Tuesday 11 June 2013

Max Weber dan Semangat Kapitalisme

Pendahuluan
Sebagai Seorang Sosiolog, konsep sosiologi Weber dapat dipandang sebagai upaya yang menengahi antara dua cara pandang yang bertentangan yang terjadi pada masanya. Cara pandang pertama yang diilhami oleh keberhasilan ilmu alam, dimana metode mereka akan mampu memacu perkembangan studi manusia dan masyarakat. Cara pandang kedua, menekankan bahwa sesuatu yang penting
dalam manusia yaitu spirit, pikiran, budaya dan sejarahnya, tidak akan mampu dipahami melalui teknik-teknik ilmu alam.[1]
Dalam salah satu bukunya, pembahasan Weber dapat ditafsirkan sebagai salah satu kritik Weber terhadap Karl Marx dan teori-teorinya. Marx yang berpendapat, pada umumnya, bahwa semua lembaga manusia termasuk agama, didasarkan pada dasar-dasar ekonomi.
Sebaliknya Etika Protestan sebagai karya weber yang cukup populer berlawanan dengan teori ini. Buku tersebut menyiratkan bahwa kapitalisme dipengaruhi oleh semangat agama itu sendiri. weber menemukan di dalam agama protestan yang beraliran Calvinis ajaran ini. Konsep Calling, “panggilan” salah satunya, bahwa bekerja merupakan panggilan dari tuhan, bukan hannya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.
Dalam etika protestan yang ditemukan oleh weber berbeda dengan etika dalam islam yang ditemukan dalam penelitian selanjutnya. Menurut weber, tidak ada potensi islam untuk menjadi kapitalis. Hal ini salah satunya disebabkan oleh pandangan weber tentang islam bahwa islam adalah agama tidak rasional. Selain itu, adanya sistem patremoneal dan feodalisme yang bisa dilihat dalam sejarah islam.
Makalah ini akan membahawa kapitalisme Max Webber dan bagaimana pandangan terhadap islam.


