakan berlandaskan nafsu. Melainkan wahyu untuk disampaikan kepada manusia.[4] Sebagaimana dijelaskan dalam surat an Nisa’ ayat 163 “sesungguhnya kami telah mewahyukan kepadamu muhammad sebagaimana kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi berikutnya”.
Karena Al Qur’an diturunkan kedalam hati nabi muhammad maka jelas bahwa Al Qur’an adalah wahyu, yauitu suatu lafadz yang mengandung keseragaman makna wahyu yang diturunkan kepada semua nabi.[5]
Wahyu menurut bahasa adalah bentu masdar dari wahaa, yahii, wahyan. Manaa Al Qattan mendefinisikan banyak tentang wahyu: Ilham kepada manusia, ilham kepada binatang, isyarat yang cepat, godaan/ bisikan syaithan.[6]
Secara istilah  wahyu sebagaimana di definisikan Al Zurkarni adalah pemberitahuan tuhan kepada hambanya yang dipilihnya, akan segala sesuatu yang ia kehendaki untuk menampakannya dari berbagai dan pengetahuan dengan jalan rahasia yang tidak biasa bagi manusia.[7] Kata hamba yang dipilih dalam pengertian di atas tak lain adalah seorang nabi, dalam pewahyuan Al Qur’an jelas adalah Muhammad.
Namun berbeda dengan Abduh. Abduh mendefinisikan wahyu lebih umum. Ia mengatakan:
“wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang dalam dirinya disertai keyakinan bahwa hal tersebut dari sisi Allah baik dengan perantara atau tanpa perantara”

Dari definisi di atas seolah-olah Abduh ingin mengatakan, bahwa siapapun orangnya jika mendapat pengetahuan dari dalam dirinya dan ia yakin pengetahuan itu dari tuhan, maka ia bisa dinamakan wahyu.
3.     Konsep Pewahyuan Al Qur’an
Sebagaimana banyak dijelaskan dalam buku-buku ulumul Qur’an, bahwa secara garis besar Al Qur’an diturunkan melaui dua tahap. Pertama, dari lauh al-Mahfuzh ke langit dunia secara keseluruhan. Kedua, dari langit dunia kepada nabi Muhammad secara terpisah. Sejarah telah mencatat bahwa proses pewahyuan Al qur’an secara bertahap kepada Nabi Muhammad selama 23 tahun.
Imam Suyuti menyebutkan bahwa Imam Qurthubi menukil sebuah hikayat ijmak atas turunnya Al Qur’an secara keseluruhan dari lauh al-mahfuzd ke langit dunia. Hal ini sebagai pertanda khusus perkara al Qur’an dan perihal rosul yang hendak menerimanya dan sekaligus memberikan pengumuman kepada penduduk langit tujuh bahwa Al Qur’an merupakan kitab terakhir yang diturunkan kepada nabi terakhir untuk umat yang termulia.[8]
Sementara turunnya Al Quran berangsur-angsur, sebagaimana dikatakan Syekh Muhammad Ali Asa-Shabuni dalam bukunya Ikhtisar ulumul Qur’an Praktis sebagai berikut:[9]
1.        Mengukuhkan hati Nabi dalam menghadapi ulah orang-orang musyrik yang menyakitkan.
2.        Sebagai kasih sayang kepada nabi ketika turunnya wahyu.
3.        Sebagai tahapan ketika mensyariatkan hukum-hukum syamawiyyah
4.        Memudahkan untuk menghafal dan memahami Al Qur’an bagi kaum muslimin
5.        Sebagai petunjuk bagi kepada dzat yang mengeluarkan Al Qur’an. Serta sesungguhnya ia diturunkan oleh Allah yang maha bijaksana.
6.        Sebagai argumentasi berbagai peristiwa dan kejadian dan sebagai peringatan ketika itu.
Subhi Al Shalih menambahkan, Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur akan memperteguh kepercayaan di dalam hati, memperkuat inayah kepada rosul yang menerimanya dan menambah sering datangnya jibril kepada Rosulullah. Dengan demikian hubungan Rosulullah dengan jibril akan selalu baru.[10]
Penyampaian Al Qur’an kepada nabi Muhammad beraneka ragam. Secara garis besar ada dua macam.[11] Pertama, melaui perantara, yaitu malaikat jibril as. Kedua, tanpa perantara.
1.    Penurunan Wahyu dengan Perantara.
Malaikat jibril adalah utusan Allah yang secara khusus bertugas menyampaikan wahyu Allah kepada para Rosul. Ada dua cara penyampain wahyu melalui malaikat jibril. Pertama, datang kepadanya seperti gemerincing lonceng dan suara yang amat kuat. Yang mempengaruhi factor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini dipandang paling berat dalam proses penururnan wahyu. Apabila wahyu turun dengan cara ini, maka nabi mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya.[12]
Kedua, malaikat menjelma sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara ini lebih ringan dari pada cara yang pertama karena danya kesesuaian antara si pembicara dan si pendengar.  Rasul merasa senang sekali mendengarkan dari utusan pembawa wahyu itu, karena seperti manusia yang berhadapan yang berhadapan dengan saudaranya.[13]
Keadaan jibril menampakkan diri seperti seorang laki-laki tidak lah mengharuskan ia melepaskan sifat kerohaniannya. Tetapi yang dimaksudkan ialah bahwa ia menampakkan diri dalam bentuk manusia untuk menyenangkan Rosulullah sebagai manusia.[14]
Ketika wahyu turun nabi selalu mengkonsentrasikan untuk menghafalnya. Beliau sering mengulang membacanya bersama jibril dalam mempelajari Al Qur’an karena beliau merasa khawatir kalau-kalau ada yang terlupa atau hilang. Allah pun memerintahkan Nabi untuk mendengarkan baik-baik bila jibril membacakannya.[15] Keterangan amanah dalam bukunya Pengantar Ilmu Al Qur’an dan Tafsir dikatakan bahwa jibril kadangkala memperlihatkan bentuknya yang asli, tapi hal ini jarang terjadi.
2.    Penurunan wahyu tanpa perantara
Penyampaian wahyu tanpa melalui perantara ialah dengan mimpi yang benar-benar dalam keadaan tidur. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah dikatakan bahwa sesungguhnya apa yang telah terjadi kepada nabi adalah benar-benar mimpi dalam waktu tidur. Beliau tidak melihat mimpi kecuali bagaikan terangnya pagi hari.[16]
Hal tersebut merupakan persiapan bagi Rosul untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar, kecuali bagi orang yang mendakwakan bahwa surah kautsar diturunkan melalui mimpi karena ada satu hadis yang menjelaskan itu.[17]
Demikian pula menurut pendapat yang paling sah, Allah pun telah berbicara secara langsung kepada Rosul. Seperti pada malam isra’ mi’raj. Yang demikian ini merupakan bagian kedua dari penyampain wahyu secara langsung oleh Allah. Tetapi hal ini tidak terjadi pada proses penyampain Al Qur’an, tetapi terjadi pada Nabi Musa as.[18]
Adapun penurunan wahyu kepada jibril sebagaimana dijelaskan oleh Ali As Shabuny dalam buku At-Tibyaan Fii Ulumil Qur’an ialah dengan cara diperdengarkan kepada jibril. Ia mendengarkan ayat-ayat Allah kemudian disampaikan kepada Rosulullah.
Makna Inna Anzalnaahu Fii Lailatil qadri ialah “sesungguhnya kami telah memperdengarkan dan memberikan pengertian kepada malaikat tentang Al Qur’an dan kami menurunkannya apa yang telah mereka dengar”[19]
3.   Al Qur’an, Hadis atau Qadim?
Sejarah islam mencatat, telah terjadi perdebatan serius mengenai Al Qur’an sebagai wahyu yang disampaikan oleh Allah kepada nabi yang statusnya adalah manusia. Hal ini dapat kita lihat sebuah tragedi kelam dalam sejarah yang sampai menyeret Imam Ahmad ibn Hanbal ke dalam penjara khalifah al-Ma’mun lantaran ia tidak mau mengakui bahwa al-Qur’an adalah makhluk.  Dengan berbagai argumen masing-masing kelompok mempertahankan pendapatnya.
Pembahasan mengenai qadim atau hadisnya kalam Ilahi merupakan pembahasan teologi yang dipandang paling rumit dan selalu menjadi pembahasan dalam sepanjang sejarah Islam. Pembahasan ini tidak hanya dibahas oleh umat islam, tetapi juga telah dikaji sebelumnya oleh para penganut agama Kristen.[20]
Sedikitnya ada empat Aliran yang memiliki persepsi yang berbeda mengenai hadis atau qadimnya Al Qur’an sebagai berikut:[21]
1.      Mazhab Hanbali