Pembahasan
1.      Biografi
Max Weber (1864-1930) dilahirkan di Erfurt Jerman pada tanggal 21 April 1864, dari kalangan keluarga kelas menengah. Ayahnya seorang birokrat yang relatif penting dalam posisi politik. Sedangkan ibunya adalah seorang penganut ajaran calvin. Ini mempengaruhi psikologinya, dimana ayahnya adalah seorang yang mementingkan duniawinya, sedang hidup ibunya banyak tertuju pada aspek kehidupan akhirat.[2]
Weber kecil lalu berhadapan dengan suatu pilihan jelas (Marianne Weber, 1975:62). Mula-mula ia memilih orientasi hidup ayahnya, tetapi kemudian tertarik makin mendekati orientasi hidup ibunya. Ketika berumur 18 tahun Weber pergi dari rumah, belajar di Universitas Heildelberg. Hingga ia mengikuti gaya hidup ayahnya, yang menjadikan ia terjerumus dalam pergaulan bebas. Sebelum akhirnya ia menjadi sarjana hukum.
Setelah kuliah tiga semester Weber meninggalkan Heidelberg untuk dinas militer dan tahun 1884 ia kembali ke Berlin, ke rumah orang tuanya, dan belajar di Universitas Berlin. Sampai 8 tahun kemudian ia menjadi pengacara dan pengajar di sana. Dalam proses itu minatnya bergeser ke ekonomi, sejarah dan sosiologi yang menjadi sasaran perhatiannya selama sisa hidupnya. Pada waktu bersamaan ia beralih lebih mendekati nilai-nilai ibunya dan antipatinya terhadapnya meningkat. Ia lalu menempuh kehidupan prihatin (ascetic) dan memusatkan perhatian sepenuhnya untuk studi. Dengan mengikuti ibunya, Weber menjalani hidup prihatin, rajin, bersemangat kerja, tinggi dalam istilah modern disebut Workaholic (gila kerja). Semangat kerja yang tinggi ini mengantarkan Weber menjadi profesor ekonomi di Universitas Heidelberg pada 1896.[3]
Banyak dari karya-karyanya yang pada akhirnya belum sempat ia revisi, disebabkan oleh penyakit tahunan yang ia derita. Koleksi karya-karyanya banyak diterbitkan setelah ia meninggal. Karya yang paling akhir, yang disusun berdasarkan catatan-catatan perkuliahan yang ditulis oleh para mahasiswanya di Munich yaitu General Economic History. Karyanya yang paling terkenal adalah The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism yang berisikan tentang penelitiannya mengenahi hubungan etika keagamaan dengan semangat kapitalisme. Secara spesifik buku ini membahas tentang keterkaitan antara etika protestan dengan semangat kapitalisme.  
2.      Weber dan Semangat Kapitalisme
Menurut max weber kapitalisme merupakan paham yang baik yang dapat menyejahterakan manusia jika memakai teori ini. Kapitalisme berawal dari etika protestan yang mengajarkan untuk hidup hemat, rajin bekerja, disipilin sebagai bentuk pemujaan terjadap Tuhan. selain itu etika protestan sangat ketat sekali terhadap hidup santai dan bersenang-senang  karena hal itu munculah semangat kapitalisme.
Untuk sampai pada penemuan atas penelitiannya itu, semula yang menjadi pokok pikiran utama weber adalah bagaimana lahirnya lahirnya kapitalisme dan bagaimana ia bisa hidup terus menerus. Dalam hal ini logika weber ada tiga; pertama, bila kapitalisme merupakan hasil tindakan manusia maka tentulah ada tindakan khusus yang dilakukan oleh kelas tertentu. Siapakah pendiri kapitalis? Jawaban weber adalah tipe baru kewirausahaan dan tenaga kerja.[4]
Yang membedakan kedua tipe tersebut dengan yang lainnya adalah adanya etos atau mental khusus, “semangat kapitalis”. Inilah tahapan kedua Weber. Campuran unik antara motivasi dan nilai ini mencakup keuntungan dalam arti menghasilkan pendapatan dan khususnya mencari uang sebagai tujuan utama, dan tidak lagi disubordinasikan pada pemenuhan kebutuhan lain. Apa yang semula dijadikan alat untuk memenuhi tujuan, menjadi tujuan itu sendiri.[5]
Ketiga, bila semangat kapitalis itu merupakan syarat kelahiran kapitalis dari mana datangnya semangat itu.di sini lah sumbangan pemikiran asli weber, yakni semangat kapitalisme yang banyak ditemukan dalam etika protestan khususnya Calivinis.[6]
Weber Melihat adanya keterkaitan antara penganut kehidupan Calvinis yang diberi pedoman oleh agama mereka dan jenis prilaku dan sikap yang diperlukan bagi kapitalisme agar bekerja secara efektif. Calvinis mendorong memusatkan diri pada pekerjaan duniawi dan pada saat yang sama juga mewujudkan kehidupan asketik: sederhana, rajin beribadah, dan hidup hemat.[7] Calvinis meyakini bahwa mereka tidak akan diberi ganjaran oleh tuhan kecuali mereka sukses dalam kehidupan. Bekerja tekun bukan alat untuk keselamatan tetapi merupakan tanda lahiriah bahwa ia telah dirahmati oleh tuhan. [8]
Weber mengadakan penelitian mengenai peran agama-agama dan pengaruhnya atas etika ekomomi. Weber mencoba membuktikan bahwa tanpa reformasi Protestan, kapitalisme Barat tidak akan pernah dapat berkembang hingga kemajuannya seperti sekarang ini. Dia menampilkan bukti mengenai hubungan antara berbagai bentuk tertentu agama Protestan dan perkembangan yang sangat cepat menuju kapitalisme.