Imam hambali dan pengikutnya berpandangan bahwa kalam Ilahi (Al Qur’an) berasal dari suara dan huruf yang ada dalam zat Allah. Karena itu ia termasuk qadim. Adapun dalil yang mereka kemukakan adalah "Pertama, bahwa zat Allah itu qadim, dan kedua bahwa kalam itu sebagai sifat Allah. Sifat bagi zat yang qadim harus juga qadim karena apabila sifat bagi zat qadim itu adalah hadis (baru-tercipta) maka akan menyebabkan perubahan pada zat qadim. sedangkan perubahan pada zat Allah adalah mustahil.[22]
Qadhi 'Adhiduddin menilai akidah Hanbali tersebut batil dengan alasan bahwa kalam adalah sebuah keadaan yang gradual (sedikit demi sedikit) yang antara satu huruf dengan huruf yang lain tercipta saling kebergantungan. Hal ini menunjukkan bahwa kalam itu hadis. Kalam yang tersusun dari peristiwa tersebut maka pasti juga bersifat baru. Lebih lanjut ia mengatakan, kalam adalah sebuah eksistensi yang berawal dan berakhir, oleh karena itu ia bersifat baru.[23]
2.      Aliran Karamiyah
Berbeda dengan Hambali, Aliran karamiyah meyakini bahwa kalam ilahi itu terdiri dari suara dan huruf. Karena itu ia bersifat bahari atau hadis. Namun dimikian mereka mengatakan bahwa tidak masalah sekalipun menggandengkan sifat hadis pada yang qadim. Tetapi kemudian, pendapat ini dibantah oleh Allamah Hilli dengan pernyataan bahwa bagi Allah yang wajib Al Wujud tidak menerima sifat hadis.
Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Allamah:[24] pertama, ke-hadis-an pada zat Allah menyebabkan perubahan yang bersifat reaktif dalam diri-Nya. Hal ini sangat berkontradiksi dengan zat Wajib al-Wujud, karena setiap perubahan itu merupakan sifat bagi benda-materi dan Allah bukanlah materi dan benda.
Kedua, jika Allah swt. dipandang sebagai sebab dari sifat yang hadis ini, maka sifat yang hadis itu pun harus azali, karena sebabnya adalah azali. Ketiga, hadis itu jika termasuk sifat kamaliyah (sifat kesempurnaan) maka mustahil sifat tersebut tidak termasuk dalam jajaran sifat-sifat Tuhan, karena Tuhan niscaya memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan apabila hadis itu merupakan sifat cacat dan kekurangan maka mustahil Tuhan memiliki sifat tersebut.
3.      Aliran Asy’ariyah
Imam Al Asy’ari pendiri aliran ini mengatakan dalam Al- milal wa al-Nihal : "Allah berbicara dengan kalam, dan kalam-Nya itu bersifat qadim, karena raja memiliki kekuasaan pada rakyat, dan penguasa senantiasa memerintah dan melarang rakyatnya, maka dia adalah penguasa. Penguasa apakah memerintahkan sesuatu yang qadim atau memerintahakan sesuatu yang hadis. Jika hadis maka apakah dia akan menyatu dan eksis pada zat Allah itu sendiri? Hadis mustahil menyatu dan eksis pada zat Allah karena akan menyebabkan zat Allah sebagai wadah bagi hadirnya sesuatu yang baru. Dan hal ini pasti mustahil. Demikian pula, mustahil kalam itu menyatu dan eksis pada wadah yang lain, karena akan menyebabkan wadah tersebut memiliki sifat kalam dan akan disebut sebagai mutakkalim. Demikian pula, mustahil eksis pada wadah selain zat Allah, oleh karena itu kalam Allah itu bersifat qadim dan eksis pada zat Allah serta menjadi sifat Allah".[25]
Kalam dalam pandangan Asy’ariah sebagaimana dinilai Shahrastany, adalah maknanya yang menyatu dan eksis pada jiwa sang mutakallim, tetapi tidak menyatu dengan lafadz dan ibarat. Ibarat adalah indikaasi-indikasi dari kalam manusia. Oleh karena itu, mutakallim adalah seseorang yang menyatu dengan kalam dan eksis pada dirinya.[26]
Dalam akidah Asy’ariah kalam itu akan terwujud secara berangsur-angsur dan hadis dalam bentuk ibarat dan lafaz. Ibarat dan lafaz itu tidak menyatu dengan zat Allah dan tidak bisa dikatakan hakikat kalam Allah, tetapi mereka meyakini bahwa kalam hakiki Allah adalah makna dari kata-kata yang dilafazkan yang bersifat qadim dan menyatu serta eksis pada zat Allah Swt.[27]
4.      Akidah Imamiah dan Mu’tazilah

Imamiah dan mu’tazilah berpandangan bahwa kalam  tuhan itu hadis. Ia seperti kalam manusia yang terdiri dari huruf dan suara. Hal ini mengindikasikan  sebuah makna khusus yang berada di lauh al-mahduz atau di hati jibril. Perbedaannya adalah manusia ketika hendak mengungkapkan kalam membutuhkan lidah dan mulut serta tempat keluarnya huruf-huruf (makharij al-huruf), sementara Allah tidak membutuhkan hal tersebut. Oleh karena itu, kalam memiliki eksistensi gradual dan sistematik yang berarti hadis.[28]
Syekh Mufid ketika menjawab pertanyaan berikut, bagaimana Allah berdialog dengan Nabi Musa As? Beliau menjawab: dialog Allah dengan Nabi Musa As adalah dengan cara Allah menciptakan kalam pada sebatang pohon yang kemudian dengan perantaraannyalah sampai kepada Nabi Musa As, kalam tidak mengharuskan adanya perubahan kualitas pada pembicara, akan tetapi hanya membutuhkan tempat untuk pengejewantahannya.[29]
Perdebatan tentang hadis atau qadim-nya kalam tak lain dikarena perbedaan persepsi. Semuanya bertujuan untuk mensucikan tuhan sebagai pencipta jagat dari sifat ketidak sempurnaan atau sifat yang dapat mengotori zat tuhan. Imam Ahmad bin hambal misalnya, lebih memposisikan kalam lebih dekat, yakni sebagai sifat tuhan. Mengaggap kalam hadis, bagi pengikut hambali tentu saja akan dinilai buruk karena telah menyamakan sesuatu yang merupakan bagian dari tuhan dengan sebutan hadis. Demikian pula dengan pandangan Al Asy’ari.
Golongan Mu’tazilah menganggap kalam sebagai sesuatu yang berbeda dan  jauh dengan tuhan. Tidak mungkin kalam itu qadim, sementara ia terdiri dari suara dan huruf yang bisa dicerna oleh manusia yang baru. Maka dalam hal ini penulis sepakat dengan pernyataan syaikh Mufid. Tuhan telah mengubah kalamnya menjadi sesuatu yang dapat dipahami oleh manusia. Dengan berpandangan sebelum kalam itu diletakkan pada sebuah pohon, ia bersifat qadim.
Dengan demikian, maka sesungguhnya kedua perbedaan pandangan tersebut dapat dikompromikan satu sama lain. kalam itu bisa disebut qadim ketika ia masih disisi tuhan, belum terejawantah menjadi sebuah suara atau huruf-huruf. Ia adalah bagian dari sifat yang melekat pada diri tuhan yang qadim. Sebaliknya, kalam tuhan itu bisa disebut hadis karena ia telah diwujudkan dengan bentuk yang lain yang dapat dipahami oleh manusia yang baru.
C.      Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan maka dapat ditarik sebua keimpulan sebagai berikut.
1.      Perbedaan pengertian terhadap makna Al Qur’an akan melahirkan perbedaan makna pula.
2.      Secara garis besar Al Qur’an memiliki dua alasan mengapa ia disebut wahyu. Pertama dilihat secara teks Al Qur’an itu sendiri yang memiliki keistimewaan dan memuat banyak hal sepanjang perjalanan umat manusia. Kedua, ia diturunkan kepada seorang nabi sebagaimana nabi-nabi sebelumnya juga diberi wahyu.
3.      Pewahyuan Al Qur’an berbeda dengan pewahyuan kitab-kitab sebelumnya seperti taurat dan injil yang diturunkan secara sekaligus. Ada hikmah yang diberikan oleh Allah dengan menurunkan Al Qur’an secara berangsur-angsur.
4.      Perdebatan mengenai hadis dan qadim-nya kalam (Al Qur’an) hanya perbedaan pandangan yang kesemuanya bertujuan untuk mensucikan tuhan dari sifat tercela dan ketidak sempurnaan.
D.     Daftar Bacaan