Konsep semangat kapitalisme yang digunakan, dimengerti dalam pengertian khusus yakni sebagai semangat kapitalisme modern.[9] Oleh karena itu berkaitan dengan kapitalisme modern Eropa Barat dan Amerika. Kapitalisme menurut Weber memang ada di Negara-negara non-Eropa dan Amerika seperti di Cina, India dan Babilon serta di dunia maju abad-abad pertengahan, akan tetapi dalam wilayah-wilayah itu etos kerja khusus semacam Protestan berkurang di mana kerja harus ditunjukkan, seolah-olah kerja merupakan suatu tujuan yang pasti dalam kerja itu sendiri, semacam panggilan. Sistem kapitalis begitu membutuhkan kepatuhan terhadap suatu panggilan untuk mencari uang. Oleh karenanya, konsepsi bahwa mencari uang sebagai tujuan di dalamnya yang mengikat manusia sebagai suatu panggilan menjadi berlawanan dengan perasaan etis pada keseluruhan periode sejarah.
Penolakan terhadap tradisi atau perubahan yang sangat cepat dalam metode dan valuasi terhadap kegiatan ekonomik tidaklah mungkin terjadi tanpa dorongan moral dan agama. Hanya saja Weber juga menyatakan bukti mengenai tetap adanya perbedaan dari berbagai kelompok keagamaan untuk ikut ambil bagian dalam kapitalisme yang mapan pada masanya sendiri. Di Jerman, Perancis dan Hongaria, Weber menyatakan dengan tegas bahwa distribusi pekerjaan dan persiapan pendidikan bagi mereka menunjukkan bahwa para penganut Protestan Calvinis lebih besar kemungkinannya untuk memainkan peranan dalam dunia usaha dan manajerial, serta untuk melaksanakan pekerjaan di berbagai organisasi modern berskala besar, dibandingkan dengan para penganut Katholik atau Protestan Lutheran. Kedua kelompok ini cenderung tetap menekuni pekerjaan di bidang pertanian, usaha kerajinan berskala kecil, atau dalam berbagai profesi humanistik, hukum, dan pemerintahan.
Konsepsi baru dari suatu agama, yaitu mengajarkan untuk memandang pencarian kekayaan tidak hanya sebagai suatu kemajuan, tetapi sebagai suatu tugas. Ini merupakan perubahan dari standart moral yang mengubah suatu kelemahan alami ke dalam suatu ornamen semangat. [10] Hal ini dapat dihubungkan sebagaimana ajaran Calvinis, yang sebagian berisikan tentang suatu pekerjaan bukanlah semata-mata sarana atau alat ekonomi. Kerja adalah suatu tujuan akhir spiritual. Dikatakan bahwa suatu kemalasan yang mengakibatkan rendahnya kreatifitas kerja adalah suatu ancaman besar. [11]
Dalam kapitalisme yang diusung oleh weber ada transformasi yang bersifa positif yaitu dengan cara membangun struktur. Dengan memobilisasi diri mengejar kesuksesan, individu mulai membanding-bandingkan prestasi mereka. Mengakumulasikan kapital dari pada mengkonsumsi, menginvestasikan kembali keuntungan dari pada langsung menggunakannya. Ini menjadi satu-satunya strategi untuk menjaga kesuskesan di pasar tenaga kerja yang kompetitif.[12]
3.      Islam dalam Pandangan Weber
Setelah meyakini adanya hubungan antara agama Protestan Calvinis dan semangat Kapitalisme, Weber lebih lanjut berusaha membahas dan mengidentifikasi berbagai corak organisasi ekonomik lainnya, serta berbagai ciri yang membedakan antara Calvinisme dengan beberapa agama seperti Hindu, Budha, Taoisme, Katholik, termasuk Islam. Walaupun, sebenarnya, komentar weber tentang islam termuat dalam tulisan yang terpencar-pencar karena kajian weber tentang islam tidak sampai tuntas dikarenakan karya weber yang berjudul “Religious Sosiologies” belum selesai, ia telah meninggal dunia pada tahun 1920.
Islam dalam pandangan Weber adalah sebuah agama monoteistik. Monoteistik akhir dari tradisi Ibrahim (Abrahamic Religions) yang kemudian bergeser menjadi semacam agama yang yang menekankan ‘prestise sosial’. Berbeda dengan sekte Calvinis Puritan, Islam tidak memiliki afinitas teologis dengan pengembangan kapitalisme. Islam periode Mekkah sebagai agama eskatologis berkembang, mempertahankan suatu tendensi untuk menarik diri dari dunia. Namun dalam perkembangan selanjutnya di Madinah dan dalam evolusi komunitas-komunitas awal, agama ini berubah menjadi agama prajurit dengan tekanan-tekanan kelas yang sangat kuat. Dengan ulasan lain, seperti dikutip oleh Taufik Abdullah, meskipun Islam dipercaya sebagai agama yang menganut sistem teologi yang ‘monoteistis universalistis’, Islam dianggap Weber sebagai agama ‘kelas prajurit’, mempunyai kecenderungan pada ‘kepentingan feodal’, berorientasi pada ‘prestise sosial’, bersifat ‘sultanistis’, dan bersifat ’patrimonial birokratis’, serta tidak mempunyai ‘prasyarat rohaniah bagi (pertumbuhan) kapitalisme’. Weber percaya bahwa ajaran Islam mempunyai sikap anti akal dan sangat menentang pengetahuan, terutama pengetahuan teologis.
Perintah-perintah religius hukum suci tidak diarahkan pada tujuan konversial dalam konteks pertamanya. Tujuan utamanya adalah perang hingga para pengikut agama-agama kitab asing akan membayar upeti (jizyah), yaitu hingga Islam tumbuh dalam puncak skala sosial dunia dengan meminta upeti dari agama-agama lainnya. Sehingga Islam adalah agama para petualang yang diorientasikan kepada nilai-nilai penaklukkan dan perampasan yang bersifat duniawi.
Weber kemudian memandang Islam dalam banyak segi sebagai lawan puritanisme di mana ia selanjutnya memiliki semangat hedonis murni. Hedonisme yang dimaksud Weber nampak pada kenyataan Islam yang mengutamakan kesenangan dan kebahagiaan dalam hidup, khususnya terhadap wanita, kemewahan dan harta benda. Etika al-Quran yang tidak mempertentangkan antara perintah-perintah moral dengan dunia menghasilkan suatu kesimpulan bagi Weber bahwa tidak mungkin etika asketis yang dominan akan muncul di dalam Islam.
Kenyataan inilah yang menurut Weber merupakan suatu bentuk penyelewengan dari monoteisme Islam pada kecenderungan hedonisme murni tadi. Penyelewengan seperti dimaksud Weber adalah faktor mengapa asketisme tidak ada dalam Islam yang implikasinya kapitalisme rasional tidak dapat tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didominasi oleh budaya Islam. Alasannya, pertama, masyarakat Islam bersifat feodalistik ‘prebendal’ dan birokrasi patrimonial; dua faktor yang tidak mungkin memunculkan terciptanya kapitalisme rasional. Kedua, kondisi-kondisi militer dan ekonomi masyarakat Islam tidak memadai bagi perkembangan kapitalisme. Pendek kata, bagi Weber Islam anti rasionalitas.
Alasan kuat Weber untuk sampai pada kesimpulan ini adalah praktek-praktek ekonomi kaum Muslim yang tidak mendukung proses akumulasi kapital atau pertumbuhan kapitalisme secara keseluruhan. Demikian pula praktek-praktek sufistik Islam yang pada umumnya mengesankan sikap ‘melupakan dunia’ dijadikan dasar bagi kesimpulan-kesimpulan di atas. Lebih lanjut Weber juga percaya bahwa kaum Muslim, lagi-lagi berbeda dengan Protestan aliran Calvin, tidak memiliki sikap sederhana, hemat, tekun atau berperhitungan dalam seluruh kegiatan ekonomi mereka. Pendeknya, mereka tidak mempunyai semangat beruf (calling atau panggilan ilahiyah) dan asketis yang mempunyai afinitas dengan pertumbuhan kapitalisme.
Berbeda dengan yang ditemukan weber dalam beberapa ajaran calvinis. Ide “Panggilan” untuk membuat urusan-urusan biasa dari kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama. “Panggilan” merupakan cara hidup yang sesuai dengan kehendak tuhan yang telah dibebankan kepada manusia, dimana manusia harus bekerja. Calvinisme, dalam hal ini puritan, menganggap pekerjaan sebagai panggilan yaitu sebagai tugas suci untuk manusia. Jadi, bekerja bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup. melainkan untuk melaksanakan misi suci yang datang dari agama.
Penutup
Sambil mengesampingkan persoalan mengapa Weber memandang Islam seperti itu, jelas bahwa pandangan-pandangan tersebut baik secara teologis maupun soiologis sulit untuk diterima terutama oleh kalangan Islam. Atau, setidak-tidaknya oleh mereka yang memahami Islam dengan “baik”. Bahkan oleh sebahagian orientalis pun pandangan seperti diungkapkan Weber di atas sulit untuk diterima.
Dan di sini patut disebut pandangan orientalis terkemuka HAR Gibb, yang melihat Islam lebih dari sekedar agama, tetapi sebagai suatu sistem peradaban yang menyeluruh. Atau, seperti apa yang ditulis oleh Bryan S. Turner, ”Weber was hopelessly incorrect in purely factual terms”.
Daftar bacaan
Brian Morris, Antropologi Agama,cet. II, Yogyakarta: AK Group, 2007
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2008)
Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010)
Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, (Surabaya :  Pustaka Promethea, 2000)
R.H. Tawney, The Protestan dan Semangat Kapitalisme, terj. (Surabaya: Pustaka Promethea, 2000)



[1] Brian Morris, Antropologi Agama,cet. II, Yogyakarta: AK Group, 2007, hlm. 67
[2] Brian Morris, Antropologi Agama,cet. II, Yogyakarta: AK Group, 2007, hlm. 68
[3] Biografi Max Weber by Prof. Dr. H. Paisal Halim, M.Hum.htm
[4] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2008), hal. 275
[5] Ibid.
[6] Ibid
[7] Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hal. 120
[8] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Ibid,,,,hal. 277
[9] Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Surabaya :  Pustaka Promethea, 2000, hlm.
[10] R.H. Tawney, dalam Pengantar terj. The Protestan dan Semangat Kapitalisme, Surabaya: Pustaka Promethea, 2000,, hlm. 9
[11] Ibid, hlm. 10
[12] Piotr Sztompka, Teori Perubahan Sosial,,,Ibid hal. 278

1 comment:

Coretan Evin said...

Astagfirullahaladzim