Ali Muhammad, Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001)

Amanah, Pengantar ilmu Al Qur’an dan Tafsir, (CV. Asy Syifa’: Semarang, 1993)

Ali Muhammad, Ash Shabuny, Pengantar Studi Al Qur’an, terj, (Bandung: Al Ma’arif, 1987)

Khalil, Manna, al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an, terj, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011).

Subhi, Al Shaleh, Membahas Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1990).























[1] Syekh Ali Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hal. 3
[2] Subhi Al Shaleh, Membahas Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1990), hal. 10
[3] Ibid, hal 12
[4] Subhi Al Shaleh, Membahas Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1990), hal. 17
[5] Ibid. hal. 17
[6] Amanah, Pengantar ilmu Al Qur’an dan Tafsir, (CV. Asy Syifa’: Semarang, 1993), hal. 26
[7] Definisi ini menurut Al Zurkani sebagaimana dikutip oleh Amanah dalam buku Pengantar ilmu Al Qur’an dan Tafsir, (CV. Asy Syifa’: Semarang, 1993), hal. 26.
[8] Syekh Ali Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hal. 45
[9] Syekh Ali Ash-Shabuni, ibid. hal. 48
[10] Subhi Al Shaleh, Membahas Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1990), hal. 58
[11] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an, terj, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), hal. 44
[12] Manna Khalil al-Qattan, ibid, hal. 48
[13] Ibid.
[14] Ibid, hal.  49
[15] Muhammad Ali As Shabuny, Pengantar Studi Al Qur’an, terj, (Bandung: Al Ma’arif, 1987), hal. 76
[16] Manna Khalil al Qattan, Op cit, hal. 44
[17] Ibid, hal. 44
[18] Ibid, hal. 47
[19] Muhammad Ali As Shabuny, Pengantar Studi Al Qur’an, terj, (Bandung: Al Ma’arif, 1987), hal. 78
[21] Ibid
[22] Keterangan tersebut dapat dijumpai dalam kitab syarh al-Mawaqif, jilid 8,Hal. 92. Shirat al-Haq, jilid 1, hal. 294
[23] Ibid, hal 92.
[24] Keterang tersebut dapat dijumpai dalam kitab Kasy al-muraad fi syarh tajrid al i'tiqad, hal. 228
[26] Ibid
[27] Ibid
[28] Ibid
[29] Keterangan tersebut diambil dari Mushannifaat Syaikh Mufid, jilid 6. Al-Masa'il al-'akbaariyyat, hal. 43 

No comments: